Saturday, August 27, 2005

Kontrak Sosial dan Kuasa Partai

Selain kampanye anti-politikus busuk yang beberapa waktu lalu gencar dikumandangkan oleh banyak LSM, kelompok masyarakat sipil lainnya juga tengah mengupayakan terjadinya kontrak sosial. Kontrak sosial yang dimaksud tak lain adalah penandatanganan janji atau ikrar dari calon legislatif kepada masyarakat pemilih yang tertuang dalam satu lembar kertas bermaterai bersegel. Beberapa kalangan penggagas yakin kontrak sosial itu akan efektif jika dilakukan sebelum caleg terpilih menjadi wakil rakyat. Tapi beberapa lainnya berharap kontrak sosial juga bisa dipaksakan setelah pelaksanaan pemilu. Tujuannya agar anggota dewan yang telah mengikat kontrak sosial itu jika dikemudian hari dinilai ingkar janji, ada upaya hukum yang dapat ditempuh untuk meminta pertanggungjawaban mereka. Pokok kata, kontrak sosial versi ini tidak sekedar bermuatan moral dan politis, tapi memiliki kekuatan hukum.

Sebenarnya pemilu, baik untuk legislatif maupun presiden adalah bentuk kontrak sosial itu sendiri. Dikatakan demikian karena pencoblosan suara adalah simbol terjadi transaksi politik antara pembeli –dalam hal ini pemilih- dengan penjual (partai politik dan caleg) yang telah bersepakat untuk menitipkan sebagian dari kehendak pemilih agar diperjuangkan oleh lembaga politik yang sah dan wakil rakyat yang dipilihnya. Lewat pemilu, kehendak yang beragam dari pemilih itu bisa diatur dan dikelola oleh wakilnya di parlemen sehingga tidak menimbulkan benturan yang keras antar masing-masing kehendak yang berbeda-beda. Dengan demikian, selain sebagai akad politik, pemilu juga merupakan instrumen untuk menciptakan tertib sosial-politik.      

Oleh karena itu, adanya gerakan kontrak sosial sebelum atau sesudah pemilu perlu dipandang sebagai cerminan dari adanya krisis kepercayaan publik terhadap pemilu dan hasilnya. Diluar kampanye golput, gerakan kontrak sosial adalah bentuk yang nyata dari adanya ketidakpercayaan terhadap prosedur demokrasi yang bernama pemilu. Masyarakat –setidaknya yang menggagas kontrak sosial itu- tidak percaya bahwa para wakil rakyat yang akan dipilih dalam pemilu nanti akan memperjuangkan aspirasi dan kehendak masyarakat luas (konstituen). Pengalaman pemerintahan hasil pemilu 1999 cukup memberikan alasan bagi masyarakat untuk curiga terhadap politisi dan partai politik yang menjadi peserta pemilu. Apalagi banyak diantara peserta pemilu 2004 adalah partai dan politisi lama yang pada pemilu 1999 memperoleh suara. Sehingga kontrak sosial itu hadir untuk memastikan bahwa politisi yang terpilih tidak akan mengkhianati suara rakyat pemilihnya.

Walaupun dalam prakteknya kontrak sosial itu telah dilakukan oleh beberapa calon legislatif, namun pertanyaan seputar efektifitas kontrak sosial itu juga tetap mengemuka. Setidaknya karena locus atau target yang dibidik oleh penggagas kontrak sosial hanyalah para politisi secara individu. Jika dihadapkan pada realitas politik bahwa sistem pemilihan pada pemilu 2004 masih berorientasi pada partai politik (political parties based) daripada kandidat (candidates based), maka kemungkinan kontrak sosial yang hanya mengikat politisi tidak akan memberikan efek tekan. Dalam sistem proporsionalitas terbuka model sekarang, posisi tawar politisi terhadap partai politik teramat lemah. Alih-alih memperjuangkan aspirasi rakyat pemilih, di internal partai sendiri mereka harus berkompetisi untuk mendapatkan nomor urut jadi. Kontrak sosial akan menjadi lebih tidak efektif jika politisi yang bersedia meneken perjanjian itu adalah politisi yang menempati nomor urut bawah yang kemungkinannya kecil untuk terpilih sebagai wakil rakyat. Kontrak sosial seperti ini hanya bisa berjalan jika kekuasaan partai politik dalam sistem pemilu tidak lagi menentukan. Dengan kata lain, sistem pemilu yang berorientasi kandidatlah yang mampu memberikan jalan bagi efektifitas kontrak sosial yang kini tengah dikembangkan.

Karena kuasa partai politik masih kental mewarnai proses politik, maka tekanan kepada partai politiklah seharusnya kekuatan tawar masyarakat sipil itu diarahkan. Asumsinya, partai politik sebagai pemilik kekuasaan tidak akan berubah perangai jika pressure terhadapnya tidak pernah dilakukan. Satu hal yang bisa dilakukan oleh penggagas kontrak sosial adalah memediasi komunikasi politik antara konstituen (masyarakat pemilih) dengan partai politik yang selama ini tidak berjalan. Setidaknya dalam konteks kontrol atas wakil rakyat oleh konstituen, beberapa pasal dalam UU No. 31 tahun 2002 tentang Partai Politik dan UU No. 22 tahun 2003 tentang Susduk MPR, DPR, DPD dan DPRD bisa digunakan sebagai instrumennya. Beberapa pasal dalam dua UU tersebut membuka peluang bagi masyarakat (konstituen) untuk meminta partai politik supaya mengganti anggotanya di parlemen oleh sebab-sebab tertentu.  

Pada pasal 8 huruf (f) UU No. 31/2002 tentang Partai Politik dikatakan bahwa partai politik memiliki hak untuk mengusulkan penggantian antarwaktu anggotanya di lembaga perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya pada pasal yang sama huruf (g) disebutkan bahwa partai politik juga berhak mengusulkan pemberhentian anggotanya di lembaga perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam pasal berikutnya, yani pasal 12 UU yang sama dikatakan bahwa alasan-alasan pemberhentian anggota (wakil rakyat) di parlemen oleh partai politik karena tiga alasan. Pertama, karena mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik yang bersangkutan, kedua, karena melanggar AD/ART partai politik bersangkutan, dan ketiga, karena melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan. Karena alasan kedua itu, penting bagi konstituen untuk mempelajari AD/ART partai politik secara cermat.

Supaya penggantian antarwaktu maupun usul pemberhentian anggota parlemen tidak sebatas arisan jabatan dan dimaknai secara sepihak oleh partai politik, maka perlu ada campur tangan dari konstituen dalam prosesnya. Beberapa pasal dalam UU Susduk bisa dijadikan alasan bagi adanya campur tangan itu, terutama alasan-alasan yang berhubungan dengan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan.

Dalam pasal 20 UU Susduk mengenai sumpah anggota DPR, pada alinea terakhir berbunyi “…bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia.” Selanjutnya pada pasal 29 dalam huruf (f) disebutkan bahwa menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat adalah bagian dari kewajiban anggota DPR. Selama ini problem utama wakil rakyat adalah pada kecenderungan mengkhianati suara pemilih. Maka kedua alasan yuridis diatas sangat mungkin bisa digunakan sebagai instrumen untuk menekan partai politik untuk mengganti wakil rakyat yang tidak amanah.  



  (tulisan ini pernah dimuat di koran Tempo)