Monday, November 23, 2009

Menyelamatkan IPK Indonesia

SUDAH berjalan dua tahun berturut-turut, yakni pada 2008 dan 2009, indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia meningkat. Jika pada survei 2008, IPK Indonesia adalah 2,6 atau naik 0,3 poin jika dibandingkan dengan IPK 2007, pada 2009 IPK Indonesia kembali meningkat menjadi 2,8. Meski demikian, kita tidak boleh buru-buru berpuas diri mengingat pada skala IPK global, Indonesia masih dalam kategori negara yang dipersepsikan rawan korupsi.

Hal itu akan semakin jelas jika kita membandingkan IPK Indonesia dengan negara lain, meski sebatas kawanan Asia Tenggara. Hingga 2009, kita masih sangat tertinggal jauh dari Malaysia (4,5), Singapura, Brunei Darussalam (5,5), dan Thailand (3,3).

IPK sebagai pendekatan ilmiah telah diakui secara global sebagai instrumen untuk mengukur keadaan korupsi di sebuah negara. Gambaran IPK menjadi urgen dalam konteks Indonesia mengingat hingga saat ini, kita masih berjuang terus-menerus untuk memberantas korupsi.

Mestinya, kecenderungan yang positif itu terus dipelihara dengan mengawal agenda pemberantasan korupsi pada aras yang tepat. Sangat mungkin jika upaya pemberantasan korupsi melemah, pada 2010 atau tahun setelahnya, IPK Indonesia kembali merosot.

Inkonsistensi skor IPK Indonesia dapat dirujuk pada tahun-tahun sebelumnya. Indonesia selalu berada pada level yang fluktuatif, yakni dari skor 2,0 (2004), 2,2 (2005), 2,4 (2006), dan 2,3 (2007). Naik turunnya IPK Indonesia dapat dibaca sebagai gagalnya pemerintah dalam mendorong agenda pemberantasan korupsi secara lebih serius. Dengan bahasa lain, ketika pemberantasan korupsi sudah membaik, ganjalan kemudian datang. Contoh yang paling aktual adalah kriminalisasi terhadap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini.

Faktor Penguat IPK


Sebagaimana rilis IPK 2009 yang dilansir TII, meningkatnya IPK Indonesia pada 2009 lebih disebabkan faktor kinerja pemberantasan korupsi oleh KPK dan agenda reformasi birokrasi yang didorong Departemen Keuangan. Itu berarti para responden survei IPK yang terdiri atas pelaku bisnis dan pengamat negara menilai tingkat keseriusan Indonesia dalam memberantas korupsi baru muncul pada dua institusi tersebut.

Harus diakui, sedikit banyak kiprah KPK telah memberikan warna bagi Indonesia di mata dunia internasional (baca: investor). Keberanian KPK dalam membongkar korupsi tingkat tinggi turut membentuk persepsi publik bahwa Indonesia mulai serius dalam memberantas korupsi.

Bank Dunia melalui IFC (International Finance Cooperation) secara rutin memantau perkembangan iklim usaha dunia, termasuk di Indonesia. Doing Business sebagai judul riset rutin Bank Dunia menggunakan instrumen kemudahan birokrasi perizinan untuk mengukur tingkat iklim usaha dunia. Jika dalam birokrasi perizinan masih sangat kuat praktik pemerasan, suap-menyuap yang melahirkan ketidakpastian dalam memperoleh pelayanan usaha, bisa dipastikan di mata internasional, peringkat iklim usaha negara itu akan jeblok.

Seiring dengan sepak terjang KPK, reformasi di Departemen Keuangan juga secara tidak langsung telah memengaruhi secara positif persepsi pelaku bisnis, khususnya pada sektor pajak dan bea cukai. Paling tidak, langkah konkret yang telah diambil otoritas dalam mengimplementasikan reformasi birokrasi di Departemen Keuangan adalah dipecatnya ratusan pegawai Depkeu karena melanggar kode etik PNS maupun terlibat dalam indikasi tindak pidana.

Kriminalisasi KPK


Tentu saja menjadi sangat ironis jika di satu sisi KPK merupakan salah satu faktor pendorong naiknya IPK Indonesia. Tapi, di sisi lain, eksistensi KPK justru terancam. Sebenarnya sudah menjadi siklus alamiah jika sebuah badan baru yang dibentuk untuk memberantas korupsi telah berani mengusik wilayah status quo, serangan balik akan dialami.

Kecenderungan itu tidak hanya terjadi dalam konteks KPK Indonesia. Di Burundi, negara di belahan Afrika sana, salah satu anggota komisioner badan antikorupsi indepedennya dibunuh karena sepak terjangnya dalam memberantas korupsi. Di belahan Afrika lainnya, Nigeria, ketua KPKnya harus melarikan diri ke Amerika Serikat karena diintimidasi sekaligus dipecat dari jabatannya karena berani memproses kasus dugaan korupsi yang melibatkan karib presiden Nigeria.

Di Korea Selatan, KICAC (Korean Independent Commission Againts Corruption) dibubarkan dan dilebur ke dalam sebuah badan baru yang tidak lagi memiliki kewenangan penindakan. Salah satu mantan komisionernya, Kim Geu Song, yang secara langsung berdiskusi dengan penulis pada sela-sela Konferensi UNCAC di Doha, Qatar, beberapa waktu lalu juga ditetapkan sebagai tersangka karena dianggap menyalahgunakan keuangan KICAC.

Saat ini, kata kunci bagi keselamatan KPK ada pada Presiden SBY. Jika SBY memiliki komitmen yang kuat dalam memberantas korupsi, seharusnya IPK Indonesia yang sudah membaik akan tetap dipertahankan. Konflik cicak lawan buaya yang tidak ada ujung pangkalnya hanya akan merusak capaian positif dari agenda pemberantasan korupsi.

Presiden SBY tidak hanya berurusan dengan publik di Indonesia jika masalah kriminalisasi terhadap KPK tidak segera diputuskan. Tetapi, juga berhadapan dengan komunitas internasional yang dipayungi oleh PBB. Indonesia sebagai salah satu negara peserta UNCAC saat ini terikat dengan sebuah resolusi yang dikeluarkan pada Konferensi UNCAC ketiga di Doha. Negara peserta UNCAC harus memastikan keberadaan badan antikorupsi dengan menjaga independensinya dan memperkuat kapasitasnya serta sekaligus menjaga badan itu dari berbagai pengaruh yang tidak diinginkan. Wallahu a'lam. (*)

*) Adnan Topan Husodo , wakil koordinator ICW


Tulisan disalin dari harian Jawa Pos, 23 November 2009

Wednesday, November 18, 2009

Menanti Ketegasan SBY

Oleh sebagian kalangan, Presiden SBY dikenal sebagai pemimpin yang peragu. Bahkan namanya pun kerap diplesetkan menjadi Soesilo 'Bimbang' Yudhoyono. Tak heran karena banyaknya pertimbangan dan perhitungan dalam mengambil keputusan, momentum krusial yang harus segera diputuskan menjadi lepas.

Terlalu menekankan aspek harmonisasi dalam setiap pengambilan keputusan menjadi salah satu pemicu adanya keraguan atau kebimbangan. Yang muncul ke permukaan bukan sosoknya sebagai seorang mantan perwira TNI, akan tetapi lebih lekatnya budaya Jawa pada dirinya. Oleh karena itu tidak heran jika muncul kesan Presiden memiliki dualisme dalam mengambil posisi. Pada konteks kasus Cicak lawan Buaya, hal ini sangat jelas terlihat.

Kini publik ingin melihat SBY sebagai seorang Presiden yang tegas. Rekomendasi Tim 8 yang dibentuk sebagai respon atas tekanan publik berkaitan dengan penahanan Bibit dan Chandra telah disampaikan kemarin. Pada intinya, rekomendasi Tim 8 terbagi ke dalam tiga aspek utama.

Pertama, usulan untuk menghentikan proses hukum terhadap kasus Bibit dan Chandra mengingat bukti yang dimiliki Polri sangat lemah. Penghentian itu bisa dengan mengeluarkan SP3 di Mabes Polri atau mendeponir kasus jika berkas perkara sudah P21 di Kejaksaan Agung.

Kedua, indikasi kuat adanya mafia hukum atau makelar kasus yang direpresentasikan oleh Anggodo dan beberapa pihak lain. Tim 8 menemukan sebuah fakta bahwa Anggodo adalah tokoh yang mengatur sedemikian rupa agar Bibit dan Chandra dapat menjadi tersangka. Ambisi Anggodo untuk menghentikan kasus PT Masaro (SKRT) bertemu dengan kepentingan Kabareskrim Polri, Susno Duadji yang kebakaran jenggot karena disadap oleh KPK dalam kasus Bank Century.

Ketiga, pemberian sanksi hukum tegas kepada berbagai pihak, baik pejabat yang ada di Kepolisian maupun Kejaksaan serta pihak lain yang dengan kekuatan uang, telah mengatur proses hukum. Tim 8 juga menyarankan agar Presiden membentuk Komisi Negara untuk mengawal reformasi lembaga hukum di Indonesia.

Penghentian Kasus Bibit dan Chandra

Sebelum rekomendasi Tim 8 diserahkan kepada Presiden, SBY menyempatkan diri untuk bertemu terlebih dahulu dengan Kapolri dan Jaksa Agung. Hal ini tentu saja menimbulkan pertanyaan, apa yang sebenarnya dibicarakan? Secara positif, mungkin saja SBY telah mendengar atau mendapatkan bocoran mengenai isi rekomendasi Tim 8 sehingga pemanggilan terhadap Jaksa Agung dan Kapolri bisa dibaca sebagai teguran keras Presiden terhadap perilaku aparat penegak hukum kita.

Penulis mendengar informasi dari dalam Istana jika pada awalnya, Presiden sangat yakin bahwa kasus Bibit dan Chandra adalah sebuah fakta hukum. Isu mengenai pelemahan terhadap KPK pun ditepisnya. Akan tetapi setelah Tim 8 bekerja dan mengeluarkan rekomendasi, barangkali Presiden baru sadar bahwa informasi yang selama ini mengalir ke Istana sama sekali tidak akurat. Pertanyaannya, siapa yang menyampaikan informasi terus menerus kepada SBY sehingga Presiden sangat yakin bahwa Bibit dan Chandra telah melakukan pelanggaran hukum?

Penghentian kasus Bibit dan Chandra sebagaimana rekomendasi Tim 8 sering dibenturkan dengan argumentasi legal-formal bahwa proses hukum tidak boleh dihentikan karena tekanan politik atau opini publik. Presiden sendiri kadang terjebak pada format penalaran demikian sehingga ketika publik menuntut agar kriminalisasi Bibit dan Chandra dihentikan oleh Presiden, SBY beralasan bahwa dirinya tidak ingin mengintervensi hukum.

Satu hal yang harus diingat bahwa kriminalisasi atau rekayasa bukanlah proses hukum. Tentu saja publik akan sangat mengapresiasi aparat penegak hukum yang menjalankan fungsinya sebagai penegak hukum. Namun manakala penegakan hukum telah didesain sedemikian rupa untuk menjadikan seseorang sebagai pesakitan, maka pada saat yang bersamaan, proses hukum itu sendiri menjadi gugur maknanya. Oleh karena itu, dalam kasus Bibit dan Chandra, kita tidak dapat mengkategorikan hal ini sebagai proses hukum, yang kuat adalah aroma krinimalisasi. Dengan demikian, Presiden memiliki posisi jelas untuk menghentikan kriminalisasi itu.

Mafia Hukum

Rekomendasi Tim 8 lainnya adalah bagaimana Presiden mengambil peran sentral dalam memerangi mafia hukum. Makelar kasus yang bergentayangan di lembaga-lembaga penegak hukum merupakan sebuah fakta yang tidak bisa diingkari lagi. Rekaman pembicaraan Anggodo dengan berbagai pihak telah menunjukkan dengan sangat telanjang, bagaimana mafia hukum beroperasi. Barangkali jika kita bisa mendengar pada kasus-kasus lain, akan banyak Anggodo-Anggodo lain pula yang memainkan peran sebagai pengatur.

Akan tetapi, sampai hari ini, SBY hanya merespon dengan sangat normatif. Pertama, meletakkan perang terhadap mafia hukum sebagai prioritas program 100 hari SBY. Kedua, membuat kotak pos pengaduan sebagai instrumen untuk memerangi mafia hukum. Kita tentu masih ingat bahwa sebelumnya, Presiden juga telah membuat berbagai macam kotak pos pengaduan. Dalam beberapa hal kotak pos mungkin dapat menjadi alat untuk mendapatkan informasi langsung mengenai apa yang terjadi pada masyarakat. Akan tetapi kotak pos tidak mungkin bisa menjadi alat yang efektif untuk memberantas mafia hukum.

SBY semestinya melakukan langkah-langkah darurat untuk memulihkan lembaga penegak hukum yang sudah lumpuh oleh praktek mafia hukum melalui perubahan struktur. Pencopotan Jaksa Agung dan Kapolri merupakan langkah pertama yang segera diputuskan. Argumentasinya sederhana, kedua orang itu sangat bertanggungjawab terhadap apa yang telah terjadi dalam kasus Bibit dan Chandra.

Suburnya praktek mafia hukum di institusi Kepolisian dan Kejaksaan menunjukkan bahwa Kapolri dan Jaksa Agung gagal dalam menjalankan misi perubahan. Apalagi jika posisinya, kedua pejabat itu mengetahui tingkah laku anak buahnya dalam menggiring sebuah kasus, akan tetapi tidak melakukan tindakan apapun. Pembiaran terhadap sepak terjang anak buahnya dalam menyalahgunakan jabatan dan wewenang merupakan sebuah kesalahan substansial seorang Pemimpin yang tidak bisa ditoleransi.

Langkah berikutnya, seiring dengan rekomendasi Tim 8, Presiden harus memulihkan kondisi KPK yang secara langsung mendapatkan pengaruh negatif atas usaha kriminalisasi terhadap Pimpinannya. Jaminan dari Presiden bahwa dalam mengambil keputusan, Pimpinan KPK tidak akan dikriminalisasi merupakan langkah positif untuk memberikan keyakinan penuh sekaligus sinyal dukungan Presiden terhadap eksistensi KPK.

Harus diakui, sedikit banyak, KPK telah memberikan kontribusi penting untuk memerangi mafia hukum di Indonesia. Tertangkapnya Urip Tri Gunawan beserta makelar kasusnya, Arthalyta (Ayin) seharusnya menjadi momentum stragegis bagi SBY untuk melakukan pembersihan di tubuh aparat penegak hukum. Kita menyesal pada saat itu, Presiden tidak mengambil posisi apapun. Kini, Anggodo adalah momentum yang lain. Kita tidak ingin Presiden kembali diam sehingga akan muncul Anggodo-Anggodo berikutnya.

****
Tulisan dimuat di harian Seputar Indonesia, Kamis, 19 November 2009

Saturday, November 07, 2009

Reality Show Penegakan Hukum

Boleh dibilang, wacana kriminalisasi dua Pimpinan KPK oleh Mabes Polri paska penahanan Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah terbagi ke dalam dua babak besar. Babak pertama adalah pemutaran rekaman pembicaraan antara Anggodo Widojo (AW) dengan para pihak, baik pejabat di Kejaksaan Agung maupun orang-orang yang berasal dari Mabes Polri serta pihak ketiga dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK). Sementara babak kedua adalah masuknya isu 'proses hukum' Bibit dan Chandra dalam panggung politik parlemen yang dimulai dengan digelarnya Rapat Dengar Pendapat antara Komisi III DPR dengan Mabes Polri kemarin.

Membandingkan dua episode cerita diatas, terasa ada kesan yang sangat berbeda. Rekaman pembicaraan AW dengan lawan bicaranya yang diperdengarkan kepada publik dalam sidang MK tentu dibuat tanpa skenario, alamiah, apa adanya, blak-blakan dan mengandung berbagai macam informasi penting yang bisa diserap. Hal itu mengingat AW tidak tahu sama sekali jika dirinya tengah disadap oleh KPK. Demikian pula lawan bicara AW juga sangat mungkin tidak mengendus sama sekali soal penyadapan itu. Justru karena ketidaktahuan mereka itulah komunikasi dua arah yang diungkap oleh MK sangat mustahil merupakan hasil rekayasa KPK, sebagaimana tudingan pengacara AW, Bonaran Situmeang yang disampaikan kepada media massa.

Dirty talked antara adik buron kasus korupsi SKRT yang masih disidik KPK, Anggoro Widjojo dengan aparat penegak hukum dan para perantara telah menyingkap sedalam-dalamnya realitas mafia hukum yang selama ini kerap ditutup kabut pembuktian. Tidak ada yang bisa mengelak dari semua kebenaran pembicaraan itu, sekali lagi karena mengingat tidak ada skenario sama sekali, meskipun jika melongok materi pembicaraan, yang sedang digagas adalah sebuah skenario besar oleh sutradara bernama AW. Kemarahan publik atas skandal menggemparkan itu tak terbendung. Dukungan terhadap Bibit dan Chandra di jejaring sosial sudah menembus angka 900 ribu. Forum-forum diskusi publik di media online semarak, aksi massa di berbagai daerah merebak dan tuntutan yang lebih besar untuk mendorong reformasi total di lembaga kepolisian dan kejaksaan juga bergema dimana-mana.

Panggung Politik Pencitraan

Sayangnya, dorongan publik yang begitu keras agar ada pembenahan yang serius di tubuh Kepolisian dan Kejaksaan tidak direspon secara serius oleh petinggi Gedung Bundar dan Trunojoyo. Mundurnya A.H Ritonga, Wakil Jaksa Agung dan Susno Duadji (SD), Kabareskrim Polri hanya merupakan respon sesaat yang tidak dilandasi oleh semangat perubahan. Terbukti, Jaksa Agung, Hendarman Supandji justru menyesalkan sikap Ritonga yang mengundurkan diri, sementara dalam RDP Mabes Polri-Komisi III, publik baru menyadari bahwa SD ternyata tidak mundur selamanya, akan tetapi sementara waktu saja sepanjang pemeriksaan yang dilakukan TPF digelar. Kapolri sendiri menjamin, SD akan kembali menjadi Kabareskrim jika TPF sudah selesai menjalankan tugasnya.

Dari sikap diatas, ada sebuah kesimpulan sementara yang bisa ditarik bahwa rekaman pembicaraan antara AW dengan berbagai kalangan tidak dianggap sama sekali oleh Kapolri. Persahabatan yang intim antara penjahat dengan penegak hukum dipandang bukan merupakan masalah yang serius. Sebaliknya, dengan berlindung dibalik asas legal-formal, Kapolri masih harus menunggu kepastian mengenai benar-tidaknya rekaman tersebut, perlu mengajak saksi ahli, pihak ini dan itu untuk memastikan bahwa sang sutradara, AW dapat dipidana. Semua bergerak sangat lamban. Bahkan, setelah didengarnya rekaman itu di MK, penegakan hukum berjalan sebagaimana biasa, business as usual.

Argumentasi legal-formal juga nampak sekali ketika Kapolri menjawab pertanyaan, mengapa SD bisa bertemu dengan Anggoro Widjojo di Singapura, meskipun pada saat itu, Anggoro Widjojo merupakan buron kasus korupsi KPK? Jawabannya sangat sederhana, karena UU tidak melarang Polisii melakukan hal itu. Lain halnya dengan Antasari Azhar, karena posisinya sebagai Ketua KPK, ia terikat oleh kode etik dan UU KPK yang melarang pertemuan dengan pihak yang terkait dengan kasus korupsi. Esensi penegakan hukum tidak muncul sama sekali karena diredam oleh pendekatan legal-formal. Logika sederhana mengatakan, karena sesama penegak hukum, seharusnya ada sikap yang sama terhadap Anggoro Widjojo.

RDP Mabes Polri-Komisi III justru menjadi ajang pembelaan diri yang membanggakan Polri. Tepuk tangan meriah dari anggota DPR, curhat Kabareskrim mengenai sanak familinya, pemaparan fakta-fakta hukum mengenai kasus Bibit dan Chandra, diimbangi dengan pertanyaan normatif anggota Komisi III kepada Kapolri dan Kabareskrim menjadikan diskusi kemarin tak ubahnya sebuah reality show. Seolah-olah dihakimi, seakan-akan dinistakan dengan melibatkan aspek emosi menambah unsur dramatisasi yang luar biasa sebagaimana adegan sinetron. Hasilnya efektif karena sikap anggota Komisi III DPR mendukung penuh dan berada di belakang Mabes Polri.

Politik Parlemen

Periode RDP Mabes Polri dengan Komisi III kemarin merupakan antiklimaks dari bencana mafia hukum Indonesia. Sikap DPR yang berseberangan dengan arus publik memang sudah menjadi hal yang biasa terjadi. Alih-alih menggagas sebuah pendekatan yang efektif untuk memberantas mafia hukum, pernyataan yang terlontar dari anggota dewan terhormat terkesan menoleransi apa yang sudah terungkap dalam rekaman pembicaraan AW dengan kawan-kawannya. Barangkali satu hal yang memicu lahirnya pernyataan-pernyataan normatif itu adalah tiadanya bahan informasi yang memadai sebelum rapat digelar.

Kondisi ini tentu saja akan mencelakai harapan publik mengingat panggung politik merupakan arena yang bisa menentukan arah kebijakan dalam penegakan hukum. Jika anggota DPR bersikap sangat 'ramah' dengan mafia hukum, bukankah tidak mustahil karena ada kepentingan yang terganggu disana? Harus diingat, anggota Komisi III DPR diisi oleh para politisi yang berlatar belakang pengacara. Mereka memiliki firma hukum yang setiap saat bisa menerima klien dari kasus-kasus korupsi yang ditangani oleh KPK.

Kepentingan lain yang tak kalah menonjol adalah kemungkinan masih tersangkutnya beberapa anggota DPR senior dalam dugaan kasus korupsi di KPK. Jika Komisi III DPR bisa begitu pedas dan keras terhadap KPK, lain halnya jika berhadapan dengan Mabes Polri. Sikap yang akomodatif, pengertian, pemakluman dan sederet kata lain yang mewakili sebuah makna, status quo

Politik parlemen dalam pemberantasan korupsi masih sangat abu-abu. Sikap politik yang tidak tegas terhadap praktek mafia hukum semakin menguatkan opini publik bahwa DPR memang tidak bisa diharapkan. Pidato Presiden tentang program 100 hari yang menjadikan agenda pemberantasan mafia hukum menjadi prioritas pertama tak mendapatkan respon dan dukungan yang memadai dari Komisi III. Padahal kita tahu Ketua Komisi III merupakan wakil dari Partai Demokrat. Kita khawatir, wacana untuk memberantas mafia hukum hanya menjadi pelipur lara sesaat dan bertujuan hanya untuk meredam kemarahan publik. Tanpa agenda politik, tanpa desain yang komprehensif, tanpa melibatkan berbagai pihak dan tanpa komitmen yang sungguh-sungguh dalam memberantasnya, mafia hukum masih akan bercokol di lembaga penegak hukum kita.***