Wednesday, February 25, 2009

Indikasi KPK Mulai Goyah

Jika boleh disebut, prestasi KPK pada awal 2008 memang mengagumkan. Beberapa anggota DPR diseret karena berbagai praktik suap dan indikasi pemerasan. Demikian halnya sebagian pejabat BI telah menjadi pesakitan karena kasus korupsi dana YPPI.

Tetapi, memasuki awal 2009, derap KPK dalam menangani kasus korupsi kakap justru perlahan-lahan menurun. Bisa dikatakan KPK mengalami masa paceklik. Meskipun selalu ada kasus korupsi yang ditangani KPK, bobot kasusnya menjadi pertanyaan besar.

Terbaru, KPK berhasil mengungkap kasus dugaan penggelembungan harga (markup) dalam pembelian alat kesehatan (rontgen) di Departemen Kesehatan (Depkes) untuk proyek 2007 dengan nilai kerugian negara ditaksi Rp 4,8 miliar. Dalam kasus itu, KPK juga telah menetapkan seorang tersangka berinisial M yang disebut-sebut merupakan kepala Biro Perencanaan Depkes sekaligus pejabat pembuat komitmen dalam proyek tersebut.

Bukan Prioritas

Dilihat dari berbagai aspek, kasus tersebut sebenarnya bukan prioritas KPK. Nilai kerugian negara yang ''hanya'' Rp 4,8 miliar sama sekali bukan dalam kategori yang layak untuk ditangani KPK. Meskipun KPK bisa saja menangani kasus tersebut, menjadi kian jelas kesimpulannya bahwa kita memasukkan parameter lain dalam penentuan kasus korupsi yang seharusnya diproses KPK, yakni ukuran aktor dan modus korupsi.

Dalam kasus tersebut, aktor yang baru bisa diungkap KPK adalah pimpinan proyek (pimpro). Memang, dalam UU KPK, posisi pimpro dikategorikan sebagai penyelenggara negara yang menjadi bagian dari mandat KPK untuk menanganinya.

Tetapi, pimpro bukanlah aktor yang signifikan jika kita melihat masalah utama korupsi di Indonesia yang bercorak state capture bahwa pelaku korupsinya adalah politisi dan kelompok bisnis. Demikian halnya dengan modus markup yang merupakan modus tradisional (kuno) dalam kasus korupsi. Pendek kata, KPK masih berkutat pada isu korupsi birokrasi, bukan korupsi politik.

Kasus Korupsi Penting

Pertanyaannya kemudian, apakah memang ada agenda tertentu sehingga KPK terus ''memproduksi'' kasus-kasus kelas teri? Kekhawatiran yang muncul adalah jika KPK kemudian lalai untuk mendalami, menangani, dan meneruskan proses hukum kasus korupsi kelas kakap (korupsi politik). Perlu dicatat bahwa hingga hari ini KPK masih memiliki pekerjaan rumah yang belum selesai.

Pertama, kasus Agus Condro. Kasus itu sampai sekarang tidak jelas juntrungannya. Alasan yang dibangun KPK bahwa kasus tersebut masih dalam tahap penyelidikan. Penyelidikan dan penyidikan memang kerap menjadi senjata pemungkas untuk menjawab pertanyaan publik atas akuntabilitas penegakan hukum.

Karena proses itu merupakan wilayah monopoli KPK, sulit bagi masyarakat untuk mengetahui secara lebih jauh apakah KPK sebenarnya tengah memproses atau diam-diam memetieskan.

Sulit juga untuk menilai apakah kasus tersebut layak ditindaklanjuti atau tidak. Sebab, semua data pendukung dan bukti-bukti yang ada dipegang sepenuhnya oleh KPK. Pada akhirnya, meneruskan atau tidak kasus yang ditangani KPK menjadi sangat politis nilainya.

Jika melihat kasus di atas, KPK seharusnya menempatkan perkara Agus Condro sebagai prioritas untuk ditangani. Argumentasinya jelas, kasus itu adalah kasus yang besar kemungkinan melibatkan aktor besar. Tidak hanya pejabat BI, tetapi juga politisi senayan sebagai penentu kebijakan politik dan cukong yang menjadi donatur. Sebagaimana kita ketahui, praktik politik uang dalam pemilihan pejabat publik oleh DPR adalah masalah krusial yang menjadikan DPR sebagai lembaga korup.

Data-data dari PPATK yang telah diserahkan ke KPK, berikut pengakuan Agus Condro yang menerima cek perjalanan, kian menunjukan bahwa dalam pemilihan Deputi Senior Gubernur BI Miranda Gultom ada kekuatan uang yang memeranguhi keputusan DPR untuk memenangkan Miranda. Sebenarnya, pengakuan tersebut bukan hanya muncul dari Agus Condro. Beberapa mantan anggota DPR yang KPK sendiri juga memanggil beberapa saksi kunci yang besar kemungkinan bisa menjadi tersangka. Misalnya, Nunung, istri mantan calon gubernur DKI Jakarta Adang Daradjatun. Siapa Nunung sebenarnya, apa peran yang dimainkan dalam kasus tersebut, masih menjadi misteri hingga hari ini karena lambannya proses hukum yang diambil KPK.

Kedua, kasus korupsi dana YPPI pada BI. Meskipun KPK sudah menyeret para petinggi BI ke Pengadilan Tipikor, termasuk Aulia Pohan yang merupakan besan Presiden SBY dan dua anggota DPR yang terlibat. Tetapi, bau diskriminasi masih sangat terasa. Terutama terhadap para pihak yang disebut-sebut para terdakwa sebagai pihak yang mengetahui terjadinya kasus tersebut. Salah seorang di antara mereka adalah Paskah Suzetta yang kini sebagai kepala Bappenas.

Jika aktor yang terlibat dalam kasus korupsi dana YPPI tidak dituntaskan KPK, akan ada sebuah persepsi negatif yang timbul bahwa KPK menerapkan kebijakan tebang pilih karena lebih condong hanya menindak pihak BI, bukan DPR. Padahal, kalau kita melihat secara lebih jauh, pihak yang memiliki wewenang kuat untuk menentukan terjadi atau tidaknya kasus YPPI adalah DPR. Mereka memiliki kekuasaan untuk mengegolkan permintaan BI, baik dalam kaitannya dengan penyusunan UU BI dan penyelesaian politik perkara BLBI.

Ketiga, kasus BLBI, baik yang melibatkan banker swasta maupun perbankan BUMN. Sebagaimana kita ketahui, Kejaksaan Agung telah kehilangan legitimasi untuk memproses kasus dugaan korupsi dana BLBI dengan tertangkapnya Jaksa Urip Tri Gunawan oleh KPK karena suap. Suap itu ditengarai memiliki kaitan langsung dengan penyelesaian perkara BLBI yang tengah ditangani Kejagung.

Karena itulah, seharusnya KPK menempatkan diri sebagai lembaga yang bisa menyelesaikan secara hukum pelanggaran korupsi dana BLBI senilai triliunan rupiah yang sudah bertahun-tahun tidak jelas rimbanya.

Degradasi

Keasyikan KPK dalam menangani perkara-perkara kelas kejaksaan dan kepolisian telah menyeret opini publik yang luas bahwa KPK memiliki kepentingan politik untuk tidak melanjutkan kasus-kasus besar yang menjadi PR utamanya. Apa kepentingan politik itu, semua dapat dilihat dari seluruh proses awal pemilihan pimpinan KPK sebelumnya. Karena yang paling mungkin, posisi tawar kelompok kepentingan dapat dibangun pada tahap ini.

Degradasi peran KPK dari lembaga superbodi menjadi lembaga penegak hukum konvensional merupakan sinyal awal gagalnya penegakan hukum yang independen. Sebagaimana kita ketahui, kelahiran KPK dimaksudkan untuk menangani perkara korupsi besar yang memiliki hambatan politik dan hukum, bukan kasus korupsi kecil dan sederhana, baik dari sisi aktor, nilai kerugian, maupun modus korupsi yang terjadi.

Adnan Topan Husodo , wakil koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW)

Sunday, February 22, 2009

Merevitalisasi Badan Kehormatan DPR

Kinerja Badan Kehormatan (BK) DPR RI pada 2008 kemarin dapat dikatakan buruk. Hasil tidak memuaskan ini disebabkan gagalnya BK dalam mencegah dan memperbaiki citra anggota DPR yang terpuruk karena berbagai skandal yang mereka lakukan,baik dalam kaitannya dengan indikasi perbuatan pidana (korupsi) maupun pelanggaran nilai-nilai moral publik lainnya.

Terungkapnya beberapa kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melibatkan anggota Dewan, baik periode 1999–2004 maupun periode setelahnya, menunjukkan bahwa kontrol internal di lembaga DPR tidak dapat berfungsi efektif.

Belum lagi kasus-kasus pelanggaran kode etik lain yang nyata-nyata terjadi,semisal pelesir ke luar negeri, adanya anggota DPR yang mendapatkan dana operasional dari pihak ketiga dalam menjalankan fungsinya maupun dugaan gratifikasi yang dilaporkan oleh masyarakat yang hampir tidak ada yang diproses ke tingkat pemeriksaan. Respons yang lamban dari BK secara kelembagaan terhadap berbagai bentuk penyimpangan anggota Dewan, baik yang mengarah ke pelanggaran kode etik maupun perbuatan pidana, mengesankan ada persoalan serius di tubuh BK.

Padahal BK merupakan ujung tombak yang vital untuk menghindari kekuasaan DPR dari berbagai bentuk penyimpangan. Hal ini mengingat partai politik tidak terlalu banyak bisa diharapkan untuk menjadi pengawas yang cakap terhadap para anggotanya yang menjadi anggota legislatif sepanjang partai politik justru menjadi tempat berkembangbiaknya korupsi.

Permasalahan BK

Jika kita coba cermati lebih jauh, persoalan BK yang berujung pada tumpulnya pengawas internal anggota DPR dalam menjalankan fungsinya disebabkan beberapa faktor yang fundamental.Masalah tersebut dapat kita petakan menjadi tiga hal, yakni lemahnya kerangka yuridis BK,posisi BK yang tidak independen, serta kaburnya pengertian kode etik di lingkungan DPR.

Untuk masalah yang pertama,BK selama ini dikerangkakan oleh tata tertib DPR yang mengekang. Posisi BK diset sebagai pengawas internal yang mandul dan pasif karena tiadanya wewenang untuk menjalankan kerja-kerja inisiatif.Dalam tata tertib DPR,BK baru dapat bekerja jika dua syarat telah dipenuhi, yaitu adanya laporan pengaduan dari masyarakat atas dugaan pelanggaran kode etik anggota DPR dan jika ada perintah dari pimpinan DPR.

Sepanjang kedua syarat itu tidak dimiliki BK, mereka tidak dapat bertindak apa pun meski pelanggaran kode etik itu sendiri dilihat secara langsung atau diketahui secara langsung oleh anggota BK.Desain BK yang pasif membuat fungsi pencegahan maupun penindakan BK menjadi tidak berjalan sama sekali. Mengenai masalah kedua,BK DPR secara keanggotaan tidaklah independen.

Bisa dikatakan BK dilahirkan dengan membawa cacat bawaan. Pasalnya, keanggotaan BK yang dipilih dari anggota DPR itu sendiri menyulitkan BK untuk menjalankan fungsi pengawasan secara mandiri (minim intervensi). Dalam situasi di mana fraksi yang menjadi kepanjangan tangan partai politik membawa misi yang berbeda dengan misi BK, acap BK menjadi tidak berdaya.

Partai politik beserta elite partai yang masih kental dengan praktik korupsi bukan merupakan lawan sepadan BK. Karena bisa saja anggota BK tiba-tiba dipindahkan oleh fraksi atau dikenai pergantian antarwaktu (PAW) oleh partai politik jika muncul pertentangan yang keras, terutama jika dihubungkan dengan peran BK dalam membangun good governancedi DPR.

Pasal 57 tata tertib DPR mengenai pengangkatan anggota BK mengatur soal wewenang besar bagi fraksi untuk mengganti sewaktu-waktu anggotanya yang ditempatkan di BK. Dengan bekal independensi yang sangat minim dan kondisi yang rentan campur tangan fraksi, keputusan BK acap menjadi tebang pilih. Untuk kasus-kasus dugaan pelanggaran kode etik yang melibatkan partai berkuasa atau elite partai berkuasa,BK sulit diharapkan tampil maksimal.

Akan tetapi bagi anggota DPR yang posisinya sebatas anggota saja, BK dapat mengambil putusan yang besar semisal memecatnya dari keanggotaan DPR. Masalah terakhir BK adalah tiadanya definisi yang konkret dan operasional atas apa yang disebut sebagai pelanggaran kode etik. Berkaca pada ketentuan tata tertib DPR, yang dimaksud sebagai pelanggaran kode etik saat ini identik dengan pengertian hukum mengenai pelanggaran pidana.

Hasilnya, BK terkesan harus menunggu proses hukum bagi anggota DPR diputus oleh pengadilan terlebih dahulu sebelum memutuskan sanksi. Hal ini dapat kita lihat dari kasus dugaan suap Bank Indonesia yang melibatkan semua anggota Komisi IX DPR RI periode 1999–2004. Hingga saat ini,BK belum mengambil tindakan apa pun untuk menegakan kode etik.

Rekomendasi untuk BK

Dari penjelasan ketiga masalah di atas, ke depan BK DPR perlu ditata ulang. Hal ini penting untuk menghasilkan pola pengawasan yang efektif. Khusus untuk isu legal framework, BK harus diset sebagai lembaga pengawas anggota DPR yang memiliki wewenang proaktif dalam menjalankan tugasnya.

Dengan demikian, kewajiban atau syarat adanya laporan pengaduan masyarakat dan perintah dari pimpinan DPR sudah semestinya dihapus. BK DPR juga perlu diposisikan independen dengan memasukkan unsur masyarakat dalam komposisi keanggotaan BK. Mengingat tugas dan fungsi DPR bukan seperti profesi lain semisal dokter, insinyur, atau pengacara yang membutuhkan kecakapan spesifik, tidak ada hambatan teoritis maupun praktis untuk menempatkan representasi publik sebagai anggota BK.

Terakhir, anggota DPR terpilih pada Pemilu 2009 perlu mereformulasi definisi pelanggaran kode etik yang lebih spesifik, operasional, dan berorientasi pada pencegahan. Maksudnya,apa yang disebut sebagai kode etik tidaklah sama dengan pelanggaran pidana.

Karena sifatnya mencegah, pengertian pelanggaran kode etik adalah keadaan di mana anggota DPR melakukan sesuatu yang berpotensi melahirkan perbuatan pidana.Pendek kata, pelanggaran kode etik bukanlah pelanggaran pidana itu sendiri. Dengan berbagai perubahan di atas, diharapkan BK DPR ke depan dapat bekerja secara lebih baik untuk menciptakan situasi yang kondusif bagi praktik politik yang etis dan jauh dari penyimpangan kekuasaan.(*)

Oleh: Adnan Topan Husodo

Tulisan ini disalin dari Seputar Indonesia, 23 Februari 2009