Sunday, April 16, 2006

Standar Ganda Pemberantasan Korupsi

Mekanisme ijin pemeriksaan terhadap para pejabat negara yang sedang menghadapi masalah hukum merupakan kendala tersendiri bagi percepatan pemberantasan korupsi. Meskipun dalam kurun waktu pemerintahan SBY proses pengurusan ijin pemeriksaan tidak mengalami hambatan berarti, namun dalam kasus-kasus tertentu -seperti dalam kasus Ali Mazi- ijin pemeriksaan tetap sulit keluar. Hal ini tak pelak memicu tanda tanya besar, apakah komitmen pemerintahan SBY dalam memberantasan korupsi benar-benar serius atau tidak.

Terlambatnya proses pemeriksaan seorang saksi ataupun tersangka, khususnya dalam kasus korupsi karena persyaratan ijin pemeriksaan memang tidak bisa lagi dianggap hanya sebatas keribetan administratif. Namun jauh lebih jauh dari itu adalah warisan masalah pada format politik lama yang terkandung dalam beberapa regulasi. Sehingga ketika ada keterlambatan dalam mengeluarkan ijin pemeriksaan, hal itu tidak bisa dianggap sebagai kekhilafan orang per orang belaka, melainkan sebuah kesalahan sistem yang selama ini sengaja diciptakan untuk melindungi praktek kejahatan kekuasaan.

Dengan demikian, puluhan ijin pemeriksaan yang telah dikeluarkan oleh SBY tidak serta merta membuat persoalan ini menjadi selesai. Memang harus diakui bahwa kemauan Presiden untuk secara objektif menyetujui pemeriksaan terhadap siapapun pejabat negara yang diduga terlibat korupsi sangat mengesankan. Paling tidak jika dibandingkan dengan presiden-presiden sebelumnya. Angka hingga delapan puluhan ijin pemeriksaan yang telah ditandatangani SBY merupakan jumlah yang fantastis. Sekali lagi jika dibandingkan dengan presiden sebelumnya.

Akan tetapi, kebijakan untuk secara mudah memberikan ijin pemeriksaan tidak bisa dijadikan sebagai ukuran untuk mengatakan bahwa program pemberantasan korupsi dianggap berhasil. Karena dalam diri aturan ijin pemeriksaan terdapat diskresi bagi seorang Presiden. Pasalnya, Presiden memiliki hak untuk tidak atau memberikan ijin pemeriksaan bagi pejabat negara yang hendak diperiksa aparat penegak hukum. Dengan tidak memberikan ijin, Presiden tidak dianggap bersalah atau dapat dikenakan sanksi. Hanya saja pada masa ini kebetulan Presiden SBY tidak memiliki kepentingan subjektif untuk tidak memberikan persetujuan ijin pemeriksaan. Tapi hal ini tidak dapat dijamin ketika Presiden sudah berganti, ketika kekuasaan sudah mengalami rotasi.

Pendek kata, program pemberantasan korupsi sebagai bagian dari upaya untuk mendorong proses demokratisasi masih sangat bertumpu pada kemauan politik seorang pemimpin. Selain daripada itu, program pemberantasan korupsi masih berada pada format politik lama yang sewaktu-waktu dapat mengancam momentum pemberantasan korupsi, terutama jika kemauan politik pemimpin bergeser sesuai dengan kepentingan politiknya. Oleh karena itu, satu-satunya cara untuk melepaskan diri dari program pemberantasan korupsi yang sangat diskresional, perlu diupayakan untuk melakukan beberapa perbaikan dalam ranah kebijakan publik. Dengan kata lain, ijin pemeriksaan sebagai prasyarat untuk memeriksa pejabat negara harus dienyahkan dari berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. Paling tidak, ada beberapa argumentasi yang mendasari penghapusan itu.

Pertama, mekanisme ijin pemeriksaan yang hanya dikhususkan bagi pejabat negara telah mendistorsi prinsip non-diskriminasi dalam pelaksanaan hukum. Jika kita sepakat untuk menjunjung tinggi sistem negara hukum, maka regulasi seharusnya tidak diciptakan untuk menguntungkan salah satu pihak, apalagi melindungi kepentingan kekuasaan tertentu.

Pejabat negara yang sedang berperkara tidak ada bedanya dengan rakyat jelata yang menghadapi kasus kriminal. Mereka bukanlah kelompok istimewa yang ketika berurusan dengan hukum harus melalui proses yang rumit dan berbelit-belit sehingga sulit untuk menyentuhnya. Justru sebaliknya, karena mereka adalah pelaksana mandat kekuasaan dari rakyat, maka pejabat negara yang sedang diduga melanggar hukum harus menjadi prioritas untuk diperiksa. Bukan justru menghalangi-halangi proses pemeriksaan itu dengan memberikan persyaratan adanya ijin pemeriksaan.

Kedua, sampai saat ini tidak pernah mencuat sebuah argumentasi yang sangat kuat untuk tetap mempertahankan adanya mekanisme ijin pemeriksaan bagi pejabat negara yang akan diperiksa. Baik DPR maupun pihak eksekutif yang telah membuat beberapa kebijakan menyangkut keharusan adanya ijin pemeriksaan dari pejabat tertentu tidak pernah bisa menjelaskan apa urgensi dari persyaratan itu.

Dengan demikian, patut dicurigai latar belakang dibuatnya kebijakan tersebut semata-mata hanya untuk melindungi kepentingan kelompok yang sedang berkuasa. Disinilah sebenarnya pertanyaan mengenai apakah sistem demokratis yang tengah kita kembangkan sudah menyentuh isu yang sensitif, khususnya pada warisan politik lama yang terkesan memberikan banyak kekebalan hukum bagi pejabat negara.

Ketiga, adanya ijin pemeriksaan kerap disalahgunakan oleh aparat penegak hukum untuk tidak memproses perkara korupsi yang melibatkan pejabat negara. Tameng yang paling mudah digunakan aparat penegak hukum ketika masyarakat menagih kinerja penanganan perkara korupsi, khususnya kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara adalah bahwa ijin pemeriksaan belum keluar. Di satu sisi, masyarakat sulit melacak kebenaran alasan tersebut karena mekanisme permohonan ijin sangat tertutup, hanya diketahui oleh aparat penegak hukum dengan pihak yang memiliki otoritas untuk memberikan ijin.

Keempat, ijin pemeriksaan menciptakan kontradiksi dengan kebijakan percepatan pemberantasan korupsi yang dicanangkan SBY. Tidak dapat dipungkiri bahwa mekanisme ijin pemeriksaan telah menghambat upaya aparat penegak hukum untuk melanjutkan proses pemeriksaan. Hal mana terjadi pada kasus Ali Mazi, gubernur Sulawesi Tenggara yang tengah diperiksa Timtas Tipikor dalam kasus dugaan korupsi Hotel Hilton. Tidak hanya itu, di banyak daerah dimana Kepala Daerah atau DPRD tengah berurusan dengan hukum dalam kasus korupsi, kemacetan menjadi fenomena jamak. Dan sebagaiannya karena alasan belum keluarnya ijin pemeriksaan dari otoritas terkait.

Sesungguhnya jika percepatan pemberantasan korupsi dimaknai sebagai usaha untuk mempermudah dan mempersingkat proses penanganan kasus korupsi, khususnya yang melibatkan pejabat negara, maka mekanisme ijin pemeriksaan adalah penghambat yang utama.

Apalagi dalam pertemuan seluruh Kepala Kejaksaan Tinggi se-Indonesia di Ciloto pada Desember silam, telah disepakati bahwa salah satu indikator kinerja kejaksaan dalam memberantas korupsi adalah penanganan perkara korupsi yang berbobot dan menjadi perhatian masyarakat luas. Dengan demikian, jika mekanisme ijin pemeriksaan tetap dipertahankan sebagai sebuah kebijakan, maka sebenarnya Pemerintah sedang menerapkan standar ganda dalam pemberantasan korupsi.

atau dapat dibaca di:
http://www.antikorupsi.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=7834