Wednesday, February 27, 2008

Menghapus Diskriminasi dalam Pemberantasan Korupsi

Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) No 30 Tahun 2002 kembali digugat. Burhanuddin Abdullah, tersangka kasus korupsi Bank Indonesia (BI), sekaligus Gubernur BI, telah mengajukan gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap kewenangan KPK dalam melakukan pemeriksaan tanpa melalui mekanisme izin. Selama ini, hingga ditetapkannya Burhanuddin sebagai tersangka oleh KPK,pemeriksaan terhadapnya tidak melalui izin pemeriksaan dari presiden.Padahal,dalam UU BI No 23 Tahun 1999 Pasal 49 dinyatakan bahwa ’Dalam hal anggota Dewan Gubernur patut diduga telah melakukan tindak pidana, pemanggilan, permintaan keterangan, dan penyidikan harus terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari presiden’.

Sementara itu,KPK sendiri dalam menjalankan tugasnya telah dinaungi UU No 30 Tahun 2002 yang menjamin secara penuh pelaksanaan tugas dan fungsi penegakan hukum tanpa kecuali,termasuk di dalamnya aturan mengenai izin pemeriksaan yang tidak perlu dilakukan oleh KPK.Dalam Pasal 46 ayat 1 UU tersebut dikatakan bahwa ’Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, terhitung sejak tanggal penetapan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka yang diatur dalam peraturan perundangundangan lain,tidak berlaku berdasarkan undang-undang ini’. Penjelasan Pasal 46 menyebutkan bahwa yang dimaksud sebagai prosedur khusus itu adalah izin pemeriksaan.

Pemeriksaan tanpa melalui izin yang dimiliki KPK adalah salah satu dari beberapa kewenangan lainnya yang dikategorikan luar biasa.Pada periode KPK jilid pertama,KPK juga telah menghadapi gugatan serupa,dengan beberapa pokok gugatan yang berbeda.Terhitung sudah tujuh kali UU KPK dijudicial review berbagai kalangan yang semuanya sedang bermasalah dengan hukum. Dalam kurun waktu judicial review tersebut,terdapat dua putusan MK yang paling menyodok KPK.Pertama, dihapuskannya pengertian delik material dalam tindak pidana korupsi sebagaimana selama ini UU Tipikor No 31/1999 mengaturnya.Konsekuensi dari putusan tersebut,perbuatan korupsi dapat dijerat hanya jika secara formal aparat penegak hukum dapat membuktikan telah terjadi perbuatan melawan hukum.

Padahal, praktik korupsi di Indonesia memiliki tipikal yang khas di mana sejak dalam penyusunan peraturan perundang-undangan/kebijakan, substansinya sudah mengandung korupsi (kebijakan yang korup). Kedua,dibatasinya legalitas pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) selama tiga tahun saja dan adanya keharusan Pengadilan Tipikor diatur dalam UU tersendiri.Jika lewat dari masa tiga tahun itu DPR belum mengesahkan UU Pengadilan Tipikor, dapat dipastikan kewenangan penindakan KPK akan musnah dengan sendirinya. Mengacu pada beberapa preseden buruk di atas,menjadi sangat mungkin bagi majelis hakim MK untuk mengeluarkan putusan yang kontroversial kembali.Oleh karena itu, sebelum putusan atas sengketa kewenangan soal izin pemeriksaan itu dikeluarkan hakim MK,perlu ada beberapa penjelasan yang penting supaya program pemberantasan korupsi tidak dipangkas secara terusmenerus melalui pendekatan judicial review.

Pertama,kewenangan KPK dalam mem-by pass aturan mengenai izin pemeriksaan merupakan sebuah upaya untuk mendorong efektivitas program pemberantasan korupsi.Dalam penjelasan umum UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK disebutkan bahwa KPK dibentuk sebagai jawaban terhadap mandulnya fungsi penegakan hukum yang selama ini diemban oleh kejaksaan dan kepolisian. Cara-cara konvensional yang selama ini dilakukan aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi dirasa tidak efektif.Karena itu, mengingat perbuatan korupsi sendiri merupakan kejahatan luar biasa,perlu penanganan yang luar biasa pula.Kewenangan KPK dalam memotong beberapa mata rantai prosedur khusus yang dapat dianggap menghambat pemberantasan korupsi merupakan bagian dari kewenangan yang luar biasa tersebut.

Dalam praktiknya, KPK telah menerapkan kewenangan tersebut dalam berhadapan dengan pejabat publik lainnya seperti DPR,bupati,wali kota, gubernur,maupun anggota DPRD.Berpuluh-puluh pejabat publik yang telah diproses KPK tidak mensyaratkan izin pemeriksaan meskipun hal tersebut secara khusus diatur dalam UU tertentu. Perlu diingat bahwa prosedur khusus yang diatur dalam UU BI juga tercantum dalam beberapa peraturan lain,seperti UU Susduk DPR,MPR, DPD dan DPRD serta UU Pemerintahan Daerah.Jika KPK harus tunduk pada peraturan lain yang dianggap lex specialist,untuk memproses pejabat publik lainnya di luar kasus BI,KPK juga harus menempuh prosedur izin pemeriksaan.Pertanyaannya kemudian, lantas apa bedanya KPK dengan kejaksaan dan kepolisian jika prosedur khusus itu juga perlu diterapkan?

Kedua,secara sosiologis,prosedur khusus izin pemeriksaan dalam memproses hukum pejabat publik telah menghambat pemberantasan korupsi. Bahkan,dalam level tertentu,izin pemeriksaan telah membuat proses hukum terhadap pejabat publik berhenti sama sekali.Kejaksaan dan kepolisian adalah dua institusi penegak hukum yang kerap menghadapi kendala ketika berhadapan dengan prosedur khusus ini. Pasalnya,baik kejaksaan dan kepolisian tidak memiliki wewenang untuk memotong prosedur khusus sebagaimana KPK.Karena itu,dalam melakukan pemeriksaan terhadap pejabat publik,mulus tidaknya proses hukum yang dilakukan sedikit banyak tergantung dari ada atau tidaknya izin pemeriksaan.Menjadi lebih rumit karena prosedur khusus itu didesain bertingkat.Izin pemeriksaan sebagai saksi dibedakan dengan yang dilakukan bagi tersangka.

Dengan demikian, tatkala status hukum seorang pejabat publik berubah dari saksi menjadi tersangka, kejaksaan dan kepolisian harus mengajukan kembali permohonan izin pemeriksaan.KPK sendiri kadang perlu turun tangan untuk mendesak presiden mengeluarkan izin pemeriksaan bagi pejabat publik yang tengah diperiksa oleh kejaksaan dan kepolisian. Ketiga,prosedur khusus izin pemeriksaan sebenarnya telah melanggar UUD 45,khususnya Pasal 27 ayat 1, Pasal 28 D ayat 1,dan Pasal 28 I ayat 2. Persamaan di depan hukum sebagai landasan dasar dihapuskannya diskriminasi perlakuan oleh negara menjadi mentah karena prosedur khusus tersebut.

Pejabat publik seakan-akan sulit dijangkau oleh hukum karena memiliki ’’kekebalan’’. Dalam satu kasus korupsi yang sama, pemidanaan terhadap pelakunya dapat sangat diskriminatif karena faktor prosedur khusus itu.Pelaku utamanya sering tidak dapat diproses karena persoalan prosedur izin, sedangkan pelaku lain yang kebetulan hanya membantu atau menjalankan perintah dengan mudah dapat dijerat hukum. Mengacu pada beberapa penjelasan di atas,sudah sepatutnya prosedur khusus yang terkandung dalam berbagai peraturan perundang-undangan dihapuskan. Ke depan, posisi setiap warga negara baik pejabat publik atau bukan harus setara di mata hukum. Feodalisme hukum dalam bentuk keistimewaan bagi pejabat publik harus diakhiri untuk menghapuskan diskriminasi hukum itu sendiri.(*)

Oleh: Adnan Topan Husodo
Disadur dari harian Seputar Indonesia, Rabu, 27 Februari 2008)

Thursday, February 21, 2008

Memangkas Birokrasi Penegakan Hukum

Isu perizinan dalam penanganan perkara pidana kembali muncul ketika tersangka kasus BI, Burhanuddin Abdullah--yang juga Gubernur Bank Indonesia--mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hal yang digugat tak lain adalah sengketa materi undang-undang berkenaan dengan kewajiban adanya izin dari presiden bagi dewan gubernur yang akan diperiksa dalam kaitannya dengan suatu tindak pidana. Pasal 49 Undang-Undang BI Nomor 23 Tahun 2004 menyebutkan: "Dalam hal anggota Dewan Gubernur patut diduga telah melakukan tindak pidana, pemanggilan, permintaan keterangan, dan penyidikan harus terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Presiden."

Dalam kacamata Burhanuddin dan tim pengacara BI, aturan demikian seharusnya dipatuhi oleh KPK. Sehingga dalam melakukan pemeriksaan terhadap Dewan Gubernur BI, KPK semestinya menempuh prosedur dengan terlebih dulu meminta izin kepada presiden. Hal demikian dalam konteks penanganan kasus BI tidak dilakukan KPK. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa KPK dalam pandangan penggugat telah melanggar hukum beracara yang mana dapat membawa implikasi pada tidak sahnya proses hukum yang selama ini telah berjalan.

Pada sisi yang lain, KPK memiliki dalih legalnya sendiri untuk menerabas atau mengatasi peraturan perundang-undangan yang mewajibkan adanya prosedur izin pemeriksaan. UU KPK Nomor 30 Tahun 2002 Pasal 46 menyebutkan: "KPK tidak terikat pada prosedur khusus dalam rangka pemeriksaan tersangka dalam peraturan perundang-undangan lain, termasuk surat izin dari Presiden." Menilik pada pasal ini, sebenarnya sudah dapat disimpulkan bahwa Pasal 49 UU BI seharusnya tunduk pada Pasal 46 UU KPK. Terkecuali bagi kepolisian atau kejaksaan yang memang tidak memiliki kewenangan untuk dapat memotong kompas aturan birokrasi perizinan.

Debat mengenai mana yang lex specialist dalam sengketa UU BI dan UU KPK--karena masing-masing secara substantif mengandung kontradiksi--seharusnya dapat diakhiri dengan meletakkan kepentingan pemberantasan korupsi sebagai dasar berpijak. Perlu dipahami bahwa KPK merupakan lembaga penegakan hukum yang didesain memiliki kewenangan luar biasa (extraordinary), sehingga tidak memerlukan prosedur perizinan dalam penanganan perkara korupsi.

Tidak dalam kasus BI saja KPK melakukan pemeriksaan terhadap pejabat negara tanpa memerlukan izin dari presiden. Dalam kasus-kasus korupsi lainnya yang ditangani KPK, izin pemeriksaan juga tidak diperlukan. Padahal aturan mengenai izin pemeriksaan tidak hanya ada di UU BI, tapi juga diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemda dan UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan DPR, MPR, DPD, dan DPRD. Jika KPK tunduk pada undang-undang lainnya, ketika KPK akan melakukan pemeriksaan terhadap bupati, wali kota, DPRD, ataupun anggota DPR, izin pemeriksaan seharusnya juga ditempuh.

Yang perlu dipahami, terbitnya Pasal 46 UU KPK merupakan refleksi dari persoalan tersendat-sendatnya penanganan perkara pidana oleh kejaksaan dan kepolisian akibat munculnya aturan yang mewajibkan dipenuhinya prosedur izin pemeriksaan tatkala hendak melakukan pemeriksaan terhadap pejabat negara.

Di samping menyebabkan proses hukum menjadi tersendat-sendat, adanya izin pemeriksaan bagi pejabat publik yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan juga telah menyulut berbagai upaya untuk melacak asal-muasal terbitnya peraturan itu. Paling tidak apa yang selama ini dianggap sebagai aturan formal yang harus ditaati mulai dipertanyakan otentisitasnya, karena dalam prakteknya telah menimbulkan hambatan bagi penanganan tindak pidana yang lebih efektif dan efisien.

Sayangnya, dari berbagai dokumen dan notulensi pembahasan peraturan perundang-undangan, khususnya pada pasal-pasal yang mengatur soal izin pemeriksaan, tidak ditemukan basis argumentasi yang cukup diterima bagi hadirnya aturan yang cenderung memberikan "kekebalan hukum" bagi pejabat publik. Pasal tersebut ketika ada sejak pertama kalinya dalam draf perundang-undangan memang sepi dari perdebatan. Posisi yang diuntungkan dari hadirnya aturan tersebut membuat kewajiban izin pemeriksaan tidak pernah ditolak sama sekali oleh pemerintah ataupun DPR.

Alih-alih memeras pikiran mana yang lebih sahih, apakah UU BI atau UU KPK, seharusnya majelis hakim MK sudah lebih jauh memikirkan bahwa pasal mengenai izin pemeriksaan telah melanggar UUD 1945. Tidak tanggung-tanggung, tiga pasal dalam UUD 45, yakni pasal 27 ayat 1, pasal 28-D ayat 1, dan pasal 28 I ayat 2, telah dikangkangi oleh UU yang di dalamnya mengatur soal kewajiban izin pemeriksaan.

Pasal 27 ayat 1 UUD 45 menyebutkan, "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya." Kemudian pasal 28-D ayat 1 berbunyi, "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum." Terakhir pasal 28 I ayat 2 mengatakan: "Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu."

Dari pasal-pasal tersebut, jelas bahwa aturan mengenai izin pemeriksaan telah mendorong lahirnya diskriminasi hukum yang dilakukan negara. Dalam kasus di mana telah terjadi tindak pidana yang dilakukan oleh bukan pejabat negara, proses hukum dapat dilakukan secara cepat. Tapi, jika sudah berhadapan dengan pejabat negara, proses hukum menjadi berlarut-larut.

Proses hukum bagi pejabat publik menjadi lebih lama karena aturan mengenai izin pemeriksaan juga dibuat berlapis. Antara izin untuk melakukan pemeriksaan sebagai saksi dan izin untuk memeriksa sebagai tersangka diajukan secara terpisah. Walhasil, untuk melakukan pemeriksaan awal terhadap pejabat negara, dibutuhkan waktu yang relatif lama. Bahkan jika izin dari otoritas terkait tidak jua keluar, dapat dipastikan proses hukum tidak dapat dilakukan.

Dalam beberapa kasus, tiadanya izin pemeriksaan juga dapat membuka celah kolusi antara aparat penegak hukum dan pejabat publik. Dengan alasan tidak keluarnya izin pemeriksaan, pejabat publik dapat melenggang kangkung tanpa khawatir dijamah. Padahal sangat mungkin pihak kejaksaan atau kepolisian memang tidak pernah mengajukan izin sama sekali. Pada akhirnya, proses hukum hanya dapat menjerat pelaku yang kebetulan tidak memiliki posisi sebagai pejabat negara.

KPK sendiri dalam beberapa kesempatan harus turun tangan membantu kejaksaan dan kepolisian untuk mendesak presiden supaya izin pemeriksaan segera dikeluarkan. Tidak tanggung-tanggung, pada Agustus 2006 saja KPK meminta presiden mengeluarkan 34 izin pemeriksaan terhadap berbagai pejabat negara yang akan diperiksa oleh kejaksaan dan kepolisian.

Dengan demikian, persoalan sengketa kewenangan dalam UU KPK dan UU BI yang diajukan oleh Burhanuddin seharusnya dijadikan momentum bagi majelis hakim MK untuk menghapus semua peraturan perundang-undangan yang mengatur soal izin pemeriksaan. Jika kita ingin agar proses hukum terhadap para pejabat negara berlangsung cepat dan diskriminasi hukum tidak terjadi, maka ultra petita dari majelis hakim MK sangat diharapkan lahir untuk menghapuskan hambatan penegakan hukum di Indonesia.

Adnan Topan Husodo
(Tulisan disalin dari Koran Tempo, Jumat, 22 Februari 2008)

Monday, February 18, 2008

Tuntutan Transparansi dalam Penanganan Kasus Dana BI

Penetapan tiga tersangka, yakni Burhanudin Abdullah (Gubernur Bank Indonesia/BI), Rusli Simandjuntak (Kepala Biro Gubernur BI) dan Oey Hoey Tiong (Direktur Hukum BI) dalam kasus dugaan korupsi dana BI merupakan langkah maju yang telah diambil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sikap ini tergolong berani, mengingat sosok Burhanudin terutama ketika ditetapkan sebagai tersangka masih aktif sebagai Gubernur BI.

Riwayat pemberantasan korupsi di Indonesia sebelumnya tidak pernah menyajikan realitas seperti sekarang ini. Pada periode sebelumnya, aktif-tidaknya seseorang sebagai pejabat negara akan menentukan jalannya proses hukum.

Roesdihardjo, mantan Duta Besar Indonesia untuk Malaysia baru ditangani secara cepat oleh pimpinan KPK periode sebelumnya setelah dirinya tidak lagi menjabat posisi duta besar. Bahkan penetapan statusnya sebagai tersangka disembunyikan sekian lama. Kontan hal ini memicu kritik tajam dari masyarakat luas.

Pendek kata, cara-cara demikian tidak populer di mata banyak orang karena kentalnya aroma tebang pilih. Oleh karenanya, penetapan tersangka -terlepas dari jabatan yang melekat padanya- perlu didukung oleh semua kalangan, dengan tetap menjaga kewaspadaan terhadap kemungkinan adanya agenda tersembunyi dalam proses hukum kasus BI.

Mengingat sedari dulu, kita telah menuntut supaya KPK benar-benar menunjukan tajinya, terutama ketika berhadapan dengan para pejabat yang memiliki kekuasaan besar. Harapannya, kasus BI akan menjadi titik awal bagi KPK untuk semakin tegas terhadap praktik korupsi yang melibatkan pejabat tinggi negara.

Agenda Politik

Ihwal agenda politik dalam penetapan tersangka kasus BI oleh KPK memang sulit untuk dielakkan. Sinyalemen demikian muncul karena dimulainya tahap penyidikan dugaan korupsi BI berdekatan waktunya dengan agenda pengajuan calon Gubernur BI yang baru ke DPR oleh Presiden.

Ditambah lagi, penetapan tersangka oleh KPK hanya mengarah kepada tiga orang saja, tidak atau belum menjangkau semua nama pejabat, baik yang ada di BI maupun DPR, sebagaimana ditunjukkan oleh bukti-bukti awal yang ada. Politisasi terhadap penegakan hukum kasus korupsi memang telah menjadi isu yang terus-menerus bergulir. Maka dari itu, pimpinan KPK periode sebelumnya memilih untuk menunda proses hukum yang dapat memicu tuduhan adanya pemelintiran terhadap agenda pemberantasan korupsi.

Setidaknya setelah momen politik, seperti pilkada, pemilu, atau pemilihan pejabat publik lainnya usai, proses hukum akan dengan sendirinya dianggap netral. Sebenarnya situasi seperti ini telah menciptakan dilema tersendiri. Jika tidak memberikan bukti cepat kepada masyarakat tentu akan lahir anggapan bahwa KPK telah mengendapkan kasus. Akan tetapi dengan proses hukum yang berjalan, ada sandungan lain yang dihadapi, yakni tudingan bahwa politisasi telah terjadi.

Tiga Langkah

Supaya kondisi yang dilematis ini dapat diselesaikan, sekaligus meredam kecurigaan publik atas skenario di balik penetapan tersangka kasus BI, KPK memerlukan langkah-langkah lanjutan sekaligus respons yang tepat.

Pertama, KPK harus bisa meyakinkan kepada publik bahwa penetapan tersangka kasus BI bukan sesuatu yang disengaja dalam konteks pemilihan Gubernur BI. Akan tetapi merupakan sebuah proses yang tahap penyidikannya kebetulan hampir berdekatan dengan agenda pemilihan Gubernur BI yang baru.

Oleh karenanya, di sini KPK perlu secara transparan menjelaskan, alasan ketiga orang tersebut ditetapkan sebagai tersangka. Tentunya kita percaya, dalam penetapan tersangka, KPK tidak sembrono melakukannya.

KPK mestinya telah memiliki bukti-bukti yang cukup sehingga proses hukum harus diteruskan ke tahap yang lebih maju. Hal ini mengingat dalam tahap penyidikan, KPK tidak bisa menghentikan perkara, selayaknya di Kepolisian atau Kejaksaan. Istilah SP3 tidak dikenal dalam kamus hukum KPK.

Wacana yang berkembang jelas mencurigai bahwa penetapan Gubernur BI seorang diri, di luar Dewan Gubernur BI lainnya yang ikut menyetujui pengucuran dana Rp 100 miliar dari YPPI bertujuan mengganjal terpilihnya kembali Burhanudin sebagai Gubernur BI untuk masa jabatan kedua.

Maka dari itu, KPK harus bisa menerangkan dengan sejelas-jelasnya kepada publik, bahwa posisi Gubernur BI, dalam kaitannya dengan penyimpangan dana YPPI bukanlah kekeliruan individual, akan tetapi sebuah kemufakatan dengan pejabat BI yang lain.

Kedua, penetapan tiga tersangka kasus BI haruslah diikuti dengan penetapan tersangka lainnya yang secara formil dan materiil terlibat dalam kasus ini. Dari berbagai dokumen rujukan yang digunakan untuk bukti awal penyelidikan, beberapa nama dari lapisan kalangan yang berbeda, baik dari BI, legislatif, pengacara, dan Kejaksaan, muncul atau disebut-sebut telah menerima dana haram tersebut.

Dari internal BI sendiri, tidak hanya Gubernur BI yang menyetujui penggunaan dana YPPI untuk berbagai keperluan yang diindikasikan sebagai tindak pidana korupsi, akan tetapi menyeret para anggota Dewan Gubernur BI yang lain.

Secara hukum, bubuhan tanda tangan sebagai bentuk persetujuan atas kebijakan yang menyimpang tersebut seharusnya dapat dijerat dengan hukum yang sama. Hal ini mengingat adanya tanggung jawab dan otoritas yang melekat pada pejabat BI itu sendiri.

Ketiga, mengingat kasus BI ini diduga kuat terkait persoalan suap, maka KPK juga harus dapat menyeret pihak lain yang telah menerima dana dari BI secara tidak sah. Dalam hal ini, yang terutama adalah anggota dan mantan anggota DPR. Ironi kasus DKP yang menjadikan Rokhmin Dahuri sebagai terpidana seharusnya tidak boleh terulang dalam kasus BI.

Kita tentunya masih ingat bagaimana KPK menghentikan semua proses hukum yang terkait dengan sumbangan ilegal DKP ke berbagai pihak, termasuk ke anggota DPR.

Hingga akhir penyelesaian kasus, dan Rokhmin telah divonis oleh Pengadilan Tipikor, tidak ada satu orang pun yang menerima dana DKP diproses oleh KPK. Kasus itu pula yang kian menguatkan persepsi publik bahwa KPK telah melakukan praktik tebang pilih.

Mengingat harapan masyarakat atas penuntasan kasus BI begitu tinggi, maka pimpinan KPK seharusnya merespons hal tersebut dengan memberikan hasil kerja yang memuaskan.

Nilai strategis dari kasus BI juga semestinya menjadi pemicu bagi KPK untuk melangkah lebih jauh, dengan menyeret semua pelaku yang terlibat dalam kasus BI. Karena dengan itu sajalah, KPK dapat dianggap telah melakukan pemberantasan korupsi tanpa pilih bulu. Kita sangat berharap, kasus ini justru tidak menyeret KPK ke kancah pertikaian politik dan perebutan kekuasaan belaka.

Adnan Topan Husodo
Penulis adalah Anggota Badan Pekerja ICW
(Disalin dari Suarapembaruan, Minggu, 17 Februari 2008)