Tuesday, December 19, 2006

Pemberantasan Korupsi dan Pertumbuhan Ekonomi

Jika memahami strategi dan konsep pemberantasan korupsi secara utuh, kita tentu tidak perlu mendengar ada seorang pejabat tinggi di negeri ini yang mengatakan bahwa pemberantasan korupsi tidak boleh menggangu pertumbuhan ekonomi. Apalagi jika pernyataan itu diarahkan kepada institusi negara yang secara konstitusional berwenang menindak pelaku korupsi dan memiliki posisi independen dalam memberantas korupsi. Terlebih-lebih jika ucapan itu muncul sebagai tanggapan atas upaya pemberantasan korupsi yang tengah gencar dilakukan.

Memberantas korupsi pastinya membutuhkan strategi, sekaligus pilihan-pilihan yang mengedepankan prioritas. Keduanya barangkali dapat tak seiring, namun tidak bertolak belakang. Strategi diletakkan pada wilayah suprastruktur yang membentuk mekanisme kerja, prosedur, sarana, tata aturan dan target dengan bercermin pada basis material persoalan. Sementara pilihan-pilihan terpatri pada kompleksitas persoalan yang harus diselesaikan, dihadapkan pada tingkat kemampuan untuk dapat membereskannya.

Jika keduanya tak tampak, yang terkesan adalah pemberantasan korupsi yang membabi-buta dan tanpa visi. Seakan-akan berusaha keras memberantas korupsi, akan tetapi yang muncul hanyalah kekecewaan. Analoginya mau berperang melawan musuh, akan tetapi tidak tahu alat apa yang mau dipakai dan jenis musuh seperti apa yang akan dihadapi. Jadilah seperti buldoser yang tanpa kendali, menabrak kesana sini dengan ongkos kerusakan yang sangat besar.

Tiadanya visi dalam memberantas korupsi juga dapat melahirkan anarkhi dalam tataran verbal yang sayangnya sulit sekali dipertanggungjawabkan kebenarannya. Lenyapnya unsur ilmiah dalam pernyataan, apalagi sebuah argumentasi kuat untuk dapat dipertahankan menjadikan pernyataan seperti angin ribut yang hanya membuat ricuh situasi. Tentu tidaklah baik jika hanya karena seorang pejabat negara, semua kata bisa disampaikan, tanpa mempertimbangkan kebenaran dari kata-kata itu sendiri.

Berbagai kajian dan referensi mengenai pemberantasan korupsi menunjukan adanya korelasi positif antara pemberantasan korupsi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Justru sebaliknya, tingkat korupsi yang parah, khususnya di sektor investasi publik akan mengganggu pertumbuhan ekonomi (Vito Tanzi & Hamid Davoodi, 1998), (Hadi Hussain, 1999).

Tumbangnya pondasi ekonomi Indonesia pada era 97-98 salah satunya justru disebabkan oleh korupsi. Tak hanya Indonesia, Korea Selatan juga mewakili sebuah keadaan korup yang melahirkan krisis ekonomi. Seperti kata Dr. Kim Myoung Soo, Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Hankuk, Seoul dalam sebuah seminar internasional yang disponsori The Asia Foundation bertema “Challenges to Economic Growth and Governance”. Ia menegaskan bahwa kolusi antara politisi dengan kalangan bisnis di Korea Selatan sangat merusak dan menjadi faktor utama penyebab krisis ekonomi.

Jikapun pertumbuhan ekonomi tetap dapat dilecut dalam struktur ekonomi-politik yang korup, daya tahan untuk menjaganya akan sampai pada titik kejatuhan. Dan meskipun korupsi sendiri masih dianggap fungsional untuk melicinkan arus kapital, kerusakan pada tingkat sistem yang sehat perlahan-lahan akan terkuak. Oleh karena itu, semakin lama struktur ekonomi-politik yang korup menopang pertumbuhan ekonomi, akan semakin sulit pembenahan sistemik dilakukan. Indonesia adalah contoh yang paling baik untuk menjelaskan semuanya.

Faktanya rente ekonomi, mata rantai birokrasi yang panjang, penyuapan dan absennya kepastian hukum dalam aktivitas usaha telah menciptakan ekonomi biaya tinggi. Hal ini dianggap sudah mengganggu aktivitas ekonomi, yang dapat kita peroleh kajiannya dari survey TI, PERC maupun Bank Dunia tiap tahunnya. Ekonomi biaya tinggi tidak hanya sekedar menutup kesempatan bagi ekonomi untuk lebih berkembang, akan tetapi telah merusak struktur pendapatan buruh/pekerja. Dalam industri padat karya misalnya, ekonomi biaya tinggi yang dilahirkan dari sistem birokrasi yang korup telah mendesak pendapatan pekerja pada tingkat yang semakin rendah. Kalkulasi untung-rugi para pemodal akan mendorong praktek substitusi untuk menukar ongkos penyuapan dan pengeluaran tak resmi dengan memangkas pendapatan buruh.

Dengan demikian, strategi pemberantasan korupsi harus dikaitkan dan menjadi bagian tak terpisahkan dari perbaikan sistemik di sektor ekonomi. Pendek kata, untuk menghela pertumbuhan ekonomi ke arah yang positif, pemberantasan korupsi harus digalakkan. Memang pada awalnya akan ada kejutan-kejutan mengingat sudah berkaratnya sistem korup yang melekat pada keseharian aktivitas ekonomi kita, baik di sektor publik maupun privat.

Akan tetapi hal itu merupakan sebuah periode transisi dari keadaan yang mapan ke situasi baru yang tidak menguntungkan lagi bagi kelompok-kelompok mapan. Yang terakhir ini biasanya akan selalu berusaha mengganjal agenda pemberantasan korupsi dengan segala dalih, termasuk di dalamnya menciptakan kesan bahwa pemberantasan korupsi mengalami anomali karena dianggap telah mengancam perbaikan di sektor ekonomi.

Oleh karena itu, masalah stagnasi dalam penyerapan anggaran negara untuk belanja publik karena rasa was-was dan takut diperiksa oleh aparat penegak hukum merupakan hal biasa dalam situasi menuju perubahan. Kebiasaan buruk pejabat publik dengan melanggar prosedur, mekanisme dan peraturan dalam membelanjakan anggaran negara karena dianggap bukan sebuah kekeliruan kini dihadapkan pada upaya paksa untuk mematuhi. Kebiasaan dalam melakukan kesalahan membuat pelaksanaan atas kebijakan yang sesuai dengan aturan menjadi sulit diimplementasikan. Yang terjadi kemudian adalah rasa takut untuk melakukan sesuatu karena dapat dianggap melanggar peraturan atau merugikan keuangan negara.


Sialnya, proses hukum juga nyatanya tidak steril dari praktek korupsi. Para pejabat publik yang terindikasi melakukan korupsi tidak luput dari sasaran pemerasan oleh aparat penegak hukum. Sasaran tembakpun biasanya hanya mengarah pada bagian operator atau pelaksana proyek belaka. Padahal dalam sistem politik yang memberikan kekuasaan besar bagi Kepala Daerah untuk merumuskan kebijakan dan implementasi anggaran, pimpinan proyek pengadaan barang/jasa hanyalah kepanjangan tangan penguasa lokal.

Posisi dilematis ini karena dua hal. Pertama, amat beresiko bagi aparat pemerintah daerah yang dijadikan sebagai panitia pengadaan barang/jasa untuk menolak perintah, baik secara lisan maupun tertulis Kepala Daerah untuk melakukan sesuatu yang bertolak belakang dengan prosedur yang berlaku (baca: korupsi). Pemecatan, penurunan golongan dan tidak pernah dipromosikan ke jabatan lebih tinggi adalah konsekuensi yang harus diterima jika perintah dari atasan tidak dilaksanakan. Pendek kata, panitia pengadaan barang dan jasa merupakan pihak yang rentan dengan intervensi, baik dari lingkungan internal maupun eksternal. Di sisi lain, mekanisme insentif dari Pemerintah yang diberikan bagi pejabat publik yang melakukan pengadaan barang/jasa secara benar tidak pernah dibuat.

Kedua, ketika pelanggaran atas pengadaan barang/jasa dibongkar, sebagian besar yang terjerat oleh hukum adalah panitia pengadaan barang/jasa belaka. Sementara pejabat publik yang membuat skenario korupsi kerap tidak tersentuh hukum. Ibaratnya, para pejabat pelaksana di tingkat panitia pengadaan barang/jasa sedikit mendapat untung, tapi ketika kasus penyelewengan itu terbongkar, mereka yang pertama kali harus berhadapan dengan hukum. Tentu semua orang tidak mau mengalami nasib seperti itu. Tak heran jika banyak diantara mereka menolak untuk melakukan pengadaan barang/jaa. Alasan-asalan ini kian menegaskan bahwa tidak ada sangkut paut yang signifikan antara pemberantasan korupsi dengan gangguan di sektor ekonomi. Justru sebaliknya, pemberantasan korupsi akan sangat membantu pertumbuhan di sektor ekonomi.

*********