Tuesday, December 19, 2006

Pemberantasan Korupsi dan Pertumbuhan Ekonomi

Jika memahami strategi dan konsep pemberantasan korupsi secara utuh, kita tentu tidak perlu mendengar ada seorang pejabat tinggi di negeri ini yang mengatakan bahwa pemberantasan korupsi tidak boleh menggangu pertumbuhan ekonomi. Apalagi jika pernyataan itu diarahkan kepada institusi negara yang secara konstitusional berwenang menindak pelaku korupsi dan memiliki posisi independen dalam memberantas korupsi. Terlebih-lebih jika ucapan itu muncul sebagai tanggapan atas upaya pemberantasan korupsi yang tengah gencar dilakukan.

Memberantas korupsi pastinya membutuhkan strategi, sekaligus pilihan-pilihan yang mengedepankan prioritas. Keduanya barangkali dapat tak seiring, namun tidak bertolak belakang. Strategi diletakkan pada wilayah suprastruktur yang membentuk mekanisme kerja, prosedur, sarana, tata aturan dan target dengan bercermin pada basis material persoalan. Sementara pilihan-pilihan terpatri pada kompleksitas persoalan yang harus diselesaikan, dihadapkan pada tingkat kemampuan untuk dapat membereskannya.

Jika keduanya tak tampak, yang terkesan adalah pemberantasan korupsi yang membabi-buta dan tanpa visi. Seakan-akan berusaha keras memberantas korupsi, akan tetapi yang muncul hanyalah kekecewaan. Analoginya mau berperang melawan musuh, akan tetapi tidak tahu alat apa yang mau dipakai dan jenis musuh seperti apa yang akan dihadapi. Jadilah seperti buldoser yang tanpa kendali, menabrak kesana sini dengan ongkos kerusakan yang sangat besar.

Tiadanya visi dalam memberantas korupsi juga dapat melahirkan anarkhi dalam tataran verbal yang sayangnya sulit sekali dipertanggungjawabkan kebenarannya. Lenyapnya unsur ilmiah dalam pernyataan, apalagi sebuah argumentasi kuat untuk dapat dipertahankan menjadikan pernyataan seperti angin ribut yang hanya membuat ricuh situasi. Tentu tidaklah baik jika hanya karena seorang pejabat negara, semua kata bisa disampaikan, tanpa mempertimbangkan kebenaran dari kata-kata itu sendiri.

Berbagai kajian dan referensi mengenai pemberantasan korupsi menunjukan adanya korelasi positif antara pemberantasan korupsi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Justru sebaliknya, tingkat korupsi yang parah, khususnya di sektor investasi publik akan mengganggu pertumbuhan ekonomi (Vito Tanzi & Hamid Davoodi, 1998), (Hadi Hussain, 1999).

Tumbangnya pondasi ekonomi Indonesia pada era 97-98 salah satunya justru disebabkan oleh korupsi. Tak hanya Indonesia, Korea Selatan juga mewakili sebuah keadaan korup yang melahirkan krisis ekonomi. Seperti kata Dr. Kim Myoung Soo, Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Hankuk, Seoul dalam sebuah seminar internasional yang disponsori The Asia Foundation bertema “Challenges to Economic Growth and Governance”. Ia menegaskan bahwa kolusi antara politisi dengan kalangan bisnis di Korea Selatan sangat merusak dan menjadi faktor utama penyebab krisis ekonomi.

Jikapun pertumbuhan ekonomi tetap dapat dilecut dalam struktur ekonomi-politik yang korup, daya tahan untuk menjaganya akan sampai pada titik kejatuhan. Dan meskipun korupsi sendiri masih dianggap fungsional untuk melicinkan arus kapital, kerusakan pada tingkat sistem yang sehat perlahan-lahan akan terkuak. Oleh karena itu, semakin lama struktur ekonomi-politik yang korup menopang pertumbuhan ekonomi, akan semakin sulit pembenahan sistemik dilakukan. Indonesia adalah contoh yang paling baik untuk menjelaskan semuanya.

Faktanya rente ekonomi, mata rantai birokrasi yang panjang, penyuapan dan absennya kepastian hukum dalam aktivitas usaha telah menciptakan ekonomi biaya tinggi. Hal ini dianggap sudah mengganggu aktivitas ekonomi, yang dapat kita peroleh kajiannya dari survey TI, PERC maupun Bank Dunia tiap tahunnya. Ekonomi biaya tinggi tidak hanya sekedar menutup kesempatan bagi ekonomi untuk lebih berkembang, akan tetapi telah merusak struktur pendapatan buruh/pekerja. Dalam industri padat karya misalnya, ekonomi biaya tinggi yang dilahirkan dari sistem birokrasi yang korup telah mendesak pendapatan pekerja pada tingkat yang semakin rendah. Kalkulasi untung-rugi para pemodal akan mendorong praktek substitusi untuk menukar ongkos penyuapan dan pengeluaran tak resmi dengan memangkas pendapatan buruh.

Dengan demikian, strategi pemberantasan korupsi harus dikaitkan dan menjadi bagian tak terpisahkan dari perbaikan sistemik di sektor ekonomi. Pendek kata, untuk menghela pertumbuhan ekonomi ke arah yang positif, pemberantasan korupsi harus digalakkan. Memang pada awalnya akan ada kejutan-kejutan mengingat sudah berkaratnya sistem korup yang melekat pada keseharian aktivitas ekonomi kita, baik di sektor publik maupun privat.

Akan tetapi hal itu merupakan sebuah periode transisi dari keadaan yang mapan ke situasi baru yang tidak menguntungkan lagi bagi kelompok-kelompok mapan. Yang terakhir ini biasanya akan selalu berusaha mengganjal agenda pemberantasan korupsi dengan segala dalih, termasuk di dalamnya menciptakan kesan bahwa pemberantasan korupsi mengalami anomali karena dianggap telah mengancam perbaikan di sektor ekonomi.

Oleh karena itu, masalah stagnasi dalam penyerapan anggaran negara untuk belanja publik karena rasa was-was dan takut diperiksa oleh aparat penegak hukum merupakan hal biasa dalam situasi menuju perubahan. Kebiasaan buruk pejabat publik dengan melanggar prosedur, mekanisme dan peraturan dalam membelanjakan anggaran negara karena dianggap bukan sebuah kekeliruan kini dihadapkan pada upaya paksa untuk mematuhi. Kebiasaan dalam melakukan kesalahan membuat pelaksanaan atas kebijakan yang sesuai dengan aturan menjadi sulit diimplementasikan. Yang terjadi kemudian adalah rasa takut untuk melakukan sesuatu karena dapat dianggap melanggar peraturan atau merugikan keuangan negara.


Sialnya, proses hukum juga nyatanya tidak steril dari praktek korupsi. Para pejabat publik yang terindikasi melakukan korupsi tidak luput dari sasaran pemerasan oleh aparat penegak hukum. Sasaran tembakpun biasanya hanya mengarah pada bagian operator atau pelaksana proyek belaka. Padahal dalam sistem politik yang memberikan kekuasaan besar bagi Kepala Daerah untuk merumuskan kebijakan dan implementasi anggaran, pimpinan proyek pengadaan barang/jasa hanyalah kepanjangan tangan penguasa lokal.

Posisi dilematis ini karena dua hal. Pertama, amat beresiko bagi aparat pemerintah daerah yang dijadikan sebagai panitia pengadaan barang/jasa untuk menolak perintah, baik secara lisan maupun tertulis Kepala Daerah untuk melakukan sesuatu yang bertolak belakang dengan prosedur yang berlaku (baca: korupsi). Pemecatan, penurunan golongan dan tidak pernah dipromosikan ke jabatan lebih tinggi adalah konsekuensi yang harus diterima jika perintah dari atasan tidak dilaksanakan. Pendek kata, panitia pengadaan barang dan jasa merupakan pihak yang rentan dengan intervensi, baik dari lingkungan internal maupun eksternal. Di sisi lain, mekanisme insentif dari Pemerintah yang diberikan bagi pejabat publik yang melakukan pengadaan barang/jasa secara benar tidak pernah dibuat.

Kedua, ketika pelanggaran atas pengadaan barang/jasa dibongkar, sebagian besar yang terjerat oleh hukum adalah panitia pengadaan barang/jasa belaka. Sementara pejabat publik yang membuat skenario korupsi kerap tidak tersentuh hukum. Ibaratnya, para pejabat pelaksana di tingkat panitia pengadaan barang/jasa sedikit mendapat untung, tapi ketika kasus penyelewengan itu terbongkar, mereka yang pertama kali harus berhadapan dengan hukum. Tentu semua orang tidak mau mengalami nasib seperti itu. Tak heran jika banyak diantara mereka menolak untuk melakukan pengadaan barang/jaa. Alasan-asalan ini kian menegaskan bahwa tidak ada sangkut paut yang signifikan antara pemberantasan korupsi dengan gangguan di sektor ekonomi. Justru sebaliknya, pemberantasan korupsi akan sangat membantu pertumbuhan di sektor ekonomi.

*********

Sunday, October 29, 2006

Melawan Pemberantasan Korupsi

Dalam situasi dimana praktek korupsi yang telah menggurita mulai diberantas, hambatan dan tantangan untuk melakukannya tidak kecil. Meskipun usaha-usaha serius mulai dibangun, namun berbagai pihak yang tidak diuntungkan oleh situasi baru akan melawan. Perlawanan itu tidak sekedar menggunakan satu pendekatan, akan tetapi berbagai cara dilakukan untuk meredam gerakan pemberantasan korupsi.

Apalagi jika kemudian, dukungan politik untuk memberantas korupsi ternyata tidak terlalu besar. Paling kurang dukungan politik dari tiga pilar pemerintahan, yakni eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Ketiga sektor ini memiliki pengaruh yang sangat signifikan atas keberhasilan atau kegagalan dalam memberantas korupsi.

Pada mulanya, kesulitan terbesar dalam memberantas korupsi adalah minimnya perangkat hukum beserta struktur penegakannya yang sudah demikian hancur. Berbagai peraturan yang telah ada tidak banyak membantu, alih-alih justru menyulitkan agenda pemberantasan korupsi.

Demikian halnya dengan aparatur penegak hukum yang tidak cakap. Barangkali ketidakcakapan itu sebagian besarnya lahir karena mentalitas yang buruk. Hampir tidak ada cermin yang memantulkan integritas dan akuntabilitas atas kerja-kerja aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi. Yang lebih mengerikan, upaya-upaya penegakan hukum justru digembosi oleh mereka sendiri.

Tak heran jika upaya untuk melibatkan masyarakat dalam memberantas korupsi pun tidak mudah dilakukan. Meskipun hal ini merupakan unsur penting bagi upaya untuk menciptakan mekanisme kontrol yang efektif, ditengah kondisi nyata bahwa kontrol antar dan intra lembaga negara juga tak luput dari kerusakan yang mengenaskan.

Namun tingginya sikap apatisme masyarakat terhadap kinerja aparat penegak hukum adalah hambatan tersendiri bagi pelibatan yang lebih besar dalam pemberantasan korupsi. Mengingat di banyak negara, pembelajaran utama yang bisa dipetik dari usaha memberantas korupsi yang berhasil adalah hadirnya partisipasi masyarakat didalamnya.

Mengaitkan ketiga hal tersebut dalam agenda pemberantasan korupsi yang sistematis bukanlah pekerjaan yang mudah. Prioritas perlu dibuat, akan tetapi pada saat yang bersamaan masyarakat membutuhkan hasil nyata yang cepat. Hal ini penting untuk membangkitkan kepercayaan mereka atas usaha serius pemerintah dalam memberantas korupsi. Namun disisi lain usaha itu tersendat karena tiadanya kondisi yang mendukung pemberantasan korupsi secara penuh. Meskipun berbagai peraturan baru dirancang, dan berbagai lembaga antikorupsi baru dibentuk, namun kehadiran mereka rentan dengan penggembosan.

Contoh yang paling faktual adalah pemangkasan fungsi kontrol Komisi Yudisial (KY) dan penghapusan pengertian perbuatan melawan hukum secara material dalam UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam dua sidang gugatan yang berbeda. Yang mengkhawatirkan, pemangkasan itu justru dilakukan oleh sebuah lembaga ekstra-yudisial yang memiliki keistimewaan mengingat putusan mereka yang bersifat final.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terbentuk beberapa tahun lalu juga tak luput dari upaya pembubaran, atau paling kurang pengkerdilan. Lembaga superbody yang perlahan-lahan menunjukan tajinya itu kerap digugat oleh para pihak yang sedang diproses KPK. Masyarakat Hukum Indonesia (MHI) adalah salah satu pihak yang telah mengajukan gugatan judicial review UU No 30 Tahun 2003 tentang KPK di Mahkamah Konstitusi. MHI menganggap UU tentang KPK telah melanggar UUD. Mengingat pasal-pasal yang krusial terkait dengan kewenangan KPK yang ingin dibatalkan melalui mekanisme judicial review, bisa dibilang langkah itu merupakan upaya untuk mengebiri KPK.

Yang cukup mengkhawatirkan, upaya-upaya perlawanan terhadap pemberantasan korupsi ini menggunakan jalur hukum sebagai pendekatan, melalui gugatan judicial review kepada MK. Persoalannya adalah, kecenderungan putusan yang dibuat oleh MK dalam mengkaji gugatan, terutama yang diajukan terhadap institusi superbody seperti KY dan KPK menunjukan kecenderungan negatif. Bisa jadi cara seperti ini akan selalu ditempuh oleh siapapun yang tidak diuntungkan oleh agenda pemberantasan korupsi untuk melakukan perlawanan, dengan bekal banyaknya celah peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar terbentuknya lembaga-lembaga antikorupsi baru.

DPR sebagai penyusun legislasi tidak bisa tidak merupakan pihak yang paling bertanggung-jawab atas munculnya banyak celah hukum. Bagaimanapun, hukum adalah produk politik. Semua rumusan mengenai peraturan yang melahirkan lembaga-lembaga antikorupsi baru seperti KY dan KPK dibawah kendali sepenuhnya DPR. Tak dapat dipungkiri, DPR merupakan lembaga yang rentan dengan intervensi kepentingan. Produk hukum mencerminkan sikap politik DPR terhadap situasi tertentu. Dalam konteks pemberantasan korupsi, agaknya dukungan politik dari DPR tidak terlalu menggembirakan. Banyaknya celah peraturan yang menaungi kehadiran lembaga antikorupsi baru menunjukan sebagian dari sikap itu. Belum lagi tiadanya keinginan untuk mengadopsi beberapa regulasi yang progresif untuk pemberantasan korupsi.

Yang terbaru, justru Panitia Kerja (Panja) Gabungan Komisi II dan Komisi II yang membawahi Pemerintahan Daerah dan penegakan hukum menyusun rekomendasi yang konyol. Sikap politik DPR yang meminta adanya rehabilitasi nama baik anggota DPRD yang didakwa korupsi jelas-jelas merupakan bentuk intervensi politik atas hukum. Usaha seperti ini tidak hanya akan menyurutkan langkah pemberantasan korupsi, lebih jauh dari itu merupakan jalan baru bagi politisi yang terlibat kasus korupsi untuk mendapatkan proteksi politik.

Gerakan untuk menggerus agenda pemberantasan korupsi nyatanya juga secara tidak langsung didukung institusi yudisial. Bebasnya DL Sitorus di Pengadilan Tinggi Jakarta -yang sebelumnya telah divonis 8 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat- menambah daftar pelaku korupsi yang dibebaskan. Dalam catatan ICW sepanjang tahun 2006 ini, terdapat 17 perkara korupsi yang pelakunya dibebaskan oleh pengadilan, baik di tingkat pertama maupun banding. Lazimnya sebuah kasus pidana, jika aparat penyidik dan penuntut sudah membawa ke pengadilan, peluang untuk lolosnya sangat kecil. Akan tetapi, akrobat di pengadilan kerap melahirkan kejutan-kejutan. Tak heran jika tuduhan masih bercokolnya mafia peradilan bukan sesuatu yang mengada-ada.

Minimnya usaha dan dukungan yang serius dari ketiga wilayah kekuasaan dan cabang-cabangnya yang baru, seperti MK dalam memberantas korupsi pada akhirnya hanya akan membuka kesempatan bagi siapapun yang merasa dirugikan atas agenda pemberantasan korupsi untuk melakukan perlawanan. Jika perlawanan terhadap gerakan antikorupsi berhasil, dapat dipastikan hal itu akan mematikan nadi pemberantasan korupsi yang sedang berdetak.

Thursday, October 12, 2006

Buruk Muka Tetap Dibela

Panja Penegakan Hukum dan Pemerintahan Daerah DPR RI menyimpulkan bahwa pemberantasan korupsi yang melibatkan anggota DPRD dan Kepala Daerah dilakukan dengan dasar hukum yang tidak tepat, diskriminatif, mengkriminalisasi kebijakan daerah dan mengarah pada skenario deparpolisasi. Oleh karenanya, dalam rekomendasi yang disampaikan kepada publik, Panja mendesak Presiden untuk merehabilitasi dan memulihkan nama baik anggota DPRD dan Kepala Daerah.

Rekomendasi itu tentunya mengejutkan karena keluar dari ruang Komisi II dan Komisi III DPR RI yang notabene merupakan tempat dimana pemberantasan korupsi seharusnya mendapat dukungan politik besar. Namun sayangnya, kekuatan itu justru digunakan mengintervensi sekaligus untuk mengerdilkan upaya penegakan hukum korupsi. Banyaknya kasus korupsi yang melibatkan para politisi daerah nyatanya tidak digunakan sebagai cermin untuk berbenah diri, tapi justru menyalahkan proses penegakan hukumnya.

Yang sangat disayangkan, rekomendasi itu tidak mengarah pada upaya perbaikan dan peningkatan profesionalisme aparat penegak hukum dalam menangani korupsi. Akan tetapi lebih menonjol sebagai upaya untuk menghentikan proses hukum korupsi atas politisi daerah. Padahal desakan untuk menghentikan proses hukum korupsi merupakan bentuk nyata dari adanya intervensi politik. Tekanan politik semacam ini tentu saja telah menjadi ancaman serius bagi usaha-usaha yang dilakukan untuk menegakkan hukum, sekaligus dapat mengendurkan semangat pemberantasan korupsi.

Proteksi politik demikian sebenarnya merupakan sebuah skenario panjang yang telah diupayakan politisi Senayan sejak beberapa waktu lalu. Dalam rapat dengar pendapat Komisi III DPR RI dengan Kejaksaan Agung misalnya, agenda utama yang menjadi perhatian serius (baca: isu favorit) anggota Komisi adalah kasus-kasus korupsi DPRD. Hal itu berlanjut dengan permohonan kepada Mahkamah Agung untuk mengeluarkan surat edaran yang intinya supaya pengadilan menolak kasus korupsi yang berkaitan dengan PP 110/2000.

Ditilik dari kesimpulan-kesimpulan yang ditarik Panja Penegakan Hukum dan Pemerintah Daerah DPR RI yang berujung pada kesimpulan demikian, ada beberapa hal yang perlu dikritisi secara lebih mendalam.

Pertama, penggunaan dasar hukum yang tidak tepat dalam memproses kasus korupsi DPRD/Kepala Daerah. Memang tidak keliru jika PP 110/2000 tidak lagi digunakan sebagai dasar untuk menjerat anggota DPRD/Kepala Daerah karena telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Akan tetapi yang harus diingat, korupsi yang melibatkan DPRD/Kepala Daerah tidak melulu sekedar pelanggaran terhadap PP 110/2000, melainkan sangat beragam dan multi dimensi.

Dalam catatan ICW, ada beberapa modus yang biasanya terjadi dalam kasus ini. Mulai dari penggelembungan (markup) anggaran, pendapatan ganda (double anggaran), merekayasa sumber penerimaan yang illegal (mengada-adakan sumber penerimaan) dan pengeluaran fiktif. Dari berbagai modus tersebut, pelanggaran PP 110/2000 hanyalah satu dimensi saja, disamping pelanggaran hukum lainnya yang berkaitan dengan aturan keuangan negara maupun prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan negara yang bersih dari KKN. Dengan demikian, memanfaatkan isu pencabutan PP 110/2000 untuk menghentikan proses hukum terhadap para anggota DPRD/Kepala Daerah sangat tidak relevan dengan konteks hukumnya.

Kedua, diskriminasi hukum. Harus diakui bahwa proses hukum kasus korupsi, khususnya yang berhubungan dengan korupsi DPRD kental dengan nuansa diskriminasi. Namun diskriminasi ini harus dipandang dalam konteks keadilan masyarakat, yakni ketika para koruptor diberikan kekhususan penanganan dibandingkan dengan kejahatan lainnya. Tidak mengeksekusi anggota DPRD yang telah dinyatakan bersalah dan mendapatkan putusan tetap (in krahct) merupakan kebijakan diskriminatif. Tidak memproses secara adil semua pelaku korupsi APBD juga diskriminatif.

Akan tetapi, penyikapan politik dengan meminta pembersihan nama baik anggota DPRD/Kepala Daerah akibat dari perlakuan diskriminatif aparat penegak hukum merupakan agenda yang telah keluar dari visi pemberantasan korupsi. Sebaliknya, penyikapan politik secara demikian tak lebih dari upaya untuk melindungi politisi daerah dari jangkauan hukum, dengan berlindung dibalik kewenangan mengawasi penegakan hukum yang dimiliki anggota DPR RI. Seharusnya ketika praktek diskriminasi terjadi, DPR RI secara konsisten mendesak aparat penegak hukum untuk menjerat semua pelaku yang terlibat. Tidak justru sebaliknya, meneriakkan adanya diskriminasi, akan tetapi membuat rekomendasi yang diskriminatif pula.

Ketiga, kriminalisasi kebijakan publik. Yang harus dipahami, korupsi terjadi karena ada kewenangan yang disalahgunakan. Dalam proses pembuatan kebijakan publik, praktek korupsi diseludupkan. Dalam proses pembuatan kebijakan publik pula, kepentingan-kepentingan sangat mempengaruhi. Tidak mungkin perbuatan korupsi lahir tanpa beralaskan kebijakan. Memutuskan pengadaan barang/jasa dilakukan dengan penunjukan langsung terkandung dimensi korupsi. Memutuskan proyek dilakukan pada menjelang tutup buku tersembul dimensi korupsi.

Pendek kata, kebijakan tidak akan pernah steril dari kepentingan koruptif sehingga kerap melahirkan kebijakan koruptif. Hal ini akan menjadi urusan aparat penegak hukum jika kemudian ditemukan kerugian negara yang ditimbulkan dari kebijakan tersebut, apalagi jika secara nyata, pejabat yang bersangkutan diuntungkan dari kebijakan yang telah dibuatnya. Pertanyaannya kemudian, dimana kriminalisasi kebijakan publik itu dilakukan?

Keempat, deparpolisasi. Menggunakan isu deparpolisasi dalam kasus korupsi DPRD/Kepala Daerah justru menguak kepentingan sebenarnya atas agenda Panja Penegakan Hukum dan Pemerintah Daerah DPR RI. Seharusnya anggota DPR RI melihat bahwa pelaku korupsi yang tengah diproses secara nyata adalah para politisi, bukan pegawai birokrasi atau swasta. Menjadi terkesan sangat massif karena praktek korupsi itu dilakukan secara beramai-ramai/bersama-sama. Jika terdapat pimpinan partai politik dipenjara karena korupsi, yang perlu diingat bahwa pada saat diproses hukum, posisinya adalah sebagai pejabat publik, bukan pimpinan partai politik.

Tiadanya etik politik dalam sistem politik di Indonesia pada akhirnya memang membawa kegagalan untuk memisahkan secara tegas antara pejabat publik dengan elit politik. Tiadanya pemisahan itu membawa resiko adanya kesan deparpolisasi atas pengusutan kasus korupsi yang melibatkan pejabat publik yang secara kebetulan merupakan pimpinan partai politik atau elit politik.

Tulisan ini pernah dimuat di Koran Tempo, 13 Oktober 2006

Friday, August 25, 2006

Menyelesaikan Polemik Korupsi di KPU

Kesaksian lima orang yang mengakui bahwa Menteri Hukum dan HAM, Hamid Awaludin ikut rapat KPU dalam menentukan harga segel surat suara sesungguhnya sudah cukup memberatkan. Apalagi alat bukti lain seperti surat-surat penawaran surat segel suara dari rekanan KPU yang ditujukan kepada Hamid Awaludin juga tersedia. Dari sisi teknis yuridis, ketika dua alat bukti sudah memadai, proses hukum bisa dilanjutkan ke tingkat penyidikan yang biasanya diiringi dengan penetapan seseorang sebagai tersangka.

Sulitnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyelesaikan kasus korupsi KPU, utamanya dalam kasus korupsi surat segel suara menyisakan tanda tanya besar. Kerisauan banyak pihak berujung pada dugaan adanya pengaruh politik yang kuat terhadap proses hukum yang sedang berjalan. Jika demikian adanya, rasa pesimisme publik yang kian membesar dalam melihat prospek pemberantasan korupsi tak dapat dielakkan. Bagaimana mungkin KPK yang memiliki posisi yang sangat independen dalam berhadapan dengan kekuasaan ternyata harus tunduk pada mekanisme di luar hukum.

Jika melihat dari alotnya proses hukum yang tengah terjadi, -khususnya ketika sudah menyangkut nama Hamid Awaludin- bisa dikatakan bahwa KPK tengah berada di arena pembuktian yang sesungguhnya. Arena yang bisa dimaknai sebagai laboratorium sosial-politik dengan desain tatanan baru yang mengandaikan kehadiran lembaga pemberantasan korupsi sangat kuat untuk mengatasi tanpa syarat kekuasaan manapun yang dapat menyetir proses hukum. Sebuah konsep yang kelahirannya sangat dipengaruhi oleh buruknya tradisi penegakan hukum kasus korupsi pada masa lalu.

Kita tentunya sudah mengetahui sendiri bahwa dalam periode sebelumnya, kekuasaan politik dalam kurun waktu yang cukup lama telah mengkooptasi kewibawaan hukum. Keberadaan KPK adalah usaha untuk membalikkan keadaan itu. Seandainya KPK berhasil melibas aral rintang politik ketika tengah memproses seseorang, legitimasi KPK sebagai institusi penegak hukum akan semakin menguat. Namun jika KPK gagal menghadapinya, semangat pemberantasan korupsi yang telah didorong dalam beberapa tahun belakangan akan runtuh secara menyedihkan.

Oleh karena itu, mengambangnya penuntasan perkara dugaan korupsi KPU secara keseluruhan dan tidak diprosesnya sejumlah mantan anggota KPU lain yang diduga kuat terlibat pada akhirnya menimbulkan kesan buruk di masyarakat. KPK dapat dipersepsikan tidak berani atau lumpuh dalam meneruskan proses hukum mantan anggota KPU.

Disisi lain, KPK bisa dibilang telah berlaku diskriminatif karena hanya menjerat sebagian saja pelaku korupsi. Padahal Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK telah memberikan kewenangan yang luar biasa terhadap KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara korupsi. Seharusnya dengan segala bekal kewenangan yang dimiliki KPK, kasus sesulit apapun dapat diselesaikan dengan cepat dan berkualitas.

Yang perlu diingat, berlarut-larutnya penanganan perkara korupsi KPU yang diduga melibatkan Hamid Awaluddin oleh KPK -setidaknya sesuai dengan pengakuan memberatkan lima saksi- tidak hanya dapat menjatuhkan citra KPK sebagai aparat penegak hukum super. Melainkan juga kepentingan KPK dalam konteks yang lebih luas. Bagaimanapun Menteri Hukum dan HAM, Hamid Awaludin merupakan pejabat yang akan sangat menentukan panitia seleksi calon pimpinan KPK tahun 2007 mendatang.

Tidak dapat dibayangkan bagaimana kualitas dan integritas pimpinan KPK mendatang jika proses seleksinya ditentukan, atau paling tidak dipengaruhi, oleh pejabat yang memiliki masalah dengan hukum. Dengan demikian, menunda penyelesaian perkara korupsi KPU dengan alasan politik atau adanya perlindungan politik sama artinya dengan KPK menyimpan bom waktu yang sewaktu-waktu dapat menghancurkan lembaganya.

Skenario untuk menyelesaikan perkara korupsi KPU bukanlah tidak ada. Hakim pengadilan Tipikor telah menyarankan kepada Daan Dimara, terdakwa kasus korupsi segel surat suara untuk melaporkan kepada polisi ihwal keterangan palsu yang disampaikan Hamid Awaludin di depan pengadilan. Dari aspek prosedur dan legalitas, mekanisme tersebut memang jalan yang bisa ditempuh mengingat pemberian keterangan atau saksi palsu merupakan wilayah pidana umum. Akan tetapi, menyerahkan proses penyelidikan atas keterangan palsu atau kesaksian palsu kepada polisi merupakan problematika tersendiri. Ada beberapa alasan yang mendukung kesimpulan tersebut.

Pertama, kasus keterangan atau kesaksian palsu oleh Hamid Awaludin sebagaimana yang dilontarkan Daan Dimara bukan merupakan bagian yang terpisah dari perbuatan korupsi yang tengah disidangkan oleh Pengadilan Tipikor. Kesaksian Hamid Awaludin akan sangat menentukan putusan hakim, paling kurang putusan yang akan dijatuhkan kepada Daan Dimara sebagai terdakwa. Jika hakim menggunakan keterangan atau kesaksian palsu sebagai salah satu dasar untuk memvonis seseorang, keadilan sebagai hal yang paling esensial dalam hukum menjadi kehilangan maknanya. Alangkah baik jika perkara keterangan palsu ini juga diusut oleh KPK sebagai bagian tak terpisahkan dari perkara korupsi KPU yang tengah ditangani.

Kedua, keterangan palsu yang menurut lima saksi dalam persidangan korupsi segel kertas suara dilakukan Hamid Awaludin jika diusut oleh pihak kepolisian akan menyita waktu dan tenaga ekstra. Secara administratif dan prosedural, memeriksa pejabat negara membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Hal itu disebabkan oleh adanya kewajiban bagi aparat penegak hukum untuk meminta permohonan ijin dari presiden apabila akan memerika pejabat negara. Apalagi jika dilengkapi dengan proteksi politik dari pejabat berkuasa, proses hukum atas pidana pemberian keterangan palsu dapat dipastikan berlarut-larut.

Dengan macetnya pembuktian secara hukum atas pidana pemberian keterangan palsu, proses hukum yang kini tengah berlangsung di pengadilan tipikor otomatis mengalami gangguan. Padahal sesuai dengan pasal 58 ayat (1) UU KPK, pengadilan Tipikor memiliki tenggat waktu terbatas untuk mengadili sebuah perkara, yakni hanya 90 hari terhitung sejak tanggal perkara dilimpahkan ke pengadilan tipikor.
Jalan keluar yang paling mungkin untuk menyelesaikan masalah tersebut adalah adanya sikap proaktif dari KPK dalam memeriksa Hamid Awaludin yang diduga telah memberikan keterangan/kesaksian palsu di pengadilan tipikor. Meskipun pemberian keterangan/kesaksian palsu masuk dalam wilayah pidana umum, akan tetapi UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga mengatur masalah ini.

Dalam Bab III mengenai tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, khususnya pasal 22 menyebutkan ”Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, Pasal 29, Pasal 35 atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, dipidana dengan pidana paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000.00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000.00 (enam ratus juta rupiah). Pada kasus Hamid, ia bisa dianggap sebagai setiap orang yang memiliki kewajiban memberikan keterangan sebagai saksi atau ahli sebagaimana dimaksud dalam pasal 35 ayat (1).

Dengan demikian, tidak ada alasan bagi KPK untuk tidak mengusut kasus pemberian keterangan atau kesaksian palsu karena merupakan wilayah yuridiksinya. Bahkan pasal tersebut bisa menjadi pasal yang memberatkan seandainya keterlibatan mantan anggota KPU itu dalam kasus korupsi benar-benar terbukti.

****

Thursday, August 10, 2006

Vonis Korupsi Minus Efek Jera

Teori korupsi yang paling sederhana menyebutkan penyimpangan akan selalu terjadi jika risiko yang ditimbulkan dari perbuatan korupsi itu lebih kecil daripada keuntungan yang diperolehnya. Bentuk risiko bisa bermacam-macam, dari mudah atau tidaknya koruptor itu tertangkap, berat atau tidaknya hukuman karena korupsi yang dilakukan, hingga ada atau tidaknya risiko pengucilan oleh masyarakat sebagai bentuk sanksi sosial yang diberikan. Dalam situasi ketika ketiga risiko itu sangat kecil, korupsi akan menghantui kehidupan kita sehari-hari.
Dengan kata lain, korupsi akan tetap berlangsung jika akibat dari tindakan itu secara pribadi tidak menyebabkan kerugian apa pun bagi pelaku. Dan pada saat yang sama, keuntungan yang diperoleh dari perbuatan korupsi dapat dinikmatinya secara bebas, bahkan turun-temurun sampai tujuh turunan. Tak aneh jika korupsi akan tumbuh subur tatkala sistem hukum tidak berjalan. Orang yang melakukan korupsi berpikir akan gampang lolos dari jerat pidana karena aparat penegak hukum mudah disuap. Koruptor akan mudah lari--bahkan sebagian besar hidup dengan tenang di tengah masyarakat--karena peradilan telah menjadi pasar transaksi pasal-pasal.
Karena itu, Robert Klitgaard mengatakan korupsi itu merupakan kejahatan kalkulasi, sebuah tindakan pelanggaran terhadap hukum yang didasari perhitungan yang rasional dengan pendekatan untung-rugi. Jika keuntungan melakukan korupsi lebih besar daripada kerugian yang mungkin didapat, korupsi akan tetap merajalela. Pendek kata, tanpa dibuat jera, orang akan tetap terus melakukan korupsi.
Di banyak negara, keberhasilan dalam memberantas korupsi dicapai dengan kerasnya penegakan hukum. Contoh terbaik adalah Cina. Beribu-ribu orang dijatuhi hukuman mati karena terbukti melakukan korupsi--meskipun tegasnya penegakan hukum tidak harus selalu berarti dengan menjatuhkan hukuman mati. Kita tetap bisa tegas dengan cara yang sedikit berbeda, tanpa mengurangi efek jera yang ditimbulkannya. Misalnya saja menjatuhkan vonis tiga kali penjara seumur hidup bagi pelaku korupsi tanpa diperbolehkan mendapatkan pengampunan, baik dalam bentuk grasi maupun remisi. Hukuman itu dapat dikategorikan sangat berat tanpa harus mencabut hak asasinya sebagai manusia untuk tetap dapat hidup.
Yang paling utama, hukuman seberat itu pasti tidak akan memberikan kesempatan bagi koruptor untuk dapat menikmati hasil jarahannya. Ketika kesengsaraan ditimbulkan oleh hukuman berat yang dijatuhkan, pilihan untuk melakukan korupsi akan menjadi lebih kecil. Dengan bahasa lain, kita perlu menciptakan risiko besar bagi setiap praktek korupsi, dalam bentuk apa pun, untuk mempersempit ruang geraknya.
Masalahnya, konsep efek jera bagi pelaku korupsi masih menjadi sesuatu yang langka, khususnya dalam cakrawala yurisprudensi di Indonesia. Belajar dari kasus korupsi yang divonis pengadilan, rata-rata hukuman yang diberikan tidak sebanding dengan akibat dari perbuatan korupsi. Yang paling keras tentu kasus korupsi BNI yang menyeret Dicky Iskandar Dinata. Jaksa penuntut umum mendakwanya dengan hukuman mati, meski kemudian majelis hakim menolaknya.
Untuk tahun 2006 saja, misalnya, berdasarkan catatan semester pertama yang dihimpun Indonesia Corruption Watch, terdapat 76 kasus korupsi dengan 206 orang terdakwa yang diperiksa dan diputus oleh pengadilan di sebagian besar wilayah Indonesia, dari tingkat pertama (pengadilan negeri), banding (pengadilan tinggi), hingga kasasi (Mahkamah Agung). Dari 76 kasus tersebut, terdapat 14 kasus korupsi (18,4 persen) yang divonis bebas oleh pengadilan, sementara sisanya yang 62 kasus divonis bersalah.
Masih adanya vonis bebas bagi terdakwa korupsi merupakan tanda tanya besar. Logika awam mengatakan, ketika jaksa melimpahkan berkas perkara korupsi ke pengadilan, tentu itu sudah dilengkapi dengan alat bukti yang cukup. Seharusnya, jika pun hakim melihat ada berbagai kekurangan, jaksa penuntut dapat diminta memperbaiki dakwaannya sehingga peluang terdakwa untuk bebas menjadi hilang. Pendek kata, mustahil jika proses hukum berjalan benar, hakim kemudian menjatuhkan vonis bebas.
Putusan bebas yang paling menuai kecaman tentu kasus korupsi Bank Mandiri yang melibatkan Direktur Utama Bank Mandiri E.C.W. Neloe, mantan Direktur Risk Management I Wayan Pugeg, dan mantan EVP Coordinator Corporate & Government M. Sholeh Tasripan yang merugikan negara Rp 160 miliar. Oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, ketiga terdakwa divonis bebas karena unsur kerugian negara tidak dapat dibuktikan oleh jaksa penuntut umum meskipun jaksa sudah mendakwa dengan 20 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 12 bulan kurungan. Akibatnya, vonis bebas bagi pemimpin Bank Mandiri tersebut secara otomatis membebaskan para debitor Bank Mandiri (Edyson, Saiful Anwar, dan Diman Ponijan, tiga pengurus PT Cipta Graha Nusantara).
Selain putusan bebas yang masih cukup banyak, dari 76 kasus tersebut, 24 kasus di antaranya diputus dengan vonis hukuman di bawah 2 tahun penjara. Cara pandang hakim yang masih melihat kejahatan korupsi sama dengan kejahatan maling ayam merupakan hambatan serius bagi upaya efektif untuk meminimalisasi praktek korupsi. Sebab, efek jera yang hendak ditimbulkan tidak terjadi. Tentu repot jika motif maling ayam karena kebutuhan untuk mengisi perut yang lapar disamakan dengan motif mencuri uang negara karena keserakahan. Belum lagi jika akibat yang ditimbulkan dari kedua jenis kejahatan ini sangat berbeda. Sementara akibat maling ayam hanya muncul pada kerugian si pemilik ayam, mencuri uang negara mengakibatkan kerugian bagi banyak orang. Sebab, korupsi pada hakikatnya bentuk perampasan terhadap hak-hak masyarakat, bukan hak individu. Dimensi kejahatan yang berbeda ini seharusnya menciptakan jenis hukuman yang berbeda pula.
Apa yang telah ditunjukkan oleh institusi pengadilan selama semester I tahun 2006 kenyataannya masih jauh dari harapan bagi pemberantasan korupsi di Indonesia. Celakanya, selain vonis kepada para terdakwa pelaku korupsi rendah, kerap kali hakim tidak memerintah jaksa menahan terpidana. Alasannya, terpidana masih memiliki hak untuk mengajukan upaya hukum lain, yakni banding atau kasasi.
Tak aneh jika kita melihat banyak koruptor yang sudah divonis oleh pengadilan masih bebas melenggang tanpa rasa malu. Sebab, secara legal-formal mereka masih belum dianggap bersalah mengingat belum ada kekuatan hukum yang tetap. Di sinilah sebenarnya sanksi sosial perlu diefektifkan. Masyarakat seharusnya memiliki mekanisme yang dapat menciptakan rasa bersalah bagi pelaku korupsi dengan mengucilkan para pelaku korupsi dari pergaulan sosial. Menjadikan pelaku korupsi sebagai figur yang dipanuti--karena mereka adalah tokoh/pejabat--merupakan awal gagalnya sanksi sosial bekerja.

Koran Tempo

Monday, July 17, 2006

Dimensi Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa

Di Indonesia, praktek korupsi telah terjadi dalam berbagai wilayah. Mulai korupsi di lingkup birokrasi, kepolisian, pengadilan, hingga militer. Semua itu merupakan bagian-bagian yang menegaskan wajah korupsi sebenarnya.

Namun, mungkin tidak ada korupsi yang ongkosnya semahal korupsi dalam pengadaan barang dan jasa. Alasannya sederhana, sekaligus mudah. Soalnya, sebagian besar anggaran pemerintah digunakan untuk pengeluaran publik di berbagai sektor. Di satu sisi, nilai kontrak per tahun untuk pengadaan sangat besar. Di sisi lain, pelaksanaannya selalu melibatkan banyak pemain (kontraktor), yang membuka peluang terjadinya penyuapan, pemerasan, ataupun bentuk-bentuk pembayaran ilegal lainnya.

Suap menjadi modus yang dominan karena nyatanya pembayaran ilegal untuk memenangi kontrak dan konsesi besar secara umum telah menjadi ajang bisnis para pejabat tinggi dan kontraktor. Secara teknis, penyuapan dalam proses pengadaan barang dan jasa dilakukan untuk mendapatkan beberapa tujuan.

Pertama, perusahaan atau pengusaha rela membayar untuk bisa diikutsertakan dalam daftar prakualifikasi dan untuk membatasi peserta tender. Kedua, perusahaan juga rela membayar untuk mendapatkan informasi mengenai proyek dari orang dalam. Ketiga, pembayaran ilegal membuat pejabat dapat pengatur spesifikasi tender sehingga perusahaan yang membayar itu akan menjadi satu-satunya pemasok yang lolos prakualifikasi. Keempat, pembayaran ilegal itu dimaksudkan untuk memenangi kontrak. Ketika proses ini terjadi dalam satu kali putaran, konsekuensi yang harus diterima adalah adanya penggelembungan harga dan penurunan kualitas barang dan jasa yang dihasilkan (Susan Rose-Ackerman, 2006).

Dari hasil kajian ICW pada 2005, terungkap bahwa mekanisme pelaksanaan proyek yang memberikan keistimewaan kepada salah satu pihak melalui penunjukan langsung dianggap oleh pejabat tinggi bukan merupakan pelanggaran yang serius. Padahal hal itu dilarang secara tegas dalam Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 mengenai pengadaan barang/jasa pemerintah mengingat nilai proyek di atas Rp 50 juta harus melalui mekanisme pelelangan (tender). Dari temuan ICW, terdapat 43 kasus yang terindikasi korupsi di sektor pengadaan, yang modusnya menggunakan penunjukan langsung.

Selain indikasi korupsi yang terjadi dengan melakukan penunjukan langsung, modus korupsi lainnya yang kerap terjadi pada proses pengadaan adalah praktek markup (48 kasus), pemerasan (50 kasus), penyimpangan kontrak (1 kasus), dan proyek fiktif (8 kasus). Banyaknya modus korupsi yang terjadi pada sektor pengadaan menunjukkan masih buruknya sistem akuntabilitas dan transparansi pemerintah serta tidak berjalannya sistem pencegahan yang efektif untuk meminimalisasi terjadinya praktek korupsi di sektor tersebut.

Dengan kata lain, mekanisme kerja, tradisi, dan perilaku birokrasi yang sarat dengan perburuan rente masih menjadi penyakit serius yang menghambat pemerintah yang bersih. Hal ini mengingat ancaman nyata dalam korupsi pengadaan adalah buruknya kualitas barang/jasa yang dihasilkan sehingga tidak dapat melayani kepentingan publik secara efektif dan efisien. Demikian halnya dengan pemborosan anggaran yang terjadi karena penyusunan anggaran proyek yang digelembungkan. Dalam konteks ini, masyarakat menjadi pihak yang paling dirugikan.

Fenomena rent seeker tidak hanya dapat dilihat pada modus korupsi yang terjadi, tapi juga dapat diketahui dari pemetaan sektor-sektor yang selama ini rawan terjadinya korupsi. Dari data media massa yang dikumpulkan selama 2005, diketahui bahwa korupsi di sektor pengadaan barang/jasa menempati posisi tertinggi (66 kasus). Diikuti kemudian oleh sektor anggaran Dewan (58 kasus) dan infrastruktur (22 kasus). Yang terakhir ini bisa dikatakan memiliki keterkaitan dengan isu korupsi dalam pengadaan barang/jasa mengingat sebagian belanja pemerintah dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur.

Korupsi politik

Sebagaimana disebutkan di atas, inti dari korupsi pengadaan barang dan jasa adalah penyuapan. Penyuapan dapat dideskripsikan sebagai mekanisme saling menukar sumber daya kekuasaan dan uang. Penjelasan lebih jauhnya, sumber daya kekuasaan mewujud dalam kewenangan, otoritas, informasi, jumlah, dan besarnya proyek yang menjadi domain pejabat, sedangkan kekuasaan uang ada pada diri pelaku usaha/pebisnis/pengusaha.

Karena itu, memandang korupsi pengadaan barang/jasa tidak serta-merta hanya dianggap sebagai gejala penyimpangan yang dilakukan oleh aparatur birokrasi belaka, melainkan harus dipandang sebagai bagian dari memperoleh sumber daya politik dan sumber daya ekonomi. Dengan kata lain, korupsi pengadaan bukan saja bicara soal korupsi birokrasi, melainkan bersinggungan erat dengan korupsi politik. Pertautan keduanya sungguh jelas.

Secara alamiah, keinginan untuk tetap berkuasa ada pada diri setiap politikus. Tidak hanya mempertahankan, melainkan juga melanggengkan dan memperbesar pengaruh kekuasaannya. Dengan kepemilikan otoritas dan kekuasaan, mereka bisa menggunakannya untuk memperkuat posisi bisnis, sedangkan keuntungan dari bisnis itu digunakan untuk memperluas dan mempengaruhi kekuasaan.

Politikus yang memiliki bisnis punya kepentingan langsung terhadap proyek-proyek di birokrasi. Politikus juga membawa kepentingan elite partai/partai politik dalam rangka menjaga dukungan kelompok bisnis terhadap partai. Karena itu, politikus yang berkepentingan dapat melakukan intervensi dalam bentuk memasukkan proyek-proyek yang diinginkan oleh kroni bisnis dalam rencana anggaran dinas/instansi tertentu.

Barangkali karena besarnya kepentingan politikus dalam berbagai proyek pemerintah, korupsi di sektor pengadaan barang dan jasa sulit sekali diberantas. Panitia pengadaan barang dan jasa tampaknya hanya memiliki sedikit posisi tawar, kecuali jika terlibat secara bersama-sama dalam mendesain penyimpangan. Posisi tawar yang lemah menyulitkan adanya penilaian yang obyektif, kredibel, dan mandiri atas proses pelelangan karena mereka sendiri adalah kelompok yang rentan tekanan, baik dari internal maupun eksternal.

Sementara proses hukum sulit menjangkau pelaku sesungguhnya, penolakan untuk menjadi panitia pengadaan barang dan jasa akan kian menggejala. Pemerintah pada akhirnya akan disulitkan sendiri dengan rendahnya daya serap penggunaan anggaran, khususnya di pemerintah daerah yang akhir-akhir ini muncul di banyak pemberitaan di media massa. Selama panitia pengadaan bukan merupakan bagian yang independen dalam relasinya dengan pejabat politik, di sisi lain mereka yang pertama kali akan menghadapi proses hukum jika terjadi penyimpangan, ketakutan untuk menjadi pemimpin proyek menemukan pembenarannya.

Artikel ini juga bisa dibaca di koran tempo, selasa, 18 Juli 2006

Saturday, July 08, 2006

Pejabat Korupsi, Pejabat Dipagari

Rencana pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden tentang Pemberdayaan Instansi Terkait dalam Sistem Penanganan Laporan Korupsi kian kuat. Meskipun penolakan atas inpres tersebut sudah banyak disuarakan, tampaknya pemerintah tetap menganggap kebijakan itu penting dikeluarkan.

Secara umum, gagasan menggulirkan inpres dilatarbelakangi berbagai persoalan yang muncul dalam proses hukum tindak pidana korupsi. Masalah itu kemungkinan besar disebabkan oleh buruknya koordinasi antara aparatur birokrasi, institusi pengawas, dan aparat penegak hukum, sehingga proses penanganan kasus bertele-tele dan lama.

Akibatnya, proses hukum kerap dianggap sebagai biang keladi terbengkalainya penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini terjadi mengingat selama kampanye pemberantasan korupsi, banyak pejabat publik yang diperiksa dalam kasus korupsi, sebagai saksi, tersangka, atau terdakwa. Di sisi lain, proses pemeriksaan terhadap pejabat publik kerap tidak pasti dan berlarut-larut. Mereka menganggap proses itu telah menyita waktu yang tidak sedikit, sehingga pelayanan publik sangat terganggu.

Di samping itu, kuat dugaan adanya pemerasan yang dilakukan aparat penegak hukum dalam proses penanganan kasus sebagaimana dikeluhkan para pejabat. Untuk alasan ini, sayangnya, tidak ada satu pun pejabat yang terang-terangan berani buka suara, menjadi saksi atas praktek pemerasan yang terjadi. Itu barangkali karena mereka memang bersalah, sehingga membuka suara sama artinya dengan buah simalakama. Lain halnya jika sejak awal memang tidak ada kebijakan yang menyimpang (korup), tapi aparat penegak hukum mencari-cari masalah, maka praktek pemerasan mudah dibeberkan.

Masalah yang tak kalah pelik adalah fenomena munculnya penunggang gelap dalam agenda pemberantasan korupsi. Penunggang gelap ini kerap mengklaim sebagai pihak yang prihatin dengan praktek korupsi yang merajalela, tapi sebenarnya memiliki watak yang sama dengan koruptor itu sendiri. Tak jauh berbeda dengan aparat penegak hukum yang nakal, mereka sering melakukan pemerasan, meskipun hanya sedikit memiliki data mengenai dugaan korupsi. Walhasil, ketika data itu disampaikan kepada aparat penegak hukum, tidak banyak hal yang bisa diungkap. Soalnya, memang sejak awal motif melaporkan hanya untuk menakut-nakuti.

Karena itu, untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut, pemerintah menganggap perlu diterbitkannya Inpres tentang Pemberdayaan Instansi Terkait dalam Sistem Penanganan Laporan Korupsi, yang terdiri atas sepuluh butir instruksi. Instruksi tersebut ditujukan kepada anggota kabinet, kepolisian, kejaksaan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, kepala daerah, dan parlemen daerah.

Secara garis besar, beberapa poin penting dalam instruksi tersebut mengatur soal, pertama, menindaklanjuti laporan korupsi dari masyarakat yang tidak bernuansa fitnah, provokasi, dan agitasi serta tidak bermuatan kepentingan politik. Kedua, membentuk forum komunikasi yang terdiri atas instansi terkait untuk meningkatkan koordinasi penanganan laporan korupsi. Forum komunikasi bertugas melaporkan penanganan korupsi secara berkala kepada presiden dan berjenjang ke bawah sesuai dengan tingkatan wilayah pemerintahan. Ketiga, aparat pengawas internal pemerintah harus melakukan klarifikasi untuk mendapatkan bukti awal terjadinya indikasi korupsi dan melimpahkannya kepada aparat penegak hukum apabila unsur tindak pidana korupsi telah terpenuhi. Keempat, mendahulukan mekanisme ganti rugi atas penyimpangan yang terjadi dibandingkan dengan proses hukumnya.

Jika kita membaca secara lebih jeli draf inpres tersebut, ada beberapa isu yang sangat bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi. Meskipun desain awalnya inpres itu dimaksudkan untuk mengakomodasi keluhan pejabat atas proses hukum perkara korupsi yang menyulitkan ruang gerak mereka dalam menyusun kebijakan publik, nuansa perlindungan bagi pejabat publik tidak dapat disembunyikan. Titik krusial dari inpres itu setidaknya dapat dilihat dalam beberapa analisis.

Pertama, terbitnya inpres tersebut dapat dipastikan tidak akan mampu menjawab persoalan bertele-telenya penanganan kasus korupsi karena mekanisme baru yang hendak dibuat justru melahirkan proses yang lebih rumit dan kian birokratis. Banyaknya tahapan yang harus dilalui untuk sampai pada penegakan hukum, selain menciptakan peluang bagi terjadinya praktek korupsi baru, membuat penanganan kasus korupsi menjadi tidak efektif.

Peluang bagi praktek korupsi baru itu tak lain karena adanya kewenangan dari aparat pengawas internal pemerintah (APIP) untuk melakukan klarifikasi atas laporan kasus sebelum diproses secara hukum. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa selama ini APIP terbukti tidak fungsional dalam mendorong pengawasan penyelenggaraan pemerintahan. Ia tidak fungsional karena, secara struktur, kinerja APIP sangat bergantung pada independensi pejabat publik yang membawahkannya. Sekuat apa pun temuan APIP, jika tidak ada keputusan politik untuk memproses secara hukum adanya dugaan tindak pidana korupsi, laporan secara berkala yang dibuat oleh APIP sebagai hasil dari pelaksanaan pengawasan tidak akan berarti apa-apa.

Kedua, lahirnya inpres tersebut tidak sejalan dengan semangat perlindungan saksi yang peraturannya tengah digodok parlemen. Butir instruksi yang menyebutkan adanya kewajiban bagi pelapor untuk mencantumkan identitas diri akan sangat membahayakan posisi siapa pun yang potensial dapat membongkar kasus korupsi. Yang harus diingat, masalah besar bagi pembongkaran kasus korupsi adalah tiadanya perlindungan saksi/pelapor. Dalam situasi ketika payung hukum perlindungan saksi tidak ada, sementara di sisi lain pengadu/pelapor harus dibebani kewajiban mencantumkan identitas lengkap, dikhawatirkan akan semakin sedikit orang yang berani melaporkan kasus korupsi. Pendek kata, lahirnya inpres tersebut dapat berpengaruh negatif terhadap peningkatan partisipasi masyarakat dalam memberantas korupsi.

Ketiga, pembentukan forum komunikasi justru akan memperkuat posisi tawar pejabat publik dalam berhadapan dengan hukum. Forum komunikasi mengandaikan bersihnya pucuk pemimpin pemerintah di semua level dari kasus korupsi. Padahal fakta menunjukkan sebagian besar kasus korupsi yang ditangani aparat penegak hukum melibatkan pejabat negara setingkat kepala daerah atau ketua dan anggota DPRD.

Keempat, munculnya kebijakan diskresional pejabat publik sehubungan dengan poin instruksi yang menyebutkan penanganan kasus korupsi yang sungguh-sungguh untuk kasus korupsi yang tidak bermuatan kepentingan politik. Ruang lingkup kepentingan politik adalah definisi yang longgar sehingga bisa ditafsirkan secara sepihak dan berpeluang besar menggugurkan penanganan korupsi karena ada label bermuatan kepentingan politik. Pada masa lalu, penanganan kasus dihentikan dengan alasan tidak ada bukti yang cukup untuk ditindaklanjuti, sedangkan dengan terbitnya inpres tersebut, alasan penghentian proses hukum dilengkapi dengan adanya muatan kepentingan politik dalam laporan kasus korupsi.

Melihat bahwa dampak dari inpres itu lebih banyak mudaratnya dibandingkan dengan manfaatnya, akan menjadi lebih baik bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi secara berkala atas kebijakan antikorupsi yang sudah dikeluarkan. Menyelesaikan masalah korupsi dengan membuat aturan-aturan baru tanpa dilandasi kajian yang komprehensif akan menyebabkan berbagai benturan antara satu kebijakan dan kebijakan yang lain.

artikel ini dapat dibaca di koran tempo, sabtu, 8 Juli 2006
untuk tanggapan, silahkan kirimkan ke email saya di adnan@antikorupsi.org

Monday, June 05, 2006

Lumpuh di Ujung Agenda

Mandegnya eksekusi yang seharusnya dilaksanakan kejaksaan atas kasus korupsi APBD di dua daerah, yakni Sumatera Barat dan Cirebon paska putusan kasasi MA seakan menjadi titik balik dari program pemberantasan korupsi yang selama ini telah digembar-gemborkan pemerintah.

Skenario Pemerintah SBY-Kalla yang menghendaki adanya penegakan hukum yang tegas, sungguh-sungguh dan tidak pandang bulu atas tindak pidana korupsi nyatanya masih jauh panggang dari api. Lebih-lebih, sikap yang bertolak belakang antara komitmen penegakan hukum dengan kebijakan menunda pelaksanaan eksekusi terpidana korupsi sudah dapat dikategorikan sebagai tindakan menghambat percepatan pemberantasan korupsi.

Coba tengok, beberapa anggota DPRD dari Sumatera Barat dan Cirebon yang telah menjadi terpidana kasus korupsi dana APBD hingga saat ini masih dapat merumuskan kebijakan publik di lokus kekuasaannya masing-masing. Mereka yang secara hukum sudah dinyatakan bersalah tetap menduduki posisi penting sebagai pejabat publik (baca: anggota DPRD). Sungguh sebuah periode yang mengherankan dimana program pemberantasan korupsi yang telah gencar dikampanyekan telah dinisbikan oleh institusi penegak hukum sendiri.

Tak dapat dipungkiri bahwa kini kinerja kejaksaan melalui ujung tombaknya Jaksa Agung, Abdul Rahman Saleh sedikit banyak berbeda dengan kejaksaan periode sebelumnya. Banyak kasus korupsi yang sudah mulai diungkap, mulai dari yang kecil hingga yang melibatkan pejabat penting.

Tak sedikit Kepala Daerah dan mantan pejabat publik yang telah menjalani masa-masa diperiksa oleh penyidik karena diduga terlibat dalam tindak pidana korupsi. Namun apa yang sudah diupayakan kejaksaan akan jatuh pada kesia-siaan tatkala tindakan yang menentukan –yakni eksekusi putusan- dalam kerangka penegakan hukum justru dihindari.

Sejauh pengamatan terhadap fenomena yang berkembang, mau tidak mau harus diakui bahwa kejaksaan hanya berkonsentrasi pada upaya penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan membuka kembali kasus korupsi yang dihentikan penyidikannya. Sementara di sisi lain, mereka abai terhadap kewajiban untuk mengeksekusi putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht). Padahal esensi dari penegakan hukum dalam kerangka hukum positif adalah pemberian punishment yang setara dengan tindak kejahatan yang dilakukan. Harapannya, secara psikologis, pemberian hukuman itu bermuara pada terbentuknya efek jera sehingga orang kemudian takut melakukan, atau mengulangi perbuatan korupsi.

Sekedar mengingat, sejak 2 Agustus 2005 silam, MA telah menolak kasasi yang diajukan 33 mantan pimpinan dan anggota DPRD Sumatra Barat periode 1999-2004 dalam perkara korupsi APBD Sumbar 2002 sebesar Rp 5,9 miliar. MA telah menjatuhkan vonis bersalah, dan ke-33 orang terpidana tersebut seharusnya menjalani masa hukuman 4 hingga 5 tahun penjara. Mereka juga sudah bisa disebut sebagai koruptor. Tapi menginjak usia satu tahun, terhitung sejak dikeluarkannya putusan kasasi sampai saat ini, kejaksaan belum berani melakukan eksekusi.

Putusan kasasi MA terhadap kasus korupsi dana APBD Kota Cirebon TA 2002 juga bernasib serupa. Pada 6 Oktober 2005 lalu, MA dalam putusan kasasi telah menjatuhkan vonis pidana 2 tahun penjara kepada 3 mantan pimpinan dan 7 anggota DPRD Kota Cirebon. Namun sampai waktu yang sudah melebihi hitungan enam bulan paska dikeluarkannya putusan kasasi, para terpidana belum juga dieksekusi.

Dalam posisi yang tidak tepat, kejaksaan justru mencari pembenaran untuk tidak melakukan eksekusi. Persis seperti argumentasi pemberian Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) terhadap Soeharto, kebijakan untuk menunda pelaksanaan eksekusi terpidana korupsi APBD juga karena faktor ’kemanusian’.

Disamping muncul juga pertimbangan-pertimbangan bernuansa politis seperti kekhawatiran terjadinya instabilitas di daerah karena yang akan dieksekusi adalah pejabat berpengaruh. Yang tidak cukup dipahami, kejaksaan juga memberikan opini bahwa eksekusi tidak dapat dilakukan karena terdakwa saat ini tengah mengajukan upaya peninjauan kembali. Padahal jelas-jelas dalam KUHAP dinyatakan bahwa upaya peninjauan kembali tidak menunda pelaksanaan eksekusi.

Jika ditinjau lebih jauh, kebijakan untuk menunda eksekusi secara ekstrim bisa dikatakan sebagai bagian dari pembangkangan pihak kejaksaan terhadap perintah Undang-Undang. Ada beberapa alasan yang bisa dikemukakan. Dalam usahanya untuk mempercepat dan lebih menjamin efektifitas pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme, pasal 2 ayat 2 TAP MPR No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, ditegaskan, “Melakukan penindakan hukum yang lebih bersungguh-sungguh terhadap semua kasus korupsi, termasuk korupsi yang telah terjadi dimasa lalu, dan bagi mereka yang telah terbukti bersalah agar dijatuhi hukuman yang seberat beratnya.”

Demikian pula dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI sendiri sebenarnya sudah secara jelas disebutkan dalam pasal 30 ayat (1) huruf b, “Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Mengacu kepada dua pasal tersebut, usaha pemberantasan korupsi dan penindakan hukumnya merupakan bagian tak terpisahkan dari tugas dan wewenang kejaksaan. Sehingga dengan demikian, kejaksaan tidak boleh berhenti hanya pada proses penyidikan dan penuntutan/melimpahkan kasus korupsi ke pengadilan. Namun juga harus diikuti hingga pelaksanaan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap. Dengan kata lain, jika kejaksaan tetap pada pendiriannya untuk menunda atau –dalam skenario terburuk- tidak melaksanakan eksekusi, maka sebenarnya kejaksaan sudah dapat dikatakan melanggar UU.

Yang mengkhawatirkan, ekses negatif dari terbengkelainya eksekusi terpidana korupsi adalah melemahnya keinginan masyarakat untuk terlibat dalam pemberantasan korupsi. Usaha sungguh-sungguh untuk melaporkan berbagai dugaan tindak pidana korupsi dan dukungan bulat yang dialamatkan kepada kejaksaan akan berbalik arah menjadi kekecewaan jika masyarakat secara kasat mata melihat bahwa para terpidana korupsi masih bisa berkeliaran secara bebas, lebih-lebih mereka yang hingga saat ini masih aktif menjadi pejabat publik. Tak dapat dibayangkan bagaimana hasil dari sebuah kebijakan, jika pihak-pihak yang terlibat dalam proses perumusannya memiliki cacat hukum dan moral.

Oleh karenanya, mempertahankan kebijakan untuk tidak mengeksekusi segera mungkin terpidana korupsi hanya akan menciptakan situasi yang tidak kondusif bagi program percepatan pemberantasan korupsi. Seprima apapun kinerja kejaksaan dalam menyeret pelaku korupsi ke meja hijau, tanpa diimbangi dengan tindakan tegas untuk melakukan eksekusi atas putusan pengadilan tidak akan berarti apa-apa. Karena sesungguhnya akhir dari penegakan hukum adalah ketika secara non-diskriminatif semua pelaku kejahatan (korupsi) menerima akibat yang setimpal. Lumpuh di ujung agenda barangkali merupakan kata yang tepat jika pelaksanaan (eksekusi) putusan pengadilan oleh kejaksaan dianggap bukan bagian yang esensial.

Monday, May 08, 2006

Membakar Kampung Maling

Lagi, upaya pemberantasan tindak kejahatan dicederai oleh tindakan koruptif aparat penegak hukum. Atmosfer penegakan hukum diselimuti awan hitam tak berbatas. Daya jangkaunya melebihi kemampuan angin kejujuran mengusirnya. Baru saja tuntutan aneh -tiga tahun untuk kepemilikan 20 kg sabu-sabu- dibuat oleh empat Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, tak lama kemudian pengadilan kasus Jamsostek ikut menyemarakkan. Ahmad Djunaedi terpidana kasus Jamsostek tiba-tiba menyanyi. Ia sudah menyerahkan dana ratusan juta rupiah untuk jaksa.

Slide hidup yang memampangkan kenyataan konkret diatas sayang sekali kerap kehilangan jati diri kebenarannya oleh karena minus fakta hukum. Tak ayal, sulit menyeret aparat penegak hukum ke suatu arena pembuktian bahwa mereka telah melakukan korupsi karena jejak kejahatannya hampir tidak pernah ditinggalkan. Yang tersisa adalah sumpah serapah para terdakwa, yang meskipun sudah membayar ongkos kebebasan, tetap divonis bersalah oleh pengadilan.

Mirisnya, daya dukung optimum yang seharusnya lahir dari kepemimpinan baru di institusi penegak hukum untuk memberantas korupsi di lingkungannya sendiri terasa jauh dari asa. Respon yang datar, bahkan cenderung defensif ketika menanggapi adanya indikasi pemerasan atau penyuapan yang melibatkan aparatur penegak hukum kental dengan spirit melindungi korps. Walhasil pemeriksaan internal terhadap mereka yang tersebut namanya menerima sogokan dalam penanganan perkara dilakukan dengan tertutup, diam-diam dan lemah akuntabilitasnya. Tak salah jika kemudian muncul istilah ’kampung maling’. Kalimat itu sejatinya hendak menegaskan bahwa institusi penegak hukum sudah sedemikian rusaknya.

Yang perlu menjadi catatan kritis, selama ini instrumen pengawas internal pada masing-masing lembaga peradilan tak kuasa mengikuti kegilaan perilaku koruptif aparat yang demikian kronis. Pendekatan oknum dalam melihat gejala korupsi di institusi penegak hukum sama sekali tidak dapat mengungkap praktek mafia peradilan yang berkembang sangat sistematis. Sebabnya perbuatan oleh oknum hanya dapat dialamatkan pada tindak kejahatan yang bersifat individual saja.

Namun ketika sebuah kejahatan sudah sedemikian luar biasa, dalam arti telah menjadi ritus dalam nafas sehari-hari lembaga penegak hukum, karena melibatkan hampir sebagian besar pegawai, maka cara-cara yang biasa untuk menangkalnya dapat dipastikan tak berdaya. Bukan hanya karena cara-cara biasa tidak memiliki cukup kemampuan untuk menghantamnya, akan tetapi cara-cara biasa nyatanya telah menjadi bagian dari mesin korupsi itu sendiri.

Oleh karena itu, proses pemeriksaan yang dilakukan oleh pengawas internal terhadap orang dalam yang nakal dapat dipastikan berujung kompromi. Satu per satu kasus dilihat sebagai kesalahan prosedur dan administrasi, sehingga mutasi adalah rekomendasi paling keras yang bisa dihasilkan. Mungkin benar kata seorang teman, aparat penegak hukum sangat berani melakukan korupsi karena mereka tahu betul bahwa merekalah yang akan mengadili diri mereka sendiri, bukan orang lain.

Lemahnya political will, mandulnya instrumen pengawasan internal dan gagapnya aturan hukum dalam merespon kejahatan mafia peradilan menjadi kombinasi faktor yang membuat korupsi di tubuh aparat penegak hukum sulit diberantas. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah gebrakan besar yang mengarah pada upaya untuk menyusun strategi pemberantasan korupsi di peradilan (judicial corruption) dengan cara-cara yang luar biasa (extra ordinary).

Pendekatan extra-ordinary dalam memberantas mafia peradilan harus dimulai dari perubahan pandangan bahwa judicial corruption bukanlah kejahatan individual, biasa dan sporadis, namun sudah sangat massif, sistematis, terus menerus dan menyebabkan dampak kerusakan yang luar biasa. Kerusakan itu meliputi hancurnya kepercayaan masyarakat terhadap proses hukum, munculnya kebiasaan main hakim sendiri, sulitnya mendapatkan akses keadilan, sulitnya menjerat aktor utama dalam tindak kejahatan (korupsi), tiadanya kepastian hukum dan runtuhnya makna teks hukum karena apa yang ditulis sangat berbeda dengan apa yang terjadi.

Meskipun demikian, gebrakan untuk melibas mafia peradilan tidak cukup hanya berhenti pada perubahan pandangan. Selanjutnya perlu diikuti dengan tindakan dan aksi konkret yang dapat diarahkan pada beberapa aspek strategis kebijakan pemberantasan korupsi. Kebijakan yang berhubungan dengan problem struktural, yakni ranah kebijakan dimana aparat penegak hukum perlu mengalami pembersihan besar-besaran (sterilisasi) dengan memulai meletakkan ukuran-ukuran yang objektif (integritas dan profesionalisme) dalam proses rekrutmen, mutasi dan promosi. Menempatkan orang-orang bermasalah pada posisi strategis karena tidak mempertimbangkan rekam jejaknya hanya akan memperpanjang usia rezim mafia peradilan.

Karena posisi aparat penegak hukum merupakan bagian tak terpisahkan dari pelaksanaan fungsi lembaga negara, maka setiap cela yang muncul dalam penanganan perkara kejahatan maupun yang berhubungan dengan ketidaktaatan terhadap kewajiban tidak dapat direduksi hanya sekedar pelanggaran sepele. Disini letak keteladanan dari pimpinan institusi penegak hukum menjadi sangat menentukan. Oleh karena itu, tindakan tegas untuk mengandangkan aparat penegak hukum bermasalah tidak hanya bisa dilakukan dengan melakukan pemeriksaan biasa, tapi perlu keberanian untuk menon-aktifkan siapapun yang sedang diperiksa sebagai wujud dari keseriusan dalam memberantas mafia peradilan.

Semua sudah faham jika jejak mafia peradilan nyaris tanpa bekas. Sementara konsepsi pemberantasan korupsi yang telah diatur dalam berbagai perundang-undangan saat ini dirasa sangat konservatif karena mandul dalam mengendus dan memidana pelaku judicial corruption. Yang paling mungkin untuk melacak adanya perbuatan korupsi dalam penanganan perkara adalah dengan mengukur harta kekayaan yang dimiliki. Sayangnya, mekanisme pelaporan harta kekayaan pejabat negara kepada KPK belum bisa menjadi instrumen yang efektif untuk meredam perilaku koruptif aparat penegak hukum. Hal ini karena tidak diikuti oleh sebuah mekanisme bahwa setiap temuan yang mencurigakan dari pelaporan harta kekayaan seharusnya dibuktikan sendiri oleh pemiliknya. Jika fungsi pembuktian secara hukum masih dibebankan kepada penyidik, maka dapat dipastikan bahwa praktek mafia peradilan akan terus berlanjut. Oleh karenanya, penerapan sistem pembuktian terbalik murni –bukan pembuktian terbolak-balik- harus menjadi satu bagian penting dalam memberantas mafia peradilan.

Bagian lain yang tak kalah penting adalah soal keberadaan saksi. Dalam berbagai kasus mafia peradilan yang terungkap, posisi saksi sangat signifikan. Bisa jadi saksi itu adalah korban atau pelaku, namun jika target pemberantasan korupsi diarahkan pada upaya membersihkan institusi penegak hukum, maka prioritas penanganan kasus harus diarahkan pada aparat penegak hukum itu sendiri. Sebaliknya, saksi harus mendapatkan perlindungan yang maksimal supaya dapat secara bebas membeberkan siapa-siapa saja aparat yang terlibat. Namun jika saksi masih dalam posisi tertekan, bahkan bisa dipidanakan karena pasal pencemaran nama baik misalnya, maka mimpi untuk membakar ’kampung maling’ sulit untuk dilakukan.

Sunday, April 16, 2006

Standar Ganda Pemberantasan Korupsi

Mekanisme ijin pemeriksaan terhadap para pejabat negara yang sedang menghadapi masalah hukum merupakan kendala tersendiri bagi percepatan pemberantasan korupsi. Meskipun dalam kurun waktu pemerintahan SBY proses pengurusan ijin pemeriksaan tidak mengalami hambatan berarti, namun dalam kasus-kasus tertentu -seperti dalam kasus Ali Mazi- ijin pemeriksaan tetap sulit keluar. Hal ini tak pelak memicu tanda tanya besar, apakah komitmen pemerintahan SBY dalam memberantasan korupsi benar-benar serius atau tidak.

Terlambatnya proses pemeriksaan seorang saksi ataupun tersangka, khususnya dalam kasus korupsi karena persyaratan ijin pemeriksaan memang tidak bisa lagi dianggap hanya sebatas keribetan administratif. Namun jauh lebih jauh dari itu adalah warisan masalah pada format politik lama yang terkandung dalam beberapa regulasi. Sehingga ketika ada keterlambatan dalam mengeluarkan ijin pemeriksaan, hal itu tidak bisa dianggap sebagai kekhilafan orang per orang belaka, melainkan sebuah kesalahan sistem yang selama ini sengaja diciptakan untuk melindungi praktek kejahatan kekuasaan.

Dengan demikian, puluhan ijin pemeriksaan yang telah dikeluarkan oleh SBY tidak serta merta membuat persoalan ini menjadi selesai. Memang harus diakui bahwa kemauan Presiden untuk secara objektif menyetujui pemeriksaan terhadap siapapun pejabat negara yang diduga terlibat korupsi sangat mengesankan. Paling tidak jika dibandingkan dengan presiden-presiden sebelumnya. Angka hingga delapan puluhan ijin pemeriksaan yang telah ditandatangani SBY merupakan jumlah yang fantastis. Sekali lagi jika dibandingkan dengan presiden sebelumnya.

Akan tetapi, kebijakan untuk secara mudah memberikan ijin pemeriksaan tidak bisa dijadikan sebagai ukuran untuk mengatakan bahwa program pemberantasan korupsi dianggap berhasil. Karena dalam diri aturan ijin pemeriksaan terdapat diskresi bagi seorang Presiden. Pasalnya, Presiden memiliki hak untuk tidak atau memberikan ijin pemeriksaan bagi pejabat negara yang hendak diperiksa aparat penegak hukum. Dengan tidak memberikan ijin, Presiden tidak dianggap bersalah atau dapat dikenakan sanksi. Hanya saja pada masa ini kebetulan Presiden SBY tidak memiliki kepentingan subjektif untuk tidak memberikan persetujuan ijin pemeriksaan. Tapi hal ini tidak dapat dijamin ketika Presiden sudah berganti, ketika kekuasaan sudah mengalami rotasi.

Pendek kata, program pemberantasan korupsi sebagai bagian dari upaya untuk mendorong proses demokratisasi masih sangat bertumpu pada kemauan politik seorang pemimpin. Selain daripada itu, program pemberantasan korupsi masih berada pada format politik lama yang sewaktu-waktu dapat mengancam momentum pemberantasan korupsi, terutama jika kemauan politik pemimpin bergeser sesuai dengan kepentingan politiknya. Oleh karena itu, satu-satunya cara untuk melepaskan diri dari program pemberantasan korupsi yang sangat diskresional, perlu diupayakan untuk melakukan beberapa perbaikan dalam ranah kebijakan publik. Dengan kata lain, ijin pemeriksaan sebagai prasyarat untuk memeriksa pejabat negara harus dienyahkan dari berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. Paling tidak, ada beberapa argumentasi yang mendasari penghapusan itu.

Pertama, mekanisme ijin pemeriksaan yang hanya dikhususkan bagi pejabat negara telah mendistorsi prinsip non-diskriminasi dalam pelaksanaan hukum. Jika kita sepakat untuk menjunjung tinggi sistem negara hukum, maka regulasi seharusnya tidak diciptakan untuk menguntungkan salah satu pihak, apalagi melindungi kepentingan kekuasaan tertentu.

Pejabat negara yang sedang berperkara tidak ada bedanya dengan rakyat jelata yang menghadapi kasus kriminal. Mereka bukanlah kelompok istimewa yang ketika berurusan dengan hukum harus melalui proses yang rumit dan berbelit-belit sehingga sulit untuk menyentuhnya. Justru sebaliknya, karena mereka adalah pelaksana mandat kekuasaan dari rakyat, maka pejabat negara yang sedang diduga melanggar hukum harus menjadi prioritas untuk diperiksa. Bukan justru menghalangi-halangi proses pemeriksaan itu dengan memberikan persyaratan adanya ijin pemeriksaan.

Kedua, sampai saat ini tidak pernah mencuat sebuah argumentasi yang sangat kuat untuk tetap mempertahankan adanya mekanisme ijin pemeriksaan bagi pejabat negara yang akan diperiksa. Baik DPR maupun pihak eksekutif yang telah membuat beberapa kebijakan menyangkut keharusan adanya ijin pemeriksaan dari pejabat tertentu tidak pernah bisa menjelaskan apa urgensi dari persyaratan itu.

Dengan demikian, patut dicurigai latar belakang dibuatnya kebijakan tersebut semata-mata hanya untuk melindungi kepentingan kelompok yang sedang berkuasa. Disinilah sebenarnya pertanyaan mengenai apakah sistem demokratis yang tengah kita kembangkan sudah menyentuh isu yang sensitif, khususnya pada warisan politik lama yang terkesan memberikan banyak kekebalan hukum bagi pejabat negara.

Ketiga, adanya ijin pemeriksaan kerap disalahgunakan oleh aparat penegak hukum untuk tidak memproses perkara korupsi yang melibatkan pejabat negara. Tameng yang paling mudah digunakan aparat penegak hukum ketika masyarakat menagih kinerja penanganan perkara korupsi, khususnya kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara adalah bahwa ijin pemeriksaan belum keluar. Di satu sisi, masyarakat sulit melacak kebenaran alasan tersebut karena mekanisme permohonan ijin sangat tertutup, hanya diketahui oleh aparat penegak hukum dengan pihak yang memiliki otoritas untuk memberikan ijin.

Keempat, ijin pemeriksaan menciptakan kontradiksi dengan kebijakan percepatan pemberantasan korupsi yang dicanangkan SBY. Tidak dapat dipungkiri bahwa mekanisme ijin pemeriksaan telah menghambat upaya aparat penegak hukum untuk melanjutkan proses pemeriksaan. Hal mana terjadi pada kasus Ali Mazi, gubernur Sulawesi Tenggara yang tengah diperiksa Timtas Tipikor dalam kasus dugaan korupsi Hotel Hilton. Tidak hanya itu, di banyak daerah dimana Kepala Daerah atau DPRD tengah berurusan dengan hukum dalam kasus korupsi, kemacetan menjadi fenomena jamak. Dan sebagaiannya karena alasan belum keluarnya ijin pemeriksaan dari otoritas terkait.

Sesungguhnya jika percepatan pemberantasan korupsi dimaknai sebagai usaha untuk mempermudah dan mempersingkat proses penanganan kasus korupsi, khususnya yang melibatkan pejabat negara, maka mekanisme ijin pemeriksaan adalah penghambat yang utama.

Apalagi dalam pertemuan seluruh Kepala Kejaksaan Tinggi se-Indonesia di Ciloto pada Desember silam, telah disepakati bahwa salah satu indikator kinerja kejaksaan dalam memberantas korupsi adalah penanganan perkara korupsi yang berbobot dan menjadi perhatian masyarakat luas. Dengan demikian, jika mekanisme ijin pemeriksaan tetap dipertahankan sebagai sebuah kebijakan, maka sebenarnya Pemerintah sedang menerapkan standar ganda dalam pemberantasan korupsi.

atau dapat dibaca di:
http://www.antikorupsi.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=7834

Friday, March 24, 2006

Menguji Integritas KPK

Tertangkapnya salah satu penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Ajun Komisaris Polisi Suparman, yang diduga kuat memeras saksi kasus korupsi PT Industri Sandang Nusantara, telah menunjukkan kepada publik bahwa institusi KPK tidak steril dari proses pembusukan. Masalah ini menjadi kian serius mengingat KPK adalah lembaga baru pemberantasan korupsi yang memiliki kewenangan besar, sekaligus menjadi harapan terakhir masyarakat yang sangat merindukan adanya institusi penegakan hukum yang benar-benar bersih dari praktek korupsi. Harapan tersebut setidaknya dapat dilihat dari banyaknya laporan masyarakat di berbagai wilayah Indonesia kepada KPK, yang hingga saat ini telah mencapai angka sebelas ribu lebih.

Segala kemungkinan memang tidak dapat ditolak, tapi jika kasus pemerasan telah menjadi bagian dari sistem kerja KPK, dengan terpaksa kita harus mengatakan tutup buku terhadap pemberantasan korupsi. Postulat yang mengatakan bahwa kian besar kekuasaan/kewenangan kian tinggi kemungkinan penyimpangannya telah terbukti. Dan Suparman bisa jadi adalah titik api yang kebetulan dapat dideteksi. Pendek kata, semua pegawai di KPK memiliki peluang yang sama untuk menjadi seperti Suparman.

Lantas kepada siapa masyarakat bisa menaruh kepercayaan? Tentu, sebagai masyarakat yang telah dewasa, kita perlu melihat perkara ini secara obyektif, dalam arti kasus pemerasan oleh penyidik KPK masih sebatas gejala deviasi yang ditunjukkan oleh perbuatan individu belaka yang terlepas dari kebijakan dan sistem KPK secara keseluruhan. Kita sedikit merasa lega karena mekanisme pengawasan internal KPK dapat menangkap dan merespons dengan cepat sinyal penyimpangan itu, meskipun tak dapat dimungkiri bahwa terbongkarnya kasus pemerasan oleh penyidik KPK berangkat dari informasi yang disampaikan masyarakat, bukan dari KPK sendiri.

Karena itu, supaya praktek deviasi yang dilakukan anggota KPK tidak bertransformasi menjadi kejahatan sistemik, penting bagi pemimpin KPK untuk memikirkan ulang beberapa isu strategis. Gagasan yang mendorong agar KPK memiliki perwakilan di daerah agaknya sangat riskan untuk diwujudkan mengingat rentang kendali atas operasionalisasi penanganan kasus korupsi menjadi sangat jauh dan berisiko. Dikhawatirkan akan muncul para pemeras baru di tubuh KPK yang dapat menjalankan kejahatannya tanpa bisa dideteksi dan diketahui oleh sistem pengawasan internal KPK.

Suburnya budaya kongko-kongko antarpemimpin daerah dalam forum musyawarah pimpinan daerah (muspida) menjadi faktor yang penting bagi KPK untuk tidak membuka kantor perwakilan di daerah. Bagaimanapun, kebiasaan-kebiasaan buruk yang dimaklumi itu secara faktual telah mempersulit praktek pemberantasan korupsi di berbagai daerah. Pertimbangannya, jika kemudian KPK hadir di daerah--dengan menjadi atau tidak menjadi bagian dari forum kemuspidaan--sulit untuk menempati posisi sebagai pihak yang independen dalam konteks kekuasaan di tingkat lokal. Lebih baik KPK mengembangkan kapasitas kelembagaan dalam kaitannya dengan fungsi koordinasi dan supervisi ketimbang menempatkan personal dan perwakilan KPK di berbagai daerah.

Munculnya pemerasan oleh penyidik KPK sendiri menunjukkan mekanisme rekrutmen para personel KPK, khususnya yang memiliki tanggung jawab langsung terhadap penanganan kasus korupsi, meninggalkan banyak kelemahan. Semua pasti sudah mafhum bahwa penyidik KPK adalah mereka yang, sebelum ada KPK, menjadi personel di kejaksaan dan kepolisian. Gambaran ini menjadi sangat ironis berhubung KPK lahir dan dibentuk dengan alasan parahnya praktek korupsi yang menjangkiti kejaksaan dan kepolisian. Jika KPK kemudian menerima personel penyidik dari kedua institusi tersebut, tentunya bunyi sebuah iklan, "jeruk makan jeruk", akan menjadi kenyataan.

Yang memprihatinkan, jika kecurigaan masyarakat ini benar, KPK selama ini hanya menerima begitu saja tenaga personel penyidik dari kejaksaan dan kepolisian untuk ditugasi di KPK, tanpa ada pengujian dan penyaringan lebih serius dari sisi integritas dan kapasitasnya. Harus diakui, dalam soal rekrutmen tenaga penyidik, KPK memiliki posisi yang dilematis. Sebab, di satu sisi, mereka tidak memiliki kewenangan untuk merekrut tenaga penyidiknya sendiri (di luar penyidik kejaksaan dan kepolisian), sementara di sisi lain penanganan korupsi sudah harus mulai dilakukan. Jikapun KPK menolak tenaga penyidik yang sudah disodorkan oleh pemimpin kejaksaan dan kepolisian karena alasan-alasan integritas dan kapasitas, dikhawatirkan kedua institusi itu tidak mau memberikan tenaga penyidiknya kepada KPK karena masalah ketersinggungan, misalnya.

Keterbatasan KPK untuk merekrut sendiri tenaga penyidik di luar polisi dan jaksa merupakan buah dari belenggu peraturan perundang-undangan, baik yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana maupun dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, khususnya pasal yang mengatur soal penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Pada prinsipnya belenggu peraturan itu membatasi KPK untuk dapat merekrut tenaga penyidik di luar para penyidik di kejaksaan dan kepolisian.

Karena itu, peristiwa terbongkarnya kasus Suparman dapat dijadikan momentum bagi pemimpin KPK untuk mendorong upaya perubahan (amendemen) terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang selama ini justru membelenggu kinerja KPK sendiri. Kekhawatiran sebagian pihak bahwa pengajuan amendemen terhadap Undang-Undang KPK justru akan dimanfaatkan oleh politikus Senayan untuk mempreteli kewenangan KPK memang perlu diperhatikan. Namun, suara keprihatinan yang muncul di DPR atas peristiwa Suparman bisa dijadikan pintu masuk untuk mendesakkan perbaikan perundang-undangan yang selama ini justru sangat menghambat kinerja penanganan kasus korupsi oleh KPK.

Terbongkarnya kasus Suparman atas dasar laporan masyarakat menegaskan bahwa dalam pemberantasan korupsi, masyarakat memiliki peran sentral dan strategis. Tanpa adanya laporan tersebut, kemungkinan Suparman ditangkap sangatlah kecil. Karena itu, KPK seyogianya mengolah strategi komunikasi dan kemitraan dengan masyarakat untuk mengembangkan kemungkinan baru yang dapat menempatkan masyarakat sebagai bagian tak terpisahkan dari program pemberantasan korupsi secara keseluruhan. Barangkali ICAC (lembaga semacam KPK) di Hong Kong dapat dijadikan salah satu referensi bagaimana program kemitraan dengan masyarakat sangat membantu upaya pemberantasan korupsi.

sumber: http://www.korantempo.com/korantempo/2006/03/24/Opini/krn,20060324,63.id.html

Tuesday, February 21, 2006

Menghormati Pengemplang BLBI

Disengaja atau tidak, preseden buruk dalam pemberantasan korupsi telah ditorehkan oleh Pemerintah SBY dengan menerima tiga pengemplang dana BLBI di istana negara. Menurut versi media massa, mereka datang ke istana hendak menyelesaikan kredit BLBI yang selama ini sudah mereka terima. Sangat mungkin mereka terinspirasi oleh Atang Latief (mantan Komisari Utama Bank BIRA) yang telah menyerahkan diri ke Mabes Polri terlebih dahulu. Hanya berbeda dengan Atang Latief, mereka jauh lebih kreatif karena memilih istana negara sebagai tempat untuk ‘menyerahkan diri’.

Mengapa di istana? Tak dapat dipungkiri bahwa istana negara telah mengalami desakralisasi yang luar biasa pada saat Abdurahman Wahid (Gus Dur) menjadi Presiden. Istana yang sebelumnya ‘angker’, kini -katanya- dapat didatangi oleh siapapun, termasuk juga mungkin penjahat.

Akan tetapi proses desakralisasi bukan tanpa latar sejarah yang membentuknya. Mendekatkan pemimpin dengan rakyatnya adalah sejatinya dari desakralisasi istana. Sehingga konteks desakralisasi tidak dapat secara sembrono dimaknai sebagai ruang yang bebas nilai. Oleh karena itu, jika juru bicara presiden mengatakan bahwa siapapun boleh berkunjung ke istana -termasuk didalamnya pengemplang dana BLBI-, itu adalah argumentasi yang ahistoris, baik ahistoris dalam konteks desakralisasi maupun ahistoris dalam konteks terjadinya penyelewengan BLBI.

Masyarakat tentu saja patut kecewa dengan peristiwa tersebut. Sekedar mengingatkan kembali, berdasarkan hasil audit investigasi BPK per Juli 2000, dana BLBI yang telah mengucur senilai 144,5 Triliun kepada Bank Beku Operasi (BBO), Bank Take Over (BTO), Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) dan Bank Dalam Likuidasi (BDL) ternyata 59,7 persennya (Rp 84,8 Triliun) menyimpang dan berpotensi menyebabkan kerugian negara. Masih menurut BPK, penyimpangan tersebut dilakukan oleh dua pihak yakni Bank Indonesia sebagai penyalur BLBI dan bank penerima BLBI.

Disebut menyimpang karena pada prinsipnya penggunaan dana BLBI hanya boleh digunakan untuk mendanai atau menalangi dana nasabah. Akan tetapi nyatanya sekitar 48 Bank penerima BLBI justru menggunakan fasilitas BI tersebut untuk kepentingan lain. Oleh BPK, penyimpangan penggunaan dana BLBI dikategorikan ke dalam sebelas modus kejahatan BLBI. Empat modus terbesar adalah menggunakan dana BLBI untuk kepentingan membayar kewajiban (utang) kepada pihak terkait, membiayai kontrak derivatif baru atau membayar kerugian karena kontrak derivatif lama yang jatuh tempo, membiayai ekspansi kredit dan membiayai kegiatan lain-lain yang menyimpang dari peruntukan BLBI.

Di sisi lain, BI sebagai penyalur BLBI juga memiliki peran penting dalam terjadinya penyimpangan. Paling tidak, fungsi pengawasan BI tidak berjalan sama sekali. Akibatnya sanksi tegas dan konsekuen terhadap pelanggaran tidak dilakukan. Terhadap pelanggaran yang sangat materialpun tidak diberikan tindakan, seperti misalnya pelanggaran terhadap Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK), pelanggaran prinsip prudential banking maupun terhadap kejanggalan mutasi akuntasi dalam laporan yang disampaikan perbankan kepada BI.

Substitusi Penegakan Hukum

Dengan bercermin pada hasil audit investigatif BPK diatas, kehadiran tiga pengemplang dana BLBI ke istana negara tidak sekedar dapat dianggap sebagai upaya yang dapat mengaburkan mekanisme penyelesaian BLBI. Akan tetapi juga dapat berimplikasi luas terhadap proses penegakan hukum yang sedang diupayakan oleh Pemerintah SBY sendiri. Paling tidak ada beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai argumentasi penjelasnya.

Pertama, menempatkan istana negara sebagai arena untuk menyelesaikan permasalahan BLBI yang kental dengan aroma pidana korupsinya secara politis akan menempatkan hukum sebagai sub-sistem kekuasaan belaka. Bangunan negara hukum yang pondasinya tengah diletakkan secara kokoh dapat segera runtuh seandainya mekanisme loby dan negosiasi pejabat negara dengan para debitor dijadikan sebagai jalan pintas penyelesaian perkara BLBI, meski untuk tujuan yang positif sekalipun, misalnya untuk mengembalikan kerugian negara.

Disamping itu, loby dan negosiasi yang terjadi di istana sangat berpeluang untuk menciptakan diskresi baru bagi kepala negara yang dapat menyingkirkan objektifitas sebagai kerangka kerja prosedur. Diskresi itu dapat berbentuk kekuasaan untuk mengampuni atau tidak pengemplang BLBI, untuk menentukan berapa kredit BLBI yang harus dilunasi, untuk menentukan apakah perlu diproses secara hukum atau tidak mereka yang selama ini telah menikmati dana BLBI dan bentuk diskresi lain yang luput dari mekanisme akuntabilitas publik. Padahal adanya diskresi dari seorang pejabat negara dalam lingkup sistem merupakan asal muasal terjadinya praktek korupsi itu sendiri.

Kedua, loby dan negoisasi pengemplang BLBI di istana negara dikhawatirkan akan menciptakan persepsi publik yang keliru bahwa perkara BLBI adalah soal kekhilafan semata sehingga niat ‘tulus’ untuk mengembalikan kredit BLBI dapat dipandang cukup sebagai prasyarat penyelesaian. Tak dapat dipungkiri munculnya keinginan para pihak untuk mengembalikan dana BLBI yang pernah diterimanya sangat membantu penyelesaian utang piutang yang telah sekian lama berlarut-larut.

Akan tetapi, menempatkan posisi pengemplang BLBI sebagai pihak yang steril dari jangkauan hukum hanya akan menciptakan budaya permisif korupsi -yang sebenarnya saat ini sedang diperangi-. Hal ini mungkin terjadi karena penyelesaian dari kerugian negara yang timbul akibat perilaku kekuasaan yang distorsif dapat diselesaikan melalui mekanisme non-hukum. Jika penegakan hukum telah dapat disubstitusi oleh penyelesaian jalur belakang, maka pemerintah SBY sedang dalam situasi yang cukup membahayakan. Pertaruhan komitmen SBY dalam memberantas korupsi dalam kasus penyelewengan dana BLBI sangat tergantung dari bagaimana penyikapan dan kebijakan mereka terhadap para pengemplang BLBI.

Oleh karena itu, alangkah bijak jika pemilahan terhadap kasus BLBI yang terindikasi korupsi dengan yang bukan dilakukan secara transparan dan objektif. Bukan justru dengan memanfaatkan istana negara sebagai instrumen mediasi yang cenderung tertutup. Mengkaji ulang berbagai mekanisme penyelesaian BLBI yang selama ini mengacu pada Instruksi Presiden (Inpres) No 8 Tahun 2002 tentang Release and Discharge (R&D) jauh lebih menguntungkan posisi pemerintah SBY.

Hal ini mengingat BPPN yang ditunjuk sebagai lembaga yang telah melakukan Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PPKPS) secara resmi sudah bubar. Maka jalur penyelesaian BLBI dalam bentuk Master Of Settlement And Acquisition Agreement (MSAA), Master Of Refinancing And Note Issuance Agreement (MRNIA), dan/atau Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dan Pengakuan Utang (Akta Pengakuan Utang/APU) secara otomatis mengalami kevakuman. Dalam posisi idle inilah para pihak yang terkait dengan kasus BLBI dapat memanfaatkan situasi untuk menyelesaikan berbagai persoalan BLBI melalui ‘jalur alternatif’.

Thursday, January 26, 2006

Pengadilan di Persimpangan Jalan

Gagasan progresif Komisi Yudisial (KY) untuk mengganti seluruh hakim agung melalui mekanisme kocong ulang dapat dianggap sebagai puncak kegeraman terhadap praktek mafia peradilan yang telah mewabah. Tidak dapat disangkal bahwa praktek mafia peradilan sudah berkembang sejak jaman Orde Baru, sebagaimana diakui sendiri oleh Ketua MA, Bagir Manan. Namun tidak pada tempatnya Bagir Manan mengeluarkan pernyataan demikian karena seharusnya dipundaknyalah tanggung jawab memberantas mafia peradilan itu dilakukan. Apologi semacam itu tidak akan dapat menarik simpati dan mengubah pandangan negatif terhadap peradilan yang selama ini tertanam di pikiran masyarakat.

Tidak hanya karena fakta menunjukan bahwa kasus-kasus pemerasan dan suap yang melibatkan para pejabat di lingkungan pengadilan kerap muncul. Melainkan juga dari survey dan studi yang menunjukan bahwa lembaga peradilan merupakan wilayah yang paling sering terjadi praktek korupsi diluar Bea Cukai, Polisi, TNI dan Partai Politik (Transparency International Indonesia, Indeks Persepsi Korupsi 2004). Bahkan data terakhir yang dilansir KY menyebutkan bahwa 2.440 hakim atau sekitar 40% dari total 6.100 hakim dikategorikan bermasalah, yang pada akhirnya membuat praktek hukum diwarnai judicial corruption (Media Indonesia, 20/1/06).

Dalam situasi seperti ini, sektor yudikatif sulit untuk memberikan kontribusi yang signifikan dalam upaya mendorong efektifitas pemberantasan korupsi sebagaimana telah menjadi perhatian khusus pemerintahan SBY. Secara sederhana, ada atau tidaknya dukungan yudikatif terhadap komitmen pemberantasan korupsi pemerintahan SBY dapat diamati dari hasil dan kualitas vonis yang telah dikeluarkan oleh pengadilan, baik di tingkat pertama, banding maupun di MA dalam memutus perkara korupsi.

Berdasarkan hasil kompilasi pemberitaan di berbagai media massa tahun 2005, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat paling kurang terdapat 69 kasus korupsi dengan 239 orang terdakwa yang diperiksa dan diputus oleh pengadilan di seluruh Indonesia, mulai dari tingkat pertama (pengadilan negeri), banding (pengadilan tinggi), kasasi hingga peninjauan kembali (MA).

Dari jumlah itu, aktor korupsi yang diadili sebagian besarnya berasal dari kalangan eksekutif dan legislatif. Jumlah kasus yang melibatkan para terdakwa dari lingkungan eksekutif (kepala daerah, mantan kepala derah, dinas, sekda dsb) sebanyak 27 kasus. Sementara dari kalangan anggota atau mantan anggota dewan (legislatif) sedikit lebih banyak, sebanyak 28 kasus korupsi yang telah diproses di pengadilan. Sisanya adalah kasus korupsi yang melibatkan pihak swasta sebanyak 14 kasus.

Dari 69 kasus tersebut, sebanyak 27 kasus oleh hakim divonis bebas, dan 42 kasus yang akhirnya divonis bersalah. Namun dari kasus korupsi yang akhirnya diputuskan bersalah oleh pengadilan, hampir separuhnya (23 kasus) diputus dibawah 2 tahun penjara. Kualitas putusan yang demikian menggambarkan bagaimana visi dan pandangan hakim terhadap kejahatan korupsi. Patut disayangkan dalam situasi dimana pemberantasan korupsi sedang digalakkan, putusan hakim sama sekali tidak mendorong timbulnya efek jera. Jika kemudian orang tidak kunjung takut melakukan korupsi, hal itu lebih disebabkan karena tidak berwibawanya putusan pengadilan.

Memang perlu disadari tidak semua terdakwa kasus korupsi beruntung dapat menghirup vonis bebas ataupun hanya divonis dibawah 5 tahun penjara. Walikota Blitar non-aktif Imam Muhadi barangkali satu-satunya pejabat negara saat ini yang menyesal telah melakukan korupsi karena dijatuhi vonis penjara cukup berat. PN Blitar secara mengejutkan menjatuhkan vonis 15 tahun tahun penjara terhadap Muhadi yang didakwa melakukan korupsi dana APBD tahun 2002-2004 sebesar Rp 97 miliar. Berikutnya PN Pekanbaru yang menjatuhkan vonis 14 tahun penjara bagi Nader Taher yang didakwa melakukan penyelewengan kredit dari Bank Mandiri sebesar Rp 35,9 miliar. Sayangnya vonis berat yang dijatuhkan kepada pelaku korupsi masih dapat dihitung dengan jari.

Secercah Harapan

Lain ladang lain belalang, demikian pepatah bilang. Jika di pengadilan umum semangat pemberantasan korupsi masih terhambat oleh gagalnya hakim menerjemahkan rasa keadilan yang dituntut masyarakat. Paling tidak, pengadilan khusus korupsi (pengadilan Tipikor) berani memberikan sesuatu yang cukup menjanjikan.

Selama setahun Pengadilan Tipikor menjalankan tugasnya memeriksa dan memutus perkara korupsi yang penuntutannya diajukan oleh KPK, terdapat kecenderungan yang positif. Selain belum pernah ada putusan bebas yang dikeluarkan pengadilan Tipikor, tiga terdakwa yang mencoba mencari keadilan ke tempat yang lebih tinggi (banding dan kasasi) justru mendapatkan hukuman lebih berat. Sebut saja nasib yang dialami Abdullah Puteh yang pada akhirnya harus menerima hukuman lebih berat di MA paska dirinya mengajukan kasasi. Dua contoh lainnya adalah terdakwa Harun Let-Let dan Tarsisius Walla yang justru divonis lebih berat ditingkat banding dan kasasi.

Kecenderungan ini sekaligus dapat menyadarkan banyak pihak, bahwa mekanisme banding ataupun kasasi bukan jalan untuk mendapatkan kebebasan, tapi justru adalah kesulitan yang lebih besar. Hal ini akan membuat para pelaku korupsi berpikir berulang kali untuk mengajukan banding/kasasi, atau lebih baik langsung menerima putusan di pengadilan tingkat pertama, sebagaimana telah dilakukan oleh Mulyana W Kusuma, Hamdani Amin dan Susongko Suhardjo dalam kasus korupsi KPU. Jika pandangan ini terbentuk, maka secara otomatis tidak akan ada penumpukan perkara di PT maupun di MA yang selama ini menjadi masalah dan membuka peluang baru terjadinya praktek mafia peradilan.

Apa yang telah ditunjukkan oleh pengadilan Tipikor selama masa satu tahun ini mudah-mudahan akan menjadi fenomena baru bahwa pengadilan bukan tempat yang enak untuk menyelesaikan persoalan. Timbulnya rasa takut atau efek jera dari para terdakwa korupsi akan berdampak pada upaya membangun keyakinan pencari keadilan bahwa putusan di pengadilan dikeluarkan secara adil.

Namun demikian, tingkat kewaspadaan terhadap kemungkinan terjadinya praktek mafia peradilan di pengadilan Tipikor juga tetap harus dipertahankan. Kekhawatiran itu tidak lepas dari keberadaan hakim karir di pengadilan Tipikor yang oleh banyak kalangan diragukan integritasnya. Hal itu mengingat pada saat seleksi hakim Tipikor, MA tidak pernah mengumunkan, apalagi melakukan fit and propert test sebagaimana telah dilakukan terhadap hakim ad hoc. Mereka itulah yang dapat menjadi ‘racun’ bagi keberadaan pengadilan Tipikor yang sedang menata citra barunya.

Tulisan ini dimuat di koran Tempo, 25 Januari 2006
link:http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2006/01/25/brk,20060125-72897,id.html

Saturday, January 14, 2006

Negara Keliru Urus

Pinggir Jalan Tol Kapuk:13 Januari 2006:19.30 WIB

10 menit bis Damri lepas dari ruas jalan Bandara Cengkareng,

Tiba-tiba perasaan geram, kesal, marah, emosi, berkecamuk jadi satu...

Bayangkan, di saat hujan deras mengguyur Jakarta, Bis Damri jurusan Pasar Minggu yang menjadi pilihan ekonomis (Rp 15 ribu, kalau taksi bisa Rp 100 ribu) satu-satunya harus mogok di pinggir tol Kapuk...

Ini kali kedua pengalaman yang sama terulang...Sebelumnya, dalam hitungan dua bulan ke belakang, bis Damri jurusan Pasar Minggu juga apes...Mogok di pinggir tol Cawang...

Aneh!!! Jurusan Pasar Minggu tapi mogok di pinggir tol Cawang....
Namanya juga sopir angkutan...Soal trayek memang diatas kertas jelas jurusannya...Tapi soal selera jalan bisa lewat mana saja...

Penumpang yang protes langsung disemprot dengan kata mujarab, "Naik taksi aja!"..Dijamin langsung diam (kalau yang tetap nyerocos mungkin mantan sopir angkutan juga)

Sambil menikmati kemarahan, iseng-iseng memutar memori hari ini...

Kebetulan sebelumnya sempat ketemu orang bpkp...

Diskusi soal kasus pln yang menyesakkan...

Betapa tidak, pln harus menyewa software dan hardware dari swasta untuk menjalankan program reguler mereka melayani pelanggan...

Tiap bulan kocek pln harus keluar 1,4 miliar...Sinting!!! Batin ini mengumpat keras...

Orang bpkp itu bilang, di kita ini (baca: Indonesia) kalau mau jual aset negara diturunkan harganya (istilahnya mark-down)...Jual tanah perumnas diturunkan NJOPnya...Mau jual aset BPPN diturunkan harganya...(kalau bisa murah, kenapa harus mahal)

Tapi kalau mau beli barang/jasa baru, harganya pasti dinaikkan....(opposite dari mark-down, yakni mark-up) Beli baju seragam pns dilipatgandakan harganya...Beli bahan bangunan ditinggikan nilainya...Beli pesawat bekas dibilang baru...Dan beli bis Damri busuk...dihargai bis baru (kalau bisa mahal, kenapa dibeli murah)

Konsumen jadi korbannya...
Korban ganda dari salah urus negara...
Pajak yang dibayarkan kepada negara dikorupsi, pelayanan publik yang diberikan negara tidak manusiawi....

Ukuran manusiawi itu gampang: nyaman, murah, cepat...
Seperti juga dalam kasus mogoknya bis Damri, ini akibat langsung dari salah urus negara secara makro....

Spare part tidak dibeli, padahal anggaran dialokasikan...Jika terpaksa membeli, cari barang bekas tapi harga baru....

Ah...aku, kalian dan orang-orang yang mengalami pengalaman serupa adalah korban...Korban dari kekuatan jahat yang mendominasi negeri ini...

Tiba di Kalibata, waktu sudah menunjukan 21.30 WIB...Hujan masih mengguyur...membasahi kepala dan badan ini...

Dibalut dinginnya malam, hati semakin berketetapan, melawan korupsi tidak boleh berhenti....

Kalibata, 23.17 WIB....

Dialog Hakim Agung dengan Camry

Hakim Agung:
Mas Camry, kita ini pejabat negara, jadi sangat layak untuk mendapatkan fasilitas yang nyaman untuk menunjang pekerjaan mulia dalam rangka menegakan keadilan, hakim agung itu khan lambang keadilan yang paripurna...

Camry:
Jadi yang dibutuhkan bapak apa?

Hakim Agung:
Ya kami tidak muluk-muluk, paling tidak kondisi memprihatinkan kami turut diperhatikan oleh negara, mosok mobil dinas kita itu cuma kijang? Sudah pada butut lagi...Sepertinya ketika kami memakai itu, hilang kewibawaan kami, kami merasa dilecehkan...Khan enggak adil kalau kami diharuskan bekerja profesional tapi penunjang operasional kami tidak dipikirkan negara...

Camry:
Bukankah bapak seharusnya ingat, kalau pejabat negara itu tidak boleh mementingkan diri sendiri, khan mantan presiden amerika yang terkenal itu pernah bilang, jangan kau tanya apa yang kau dapatkan dari negara, tapi tanya apa yang telah kamu berikan kepada negara? Bapak tidak ingat?

Hakim Agung:
Ah...itu harus dilihat konteksnya dong....Itu khan kata-kata jaman kuno...Kita ini sekarang hidup di konteks yang modern, dan kata-kata itu tidak berlaku untuk jaman sekarang...Lho iya tho? Mosok masyarakat tidak percaya kalau kami ini sudah berupaya sekuat tenaga untuk bekerja demi kemajuan bangsa? Kami tidak menuntut, tapi kami cuma menagih hak saja...

Camry:
Apa buktinya bapak-bapak ini telah bekerja sungguh-sungguh? Buktinya menjamur praktek mafia peradilan di MA....

Hakim Agung:
Huss...itu oknum...Tolong diberi cetak tebal! itu Oknum!!! Memang ada yang seperti itu...Jumlahnya kira-kira 90 persen, tapi itu khan oknum!!! Kami ini yang 10 persennya kok....Kami ini yang mewakili MA, selebihnya sih anggap saja karena mereka gajinya kecil...Iya lho mas Camry...Gaji kami ini tidak cukup, makanya kalau ada yang main belakang dengan perkara, itu dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, untuk menjaga supaya dapur ngebul....Kalau gak percaya, cek aja daftar kekayaan kami...data di KPK khan ada 50 persen pejabat yudikatif yang belum menyerahkan daftar kekayaannya..Itu bukan karena mereka gak mau, tapi apa yang mau dilaporkan....!!!! Gak ada sama sekali!!!

Camry:
Tapi banyak khan hakim yang punya tanah, rumah, vila dan mobil mewah, kenapa itu tidak dilaporkan?

Hakim Agung:
Anda ini bagaimana sih? Itu khan didapat bukan dari pendapatan resmi kami...Itu hasil pekerjaan sampingan kami, jadi diluar pertanggungjawaban kami sebagai pejabat publik....Kalau kami kemudian punya berbagai macam kekayaan, kenapa sih pada protes??? Bukankah itu wajar? Kalau mengandalkan gaji sebagai hakim, mana tahan hidup seperti sekarang....

Camry:
Jadi itu hasil dari pekerjaan sampingan apa, pak?

Hakim Agung:
Itu uang jasa yang sering diberikan oleh pencari keadilan...Tapi itu gak dosa kok...mereka sangat ikhlas memberikan kepada kami...Ini bukan suap...Ini semacam uang terima kasih karena telah dibantu perkaranya...Kami bekerja tetap independen dan menjunjung nilai keadilan...Yah, kalau ada yang dikalahkan itu khan wajar..Di dalam pengadilan, kalah menang itu biasa...selalu ada yang menang dan selalu ada yang kalah...tapi kami memutus dengan seadil-adilnya....Kalau yang memberi ucapan terima kasih itu lebih banyak, ya kami menangkan...Itu khan adil, tho? Kami melihatnya dia lebih banyak berkorban...itu saja....

Camry:
Jadi, keadilan itu apa, pak?

Hakim Agung:
Kamu itu pertanyaannya melebar....Gak usah ditanya itu keadilan apa...Tapi yang harus dimengerti bagaimana kita memperoleh keadilan...Keadilan itu soal harga...Sudah jangan banyak tanya, hargamu berapa?

Camry:
Saya 300 sampai 400 juta pak!

Hakim Agung:
Oke...ini sudah ada uang 5 miliar, semua saya pakai untuk membeli kamu...Ini uang negara...jadi kami anggap ini bagian dari perhatian negara terhadap kami...Bukan korupsi, tho?

Camry:
Ya kalau saya sih manut saja, tergantung siapa yang beli, mau penjahat, koruptor atau alim ulama, saya gak perduli, yang penting laku....