Panja Penegakan Hukum dan Pemerintahan Daerah DPR RI menyimpulkan bahwa pemberantasan korupsi yang melibatkan anggota DPRD dan Kepala Daerah dilakukan dengan dasar hukum yang tidak tepat, diskriminatif, mengkriminalisasi kebijakan daerah dan mengarah pada skenario deparpolisasi. Oleh karenanya, dalam rekomendasi yang disampaikan kepada publik, Panja mendesak Presiden untuk merehabilitasi dan memulihkan nama baik anggota DPRD dan Kepala Daerah.
Rekomendasi itu tentunya mengejutkan karena keluar dari ruang Komisi II dan Komisi III DPR RI yang notabene merupakan tempat dimana pemberantasan korupsi seharusnya mendapat dukungan politik besar. Namun sayangnya, kekuatan itu justru digunakan mengintervensi sekaligus untuk mengerdilkan upaya penegakan hukum korupsi. Banyaknya kasus korupsi yang melibatkan para politisi daerah nyatanya tidak digunakan sebagai cermin untuk berbenah diri, tapi justru menyalahkan proses penegakan hukumnya.
Yang sangat disayangkan, rekomendasi itu tidak mengarah pada upaya perbaikan dan peningkatan profesionalisme aparat penegak hukum dalam menangani korupsi. Akan tetapi lebih menonjol sebagai upaya untuk menghentikan proses hukum korupsi atas politisi daerah. Padahal desakan untuk menghentikan proses hukum korupsi merupakan bentuk nyata dari adanya intervensi politik. Tekanan politik semacam ini tentu saja telah menjadi ancaman serius bagi usaha-usaha yang dilakukan untuk menegakkan hukum, sekaligus dapat mengendurkan semangat pemberantasan korupsi.
Proteksi politik demikian sebenarnya merupakan sebuah skenario panjang yang telah diupayakan politisi Senayan sejak beberapa waktu lalu. Dalam rapat dengar pendapat Komisi III DPR RI dengan Kejaksaan Agung misalnya, agenda utama yang menjadi perhatian serius (baca: isu favorit) anggota Komisi adalah kasus-kasus korupsi DPRD. Hal itu berlanjut dengan permohonan kepada Mahkamah Agung untuk mengeluarkan surat edaran yang intinya supaya pengadilan menolak kasus korupsi yang berkaitan dengan PP 110/2000.
Ditilik dari kesimpulan-kesimpulan yang ditarik Panja Penegakan Hukum dan Pemerintah Daerah DPR RI yang berujung pada kesimpulan demikian, ada beberapa hal yang perlu dikritisi secara lebih mendalam.
Pertama, penggunaan dasar hukum yang tidak tepat dalam memproses kasus korupsi DPRD/Kepala Daerah. Memang tidak keliru jika PP 110/2000 tidak lagi digunakan sebagai dasar untuk menjerat anggota DPRD/Kepala Daerah karena telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Akan tetapi yang harus diingat, korupsi yang melibatkan DPRD/Kepala Daerah tidak melulu sekedar pelanggaran terhadap PP 110/2000, melainkan sangat beragam dan multi dimensi.
Dalam catatan ICW, ada beberapa modus yang biasanya terjadi dalam kasus ini. Mulai dari penggelembungan (markup) anggaran, pendapatan ganda (double anggaran), merekayasa sumber penerimaan yang illegal (mengada-adakan sumber penerimaan) dan pengeluaran fiktif. Dari berbagai modus tersebut, pelanggaran PP 110/2000 hanyalah satu dimensi saja, disamping pelanggaran hukum lainnya yang berkaitan dengan aturan keuangan negara maupun prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan negara yang bersih dari KKN. Dengan demikian, memanfaatkan isu pencabutan PP 110/2000 untuk menghentikan proses hukum terhadap para anggota DPRD/Kepala Daerah sangat tidak relevan dengan konteks hukumnya.
Kedua, diskriminasi hukum. Harus diakui bahwa proses hukum kasus korupsi, khususnya yang berhubungan dengan korupsi DPRD kental dengan nuansa diskriminasi. Namun diskriminasi ini harus dipandang dalam konteks keadilan masyarakat, yakni ketika para koruptor diberikan kekhususan penanganan dibandingkan dengan kejahatan lainnya. Tidak mengeksekusi anggota DPRD yang telah dinyatakan bersalah dan mendapatkan putusan tetap (in krahct) merupakan kebijakan diskriminatif. Tidak memproses secara adil semua pelaku korupsi APBD juga diskriminatif.
Akan tetapi, penyikapan politik dengan meminta pembersihan nama baik anggota DPRD/Kepala Daerah akibat dari perlakuan diskriminatif aparat penegak hukum merupakan agenda yang telah keluar dari visi pemberantasan korupsi. Sebaliknya, penyikapan politik secara demikian tak lebih dari upaya untuk melindungi politisi daerah dari jangkauan hukum, dengan berlindung dibalik kewenangan mengawasi penegakan hukum yang dimiliki anggota DPR RI. Seharusnya ketika praktek diskriminasi terjadi, DPR RI secara konsisten mendesak aparat penegak hukum untuk menjerat semua pelaku yang terlibat. Tidak justru sebaliknya, meneriakkan adanya diskriminasi, akan tetapi membuat rekomendasi yang diskriminatif pula.
Ketiga, kriminalisasi kebijakan publik. Yang harus dipahami, korupsi terjadi karena ada kewenangan yang disalahgunakan. Dalam proses pembuatan kebijakan publik, praktek korupsi diseludupkan. Dalam proses pembuatan kebijakan publik pula, kepentingan-kepentingan sangat mempengaruhi. Tidak mungkin perbuatan korupsi lahir tanpa beralaskan kebijakan. Memutuskan pengadaan barang/jasa dilakukan dengan penunjukan langsung terkandung dimensi korupsi. Memutuskan proyek dilakukan pada menjelang tutup buku tersembul dimensi korupsi.
Pendek kata, kebijakan tidak akan pernah steril dari kepentingan koruptif sehingga kerap melahirkan kebijakan koruptif. Hal ini akan menjadi urusan aparat penegak hukum jika kemudian ditemukan kerugian negara yang ditimbulkan dari kebijakan tersebut, apalagi jika secara nyata, pejabat yang bersangkutan diuntungkan dari kebijakan yang telah dibuatnya. Pertanyaannya kemudian, dimana kriminalisasi kebijakan publik itu dilakukan?
Keempat, deparpolisasi. Menggunakan isu deparpolisasi dalam kasus korupsi DPRD/Kepala Daerah justru menguak kepentingan sebenarnya atas agenda Panja Penegakan Hukum dan Pemerintah Daerah DPR RI. Seharusnya anggota DPR RI melihat bahwa pelaku korupsi yang tengah diproses secara nyata adalah para politisi, bukan pegawai birokrasi atau swasta. Menjadi terkesan sangat massif karena praktek korupsi itu dilakukan secara beramai-ramai/bersama-sama. Jika terdapat pimpinan partai politik dipenjara karena korupsi, yang perlu diingat bahwa pada saat diproses hukum, posisinya adalah sebagai pejabat publik, bukan pimpinan partai politik.
Tiadanya etik politik dalam sistem politik di Indonesia pada akhirnya memang membawa kegagalan untuk memisahkan secara tegas antara pejabat publik dengan elit politik. Tiadanya pemisahan itu membawa resiko adanya kesan deparpolisasi atas pengusutan kasus korupsi yang melibatkan pejabat publik yang secara kebetulan merupakan pimpinan partai politik atau elit politik.
Tulisan ini pernah dimuat di Koran Tempo, 13 Oktober 2006
No comments:
Post a Comment