Monday, October 12, 2009

Mengubah Wajah Korupsi Dewan

Tepat pada 1 Oktober lalu, seluruh anggota DPR terpilih periode 2009-2014 telah dilantik. Secara resmi, mereka sudah menyandang status sebagai pejabat negara dengan pendapatan per bulan paling kurang Rp 60 juta. Harapan terhadap anggota DPR baru cukup terbuka, terutama dengan sikap responsif beberapa di antara mereka atas bencana gempa bumi yang baru saja mengoyak Padang dan Jambi. Paling tidak, para wakil rakyat kita sudah menunjukan tindakan konkret dengan mengumpulkan dana sumbangan dari kocek mereka untuk membantu korban gempa. Semoga sikap itu bukan sebuah kepalsuan, tetapi wujud kepedulian yang akan tetap dipelihara hingga lima tahun ke depan.

Jika komitmen dan sikap peduli terhadap kesulitan yang dihadapi rakyat terus menyala, DPR ke depan akan mengukir sejarah baru sebagai wakil rakyat yang sebenarnya. Penderitaan masyarakat luas tentu saja bukan hanya disebabkan oleh bencana, namun soal-soal lain yang secara lahiriah masih dapat dilihat di sekitar kita. Sebut saja kemiskinan, tingginya angka pengangguran, gizi buruk, pendidikan yang masih rendah, dan sebagainya. Formulasi kebijakan publik yang akan disusun oleh DPR merupakan ukuran yang dapat digunakan untuk menilai, apakah sikap pro terhadap masyarakat luas itu hanya sekadar pencitraan belaka atau merupakan sikap autentik dari masing-masing wakil rakyat.

Muka DPR lama
Untuk saat ini, kita tentu belum dapat menilai secara utuh, apakah DPR yang baru saja dilantik dapat merealisasikan sepenuhnya janji-janji mereka pada saat kampanye pemilu kemarin. Yang pasti, kita tentu tidak berharap, DPR baru mengikuti jejak 'saudara tua' mereka yang sebagian dari wakil rakyat itu telah diproses oleh hukum karena terlibat kasus korupsi. Wajah DPR periode 2004-2009 memang banyak dihiasi oleh bopeng. Dalam konteks tindak pidana korupsi, paling tidak sudah ada 18 wakil rakyat terjerat oleh KPK dalam kasus suap-menyuap. Jumlah itu kemungkinan akan meningkat karena beberapa kasus korupsi DPR yang kini ditangani KPK belum selesai diproses, seperti kasus dugaan suap Miranda Gultom. Seluruh kasus itu terjadi di beberapa komisi dan melibatkan berbagai kader partai politik.

Belum jika kita menghitung beberapa pelanggaran terhadap kode etik yang telah secara telanjang dilakukan. Misalnya, pergi pelesiran ke luar negeri dengan kedok studi banding tanpa ada izin dari pimpinan DPR, melakukan kunjungan daerah fiktif pada saat reses, menerima gratifikasi dari pihak ketiga, melakukan pertemuan ilegal dengan pihak ketiga untuk membicarakan keputusan politik, dan berbagai bentuk pelanggaran kode etik lainnya.

Terkesan, pada era sebelumnya, anggota DPR mudah menyimpangkan wewenangnya. Secara umum, praktik abuse of power yang dilakukan anggota DPR periode lama memang begitu mengkhawatirkan. Hampir seluruh wewenang DPR, mulai dari fungsi anggaran, fungsi legislasi, fungsi pengawasan, dan fungsi-fungsi tambahan lain, seperti memilih pejabat publik, tak luput dari penyimpangan. Bahkan, di antara pelaku, ada yang tertangkap tangan oleh KPK karena menerima suap dari pihak ketiga. Rawannya anggota DPR melakukan praktik penyimpangan menjadikan DPR dalam dua tahun berturut-turut ditempatkan sebagai lembaga terkorup di Indonesia oleh Transparansi Internasional Indonesia (TII).

Demikian halnya, menjelang akhir masa jabatan, kesan yang ditunjukkan kepada publik justru negatif. Khususnya, terkait dengan agenda pemberantasan korupsi yang semestinya didukung penuh secara politik oleh DPR. Usulan atau gagasan mengamputasi wewenang penyadapan dan penuntutan KPK oleh DPR merupakan sebuah keputusan politik yang sangat bertolak belakang dengan semangat masyarakat luas yang menginginkan pemberantasan korupsi terus dilakukan. Demikian pula ide untuk mengegolkan UU Rahasia Negara yang dalam kacamata publik luas dapat mengancam agenda pemberantasan korupsi.

Meningkatkan integritas DPR

Korupsi dan berbagai bentuk penyimpangan kekuasaan yang dilakukan DPR merupakan cermin dari lemahnya sistem integritas lembaga ini. Mudahnya anggota dewan melakukan kesepakatan ilegal dengan pihak ketiga untuk mengegolkan sebuah kebijakan menandakan bahwa kontrol internal tidak berjalan dengan baik. Meskipun kita harus sadari, sebaik apa pun sistem yang terbangun, tetap bergantung pada seberapa tinggi integritas personal anggota DPR.

Meskipun demikian, bukan berarti secara kelembagaan parlemen tidak perlu berbenah. Ada beberapa isu krusial yang dapat menjadi pintu masuk bagi upaya meningkatkan integritas anggota parlemen. Oleh karena itu, untuk menghindari terulangnya kembali praktik suap-menyuap yang terjadi dalam pelaksanaan fungsi wakil rakyat, ada beberapa hal yang harus dibenahi.

Pertama, DPR baru perlu mendesain sebuah aturan main yang lebih transparan dan melibatkan partisipasi publik dalam setiap proses pengambilan keputusan. Klausul yang memungkinkan wakil rakyat dapat membahas sesuatu secara tertutup harus dihapuskan dalam substansi tata tertib DPR ke depan. Jika dipertahankan, hal ini bukan saja bertabrakan dengan semangat yang diusung oleh UU Kebebasan Informasi Publik, tetapi juga menciptakan potensi terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Harus diingat bahwa ketertutupan merupakan pintu masuk terjadinya korupsi.

Kedua, DPR baru perlu merumuskan sistem integritas anggotanya dengan pengaturan mengenai kode etik yang lebih jelas dan ketat. Jika perilaku wakil rakyat tidak diatur dengan lebih ketat dan jelas, kemungkinan penyimpangan juga menjadi lebih tinggi. Padahal, kode etik merupakan alat pengendali yang efektif untuk mengerem terjadinya perilaku menyimpang sebelum korupsi menjadi sesuatu yang manifes. Pendek kata, kode etik yang dirumuskan dengan landasan spirit memberantas korupsi diharapkan dapat mengurangi terjadinya gelombang korupsi di DPR.

Ketiga, mengingat 70 persen anggota DPR periode 2009-2014 merupakan wajah baru, harus ada di antara mereka yang menjadi inisiator bagi terbentuknya kelompok antikorupsi di DPR. Mereka akan menjadi oposisi sekaligus pengontrol terhadap tindakan-tindakan koruptif, terutama yang terkait dengan skandal besar yang tidak hanya melibatkan personal wakil rakyat, tapi sudah menyeret kelompok yang lebih besar, seperti komisi atau fraksi. Kelompok antikorupsi ini potensial untuk membangun komunikasi yang intens dengan kelompok masyarakat sipil dan lembaga antikorupsi dalam mendorong terciptanya DPR ke depan yang lebih bersih.
(-)

Oleh: Adnan Topan Husodo
Wakil Koordinator ICW

Tulisan disalin dari Harian Republika, Sabtu, 10 Oktober 2009