Friday, August 29, 2008

Akuntabilitas Pemilu Terancam

Belum lama kampanye pemilu secara resmi berjalan, sudah dapat dipastikan audit Pemilu 2009 yang rencananya dilaksanakan pada April 2009 tidak akan akuntabel.

Bagaimana tidak, Undang-Undang No 10/2008 tentang Pemilu mewajibkan audit laporan dana kampanye bagi seluruh peserta pemilu,baik partai politik (parpol) maupun calon anggota DPD. Lebih lanjut diatur, untuk parpol peserta pemilu audit wajib dilaksanakan pada masing-masing pengurus di tingkat kabupaten/kota, provinsi,dan pusat.

Jika dihitung secara makro, ini artinya terdapat kurang lebih 20.000 entitas laporan dana kampanye peserta pemilu yang harus diaudit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) hanya dalam waktu 30 hari. Hal ini sesuai mandat UU Pemilu, bahwa yang melaksanakan audit terhadap laporan dana kampanye peserta pemilu adalah KAP yang mendapatkan rekomendasi dari Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI).

Secara teknis, akan sangat sulit melakukan audit terhadap seluruh laporan dana kampanye peserta pemilu dengan melihat keterbatasan jumlah auditor dan KAP itu sendiri. Data dari Ikatan Akuntan Publik Indonesia (IAPI) menyebutkan jumlah KAP yang ada di Indonesia hanya sekitar 400 dan di dalamnya terdapat 800-an auditor. Persoalannya menjadi lebih rumit karena jumlah KAP yang terbatas itu tidak menyebar secara merata di seluruh Indonesia.Kurang lebih 60% KAP berdomisili di Pulau Jawa.

Kesenjangan sebaran ini sangat riskan mengingat mandat UU Pemilu menyebutkan bahwa yang harus diaudit adalah seluruh laporan dana kampanye di setiap jenjang kepengurusan parpol, yakni kabupaten/ kota,provinsi,dan pusat. Mau tidak mau, tenaga auditor di KAP yang melakukan audit laporan dana kampanye harus disebar ke berbagai wilayah Indonesia.Konsekuensinya tentu berat, karena biaya untuk melakukan audit menjadi kian bengkak.

Dalam perhitungan kasar IAPI, untuk melakukan audit terhadap 20 ribuan entitas laporan dana kampanye paling kurang dibutuhkan dana Rp1 triliun dari APBN. Di sisi lain, IAI/IAPI sendiri sudah menyatakan keberatannya dengan tugas audit terhadap laporan dana kampanye yang demikian banyak.

Jelas Tidak Mampu

Jika dihitung berdasarkan kemampuan audit terhadap keseluruhan entitas laporan dana kampanye yang akan diperiksa, dengan alokasi waktu hanya 30 hari sebagaimana UU sudah batasi, catatan terakhir IAPI menunjukkan bahwa kemungkinan besar hanya ada sekitar seribu laporan dana kampanye yang bisa dijangkau.

Ini berarti, 19.000 laporan dana kampanye lainnya terancam tidak akan bisa diaudit. Perhitungan di atas merujuk pada ketersediaan jumlah auditor dan KAP,dibagi dengan beban kerja yang harus mereka tunaikan untuk mengaudit laporan keuangan dari para klien lain,di luar laporan dana kampanye yang menjadi kewajiban undangundang.

Barangkali seribu laporan dana kampanye yang bisa diaudit akan menyusut jika pada saatnya nanti tidak semua KAP bersedia melakukan audit terhadap laporan dana kampanye peserta pemilu. Hal terakhir ini memang menjadi kekhawatiran sendiri mengingat KAP tidak memiliki kewajiban untuk melaksanakan audit laporan dana kampanye.

Dengan demikian, bisa jadi banyak KAP yang lantas menolak melakukan audit.Alasannya sederhana, KAP tidak mau dijadikan kambing hitam atas buruknya hasil audit terhadap laporan dana kampanye peserta pemilu. Belajar dari Pemilu 2004, ketika laporan audit dana kampanye para peserta pemilu tidak menemukan indikasi penyimpangan, pihak yang dituduh ”main-main” pertama kali adalah KAP.

Berkaca pada fakta tersebut, sangat mungkin akan muncul berbagai macam implikasi yang buruk dalam pelaksanaan Pemilu 2009,khususnya terkait dengan audit laporan dana kampanye. Pertama, Pemilu 2009 sudah dapat dipastikan catat hukum karena kemungkinan besar tidak semua laporan dana kampanye yang telah menjadi mandat UU Pemilu dapat diaudit oleh KAP.

Dalam situasi seperti ini, kekacauan dalam pelaksanaan pemilu dan hasilnya sangat mungkin akan terjadi. Kedua, tentu saja peserta pemilu tidak ingin ada cacat hukum dalam pelaksanaan Pemilu 2009. Sangat mungkin kemudian terjadi praktik rekayasa terhadap audit laporan dana kampanye. Rekayasa itu bisa dilakukan dengan memalsukan berbagai identitas KAP resmi atau menjamurnya KAP-KAP gadungan yang dapat memfasilitasi pelaksanaan audit laporan dana kampanye secara ilegal.

Ketiga, pelaksanaan audit laporan dana kampanye tidak akan maksimal. Secara minimal, untuk menghindari adanya klaim cacat hukum terhadap Pemilu 2009, audit dana kampanye dilakukan sebatas formalitas.Konsekuensinya, audit yang menjadi instrumen untuk menjamin adanya transparansi dan akuntabilitas terhadap dana kampanye menjadi hilang maknanya.

Indikasinya sudah terlihat saat IAI dan KPU lebih condong untuk mengaudit laporan dana kampanye dengan pendekatan prosedur yang disepakati. Untuk mendapatkan hasil audit yang baik dengan pendekatan prosedur yang disepakati, prasyarat utamanya sangat berat.Yakni adanya kejujuran dari seluruh peserta pemilu untuk melaporkan dan mencatat semua sumbangan dan penggunaan dana kampanye, baik dalam bentuk uang, barang, maupun jasa.

Hal itu karena KAP hanya akan melakukan audit terhadap laporan dana kampanye yang diserahkan oleh peserta pemilu.Karena itu,jika sumbangan atau pengeluaran dana kampanye tidak dicatat dan dilaporkan,maka KAP tidak akan bisa melakukan audit atas keseluruhan dana kampanye yang digunakan. Lebih mengkhawatirkan lagi jika kelemahan-kelemahan di atas akan dimanfaatkan oleh peserta pemilu untuk menggunakan dana kampanye ilegal secara lebih membabi-buta.

Melihat gelagat bahwa dana kampanye akan sulit diaudit secara sungguhsungguh oleh KAP dengan berbagai keterbatasan di atas, sangat mungkin pemilu 2009 dijadikan arena pesta pora bagi para pelaku korupsi, penjahat lingkungan,cukong judi,gembong narkotika, dan sebagainya untuk menggelontorkan uang panas yang mereka miliki untuk memenangi Pemilu 2009.(*)

Adnan Topan Husodo
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch

Tulisan disalin dari Koran Seputar Indonesia, 29 Agustus 2008

Thursday, August 07, 2008

Lawan Tangguh KPK

Secara mengejutkan, Hamka Yandhu, politikus Golkar yang menjadi tersangka kasus korupsi dana BI, memberikan informasi blak-blakan saat dihadirkan sebagai saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pengakuannya, seluruh anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat RI yang membidangi keuangan menerima dana BI dengan jumlah variatif. Dua di antara mereka kini menjadi menteri, yakni Paskah Suzetta, Kepala Bappenas; dan M.S. Kaban, Menteri Kehutanan (Koran Tempo, 29 Juli 2008).

Keterangan yang disampaikan Hamka Yandhu sebenarnya di luar skenario yang selama ini berkembang. Berdasarkan informasi yang saya peroleh dari beberapa sumber, yang awal-awal berencana akan membuka semua pihak yang terlibat dalam kasus BI adalah tersangka Antony Zeidra Abidin. Namun, kini justru Antony lebih banyak diam atau justru membantah beberapa keterangan tersangka lain. Mengenai sebabnya, pastinya hanya Antony sendiri yang tahu.

Pengakuan Hamka Yandhu tentu saja telah mengubah drama kasus dana BI yang tadinya sempat monoton menjadi lebih menarik. Saat ini seluruh fokus perhatian diarahkan pada dua politikus yang menjabat menteri. Tak pelak, tuntutan untuk mengundurkan diri, dinonaktifkan, dan lain sebagainya menjadi bagian terbesar dari wacana mutakhir yang dimunculkan oleh media massa.

Yang agak luput dari sorotan pers adalah bagaimana Hamka Yandhu kemudian dilindungi dari upaya pihak lain untuk membungkam dirinya. Barangkali KPK sudah dapat menjalin kerja sama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam menyiapkan sistem perlindungan yang cukup bagi Hamka supaya skandal kasus BI dapat dibongkar.

Menilik lebih jauh, dugaan kuat keterlibatan seluruh anggota Komisi XI DPR RI sebagaimana pengakuan Hamka Yandhu menyiratkan sebuah fakta bahwa praktek korupsi dana BI telah melibatkan institusi, bukan semata perilaku menyimpang dari satu atau dua anggota DPR. Dikatakan demikian karena latar belakang pemberian uang senilai Rp 31,5 miliar ke Komisi XI DPR periode 1999-2004 oleh pejabat BI terkait langsung dengan keputusan Komisi terhadap permasalahan BLBI yang dihadapi BI, sekaligus persetujuan Komisi atas usul amendemen Undang-Undang BI.

Dalam konteks ini, wewenang Komisi untuk mengeluarkan suatu kebijakan publik telah diperjualbelikan atas nama konstitusi. Merujuk pada kajian akademis mengenai tipologi korupsi, kondisi semacam ini sering disebut sebagai state capture. Dalam state capture (dengan terjemahan bebas penulis), hukum dan peraturan telah dirampas untuk tujuan mendapatkan keuntungan ekonomi dan kekuasaan dengan cara mempengaruhi langsung politikus dan pemerintah melalui suap. Hukum dan peraturan menjadi bertolak belakang dengan apa yang seharusnya. Kelihatannya hukum dan peraturan merupakan produk sah, akan tetapi dibuat untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dan kekuasaan yang bertentangan dengan kepentingan publik (Vesna Pesic, 2007).

Berkaca pada proses hukum kasus BI, ada dua tantangan besar yang menjadi ujian sesungguhnya bagi KPK. Pertama, fakta-fakta hukum di persidangan semakin membentuk gambaran bahwa pelaku suap BI ke Komisi XI DPR RI bukan hanya pihak-pihak yang kini ditetapkan sebagai tersangka, atau telah menjadi terdakwa di Pengadilan Tipikor. Apalagi jika kemudian proses hukum ini dikembangkan untuk mencari mastermind. Pasalnya, dalam setiap kejahatan berkelompok sebagaimana kita lihat dalam kasus BI, pasti ada pelaku utama dan pelaku yang turut bersama-sama melakukan.

Jika kita membaca keterangan Hamka Yandhu lebih lanjut, nilai pembagian uang BI yang jumlahnya tidak sama besar kian memperkuat dugaan adanya pelaku utama, yakni orang yang menyuruh melakukan, menentukan apa-apa saja yang harus dilakukan, sekaligus menentukan berapa rupiah yang diterima oleh masing-masing anggota.

Bukti hingga kini menunjukkan bahwa Paskah Suzetta, Ketua Bappenas, disebut-sebut menerima dengan jumlah paling besar, yakni Rp 1 miliar. Kembali ke analogi gerombolan penjahat, sang ketua gerombolan biasanya akan memperoleh bagian paling besar dari hasil tindak kejahatan mereka. Mengingat pelaku utama dari kasus korupsi dana BI ini kemungkinan besar juga memiliki tameng politik kuat untuk tidak terjerat hukum, KPK perlu melakukan proses hukum secara lebih transparan agar tak berkembang praduga bahwa KPK telah diatur.

Kedua, di luar pelaku korupsi dari kalangan DPR, KPK juga masih memiliki pekerjaan rumah untuk membongkar jaringan korupsi di BI, terutama untuk menemukan siapa yang menjadi aktor utamanya. Merujuk pada surat dakwaan Burhanuddin Abdullah beserta kesaksian dari berbagai pihak yang dihadirkan di Pengadilan Tipikor, kian jelaslah bahwa masih ada konseptor kasus dana BI yang hingga kini belum tersentuh. Sebut satu, misalnya, Aulia Pohan, mantan Dewan Gubernur BI sekaligus mantan Ketua Dewan Pengawas YPPI.

Kesan beratnya KPK melangkah ke penyidikan terhadap para konseptor kasus BI membuat dugaan diarahkan pada posisi pelaku yang merupakan kerabat dekat Istana. Karena itulah, KPK pada saat ini sedang menghadapi lawan tangguh yang ada kemungkinan bisa atau gagal diproses secara hukum karena faktor-faktor tertentu. Kekhawatiran ini ada landasannya. Sejarah pimpinan KPK periode pertama adalah sejarah politik tebang pilih dalam memberantas korupsi. Politik keterwakilan ternyata tak hanya ada dalam domain politik, tapi juga hadir dalam proses hukum korupsi.

Maksudnya, jika pelaku korupsi adalah jamak dan berasal dari satu institusi yang sama, salah satu dari mereka sajalah yang diproses hukum. Pendek kata, asalkan sudah ada pelaku yang diseret ke pengadilan, meskipun tidak semuanya, paling tidak proses hukum telah dilaksanakan. Inilah yang disebut politik keterwakilan. Siapa “korban”-nya? Biasanya mereka yang tidak memiliki handicap politik. Pada akhirnya mereka sulit diposisikan hanya sebagai pelaku, tapi tepat juga disebut sebagai tumbal proses hukum.

Kita tentu tidak ingin hal ini terulang dalam kepemimpinan KPK periode kedua. Upaya KPK memberantas korupsi saat ini bisa dikatakan sangat baik. Sehingga amat disayangkan jika usaha yang telah ditunjukkan harus tercemar karena tidak tuntasnya proses hukum kasus BI. Saya yakin tekanan politik itu pasti ada. Tapi, jika model pengambilan keputusan di KPK adalah melibatkan semua pemimpin KPK, tidak ada hak veto dari orang per orang, kasus dana BI akan bermuara pada diprosesnya para pelaku utama kasus ini.

Di luar masalah di atas, sering muncul pertanyaan, jika 52 anggota Komisi XI DPR RI diproses hukum, apakah tidak akan menyulitkan KPK sendiri? Pada prinsipnya para pelaku korupsi, baik yang menjadi aktor utama maupun yang turut serta melakukan, harus diproses secara hukum tanpa kecuali. Apalagi yang terlibat adalah anggota DPR, bukan pegawai negeri kecil yang bermotif ingin mendapatkan tambahan uang dapur. Ini adalah fenomena state capture yang dampaknya jauh lebih berbahaya daripada korupsi pegawai.

Konsekuensi state capture bukan sekadar menggejalanya rivalitas antarelite yang keji, tapi juga menyebabkan erosi terhadap prospek penegakan hukum dan berkembangnya praktek perampasan hak sosial, karena kesejahteraan hanya bergerak di antara politikus, pengusaha, dan pejabat negara. State capture of corruption juga akan menyebabkan kredibilitas lembaga negara runtuh dan publik tidak akan percaya lagi terhadap usaha setiap lembaga negara untuk turut serta memberantas korupsi. Jika publik sudah tidak percaya terhadap partai politik dan parlemen seperti gejala saat ini, bukankah ini ancaman bagi demokratisasi yang paling nyata?

Karena itu, KPK memang dalam posisi sebagai institusi yang paling diharapkan dapat menggerakkan energi positif bangsa ini. Ketika semua wilayah negara tak luput dari praktek korupsi, KPK dengan wewenang dan independensinya dapat mengambil bagian untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap kerja institusi negara. Dengan menyeret dalang kasus korupsi BI hingga tuntas, KPK disadari atau tidak sedang bertempur dengan lawan (koruptor) sebenarnya. Sanggupkah KPK memenangi pertempuran? Kita semua berharap demikian. *

Adnan Topan Husodo
Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW

Tulisan disalin dari Koran Tempo, Jumat, 8 Agustus 2008

Reformasi Rekrutmen Politik

Hamka Yandhu, tersangka kasus korupsi dana Bank Indonesia (BI), secara mengejutkan memberikan kesaksian berani di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.


Menurutnya, seluruh anggota Komisi XI DPR RI periode 1999-2004 telah menerima dana BI dalam jumlah yang beragam. Dua di antaranya kini menjadi anggota kabinet SBY,yakni Menteri Kehutanan MS Kaban dan Ketua Bappenas Paskah Suzetta. Pengakuan ini dengan sendirinya telah membantah pendapat bahwa pelaku korupsi di DPR adalah oknum.

Nyatanya,dalam proses hukum kasus korupsi dana BI, kian terkuak fakta bahwa permintaan uang kepada mitra kerja DPR merupakan kesepakatan kolegial di komisi, bukan inisiatif orang per orang.Soal yang beroperasi di lapangan adalah satu atau dua orang, posisinya tetap saja mewakili kelompok,bukan dirinya sendiri.

Modus semacam ini juga sama dengan kasus suap alih fungsi hutan lindung Bintan yang melibatkan Yusuf Emir Faishal dan kawan-kawan. Dalam pengakuan Bupati Bintan dan Sekretaris Daerah Bintan di Pengadilan Tipikor, prakarsa dan permintaan uang sebesar Rp 4,5 miliar datang dari Ketua Komisi IV DPR RI.Ancamannya, jika uang tersebut tidak diberikan, alih fungsi hutan lindung akan mengalami hambatan.

Pada akhirnya setelah kasus terungkap, yang diproses secara hukum terlebih dahulu adalah Al Amin Nur Nasution yang diduga kuat adalah operator dari praktik suap. Baru kemudian belakangan diketahui Ketua Komisi IV DPR RI juga sangat berperan dalam kasus ini.

Jika perilaku anggota DPR secara umum tecermin dari kasus korupsi di atas, rasanya publik sulit berharap banyak kepada mereka.Wakil rakyat pada akhirnya sekadar label, tetapi sejatinya mereka adalah perampok berdasi. Senjatanya bukan pistol dan granat sebagaimana pada film laga, tetapi kekuasaan politik yang nyaris absolut.

Tanpa adanya kontrol dan pertanggungjawaban, wewenang mengelola sumber daya publik dengan mudahnya diselewengkan, apalagi di tangan orang-orang yang keliru. Tak mengherankan jika korupsi di DPR menjadi perbuatan yang jamak. Karena itu, memilih wakil rakyat adalah pekerjaan tidak mudah.Pemilih harus benar-benar selektif untuk menentukan siapa yang dapat mewakili aspirasinya di DPR.

Jika kita keliru menentukan pilihan, akan dapat dipastikan selama lima tahun kita hanya dapat mengecam dan memaki wakil rakyat.

Reformasi Sistem

Memilih wakil rakyat adalah ujung pangkalnya. Akan tetapi muaranya ada pada proses rekrutmen calon anggota legislatif (caleg) di lingkup internal partai politik yang sedang berlangsung.

Merujuk pada tahapan pelaksanaan pemilu Komisi Pemilihan Umum (KPU), dijadwalkan pada 14–19 Agustus 2008 KPU akan membuka pendaftaran caleg sementara dari partai politik peserta pemilu. Ini berarti sekarang partai politik peserta pemilu sedang melakukan penjaringan caleg untuk kemudian didaftarkan kepada KPU.

Untuk menghindari tampilnya caleg yang korup,partai politik harus melakukan beberapa perubahan fundamental dalam mekanisme rekrutmen politiknya. Jika sedari awal pemilih sudah dilibatkan dalam menyeleksi caleg yang demikian beragam, kemungkinan lolosnya caleg bermasalah dapat dihindari. Oleh sebab itu,partai politik peserta pemilu perlu mengembangkan mekanisme demokrasi internal mereka.

Caleg, baik pusat maupun daerah, yang saat ini mendaftar melalui partai politik,baik yang berasal dari kader maupun kalangan luar partai,seharusnya diseleksi melalui pendekatan yang lebih transparan,akuntabel,dan demokratis. Ini berarti, siapa yang akan mewakili partai politik sebagai caleg bukan semata-mata ditentukan elite partai dan bukan semata-mata calon yang memiliki dana berlebih.

Elite partai seharusnya juga mendistribusikan kekuasaan tersebut kepada anggota partainya. Pendekatan ini bukan hanya akan mampu mendeteksi caleg bermasalah, tetapi meningkatkan akuntabilitas dan transparansi partai politik terhadap para anggotanya. Dalam konteks ini, anggota partai politik tidak lagi ditempatkan sebatas voters yang pasif,tetapi ikut aktif mendinamisasi pengambilan keputusan internal partai politik.

Di samping itu, partai politik juga dapat meningkatkan early warning systemdengan memublikasikan daftar caleg sementara (DCS) kepada masyarakat luas.Apa yang disebut sebagai uji publik seharusnya menjadi bagian dari proses perekrutan caleg di internal partai politik.Menyediakan kesempatan kepada masyarakat luas untuk memberikan masukan mengenai rekam jejak caleg akan sangat positif dampaknya bagi citra partai politik itu sendiri.

Terakhir, partai politik perlu mengembangkan nilai-nilai etis dalam berpolitik sehingga berbagai dugaan pelanggaran, baik kode etik maupun pidana dapat diputuskan secepatnya. Hal ini terkait dengan ke-mungkinan partai politik masih memberikan peluang bagi para anggota DPR yang tengah menghadapi masalah hukum (korupsi).

Jika partai politik menempatkan asas praduga tak bersalah sebagai dasar mengambil keputusan di mana putusan hukum tetap (incracht) adalah basisnya, sulit mengharapkan adanya perubahan yang lebih progresif. Harus disadari bahwa menegakkan nilai etik dalam politik tidak harus menunggu proses hukum selesai. Penegakan nilai-nilai etik politik memiliki ruang dan dimensi yang berbeda dengan perkara pidana yang sedang melilit kadernya.

Mengembangkan sanksi politik terhadap kadernya yang bermasalah merupakan wilayah otonom partai politik. Jadi,tanpa harus menunggu putusan hukum yang tetap, partai politik seharusnya sudah dapat melakukan penegakan nilai etika politik.(*)

Adnan Topan Husodo
Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW

Tulisan disalin dari Koran Seputar Indonesia, Jumat, 8 Agustus 2008