Secara mengejutkan, Hamka Yandhu, politikus Golkar yang menjadi tersangka kasus korupsi dana BI, memberikan informasi blak-blakan saat dihadirkan sebagai saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pengakuannya, seluruh anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat RI yang membidangi keuangan menerima dana BI dengan jumlah variatif. Dua di antara mereka kini menjadi menteri, yakni Paskah Suzetta, Kepala Bappenas; dan M.S. Kaban, Menteri Kehutanan (Koran Tempo, 29 Juli 2008).
Keterangan yang disampaikan Hamka Yandhu sebenarnya di luar skenario yang selama ini berkembang. Berdasarkan informasi yang saya peroleh dari beberapa sumber, yang awal-awal berencana akan membuka semua pihak yang terlibat dalam kasus BI adalah tersangka Antony Zeidra Abidin. Namun, kini justru Antony lebih banyak diam atau justru membantah beberapa keterangan tersangka lain. Mengenai sebabnya, pastinya hanya Antony sendiri yang tahu.
Pengakuan Hamka Yandhu tentu saja telah mengubah drama kasus dana BI yang tadinya sempat monoton menjadi lebih menarik. Saat ini seluruh fokus perhatian diarahkan pada dua politikus yang menjabat menteri. Tak pelak, tuntutan untuk mengundurkan diri, dinonaktifkan, dan lain sebagainya menjadi bagian terbesar dari wacana mutakhir yang dimunculkan oleh media massa.
Yang agak luput dari sorotan pers adalah bagaimana Hamka Yandhu kemudian dilindungi dari upaya pihak lain untuk membungkam dirinya. Barangkali KPK sudah dapat menjalin kerja sama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam menyiapkan sistem perlindungan yang cukup bagi Hamka supaya skandal kasus BI dapat dibongkar.
Menilik lebih jauh, dugaan kuat keterlibatan seluruh anggota Komisi XI DPR RI sebagaimana pengakuan Hamka Yandhu menyiratkan sebuah fakta bahwa praktek korupsi dana BI telah melibatkan institusi, bukan semata perilaku menyimpang dari satu atau dua anggota DPR. Dikatakan demikian karena latar belakang pemberian uang senilai Rp 31,5 miliar ke Komisi XI DPR periode 1999-2004 oleh pejabat BI terkait langsung dengan keputusan Komisi terhadap permasalahan BLBI yang dihadapi BI, sekaligus persetujuan Komisi atas usul amendemen Undang-Undang BI.
Dalam konteks ini, wewenang Komisi untuk mengeluarkan suatu kebijakan publik telah diperjualbelikan atas nama konstitusi. Merujuk pada kajian akademis mengenai tipologi korupsi, kondisi semacam ini sering disebut sebagai state capture. Dalam state capture (dengan terjemahan bebas penulis), hukum dan peraturan telah dirampas untuk tujuan mendapatkan keuntungan ekonomi dan kekuasaan dengan cara mempengaruhi langsung politikus dan pemerintah melalui suap. Hukum dan peraturan menjadi bertolak belakang dengan apa yang seharusnya. Kelihatannya hukum dan peraturan merupakan produk sah, akan tetapi dibuat untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dan kekuasaan yang bertentangan dengan kepentingan publik (Vesna Pesic, 2007).
Berkaca pada proses hukum kasus BI, ada dua tantangan besar yang menjadi ujian sesungguhnya bagi KPK. Pertama, fakta-fakta hukum di persidangan semakin membentuk gambaran bahwa pelaku suap BI ke Komisi XI DPR RI bukan hanya pihak-pihak yang kini ditetapkan sebagai tersangka, atau telah menjadi terdakwa di Pengadilan Tipikor. Apalagi jika kemudian proses hukum ini dikembangkan untuk mencari mastermind. Pasalnya, dalam setiap kejahatan berkelompok sebagaimana kita lihat dalam kasus BI, pasti ada pelaku utama dan pelaku yang turut bersama-sama melakukan.
Jika kita membaca keterangan Hamka Yandhu lebih lanjut, nilai pembagian uang BI yang jumlahnya tidak sama besar kian memperkuat dugaan adanya pelaku utama, yakni orang yang menyuruh melakukan, menentukan apa-apa saja yang harus dilakukan, sekaligus menentukan berapa rupiah yang diterima oleh masing-masing anggota.
Bukti hingga kini menunjukkan bahwa Paskah Suzetta, Ketua Bappenas, disebut-sebut menerima dengan jumlah paling besar, yakni Rp 1 miliar. Kembali ke analogi gerombolan penjahat, sang ketua gerombolan biasanya akan memperoleh bagian paling besar dari hasil tindak kejahatan mereka. Mengingat pelaku utama dari kasus korupsi dana BI ini kemungkinan besar juga memiliki tameng politik kuat untuk tidak terjerat hukum, KPK perlu melakukan proses hukum secara lebih transparan agar tak berkembang praduga bahwa KPK telah diatur.
Kedua, di luar pelaku korupsi dari kalangan DPR, KPK juga masih memiliki pekerjaan rumah untuk membongkar jaringan korupsi di BI, terutama untuk menemukan siapa yang menjadi aktor utamanya. Merujuk pada surat dakwaan Burhanuddin Abdullah beserta kesaksian dari berbagai pihak yang dihadirkan di Pengadilan Tipikor, kian jelaslah bahwa masih ada konseptor kasus dana BI yang hingga kini belum tersentuh. Sebut satu, misalnya, Aulia Pohan, mantan Dewan Gubernur BI sekaligus mantan Ketua Dewan Pengawas YPPI.
Kesan beratnya KPK melangkah ke penyidikan terhadap para konseptor kasus BI membuat dugaan diarahkan pada posisi pelaku yang merupakan kerabat dekat Istana. Karena itulah, KPK pada saat ini sedang menghadapi lawan tangguh yang ada kemungkinan bisa atau gagal diproses secara hukum karena faktor-faktor tertentu. Kekhawatiran ini ada landasannya. Sejarah pimpinan KPK periode pertama adalah sejarah politik tebang pilih dalam memberantas korupsi. Politik keterwakilan ternyata tak hanya ada dalam domain politik, tapi juga hadir dalam proses hukum korupsi.
Maksudnya, jika pelaku korupsi adalah jamak dan berasal dari satu institusi yang sama, salah satu dari mereka sajalah yang diproses hukum. Pendek kata, asalkan sudah ada pelaku yang diseret ke pengadilan, meskipun tidak semuanya, paling tidak proses hukum telah dilaksanakan. Inilah yang disebut politik keterwakilan. Siapa “korban”-nya? Biasanya mereka yang tidak memiliki handicap politik. Pada akhirnya mereka sulit diposisikan hanya sebagai pelaku, tapi tepat juga disebut sebagai tumbal proses hukum.
Kita tentu tidak ingin hal ini terulang dalam kepemimpinan KPK periode kedua. Upaya KPK memberantas korupsi saat ini bisa dikatakan sangat baik. Sehingga amat disayangkan jika usaha yang telah ditunjukkan harus tercemar karena tidak tuntasnya proses hukum kasus BI. Saya yakin tekanan politik itu pasti ada. Tapi, jika model pengambilan keputusan di KPK adalah melibatkan semua pemimpin KPK, tidak ada hak veto dari orang per orang, kasus dana BI akan bermuara pada diprosesnya para pelaku utama kasus ini.
Di luar masalah di atas, sering muncul pertanyaan, jika 52 anggota Komisi XI DPR RI diproses hukum, apakah tidak akan menyulitkan KPK sendiri? Pada prinsipnya para pelaku korupsi, baik yang menjadi aktor utama maupun yang turut serta melakukan, harus diproses secara hukum tanpa kecuali. Apalagi yang terlibat adalah anggota DPR, bukan pegawai negeri kecil yang bermotif ingin mendapatkan tambahan uang dapur. Ini adalah fenomena state capture yang dampaknya jauh lebih berbahaya daripada korupsi pegawai.
Konsekuensi state capture bukan sekadar menggejalanya rivalitas antarelite yang keji, tapi juga menyebabkan erosi terhadap prospek penegakan hukum dan berkembangnya praktek perampasan hak sosial, karena kesejahteraan hanya bergerak di antara politikus, pengusaha, dan pejabat negara. State capture of corruption juga akan menyebabkan kredibilitas lembaga negara runtuh dan publik tidak akan percaya lagi terhadap usaha setiap lembaga negara untuk turut serta memberantas korupsi. Jika publik sudah tidak percaya terhadap partai politik dan parlemen seperti gejala saat ini, bukankah ini ancaman bagi demokratisasi yang paling nyata?
Karena itu, KPK memang dalam posisi sebagai institusi yang paling diharapkan dapat menggerakkan energi positif bangsa ini. Ketika semua wilayah negara tak luput dari praktek korupsi, KPK dengan wewenang dan independensinya dapat mengambil bagian untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap kerja institusi negara. Dengan menyeret dalang kasus korupsi BI hingga tuntas, KPK disadari atau tidak sedang bertempur dengan lawan (koruptor) sebenarnya. Sanggupkah KPK memenangi pertempuran? Kita semua berharap demikian. *
Adnan Topan Husodo
Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW
Tulisan disalin dari Koran Tempo, Jumat, 8 Agustus 2008
No comments:
Post a Comment