Monday, December 27, 2010

Integritas Buruk Pilkada

Pemilu daerah (pilkada) telah dilaksanakan di 244 daerah di Indonesia selama 2010. Praktik memilih kepala daerah secara langsung itu sesungguhnya mulai diadopsi dalam sistem politik di Indonesia pada 2005. Pilkada dimaksudkan sebagai mekanisme warga negara untuk menentukan sendiri pemimpin yang dianggap lebih cakap, jujur, dan dapat dipercaya.
Dengan mekanisme dipilih secara langsung oleh warga, diharapkan kepala daerah yang memenangi pilkada akan lebih bertanggung jawab dan memihak kepentingan warga. Pilkada juga ditujukan sekaligus untuk mendekatkan jarak antara pemimpin dan warga sehingga pelayanan publik dapat disediakan dengan kualitas yang lebih baik.
Tapi, secara faktual, sulit melihat cita-cita itu hadir dalam realitas sosial-politik di tingkat lokal. Tujuan pilkada telah digerus oleh sebuah proses politik lokal yang kotor, penuh manipulasi, serta kental dengan berbagai praktik pelanggaran. Demokrasi lokal yang dipraktikkan dalam pilkada telah menjelma menjadi ajang transaksi politik belaka antara para kandidat dengan cukong yang membiayainya dan para pemilih.
Relasi yang terbangun antara pemilih dan kandidat tidak lebih layaknya penjual dengan pembeli di pasar. Penjual suara adalah pemilih, sedangkan pembelinya adalah kandidat. Yang bisa membeli dengan harga tertinggi hampir pasti akan menjadi pemenang. Dalam kondisi seperti itu, tujuan demokrasi elektoral telah dibajak hingga berhenti pada praktik yang prosedural belaka.

Mulai A hingga Z
Dari catatan pemantauan ICW di berbagai media massa maupun atas putusan sengketa pilkada yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2010, ditemukan praktik pilkada yang kecurangannya bisa dikategorikan sistemik, masif, serta terstruktur.
Pernyataan itu juga sering digunakan majelis hakim MK untuk membatalkan hasil perhitungan suara dalam pilkada sekaligus meminta pilkada ulang sebagaimana yang baru terjadi di Kota Tangerang Selatan, Banten.
Atas berbagai praktik pelanggaran pilkada, kita bisa membaginya ke dalam beberapa kategori pelanggaran, baik yang masuk dalam ranah administrasi maupun pidana. Kecurangan yang paling banyak terjadi dalam pilkada adalah praktik yang biasa didefinisikan sebagai politik uang (money politics). Per definisi, politik uang bukan sekadar praktik membagi-bagikan uang cash kepada calon pemilih, melainkan juga bisa berbentuk pembagian barang atau menjanjikan sesuatu yang bisa diukur nilainya dengan uang saat kampanye pilkada, baik yang dilakukan sendiri oleh kandidat maupun tim suksesnya. Kurang lebih telah terjadi 1.517 praktik politik uang di berbagai daerah saat pilkada.
Pelanggaran lain yang bisa diamati secara kasatmata adalah penyalahgunaan fasilitas negara dan birokrasi untuk mendukung salah satu kandidat. Netralitas aparatur birokrasi, baik di level kepala daerah incumbent hingga perangkat RT/RW, sulit untuk ditegakkan dalam situasi Panwaslu yang kerap terkooptasi oleh kekuasaan lokal serta KPUD yang cenderung partisan.
Sudah menjadi pandangan yang jamak, dalam pilkada, kendaraan dinas digunakan salah satu kandidat, dana APBN/APBD disulap menjadi program-program terselubung dan populis oleh kepala daerah incumbent, gedung-gedung pemerintah dipakai untuk pertemuan tim sukses dengan kandidat, PNS dan pejabat daerah dimobilisasi, dan mengerahkan kekuatan untuk mendukung calon tertentu.
Jika loyalitas birokrasi tidak diperlihatkan secara nyata untuk mendukung calon tertentu, ancaman pemecatan sebagai PNS siap-siap dihadapi. Selama 2010, ICW setidaknya menemukan 504 pelanggaran semacam itu.

Integritas Pilkada Hilang
Pilkada yang penuh kecurangan, manipulatif, dan koruptif akhirnya akan menyisihkan prinsip integritas yang melekat pada sistem demokrasi. Etika dan moralitas politik dalam pilkada hampir tidak dijunjung sama sekali, baik dalam desain regulasi maupun dalam praktik demokrasinya.
Bagaimana mungkin seorang calon kepala daerah yang telah menjadi tersangka atau bahkan terdakwa korupsi bisa mengikuti kontestasi pilkada? Yang lebih tak masuk akal, banyak di antara mereka justru dipilih warganya dan menang dalam pilkada. Berdasar data per Desember 2010, sudah ada 10 kandidat yang memenangi kompetisi pilkada meski berstatus hukum sebagai tersangka dan terdakwa korupsi.
Serangan terhadap integritas pilkada (baca: demokrasi lokal) yang sedemikian kuat dan gencar telah membuat persepsi publik atas hak politiknya sebagai warga negara untuk menentukan calon pemimpinnya bergeser menjadi sebuah konsep yang transaksional belaka. Sepanjang pada satu hari yang teramat pendek calon pemilih bisa memperoleh harga yang pantas dari suara yang dimiliki, mereka tidak peduli kepala daerah yang menang dengan cara menyuap pemilih akan membawa derita dalam jangka panjang.
Lebih jauh dari itu, pemilih juga tidak peduli kepala daerah yang berkuasa menjadi pelaku korupsi. Atau, yang lebih mengenaskan, calon pemilih juga tidak ambil pusing jika calon kepala daerah yang mereka pilih sedang menjadi tersangka/terdakwa korupsi. Transformasi nilai etika politik yang penuh moralitas dan kesantunan pada level pemujaan terhadap para pelaku korupsi merupakan fase kegagalan yang paling tinggi dalam usaha membangun demokrasi yang sehat dan bermakna.
Dalam situasi demikian, harapan bahwa pilkada merupakan arena publik untuk memberikan penilaian yang bebas atas para calon pemimpinnya sekaligus memberikan hukuman yang berat bagi kepala daerah incumbent yang gagal dalam membangun daerahnya hampir mustahil terjadi. Pasca pilkada, ketika seluruh ritual politik uang dan segala bentuk korupsi pilkada selesai, semua akan kembali pada urusan masing-masing. Kepala daerah yang menang karena politik uang mendapatkan ruang yang teramat besar untuk mengelola sumber daya publik dengan cara sendiri.
Sementara itu, publik yang diwakili dan pernah memilihnya berada dalam ketidakberdayaan untuk menghentikan kesewenang-wenangan. Ingar-bingar pilkada sebagai pesta demokrasi rakyat berhenti setelah uang senilai puluhan hingga ratusan ribu diterima pemilih dan kepala daerah pemenang menikmati kekuasaannya. (*)

*). Adnan Topan Husodo, wakil koordinator Indonesia Corruption Watch.

Tulisan disalin dari Jawapos, 28 Desember 2010

Sunday, November 28, 2010

Rekening Gayus (Tambun)an

Sosok mirip Gayus Tambunan yang sempat ditangkap kamera dalam pertandingan tenis Commonwealth Tournament of Champions 2010 di Kuta, Bali—dan kemudian diakui sendiri oleh Gayus sebagai dirinya—menyentak kesadaran publik kembali atas karut-marutnya hukum di Indonesia.

Sulit untuk menyangkal jika Gayus tidak berkeliaran di luar penjara Brimob, Kelapa Dua, Depok, karena semua bukti sudah tidak bisa dibantah lagi.

Hampir semua orang memercayai jika pesakitan berduit seperti Gayus dan orang sejenisnya mudah sekali membeli kebebasan meski sedang berhadapan dengan hukum atas dugaan tindak pidana yang dilakukannya. Tentu tak mungkin kita berharap ada efek jera bagi pelaku kejahatan, terutama yang mengakibatkan kerugian besar bagi keuangan atau perekonomian negara jika penjara justru menjadi tempat yang paling mudah untuk dibeli.

Rasa keadilan publik kian teriris tatkala di balik penjara, Gayus—yang didakwa terlibat praktik mafia pajak dan suap kepada penegak hukum dalam upaya meloloskan dirinya dari hukuman setelah praktik mafia pajak yang dilakukannya terbongkar— dapat kembali menyuap penegak hukum yang menjaga dirinya.

Rumah sangat mentereng, mobil mewah, dan rekening gendut yang masih dikuasainya memudahkan praktik suap-menyuap terjadi. Sangat mungkin, dengan uangnya yang masih bertumpuk, Gayus tidak hanya berada di Bali, tetapi juga di tempat lain yang ia kehendaki.

Gayus sesungguhnya bisa dihukum berat karena kombinasi kejahatan pidana yang dilakukannya. Selain telah merongrong uang negara dari pendapatan pajak, Gayus juga telah memorakporandakan integritas penegak hukum. Dampak dari kejahatan yang dilakukannya sungguh nyata: selain kerugian negara yang sangat mungkin bernilai triliunan rupiah karena ulahnya bermain mata dengan wajib pajak, Gayus juga telah melecehkan hukum sedalam-dalamnya.

Hal yang membuatnya bisa menerima hukuman lebih berat karena dalam perkara pidana yang sedang dihadapi, ia kembali disangka melakukan kejahatan suap agar dapat bebas sementara dari penjara. Namun, barangkali publik justru kian pesimistis dapat menyaksikan dengan mata kepala sendiri Gayus mendapatkan hukuman keras karena gerak-gerik penegak hukum tak menunjukkan iktikad kuat. Sebaliknya, publik luas yang menuntut keadilan dihadapkan dilema, di satu sisi berharap aparat penegak hukum bertindak tegas, di sisi lain masalah utama dari penegakan hukum adalah korupsi yang telah menggurita pada lembaga penegak hukum itu sendiri.

Siapa dapat menjamin, setelah kepergok di Bali dan ditetapkan sebagai tersangka suap, Gayus akan tetap berada di penjara? Dengan uang masih berjibun, apakah tak mungkin Gayus akan kembali menyuap aparat LP?

Karena itu, untuk menyelesaikan kasus Gayus dan kasus serupa, pekerjaan berat yang dihadapi negeri ini adalah bagaimana membersihkan aparat penegak hukum dari praktik korupsi yang sudah sangat sistemik. Kita tak bisa berharap aparat penegak hukum dengan setumpuk rekening gendut mencurigakan akan bisa menjalankan kewajiban hukumnya dengan ideal. Walhasil, kasus-kasus semacam Gayus akan terus mengusik keadilan publik negeri ini.

Pekerjaan rumah Presiden

Kasus memalukan yang kembali menampar wajah Polri merupakan sinyal merah bagi pengambil kebijakan untuk segera menempuh langkah serius membenahi aparat penegak hukum. Jika dianalogikan kanker, korupsi sistemik di tubuh penegak hukum sudah tahap stadium empat. Ini artinya, membenahi penegak hukum tidak bisa lagi diserahkan urusannya hanya kepada mekanis internalnya.

Paling tidak, ketika Kepala Humas Polri mengatakan dalam kasus lepasnya Gayus dikarenakan ada sembilan petugas polisi ”busuk” dalam ”keranjang apel” menunjukkan perspektif yang sempit dalam melihat persoalan korupsi pada lembaga penegak hukum. Cara pandang yang masih mengedepankan faktor individual dalam memberantas korupsi pada tubuh aparat penegak hukum bertolak belakang dengan fakta sebenarnya.

Memang pada tahap korupsi awal, faktor individual yang menyimpang dalam sebuah sistem masih sangat dominan, tetapi jika korupsi sudah sistemik, maka untuk menyelesaikan persoalan ini pendekatan individual sudah tidak dapat lagi digunakan. Pendek kata, perlu ada pembenahan sistematis untuk menutup peluang terjadinya praktik korupsi di tubuh penegak hukum.

Tampaknya Presiden perlu memegang kendali penuh untuk memastikan pembenahan di tubuh aparat penegak hukum berjalan sesuai skenario. Kapolri Timur Pradopo yang telah dipilihnya harus diberi ultimatum untuk segera mengambil langkah cepat dan tegas agar kasus serupa tak berulang. Menghentikan strategi pencitraan akan sangat membantu negeri ini dari keterpurukan karena korupnya aparat penegak hukum. Kita tak ingin menunggu pembusukan di tubuh aparat penegak hukum selesai dengan sendirinya.

Adnan Topan Husodo Wakil Koordinator ICW
Tulisan ini disalin dari Kompas, 20 November 2010

Monday, November 15, 2010

Mewaspadai Penyimpangan Dana Bencana

KORAN TEMPO – Senin, 15 November 2010

Oleh : Adnan Topan Husodo

Bertubi-tubi bencana menimpa negeri kita, antara lain banjir bandang Wasior, gempa disusul tsunami di Mentawai, dan meletusnya Gunung Merapi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Akibat bencana tersebut, sebagian besar warga yang jadi korban harus kehilangan banyak hal, dari harta benda, tempat tinggal, pekerjaan, sumber penghidupan, sampai korban nyawa. Demikian pula fasilitas sosial dan fasilitas umum turut rusak akibat bencana alam.

Secara umum, pendekatan dalam menangani bencana alam disusun dalam dua skenario besar, yakni masa tanggap darurat serta masa rekonstruksi dan rehabilitasi. Untuk menjamin kedua skenario ini berjalan baik, tentu dibutuhkan dukungan finansial yang tidak sedikit. Baik untuk keperluan mengantisipasi penyakit yang kerap muncul dalam masa pengungsian; kebutuhan sehari-hari pengungsi; tempat tinggal sementara; bantuan rehabilitasi psikologis, terutama untuk korban yang rentan, yakni anak-anak dan orang tua; maupun untuk membangun kembali berbagai jenis infrastruktur yang rusak.

Pemerintah, baik melalui anggaran pendapatan dan belanja negara maupun anggaran pendapatan dan belanja daerah, setiap tahun selalu mengalokasikan anggaran untuk antisipasi bencana. Cukup atau tidaknya anggaran yang disediakan sangat bergantung pada besar-kecil dan sedikit-banyaknya bencana alam yang terjadi. Semakin besar dan semakin massif bencana alam, tentu akan semakin banyak kebutuhan anggaran yang harus dipenuhi. Klasifikasi bencana, yakni bencana daerah atau bencana nasional, akan cukup membantu dalam mengkalkulasi kebutuhan finansial yang harus disediakan.

Beruntung, selain merupakan kewajiban dari negara untuk menangani bencana, semangat voluntary warga masyarakat Indonesia yang diwujudkan dalam berbagai macam bentuk simpati, baik sumbangan tenaga, doa, maupun dana, cukup meringankan beban korban bencana. Bahu-membahu, semangat people to people yang besar telah melahirkan energi positif untuk menanggung beban bencana bersama-sama. Berbagai badan hukum swasta juga membuka dompet kemanusiaan untuk menampung dan menyalurkan bantuan yang mengalir dari warga masyarakat umum.

Tentu saja, di luar persoalan bagaimana menangani secara cepat dan tanggap dampak langsung bencana, baik yang bersumber dari dana APBN/APBD maupun dana publik, isu transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana bantuan juga harus diperhatikan. Hal ini menjadi isu penting mengingat dua hal. Pertama, korupsi dana bantuan bencana maupun dana penanganan konflik di Indonesia kerap terjadi, baik sejak konflik Maluku, Poso, Sampit, maupun gempa Liwa, Lampung, gempa Yogya dan Klaten, tsunami di Pangandaran, serta tsunami terbesar di Aceh. Kedua, korupsi yang terjadi pada dana bantuan bencana dan penanganan konflik akan semakin mendorong tingkat keparahan dampak bencana.

Modus
Korupsi dana bantuan menjadi lebih rentan terjadi karena situasi yang mendukungnya. Keadaan darurat kerap memaksa penyaluran dana bantuan dilakukan tanpa mengikuti kaidah administratif yang baik. Berbagai macam aturan main yang secara paksa harus diterapkan oleh pengguna anggaran negara dalam situasi normal tidak berlaku dalam situasi krisis. Terlebih dana publik yang dikelola oleh berbagai elemen masyarakat hampir tidak dipandu oleh mekanisme akuntabilitas dan transparansi yang memadai.

Dalam konteks dana APBN/APBD, titik rentan korupsi dana bantuan ditunjukkan dalam berbagai modusnya. Berdasarkan pengamatan Indonesia Corruption Watch selama menangani pengaduan dugaan korupsi dana bantuan, paling tidak terdapat empat modus korupsi yang kerap terjadi.

Modus pertama, penggelembungan data administrasi penduduk yang menjadi korban. Di Klaten, Jawa Tengah, jumlah penduduk setelah gempa bumi justru menjadi lebih besar daripada data administrasi sebelum gempa. Menggelembungkan data jumlah penduduk yang menjadi korban bertujuan mendapatkan alokasi dana bantuan lebih besar dari yang sebenarnya. Setelahnya, pelaku korupsi akan mengambil selisih dana bantuan berdasarkan angka nyata dan angka manipulasi.

Kedua, penyunatan dana bantuan oleh aparat birokrasi kepada warga korban. Dengan berbagai dalih, kerap aparat birokrasi memaksa warga korban untuk menandatangani bukti penerimaan yang tidak sesuai dengan jumlah uang yang diterima. Situasi yang mendesak, kebutuhan atas dana bantuan, dan ketidakberdayaan korban bencana dimanfaatkan oleh pelaku untuk menekan. Hasilnya, warga korban dengan sangat terpaksa menandatangani bukti penerimaan uang yang tidak benar.

Modus ketiga adalah proyek fiktif. Data yang tidak valid serta berbeda-beda antara satu unit dan unit lainnya turut menyuburkan berbagai macam proyek fiktif, terutama dalam masa rehabilitasi dan rekonstruksi. Dobel alokasi anggaran, ulah kontraktor yang nakal, serta aparat birokrasi yang korup menjadi salah satu faktor menjamurnya proyek fiktif dalam masa rehabilitasi dan rekonstruksi. Untuk satu proyek pembangunan infrastruktur sangat mungkin akan dilaporkan oleh dua instansi yang berbeda.

Modus terakhir adalah wanprestasi kontraktor atas berbagai macam pekerjaan untuk membangun kembali infrastruktur serta pengadaan sarana dan prasarana pascabencana. Banyak gedung, jalan, rumah pengungsi, serta fasilitas sosial dan umum lainnya yang tidak sesuai dengan spesifikasi dan standar kualitas yang telah ditentukan. Dengan memanfaatkan situasi darurat, tiadanya mekanisme tender dalam pengerjaan proyek pemerintah telah memberi kontribusi bagi terjadinya salah urus dalam penanganan proyek. Bahkan terkadang aparat birokrasi yang mengendalikan pekerjaan rehabilitasi dan rekonstruksi terlibat sekaligus sebagai kontraktor.

Di luar rentannya korupsi APBN/APBD yang dialokasikan untuk bantuan bencana, dana publik yang dikelola oleh berbagai badan hukum swasta juga sangat potensial dikorupsi. Terlebih tidak ada satu pun aturan main yang telah dibuat sebagai panduan dalam pengelolaan dana publik untuk keperluan penanganan bencana di Indonesia. Transparan atau tidaknya pengelolaan dana publik sangat bergantung pada sistem internal yang dirancang oleh badan hukum swasta terkait. Akuntabel atau tidaknya penggunaan dana publik yang dikumpulkan untuk membantu korban bencana sangat berpulang dari kemauan baik pengelolanya. Padahal besarnya dana publik yang dikumpulkan untuk membantu bencana alam bisa melampaui jumlah yang dialokasikan negara.

Karena itu, sudah saatnya dipikirkan bagaimana dana publik yang besar tersebut bisa dikelola secara akuntabel dan transparan melalui instrumen hukum. Ini tentu menjadi pekerjaan rumah Dewan Perwakilan Rakyat mengingat domain penyusunan regulasi ada di tangan mereka. Paling tidak, regulasi mengenai tata kelola yang baik dana publik dapat menjadi rambu-rambu bersama para pejuang kemanusiaan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas mereka sekaligus meminimalkan para petualang yang hendak memanfaatkan situasi bencana untuk mengeruk keuntungan pribadi.

Adnan Topan Husodo, Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch

Sunday, November 14, 2010

Pemberantasan Korupsi Minus Peran Negara

Pada 9–13 November tahun ini digelar International Anti Corruption Conference (IACC) yang merupakan konferensi global antikorupsi. Dalam konferensi ini berbagai macam elemen antikorupsi bertemu,mulai dari aktivis civil society, akademisi, peneliti, perwakilan pemerintah, serta pelibatan sektor swasta.

Tujuan dari konferensi ini adalah untuk membangun komitmen bersama gerakan antikorupsi dalam spektrum global. Tekanan pada globalisasi pemberantasan korupsi mengindikasikan semakin kuatnya perhatian internasional pada isu korupsi, sekaligus membuka peluang yang kian besar bagi kerja sama internasional dalam memberantas korupsi. Dalam IACC kali ini tema besar yang diangkat adalah Restoring Trust: Global Action for Transparency.

Tema ini menjadi pokok pembicaraan untuk membangun kembali kepercayaan publik terhadap pemerintah dalam agenda pemberantasan korupsi. Mengembalikan kepercayaan publik bukan tugas yang mudah karena membutuhkan tindakan nyata, bukan hanya dari pemerintah tetapi juga sektor swasta dan civil society. Indonesia sendiri, melalui perwakilan beberapa NGO seperti Transparency Internasional Indonesia (TII) dan Indonesia Corruption Watch (ICW),

menyampaikan beberapa isu krusial yang menjadi persoalan serius dalam mengefektifkan pemberantasan korupsi di Indonesia.Selain perwakilan NGO Indonesia,Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga diundang sebagai salah satu narasumber sekaligus peserta. Sayangnya tidak ada perwakilan Pemerintah Indonesia yang mengikuti agenda akbar tersebut.

Ironi Komisi Independen

Membaca perkembangan terakhir agenda pemberantasan korupsi di Indonesia,terdapat dua isu pokok yang secara signifikan memengaruhi keberhasilan sekaligus kegagalan program pemberantasan korupsi. Pertama, fenomena pelemahan komisi independen KPK. Dalam konteks global,upaya untuk memandulkan KPK bukan hanya menjadi persoalan dalam negeri semata.

Di beberapa negara lain seperti Korea Selatan,Nigeria,dan Thailand, masing-masing komisi independen pemberantas korupsi menghadapi tantangan serius yang berhubungan dengan isu pelemahan. Di Nigeria,Nuhu Nibadu,salah seorang anggota komisi independen yang berwenang menangani korupsi harus melarikan diri keluar negeri karena menghadapi intimidasi dan ancaman pembunuhan dari politisi setempat. Hal itu disebabkan Ruhu dan rekan- rekannya membongkar kasus korupsi yang melibatkan politisi berpengaruh di Nigeria.

Di Thailand, di mana IACC digelar tahun ini, menghadapi persoalan yang sedikit berbeda. Para anggota komisi independennya dicopot oleh penguasa Thailand pasca-Thaksin Shinawatra. Sementara di Korea Selatan, komisi antikorupsinya dilebur dengan lembaga yang sudah ada dan ditempatkan di bawah kendali presiden.Untuk yang terakhir, alasannya sungguh tidak masuk akal karena pemberantasan korupsi dianggap bisa mengganggu akselerasi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.

Sesungguhnya realitas pelemahan KPK merupakan sebuah fakta yang ironis karena dalam konteks global komisi independen sudah disepakati sebagai jawaban atas mandulnya penegakan hukum dalam kasus korupsi. Bahkan dalam konferensi negara peserta konvensi UNCAC yang diselenggarakan di Doha,Qatar,November 2009 lalu, salah satu rekomendasinya adalah peningkatan tanggung jawab negara peserta untuk menjaga, memelihara, dan memperkuat lembaga antikorupsi yang independen.

Selain itu, salah satu prinsip utama konvensi UNCAC adalah menempatkan komisi independen pemberantasan korupsi sebagai lembaga yang tetap,bukan ad hoc. Dalam konteks Indonesia,KPK yang mulai menunjukkan kinerjanya justru dilemahkan secara politik. Lingkungan politik tidak mendukung sama sekali keberlanjutan KPK sehingga berimbas pada Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang pada tahun 2010 tidak beranjak dari skor 2,8, atau sama dengan tahun sebelumnya.

Demikian halnya wacana politik dominan selalu mengasumsikan bahwa secara hukum KPK adalah lembaga sementara.Eksistensinya bisa dihapuskan sepanjang kepolisian dan kejaksaan sudah mampu memberantas korupsi secara efektif. Kedua, isu pokok yang disampaikan dalam konferensi oleh delegasi Indonesia adalah kegagalan pemerintah dalam mengomandoi agenda pemberantasan korupsi.

Agenda strategis dan penting yang seharusnya dapat berjalan jika ada kemauan politik pemerintah adalah reformasi aparat penegak hukum, terutama kepolisian dan kejaksaan. Catatan merah kedua lembaga ini sudah banyak dikoleksi. Terakhir dalam kasus Gayus Tambunan, salah satu terdakwa kasus mafia pajak yang seharusnya mendekam di penjara Brimob Kelapa Dua, Depok, justru bisa berlenggang kaki ke Bali untuk menyaksikan pertandingan tenis dunia.

Bertubi-tubinya fakta atas bobroknya moral aparatur penegak hukum seharusnya sudah cukup bagi pemerintah untuk menegaskan kembali komitmennya terhadap pemberantasan korupsi.Tentu tidak pada tempatnya kita mengatakan pemerintah takut pada aparat penegak hukum. Barangkali yang lebih tepat, memperbaiki aparat penegak hukum adalah prioritas kerja yang belum mampu diselesaikan oleh pemerintah.

Hilangnya Golden Moment

Sudah banyak momentum perbaikan yang gagal dimanfaatkan dengan baik oleh Presiden. Di luar kasus Gayus yang baru terangkat, kasus rekening gendut di Mabes Polri, kasus penangkapan Urip Tri Gunawan,kasus dugaan keterlibatan aparat penegak hukum dalam berbagai macam praktik kejahatan merupakan golden momentyang hilang karena sikap pemerintah yang tidak jelas.

Sebaliknya,upaya mendorong reformasi penegakan hukum oleh pemerintah masih terlihat kurang serius, terutama saat Presiden lebih memilih untuk mengangkat Kapolri baru Timur Pradopo yang memiliki persoalan latar belakang pada isu penegakan HAM di Indonesia dibandingkan yang lain. Pertimbangannya sungguh sangat politis, sekedar untuk menjaga suhu politik di parlemen tidak bergejolak. Presiden memang telah membentuk Satgas Mafia Hukum, akan tetapi kinerja Satgas Mafia Hukum tidak optimal dan gagal menyentuh akar masalah mafia hukum dan hanya menjadi alat pencitraan pemerintah.

Harus ada keberanian dari Presiden untuk menggebrak dan mengambil alih tongkat komando pemberantasan korupsi. Demikian halnya dengan isu reformasi birokrasi yang dalam survei KPK tahun 2010 tidak mengalami kemajuan.KPK baru saja melansir hasilsurveiIndeksIntegritasSektor Publik yang kesimpulannya mengecewakan. Dari skala integritas tertinggi 10, sektor publik hanya mendapatkan angka rata-rata skor 5,42 , atau turun dibandingkan skor tahun lalu.

Hasil survei itu menggambarkan betapa buruknya kinerja birokrasi dan tingkat korupsi di lembaga birokrasi yang tidak berkurang. Ini sekaligus membuktikan bahwa ternyata kenaikan pendapatan (renumerasi) pegawai negeri bukan jawaban yang tepat untuk menjalankan agenda reformasi birokrasi. Terakhir,Presiden juga belum menandatangani Stranas Pemberantasan Korupsi yang sudah disusun sejak awal pemerintahan SBY-Boediono terbentuk.

Padahal, Stranas Pemberantasan Korupsi merupakan guidelines yang disusun oleh pemerintah untuk mengawal agenda pemberantasan korupsi. Dalam situasi negara acuh tak acuh terhadap pemberantasan korupsi, tampaknya sulit memperbaiki kepercayaan publik terhadap pemerintah dan lembaga penegak hukum.(*)

Adnan Topan Husodo
Wakil Koordinator
Indonesia Corruption Watch (ICW)

Tulisan disalin dari Harian Sindo, 15 November 2010

Thursday, November 04, 2010

Stagnasi Pemberantasan Korupsi

TRANSPARANSI Internasional Indonesia (TII) baru saja melansir hasil survei indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia 2010.

Hasilnya bisa dikatakan mengecewakan. Sebab, nilai terhadap kinerja pemberantasan korupsi di Indonesia tidak berubah jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Skor yang diperoleh Indonesia hanya 2,8 poin atau sama dengan tahun sebelumnya. Tahun ini Indonesia berada di peringkat ke-110 di antara 178 negara dunia yang disurvei.

Dengan peringkat itu, Indonesia hanya disejajarkan dengan negara seperti Bolivia, Gabon, Kepulauan Solomon, dan Kosovo.

Sementara itu, pada level Asia Tenggara, Indonesia masih kalah jauh oleh Singapura (9,3), Brunei Darussalam (5,5), Malaysia (4,4), dan Thailand (3,5). Indonesia hanya berada di atas negara lemah, seperti Vietnam, Timor Leste, Filipina, Kamboja, dan Myanmar.

Stagnasi prestasi pemberantasan korupsi pada 2010 tentu saja merugikan. Sebab, itu berarti kita telah melewati waktu setahun dengan sia-sia.

Demikian halnya dengan ongkos serta energi yang telah dialokasikan untuk mendorong pemberantasan korupsi, hanya sanggup menjaga posisi Indonesia pada level yang sama dengan tahun sebelumnya tanpa bisa mendongkraknya ke tingkat yang lebih tinggi.

Dengan IPK itu, semakin sulit bagi Indonesia meraih peringkat yang lebih baik pada tahun-tahun mendatang, apalagi sampai 5,0 poin sebagaimana target Presiden SBY pada 2015.

Mengapa Stagnan?
Paling tidak, ada beberapa persoalan krusial yang mengakibatkan skor IPK Indonesia tak beringsut naik jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Faktor pelemahan KPK dan nasib yang tidak menentu atas kasus Bibit dan Chandra selama periode 2009-2010 menjadi salah satu pemicu stagnasi pemberantasan korupsi di Indonesia.

Bagaimanapun, harus diakui KPK merupakan salah satu faktor yang dapat mendongkrak peringkat pemberantasan korupsi Indonesia di mata internasional. Di sisi lain, kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum lain tidak kunjung pulih.

Sebaliknya, kepolisian dan kejaksaan justru selama ini dituding sebagai pihak yang berada di belakang kriminalisasi terhadap pimpinan KPK tersebut. Kasus dugaan mafia pajak yang melibatkan Gayus Tambunan juga tak bisa dilepaskan dari keterlibatan aparat penegak hukum di kepolisian maupun kejaksaan.

Lambannya program reformasi pada tubuh penegak hukum dapat dilihat juga dalam laporan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) per September 2010.

Data pengaduan masyarakat terhadap dugaan penyimpangan oleh aparat kepolisian di 32 entitas setingkat polda dan Mabes Polri menunjukkan bahwa 1.106 di antara 1.199 keluhan masyarakat berada pada satuan reskrim.

Sisanya merupakan keluhan pada fungsi samapta, lantas, intelijen, dan bina mitra. Data statistik tersebut bisa diartikan bahwa dalam fungsi penegakan hukum yang diwakili reskrim, kinerja Kepolisian RI masih dikategorikan buruk.

Laporan mengenai rekayasa perkara, manipulasi alat bukti, penolakan laporan masyarakat, dan kriminalisasi terhadap kasus perdata yang semua itu dikategorikan sebagai unfair trail juga telah menjadi catatan tersendiri Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta pada 2010.

IPK 2010 harus menjadi kritik sekaligus masukan yang berharga bagi Presiden SBY. Pertimbangannya, agenda pemberantasan korupsi berada pada garis komandonya.

Lambannya untuk tidak mengatakan stagnan agenda reformasi pada berbagai sektor, khususnya penegak hukum, perlu menjadi catatan yang serius bagi presiden.

Sebab, itu bisa diartikan sebagai kegagalan presiden dalam mengawal perbaikan pada lembaga penegak hukum.

Mendongkrak Citra Positif
Selain pekerjaan rumah untuk memoles citra positif penegak hukum yang masih berat, agenda pemberantasan korupsi bertumpu pada agenda reformasi birokrasi.

Dengan perbaikan pada sektor itu, publik akan secara langsung menikmati pelayanan yang lebih baik. Mulai pelayanan dasar, perizinan, maupun pengurusan hal lain.

Membaiknya pelayanan publik menandakan keberhasilan reformasi pada sektor birokrasi. Sebaliknya, kegagalan reformasi birokrasi dapat dilihat dari masih buruknya kualitas pelayanan publik.

Masalahnya, survei integritas sektor publik yang dilansir KPK pada awal November 2010 menunjukkan belum membaiknya mutu pelayanan publik secara umum.

Survei yang berlangsung pada April-Agustus 2010 tersebut dilakukan terhadap 353 unit layanan yang tersebar di 23 instansi pusat, 6 instansi vertical, dan 22 pemerintah kota.

Kegiatan itu melibatkan responden pengguna layanan sebanyak 12.616 orang. Mereka terdiri atas 2.763 responden di tingkat pusat, 7.730 responden di tingkat instansi vertikal, dan 2.123 responden di tingkat pemerintah kota.

Seluruh responden merupakan pengguna langsung layanan publik yang disurvei dalam setahun terakhir. KPK menggunakan ukuran standar minimal integritas sebesar 6,00 dari skala 0-10,00. Artinya, semakin besar nilai, semakin baik integritasnya.

Hasilnya, indeks integritas nasional tahun ini hanya berada pada level 5,42 atau separo dari skala 10,00 sebagai nilai tertinggi. Indeks integritas nasional merupakan nilai rata-rata dari sektor publik di tingkat nasional, instansi vertikal, dan pemerintah kota.

Padahal, program remunerasi yang dicanangkan pemerintah sebagai pemicu bagi perbaikan sektor birokrasi sudah diaplikasikan pada beberapa instansi pemerintah.

Barangkali perlu ada evaluasi ulang, apakah strategi menaikkan remunerasi merupakan solusi yang efektif untuk mempercepat agenda reformasi birokrasi. Terakhir, menurunnya tingkat korupsi dapat ditandai dengan semakin efektifnya penerimaan dan penggunaan anggaran negara di pusat maupun daerah.

Berdasar laporan hasil pemeriksaan semester I 2010 oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), ditemukan beberapa hal positif. Salah satunya adalah bertambahnya jumlah laporan keuangan di tingkat pemerintah pusat maupun daerah yang mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian (WTP).

Sebaliknya, yang mendapatkan predikat disclaimer turun. Sebanyak 44 di antara 78 laporan keuangan kementerian/lembaga (LKKL) di tingkat pusat mendapatkan opini WTP, naik sepuluh laporan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya 34.

Sementara itu, delapan laporan mendapatkan opini disclaimer atau turun sepuluh laporan dari tahun sebelumnya. Pada tiga hal tersebut, IPK Indonesia dipertaruhkan.

Karena itu, strategi pemberantasan korupsi harus diarahkan demi terciptanya pemulihan kepercayaan publik terhadap penegak hukum, perbaikan kualitas pelayanan publik, serta semakin efisien dan efektifnya penerimaan dan penggunaan anggaran negara.

Dengan strategi itu, semoga IPK Indonesia pada masa yang akan datang meningkat signifikan. (*)

Adnan Topan Husodo, wakil koordinator ICW

Wednesday, October 13, 2010

Plesiran dengan Uang Rakyat

Bencana terbesar di Republik ini terjadi saat hasrat menjadi wakil rakyat bukan dilandasi pengabdian yang tulus terhadap khalayak.

Intrusi kepentingan pribadi pada jabatan publik cenderung menghancurkan sendi-sendi kepercayaan rakyat terhadap negara dan para aktornya. Produk kebijakan yang lahir dari wakil rakyat yang keracunan libido memperkaya diri pastilah menjauh dari kepentingan yang diwakilinya. Ide-ide korupsi yang dikemas dengan berbagai pembenaran muncul dalam banyak bentuk. Salah satunya adalah studi banding ke luar negeri yang alokasi anggarannya dari masa ke masa terus membengkak.

Pola regenerasi jabatan politik dapat kita anggap gagal melahirkan wajah baru wakil rakyat yang inspiratif sekaligus aspiratif. Barangkali ada yang demikian, tapi eksistensinya disapu oleh kumpulan mayoritas yang tampak seragam: mendendangkan lagu yang sama bagaimana memperbesar pundi-pundi pribadi dari uang negara. Wajah baru anggota DPR kita—sekitar 70 persen dibanding dengan periode sebelumnya—ibarat barang lama yang dikemas ulang sehingga tampak baru, tapi mentalitas, visi, dan perilakunya setali tiga uang, old script, different cast.

Zona kedap kritik

Satu hal yang merisaukan, kian hari lingkungan parlemen menjadi zona kedap kritik. Protes publik yang demikian lantang atas keputusan DPR yang dirasa melukai rasa keadilan publik sering menghadapi tembok besar. Parlemen yang dalam desain idealnya berfungsi menyerap aspirasi masyarakat—tentu termasuk kritik di dalamnya—terkesan cuek. Pelesiran dengan kedok studi banding jadi agenda tak tergantikan.

Hasil akhirnya bisa ditebak. Kepergian mereka dengan anggaran negara yang tak sedikit hanya berbuah informasi ecek- ecek. Contoh nyata adalah Panitia Kerja RUU Pramuka yang sempat melawat ke Afrika Selatan, Jepang, dan Korea Selatan.

Tiga pokok temuan hasil studi banding itu benar-benar mengejutkan, paling tidak dari informasi yang mereka sampaikan sendiri kepada media massa. Pertama, ihwal perlakuan diskriminatif bagi warga kulit hitam Afrika Selatan yang ingin bergabung dalam kepramukaan. Kedua, pembiayaan satuan pramuka yang mandiri. Ketiga, menyangkut seragam pramuka. Dengan informasi semacam itu, apa kontribusi studi banding tersebut bagi perumusan draf RUU Pramuka?

Secara tak sadar, model studi banding yang demikian telah melecehkan anggota DPR sendiri di hadapan rakyat yang diwakilinya. Gagasan alternatif dan cara cerdas menggali informasi melalui internet yang dilontarkan berbagai kalangan masyarakat menunjukkan bahwa yang mewakili ternyata jauh lebih rendah mutunya dibanding yang diwakili.

Bisa dijamin, jika anggota DPR kita lebih tekun menggunakan teknologi untuk menggali informasi serta rajin membangun komunikasi dengan kantor perwakilan Indonesia di negara asing, akan banyak data dan bahan yang berguna untuk meningkatkan kualitas fungsi dan peran parlemen.

Rentan penyimpangan

Selain gagal dalam substansi studi banding, akuntabilitas keuangan kegiatan pelesiran anggota DPR juga sangat lemah. Bahkan, tercium indikasi korupsi dalam berbagai modusnya. Hasil audit BPK RI 2009 untuk masa anggaran 2007-2008 menyimpulkan bahwa laporan perjalanan dinas DPR sebesar Rp 341,3 miliar dinyatakan disclaimer. Artinya, auditor tak dapat memberi pendapat atas laporan pertanggungjawaban perjalanan dinas anggota Dewan karena administrasi keuangan mereka yang kacau. Buruknya administrasi pelaporan dan pertanggungjawaban penggunaan anggaran negara mengindikasikan adanya penyimpangan yang terjadi.

Secara umum, bentuk penyimpangan yang terjadi dalam penggunaan anggaran perjalanan dinas meliputi tiga hal. Yang pertama adalah perjalanan dinas fiktif. Maksudnya, anggota Dewan memang telah melakukan perjalanan dinas. Namun, tak ada kegiatan yang berhubungan dengan agenda kelembagaan DPR. Sudah dapat ditebak jika kegiatan di luar negeri kemudian diisi dengan acara jalan-jalan belaka.

Bentuk penyimpangan lain adalah manipulasi laporan keuangan. Berbagai macam kelengkapan administrasi untuk menunjang akuntabilitas pelaporan kegiatan perjalanan dinas sangat rentan dipalsukan: kuitansi, tiket, faktur pembelian, dan sebagainya. Barangkali laporan keuangan telah dibuat, tapi kebenaran dari laporan itu disangsikan. Tak heran jika BPK memberi predikat disclaimer pada laporan perjalanan dinas anggota Dewan.

Terakhir, sangat mungkin terjadi penggelembungan masa perjalanan dinas. Penjelasannya, seharusnya kegiatan studi banding bisa dilakukan dalam waktu tiga hari, tapi secara faktual perjalanan dinas memakan waktu hingga enam hari. Dari tiga modus penyimpangan di atas, terlihat bahwa yang terjadi tak hanya pemborosan uang negara. Penggunaan fasilitas dan keuangan negara untuk kepentingan pribadi juga merupakan bagian dari tindak pidana korupsi.

Sudah seharusnya pemimpin DPR mengevaluasi seluruh pelaksanaan dan rencana studi banding yang pada tahun 2010 meliputi Swiss, Inggris, Perancis, dan Jerman. Implikasi dari studi banding DPR yang tidak akuntabel dan transparan adalah melemahnya fungsi pengawasan Dewan terhadap eksekutif.

Besarnya alokasi anggaran perjalanan dinas di lingkungan eksekutif sebagaimana dilansir Fitra (2010) dapat dibuat lebih rasional jika anggota Dewan kritis terhadap diri sendiri. Syarat supaya DPR kritis terhadap eksekutif adalah DPR mampu melepaskan kepentingan dirinya sendiri terlebih dahulu. Tanpa pengawasan kuat dari DPR, anggaran negara akan ludes buat jalan-jalan pejabat publik kita.

Adnan Topan Husodo Wakil Koordinator ICW

Tulisan disalin dari Kompas, 13 Oktober 2010

Tuesday, September 21, 2010

Akuntabilitas Studi Banding Dewan

BELUM usai kontroversi pembangunan gedung baru yang rencananya menelan anggaran Rp 1,6 triliun, anggota dewan yang terhormat kembali membuat kejutan dengan agenda kunjungan kerja ke luar negeri. Agenda ini terkuak oleh publik ketika Panja RUU Pramuka Komisi X berencana melawat ke Afrika Selatan, Korea Selatan, dan Jepang.

Merujuk pada data yang dilansir Indonesia Budget Center (2010), total anggaran yang dialokasikan untuk kegiatan studi banding ke luar negeri mencapai 162,9 miliar. Rinciannya, total anggaran kunjungan kerja terbagi ke dalam empat tupoksi dewan, yakni fungsi legislasi (Rp 73,4 miliar), kemudian fungsi pengawasan (Rp 45,9 miliar). Selanjutnya, fungsi anggaran (Rp 2,026 miliar) dan yang terakhir, fungsi membangun kerja sama internasional dan fungsi lain (Rp 41,4 miliar). Ini berarti, untuk semua pelaksanaan fungsi dan tugas pokok anggota dewan, terdapat komponen kunjungan ke luar negeri.

Ironisnya, peningkatan fantastis alokasi anggaran studi banding ke luar negeri dari 2005 yang hanya Rp 23,6 miliar menjadi Rp 162,9 miliar pada 2010 tidak berbanding lurus dengan kinerja anggota dewan. Dalam catatan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (2010), dari penilaian terhadap kinerja legislasi saja, untuk periode masa sidang III 2009-2010, DPR hanya bisa merampungkan pembahasan lima RUU, dari 70 RUU yang seharusnya dituntaskan hingga akhir 2010. Belum lagi secara kualitas, produk legislasi DPR rawan digugat oleh berbagai pihak, baik melalui instrumen judicial review maupun legislative review.

Kedok Plesiran?

Membayangkan anggota dewan tidak pernah sekali pun pergi ke luar negeri barangkali sulit. Apalagi, sudah timbul persepsi bahwa salah satu kementerengan sebagai wakil rakyat adalah bisa jalan-jalan ke luar negeri, khususnya dengan ''menumpang'' alasan studi banding atau kunjungan kerja.

Yang juga menarik, banyak di antara mereka justru ketika berada di luar negeri tepergok tengah berada di pusat-pusat perbelanjaan terkenal. Hingga di Paris, Prancis, terdapat butik terkenal yang secara khusus menyediakan pelayan toko yang pandai berbahasa Indonesia untuk melayani turis Indonesia, termasuk turis yang menggunakan jas berlogo garuda, serta datang dengan menggunakan anggaran negara.

Terlepas dari kemampuan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris yang pas-pasan, atau bahkan tidak bisa sama sekali, Eropa dan Amerika Serikat tetap menjadi target favorit untuk lokus studi banding. Penolakan dari Pemerintah Kanada terhadap permohonan studi banding Panja RUU Pramuka Komisi X seharusnya bisa dibaca sebagai ''kemuakan'' negara lain atas sikap pejabat publik kita.

Di luar soal gagah-gagahan, satu hal yang diburu dalam agenda ''studi banding'' ke luar negeri adalah besarnya uang saku yang bisa dikantongi. Untuk 2008 saja, uang saku untuk studi banding ke luar negeri bisa mencapai USD 500. Jika kegiatan tersebut dilakukan dalam waktu delapan hari, termasuk perjalanan dari Jakarta hingga kembali lagi ke Indonesia, uang saku yang bisa dikantongi adalah USD 4000 per anggota. Anggaran tersebut lebih mudah dihabiskan tanpa pertanggungjawaban karena skemanya menggunakan lunsum atau gelondongan.

Dua Akuntabilitas

Untuk mengurangi hasrat ke luar negeri anggota dewan yang lebih didominasi motif rekreasi dibandingkan mencari informasi penting bagi penguatan fungsi dan tugas pokoknya, studi banding harus setidaknya memenuhi dua jenis pertanggungjawaban, yakni akuntabilitas politik dan akuntabilitas administrasi-finansial.

Akuntabilitas politik berarti bahwa dalam setiap kegiatan studi banding ke luar negeri, setiap anggota dewan yang berangkat harus dapat mempertanggungjawabkan hasilnya. Informasi apa yang diperoleh, ke mana saja target spesifik studi banding, dengan siapa saja pertemuan dilakukan dan bagaimana rekam proses dari seluruh aktivitasnya harus bisa didokumentasikan secara benar sekaligus tecermin dalam setiap pelaksanaan fungsi dan tugas pokok mereka ketika kembali bertugas di Senayan.

Jika pertanggungjawaban ini tidak dilakukan, secara politik, anggota dewan yang berkunjung ke luar negeri harus dikenai sanksi, baik melalui mekanisme badan kehormatan maupun mekanisme internal partai politik.

Terakhir, akuntabilitas administrasi-finansial berarti bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan anggota dewan untuk keperluan studi banding ke luar negeri harus bisa dipertanggungjawabkan penggunaannya. Jika memang komponen uang saku adalah untuk mengcover transportasi, akomodasi, dan uang makan, pertanggungjawaban administrasi harus melekat pada tiga item tersebut.

Karena itu, sudah saatnya dalam pertanggungjawaban administrasi-finansial kunjungan kerja ke luar negeri, diterapkan sistem actual cost, bukan lunsum. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah salah satu institusi negara yang sudah menerapkan sistem anggaran aktual dalam setiap kegiatan perjalanan dinas, baik ke luar negeri maupun dalam negeri.

Konsekuensi dari penerapan anggaran aktual, tidak ada sisa uang saku yang bisa dikantongi anggota dewan karena negara hanya mendanai kegiatan aktual. Sementara item belanja, jalan-jalan ke berbagai tempat wisata selama di luar negeri pasti tidak akan ditunjang oleh negara. Jika ini diterapkan, bisa dipastikan jumlah kunjungan ke luar negeri akan berkurang drastis pada tahun-tahun selanjutnya.

Adnan Topan Husodo, wakil koordinator ICW
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 22 September 2010

Wednesday, September 15, 2010

Bukan Soal Bambang atau Busyro

Panitia Seleksi Pimpinan KPK telah mengumumkan dua calon terbaik pimpinan KPK, Bambang Widjojanto dan Busro Muqoddas, sekaligus menyerahkan dua nama di atas ke Presiden SBY.


Bisa dikatakan,seluruh proses seleksi berakhir dengan hasil sangat memuaskan karena nada miring atas kedua calon tidak muncul sama sekali. Pemilihan dua nama tersebut juga tidak melahirkan friksi internal di tingkat pansel karena mereka terpilih secara aklamasi. Hal ini berbeda dengan seleksi pimpinan KPK pada 2007 di mana munculnya nama Antasari Azhar telah memicu reaksi keras dari sebagian kalangan masyarakat. Dengan majunya Bambang dan Busyro ke tahap fit and proper testdi Komisi III DPR RI,harapan publik atas kedua calon pimpinan KPK ini kian menguat di tengah kondisi KPK yang sedang lesu darah.

Publik pun tak mempersoalkan siapa yang akan menjadi pimpinan KPK ke depan karena keduanya dianggap memiliki le-vel kualitas yang sama. Sebaliknya, dari kacamata kepentingan politik, majunya Bambang dan Busyro akan menyulitkan langkah politik DPR untuk meningkatkan posisi tawar.Bagaimanapun kedua sosok di atas memiliki karakter tegas, antikompromi,dan keras terhadap prinsip kebenaran sehingga sulit untuk diajak “bekerja sama”.

Sementara tabiat politik selalu ingin menjaga kepentingannya dari pengaruh maupun tekanan pihak mana pun, termasuk supaya para kader politiknya, baik yang berada di Senayan maupun di daerah luput dari upaya pembersihan KPK.Apalagi 26 anggota DPR yang terlibat dalam suap pemilihan Miranda Goeltom baru dilansir oleh KPK sebagai tersangka. Dengan lengkapnya formasi pimpinan KPK, kekhawatiran kalangan DPR atas sepak terjang KPK bisa kian menguat.

Angin Segar

Tampilnya Bambang dan Busyro sebagai calon terbaik pilihan pansel di sisi lain telah membawa angin segar bagi agenda pemberantasan korupsi di Indonesia.KPK yang saat ini dalam situasi lunglai karena masalah Bibit dan Chandra yang belum kunjung usai akan diberi suntikan darah segar baru. Tampilnya Bambang maupun Busyro sebagai pimpinan KPK diharapkan akan meningkatkan adrenalin pemberantasan korupsi yang kini tengah menghadapi ujian berat.

Terpilihnya Bambang dan Busyro sebagai kandidat terbaik pimpinan KPK juga telah menghapus masalah klasik di internal Pansel KPK yakni pro dan kontra mengenai harus tidaknya calon pimpinan KPK dari perwakilan penegak hukum. Dengan Bambang yang berlatar belakang aktivis dan pengacara, serta Busyro dari unsur akademisi sekaligus Ketua Komisi Yudisial, tanpa ada satu pun wakil dari penegak hukum (jaksa dan polisi),Pansel KPK tidak meninggalkan masalah krusial, sebagaimana ketika Pansel KPK pada 2007 meloloskan Antasari Azhar yang kontroversial selaku calon karena pertimbangan harus ada perwakilan penegak hukum.

Dua Langkah Menjegal

Indikasi bahwa Bambang dan Busyro akan melalui fit and proper test yang rumit di DPR sudah tergambar ketika wacana untuk menolak keduanya kini mulai bermunculan. Meskipun resistensi politik di Parlemen belum terlalu jelas, suara samar-samar yang bertiup dari Gedung Senayan dapat saja membuyarkan harapan publik luas atas agenda pemberantasan korupsi yang lebih baik di masa depan. Apalagi jika suara penolakan kepada dua calon pimpinan KPK tersebut menjadi dominan, dengan alasan merupakan hak konstitusional Parlemen.

Menolak Bambang dan Busyro memang merupakan cara “bunuh diri” Parlemen yang teramat sulit untuk dilakukan, tetapi tetap merupakan ancaman potensial yang layak diperhitungkan. Cara lain untuk “menjegal” dua calon pimpinan KPK pilihan pansel adalah dengan mengurangi masa jabatannya,dari empat tahun sebagaimana usulan pansel menjadi satu tahun saja.Secara politis, usulan satu tahun merupakan langkah untuk meminimalisasi pengaruh Bambang atau Busyro di KPK, sekaligus mengurangi imbas negatif bagi kepentingan politik yang ada karena sepak terjang Bambang ataupun Busyro kelak.

Dengan menjabat hanya satu tahun,sulit bagi keduanya, siapa pun yang nanti terpilih, untuk melakukan langkahlangkah radikal dalam agenda pemberantasan korupsi. Mengurai persoalan masa tugas satu tahun atau empat tahun memang sebuah tantangan tersendiri karena dalam UU KPK tidak diatur secara eksplisit dan detail mengenai periode jabatan pimpinan KPK pengganti. Undang- Undang KPK hanya menyebutkan jika ada pimpinan KPK dalam masa tugasnya harus diganti karena satu hal, mekanisme seleksinya mengikuti proses pemilihan pimpinan KPK sebagaimana biasanya.

Pertimbangan Praktis

Karena secara hukum tidak ditemukan rujukan yang jelas, seharusnya pertimbangan untuk menentukan satu tahun atau empat tahun periode pimpinan KPK terpilih didasarkan pada asas kemanfaatan publik luas. Jika periode kepemimpinan pimpinan KPK terpilih adalah empat tahun, ini sebuah kesempatan untuk melakukan estafet kepemimpinan KPK dengan cara yang lebih baik. Alasannya, jika semua pimpinan KPK diganti pada saat yang bersamaan, tentu bagi pimpinan KPK terpilih akan membutuhkan waktu yang lama untuk menjalankan organisasi karena faktor penyesuaian.

Sementara jika sudah atau masih ada nakhoda yang tetap tinggal di kapal besar bernama KPK, empat pimpinan KPK yang baru dapat melakukan proses internalisasi secara lebih mudah dan cepat. Masa kerja empat tahun bagi pimpinan KPK terpilih juga akan mengefektifkan alokasi anggaran negara yang sudah dikeluarkan untuk proses seleksi.Terhitung Rp2,5 miliar telah dianggarkan untuk memilih satu pimpinan KPK.Angka ini belum termasuk proses fit and proper test yang akan dilakukan Komisi III DPR RI.

Tentu saja ini bukanlah nilai yang kecil. Jika kemudian pimpinan KPK terpilih hanya bekerja untuk periode satu tahun, tentu saja angka Rp2,5 miliar adalah ongkos seleksi pejabat publik yang teramat mahal.(*)

Adnan Topan Husodo
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW)
Tulisan disalin dari harian Seputar Indonesia, 16 September 2010

Wednesday, September 01, 2010

DPR dan Pemberantasan Korupsi

Dalam lingkungan politik yang tidak mendukung agenda pemberantasan korupsi, mustahil korupsi bisa diatasi. Faktor politik bisa dikatakan sangat determinan dalam konteks mengatasi persoalan korupsi di negara mana pun.
Tanpa dukungan politik kuat, program pemberantasan korupsi akan menghadapi banyak hambatan karena mula-mula pemberantasan korupsi dimulai dari dukungan regulasi dan penguatan sistem antikorupsi yang memadai.
Sebaliknya, komitmen politik yang lemah mencerminkan tingginya tingkat korupsi pada level politik. Di sini masalah terasa berputar-putar karena faktor yang menentukan pemberantasan korupsi justru jatuh pada persoalan yang hendak diberantas.
Oleh karena itu, jebakan lingkaran setan kegagalan pemberantasan korupsi harus sedini mungkin dihindari. Ironisnya, wajah DPR yang 70 persen pendatang baru justru menunjukkan kecenderungan sikap politik DPR yang sangat konservatif, untuk tidak dibilang antipati terhadap pemberantasan korupsi.
Melemahkan agenda
Sikap antipati parlemen terhadap beberapa proposal reformasi regulasi yang tujuannya memperkuat agenda pemberantasan korupsi bukan hanya merefleksikan pasang surut komitmen politik wakil rakyat. Yang lebih mengkhawatirkan, adanya politisasi program antikorupsi oleh parlemen.
Bisa dikatakan, teriakan lantang anggota parlemen terhadap beberapa skandal besar, seperti Bank Century, tampak condong pada bobot kepentingan politiknya ketimbang spirit antikorupsi yang digelorakan oleh politisi Senayan. Tak heran jika sikap politik DPR terhadap agenda antikorupsi sering tidak konsisten.
Kelembagaan parlemen juga mudah jatuh pada pemanfaatan kepentingan pribadi para anggotanya, baik untuk membangun kerajaan bisnis keluarga melalui proyek-proyek titipan maupun sebagai alat untuk mempromosikan sikap loyal pribadi terhadap kekuasaan cabang lain, misalnya eksekutif. Apa yang disampaikan Ketua DPR RI Marzuki Alie kepada pers beberapa waktu lalu bahwa Aulia Pohan, besan Presiden SBY, bukanlah koruptor mencerminkan artikulasi kepentingan individual yang kental. Dengan pernyataannya, ia hendak menegaskan dukungannya terhadap keluarga besar Cikeas.
Fatalnya, pernyataan itu telah menyeret kelembagaan DPR RI dalam situasi yang bisa disebut sebagai ”penyalahgunaan” jabatan karena posisinya sebagai Ketua DPR RI. Wacana bahwa Aulia Pohan bukanlah koruptor membawa implikasi sangat serius, terutama pada konteks otonomi kekuasaan yudikatif. Bisa disebut, Ketua DPR RI telah melakukan serangan yang frontal terhadap eksistensi kekuasaan yudikatif yang memiliki hak sepenuhnya untuk menempatkan seseorang itu koruptor atau bukan.
Jika kekuasaan politik parlemen dapat menegasikan keputusan yudikatif yang independen, dampak lanjutannya adalah kekacauan pada konsep trias-politica yang kita anut. Rehabilitasi politik ala Ketua DPR RI terhadap Aulia Pohan memang kental aroma kepentingan pribadi, tetapi fenomena semacam ini tak bisa dianggap sepele karena Ketua DPR sudah membawa kelembagaan parlemen ke jalur yang kontra dengan lembaga penegak hukum korupsi, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Anti terhadap reformasi
Sinyal buruk bagi agenda pemberantasan korupsi juga ditunjukkan parlemen dalam usul penguatan wewenang kelembagaan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan KPK untuk menangani kasus pencucian uang. Serangan black campaign anggota DPR terhadap rumusan revisi draf UU Pencegahan dan Pencucian Uang milik pemerintah adalah langkah awal menempatkan gagasan positif bernuansa reformis ke ide-ide yang terkesan sesat. Wacana mengenai hak impunitas, keinginan PPATK untuk dapat menyadap dan menahan seseorang adalah isu yang diembuskan sebelum draf revisi UU itu sendiri tuntas dibaca.
Selanjutnya, melalui Tim Perumus RUU Pencegahan dan Pencucian Uang yang telah menyelesaikan rapat kerja 20-22 Agustus 2010, upaya menjegal wewenang KPK dan PPATK agar dapat melakukan penyelidikan dan penyidikan kembali dilakukan dengan mengembalikan wewenang itu hanya kepada Kepolisian dan Kejaksaan. Tak ada alasan yang disampaikan, tetapi manuver politik melalui tim perumus merupakan sikap yang sulit diterjemahkan dalam logika kepentingan publik.
Sebagaimana kita tahu, institusi Kepolisian dan Kejaksaan selama ini tak mampu menunjukkan kinerja dalam menangani kejahatan pencucian uang. Berdasarkan data PPATK sampai April 2010, dari 2.442 transaksi keuangan mencurigakan yang ditemukan, sekitar 1.030 (42,18 persen) berasal dari korupsi.
Sebanyak 92 persen Laporan Hasil Analisis diserahkan ke Kepolisian dan hanya 8 persen yang diserahkan ke Kejaksaan. Namun, kasus yang diproses dan diputus menggunakan UU Nomor 15 Tahun 2002 dan UU No 25/2003 tentang Pencucian Uang sangat minim. Seperti dilaporkan PPATK, hanya 26 berkas putusan yang menggunakan UU Pencucian Uang sebagai dasar penghukuman.
Sangat mungkin resistensi parlemen terhadap usulan adanya akuntabilitas silang antara Kepolisian, Kejaksaan, KPK dan PPATK sendiri karena kentalnya konflik kepentingan. Korupsi yang menggurita di parlemen akan sangat mudah dideteksi jika wewenang penyelidikan dan penyidikan kasus pencucian uang diserahkan juga ke KPK. Demikian pula, ada indikasi kuat kasus dugaan pencucian uang yang dilaporkan PPATK ke penyidik Kepolisian dan Kejaksaan selama ini justru jadi ajang mafia hukum.
Persekongkolan politik dengan penegak hukum memang sebuah labirin yang sampai hari ini masih sulit ditembus. Tak heran jika agenda pemberantasan korupsi justru sering terganjal oleh kepentingan politik.

Adnan Topan Husodo Wakil Koordinator ICW
Kompas, 2 September 2010

Tuesday, August 24, 2010

Penegak Hukum Lebay

Dalam kamus online (www.kamusgaul.com), istilah lebay diartikan sebagai ekspresi akan sesuatu yang berlebihan namun dalam konotasi yang negatif. Kata ini sepertinya tepat digunakan untuk membicarakan kasus rekaman Ari Muladi-Ade Rahardja yang sempat disampaikan secara berapi-api oleh Jaksa Agung RI, Hendarman Supandji dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR RI.

Setali tiga uang dengan Hendarman, Kapolri, Bambang Hendarso Danuri (BHD) pun beberapa kali mengutip keberadaan rekaman Ari Muladi-Ade Rahardja sebagai bukti kuat untuk menjerat dua Pimpinan KPK, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah dalam kasus dugaan pemerasan atas Anggodo Widjoyo, adik Anggoro yang telah menjadi DPO KPK dalam kasus pengadaan SKRT Departemen Kehutanan.

Namun tatkala kebenaran rekaman Ari Muladi-Ade Rahardja hendak diuji dalam sidang Anggodo di Pengadilan Tipikor, Mabes Polri menjadi tak segarang ketika berdiskusi dengan Komisi III DPR. Beberapa kali Kapolri teguh pada pendiriannya bahwa rekaman itu ada, meskipun belakangan kita baru mengetahui bahwa yang bisa diserahkan Mabes Polri hanya CDR, bukan rekaman pembicaraan.

Yang lebih tak masuk akal, Jaksa Agung RI menyampaikan adanya bukti rekaman pembicaraan Ari Muladi-Ade Rahardja kepada publik hanya berdasarkan 'katanya'. Pantas jika rekaman itu tak jua muncul meskipun sudah dua kali Jaksa KPK dan majelis hakim Pengadilan Tipikor meminta kepada Mabes Polri untuk menyerahkan 'benda penting' tersebut supaya dapat diputar dalam persidangan Anggodo.

Hitam Pekat Penegakan Hukum

Perubahan alat bukti dari rekaman pembicaraan menjadi CDR bukanlah masalah yang sepele. Rekaman pembicaraan dan CDR adalah dua alat bukti yang berbeda. Jika rekaman pembicaraan, validitas orang yang sedang bercakap-cakap bisa diuji kebenarannya melalui serangkaian tes dengan alat atau teknologi canggih, sementara CDR hanyalah print-out pembicaraan dua pihak yang sangat mungkin tidak relevan materi pembicaraannya dengan kasus yang sedang disidangkan.

Demikian pula, bisa jadi nomor HP dan keterangan percakapan yang muncul dalam print-out bukanlah nomor dari dua orang yang selalu disinggung, yakni Ari Muladi dan Ade Rahardja. Sangat mungkin, materi pembicaraan dalam CDR juga hasil rekayasa lanjutan mengingat mudah mendapatkan, mendaftarkan dan menggunakan nomor HP baru dengan identitas palsu.

Dari sisi pihak yang sudah dijadikan tersangka, yakni Bibit dan Chandra, keberadaan alat bukti fiktif yang digunakan untuk menjerat mereka semakin memperkuat adanya rekayasa atau kriminalisasi oleh Mabes Polri. Ditinjau dari nilai kerugian yang telah diderita secara pribadi maupun kelembagaan KPK, tentu sudah tidak bisa dihitung berapa jumlahnya. Publik secara luas juga terkena dampak langsung karena merosotnya kinerja KPK dalam upaya memberantas korupsi pada periode 2009-2010 diakibatkan oleh pincangnya pengambil keputusan tertinggi KPK karena penetapan status tersangka atas diri Bibit dan Chandra.

Rekaman Ari Muladi-Ade Rahardja yang wujudnya tak pernah ada (fiktif), akan tetapi dijadikan sebagai dasar untuk menjerat pejabat negara yang sedang bertugas memberantas korupsi adalah sejarah paling kelam dalam penegakan hukum di Indonesia di era reformasi. Kredibilitas penegak hukum telah jatuh pada titik yang paling rendah karena rekayasa atau kriminalisasi justru dilakukan oleh pucuk pimpinan lembaga ini. Kapolri dan Jaksa Agung RI tentunya dua pejabat tinggi yang paling bertanggungjawab atas kehancuran integritas institusi mereka. Pernyataan mereka di depan publik maupun di depan anggota DPR adalah sebentuk kebohongan publik sekaligus bentuk konspirasi jahat untuk menghancurkan krebilitas KPK.

Dua Pelanggaran Berat

Tiadanya rekaman pembicaraan Ari Muladi-Ade Rahardja yang kini kian terang benderang telah membuka tabir proses penegakan hukum di Mabes Polri yang sarat rekayasa. Tampaknya Presiden SBY tidak bisa tinggal diam melihat situasi semacam ini. Pasalnya, dua pejabat tinggi yang diangkat langsung olehnya untuk membawahi langsung agenda penegakan hukum di Indonesia telah melakukan dua hal yang bisa dikategorikan sebagai pelanggaran sangat berat.

Pertama, praktek sim salabim dalam penegakan hukum adalah abuse of power yang tidak bisa diberikan ruang toleransi sama sekali. Bukan hanya melanggar sumpah jabatan yang termaktub dalam UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI dan UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, tapi indikasi bahwa pemberian keterangan palsu dalam perkara pidana yang berujung pada kerugian bagi tersangka merupakan bentuk pidana yang dengan jelas diatur dalam KUHP, khususnya pasal 242.

Pertanyaan yang kemudian bisa diajukan, andai dalam kasus besar yang terkait dengan pejabat negara seperti dalam kasus dua Pimpinan KPK, para penyidik Mabes Polri sudah berani menggunakan informasi dan alat bukti yang keliru, bagaimana praktek penegakan hukum dalam kasus-kasus pidana yang melibatkan orang biasa? Tentu potensi kesewenang-wenangan kian terbuka karena yang dihadapi adalah sekelompok pihak yang powerless. Tak heran jika data yang dilansir Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) tahun 2010 ini menunjukkan 72% dari seribu laporan pengaduan masyarakat yang masuk terkait penyalahgunaan wewenang bagian reserse Polri.

Kedua, keengganan pihak Kepolisian dalam memberikan keterangan mengenai ada atau tidaknya rekaman pembicaraan antara Ari Muladi-Ade Rahardja kepada majelis hakim Pengadilan Tipikor, sementara di sisi lain justru muncul dengan data berupa CDR dapat dinilai sebagai perbuatan yang merintangi, mecegah atau menggagalkan, baik secara langsung maupun tidak langsung proses pemeriksaan terhadap terdakwa Anggodo di persidangan.

Dalam UU 31 tahun 1999 tentang TPK, dijelaskan dalam pasal 21 bahwa upaya menghalangi, merintangi, mencegah atau menggagalkan proses penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan di persidangan sebagai tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Sebagaimana diketahui, Anggodo adalah terdakwa kasus percobaan penyuapan terhadap Pimpinan KPK yang sampai saat ini masih diproses secara hukum di Pengadilan Tipikor.

Dari berbagai argumentasi diatas, nampaknya tidak ada cara lain untuk menyelesaikan persoalan ini kecuali Presiden SBY mengambil langkah tegas dengan melepaskan jabatan yang kini masih disematkan kepada Jaksa Agung dan Kapolri. Sebenarnya, mencopot jabatan pihak yang secara nyata melakukan pelanggaran kode etik dan lebih-lebih terindikasi melakukan pidana adalah penyelesaian yang paling ringan. Namun jika Presiden SBY tidak mengambil langkah apapun atas skandal besar ini, akan tetapi justru lebih senang untuk menyampaikan keluh kesahnya kepada publik, rakyat Indonesia pantas menyesal karena presiden kitapun ternyata lebay. ***

Tulisan ini disalin dari harian Koran Tempo, 24 Agustus 2010

Adnan Topan Husodo,Wakil Koordinator ICW

Sunday, August 08, 2010

Pemberantasan Korupsi Termehek-Mehek

STUDI ICW pada semester I 2010 soal penanganan kasus korupsi di berbagai daerah menunjukkan kecenderungan yang justru mengkhawatirkan. Paling tidak, ditemukan 176 kasus korupsi di berbagai daerah yang sudah masuk dalam tahap penyidikan. Dari seluruh kasus tersebut telah ditetapkan 441 tersangka. Sementara sisi potensi kerugian negara yang timbul telah menembus angka Rp 2,1 triliun.

Naiknya angka kasus korupsi yang ditangani aparat penegak hukum, dibandingkan semester 1 tahun sebelumnya (86 kasus), mencerminkan dua hal yang kontradiktif. Di satu sisi ada potensi membaiknya kinerja aparat penegak hukum. Di sisi lain, tergambar adanya tingkat toleransi yang kian tinggi terhadapnya. Pendek kata, penindakan skandal korupsi yang dilakukan aparat penegak hukum tidak ampuh dalam menghasilkan efek jera.

Kian Menggila

Kecenderungan menarik lain yang dapat diamati dari data kuantitatif hasil studi ICW adalah ditemukannya modus yang kian transparan dalam melakukan korupsi. Jika pada tahun-tahun sebelumnya modus korupsi masih berkisar pada manipulasi tender proyek pemerintah, pada 2010 ditemukan lima kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah dengan cara membobol kas daerah yang masih tersimpan dalam bank.

Kasus tersebut terjadi di Kabupaten Indragiri Hulu yang merugikan negara Rp 116 miliar, Pasuruan Rp 74 miliar, Kabupaten Boven Digoel Rp 49 miliar, Kabupaten Lampung Timur Rp 128 miliar dan Aceh Utara Rp 220 miliar.

Praktik korupsi yang kian telanjang dan berani merefleksikan minimnya dampak pemberantasan korupsi yang dirancang pemerintah maupun KPK. Bisa jadi pemahaman yang sekarang ini berkembang, jika ada pejabat publik yang terjerat kasus korupsi, itu hanya sebuah kesialan belaka. Sementara yang belum tertangkap aparat penegak hukum terus melakukannya dengan lebih berani dan kian nekat.

Apalagi struktur kekuasaan di daerah tidak membuka kesempatan bagi kontrol publik yang kuat, sementara DPRD sebagai lembaga kontrol formal justru menjadi bagian dari sindikat korupsi politik lokal. Parahnya, instrumen audit yang dilakukan BPK maupun BPKP tak berdaya dan gagal mendeteksi potensi penyimpangan yang terjadi. Hasil audit mereka lebih banyak berkutat pada isu administratif sehingga jalur penyelesaiannya juga menjadi wilayah administrasi, bukan ranah pidana korupsi.

Selain sektor keuangan daerah (APBD) yang menjadi sasaran empuk korupsi, sektor pertambangan, energi/listrik, dan monopoli perizinan turut memberikan kontribusi yang paling besar pada kerugian negara.

Pergeseran Aktor

Dari sisi aktor korupsi, tidak banyak perubahan yang terjadi. Kalangan eksekutif, baik kepala daerah maupun pejabat di bawahnya, masih menjadi pelaku utama. Sebab, dari total 441 tersangka korupsi, 40 persen di antaranya adalah mereka, diikuti 52 tersangka dari anggota DPRD. Barangkali pergeseran yang paling signifikan adalah meningkatnya aktor korupsi dari kalangan swasta. Pada semester I 2010 ini, aparat penegak hukum telah menetapkan 61 orang berlatar belakang direksi atau komisaris perusahaan swasta.

Fakta ini sebenarnya memiliki benang merah dengan kecenderungan korupsi yang masih didominasi manipulasi tender proyek pemerintah. Ada dua hipotesis mengapa angka pelaku korupsi dari kalangan swasta meningkat. Pertama, tingkat oportunitas untuk melakukan persekongkolan proyek APBD kian tinggi, mengingat iklim kompetisi bisnis yang tidak sehat. Dalam sebuah kepemimpinan daerah yang dihasilkan dari sebuah proses politik koruptif, sulit menegakkan aturan main tender proyek yang sehat.

Kedua, adanya situasi ketidakberdayaan untuk menghadapi kekuasaan yang hampir absolut dari penguasa lokal. Acapkali kalangan swasta yang ingin mendapatkan bagian proyek pemerintah harus mengikuti "regulasi" kepala daerah. Keharusan memberikan kontribusi 10 hingga 30 persen dari nilai proyek yang didapat kepada pejabat daerah adalah sebuah fenomena yang terjadi hampir merata di semua tempat. Yang tidak bersedia memberikan kontribusi, nama perusahaan dan dirinya akan dicoret dari daftar rekanan pemerintah.

Jebakan Teori Malthus

Teori Malthus yang tersohor mengatakan bahwa pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur, sementara ketersediaan pangan mengikuti deret hitung, sehingga pada masa depan manusia akan menghadapi masalah pangan yang luar biasa. Teori di atas dapat kita gunakan untuk mengamati program pemberantasan korupsi yang dilakukan aparat penegak hukum.

Dari data semester I 2010 yang dikumpulkan ICW, dapat disimpulkan bahwa penanganan kasus korupsi yang dilakukan aparat penegak hukum mengikuti deret hitung, sementara kasus korupsi yang secara faktual terjadi mengikuti deret ukur. Untuk 179 kasus korupsi pada semester I, pada 2010 yang sedang ditangani aparat penegak hukum, 58 kasus adalah korupsi yang terjadi pada 2008, 32 kasus korupsi yang dilakukan pada 2007, 19 kasus korupsi merupakan kasus korupsi yang terjadi pada 2006, dan 15 kasus korupsi yang terjadi pada 2005. Sementara kasus yang terjadi pada 2009 adalah 26 kasus. Dengan demikian, aparat penegak hukum belum menangani satu kasus korupsi pun yang terjadi pada semester I 2010.

Dengan demikian, tidak heran jika dari tahun ke tahun kasus korupsi yang muncul kian meningkat. Barangkali sebagaimana ramalan Malthus terhadap masa depan manusia di bumi, pada suatu ketika aparat penegak hukum tak akan kuasa membendung tindak pidana korupsi yang terus berkembang. Jadi, jangan heran jika pemberantasan korupsi di Indonesia justru kian termehek-mehek. (*)

*) Adnan Topan Husodo, wakil koordinator ICW

Disalin dari Jawapos, 9 Agustus 2010

Tuesday, July 27, 2010

Menuju Kursi Trunojoyo I

Suasana panas setiap menjelang pergantian Kapolri tak dapat dihindari.Jabatan yang penuh prestise, kekuasaan begitu besar,dan capaian tertinggi bagi setiap anggota Polri dalam kariernya menjadikan ritus seleksi calon Kapolri kerap diwarnai intrik.


Masalah apapun yang berkaitan dengan Polri,acap dikaitkan dengan situasi menuju kursi Trunojoyo I. Sebut saja sebagai contoh kasus Susno Duadji, pembongkaran rekening gendut Polri, hingga wacana penguatan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan PPATK dalam penanganan kasus pencucian uang.Posisi strategis sebagai Kapolri selalu menarik untuk diperebutkan hingga semua kelompok yang memiliki kepentingan langsung dengan Polri nimbrung dalam pertarungan nan sarat politis ini. Tak dapat dipungkiri, atensi masyarakat luas terhadap proses penentuan Kapolri pengganti Bambang Hendarso Danuri (BHD) kian tinggi karena beberapa persoalan krusial yang dihadapi Polri hingga saat ini belum dapat diselesaikan dengan memuaskan.

Satu yang paling penting adalah masalah rekening gendut milik sejumlah oknum Perwira Tinggi (Pati) Polri yang telah dilaporkan PPATK sejak 2005 silam. Mabes Polri sendiri telah merespons secara internal persoalan di atas dengan melakukan upaya pemeriksaan. Akan tetapi,hasil pemeriksaan internal yang sudah disampaikan kepada publik sama sekali tidak dapat meyakinkan masyarakat bahwa jumlah kekayaan yang dimiliki beberapa perwira tinggi (pati) Polri diperoleh dengan caracara yang wajar.

Sosok Hoegeng yang Mustahil


Keinginan publik agar kapolri ke depan bisa melakukan terobosan besar dalam membenahi internal Polri adalah refleksi dari harapan masyarakat akan hadirnya perubahan institusi Polri yang lebih esensial.Akan tetapi, sulitnya mencari sosok Kapolri yang sesuai dengan harapan publik membuat bayangan ideal seorang Kapolri selalu berhubungan dengan (alm) Hoegeng. Siapa Heogeng?

Dia adalah mantan Kapolri yang dikenal sepanjang hidupnya berlaku sangat sederhana, benci terhadap penyalahgunaan jabatan, dan berani mengatakan tidak terhadap suap. Saking beratnya mendapatkan karakter pembanding yang setara dengan Hoegeng pada saat ini, dalam berbagai kesempatan, pihak Polri selalu menggunakan Hoegeng sebagai contoh polisi yang baik. Lantas, tidak adakah tokoh polisi lain yang–paling tidak–mendekati almarhum Hoegeng sehingga bisa dibanggakan oleh Polri sendiri? Saat ini bisa dikatakan mustahil bagi Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) bisa menjaring calon-calon Kapolri baru yang setara dengan Hoegeng untuk disodorkan kepada Presiden SBY. Justru sebaliknya,wacana mencari kandidat yang terbaik di antara yang buruk adalah realitas yang tidak bisa dihindari.

Artinya, bahan yang kini tersedia tidak memungkinkan bagi lahirnya sosok Kapolri baru yang bisa diandalkan, terutama dalam rangka melepaskan diri dari jerat berbagai kepentingan yang selama ini telah melilit Polri dan tampil sebagaimana gambaran sempurna selayaknya Hoegeng.

Kriteria Minimal

Mengingat sosok Hoegeng tak mungkin dilahirkan kembali, barangkali ada beberapa kriteria spesifik minimum harus dimiliki oleh calon Kapolri ke depan. Kriteria utama tentu berhubungan dengan skandal rekening gendut yang hingga kini masih jadi pergunjingan publik bahkan membesar karena sudah mulai ada tuntutan agar Presiden SBY membentuk tim independen untuk melakukan audit terhadap rekening-rekening yang dikategorikan tambun. Dikaitkan dengan isu di atas, sosok Kapolri ke depan sudah semestinya bukan calon yang namanya ikut terseret dalam kepemilikan rekening fantastis ini.

Sosok Kapolri ke depan juga harus dipilih dari kandidat yang paling sedikit memiliki relasi “istimewa” dengan kalangan eksternal, terutama dengan pengusaha. Sebagaimana kita tahu, penegakan hukum Polri kerap kali berhubungan dengan praktik nakal para pengusaha,mulai dari kasus pembalakan liar,penyelundupan, penggelapan pajak, korupsi, pencucian uang, penambangan liar, penyerobotan lahan, dan lain sebagainya. Untuk mendeteksi adanya jejaring istimewa itu, dibutuhkan sebuah kerja penelusuran rekam jejak dari masing-masing kandidat. Gagasan Kompolnas untuk melibatkan unsur lain seperti PPATK, KPK,dan masyarakat luas perlu diapresiasi karena selama ini seleksi calon Kapolri dilakukan secara eksklusif.

Dengan melibatkan aktor lain, informasi yang diperoleh akan lebih kaya mengingat para pati Polri tentu saja sudah pernah mengalami rotasi pekerjaan ke berbagai wilayah di Indonesia.Dari pemetaan terhadap rekam jejak tersebut, Kompolnas sebagai lembaga yang memiliki otoritas untuk menyerahkan nama calon Kapolri kepada Presiden dapat melihat apakah kandidat Kapolri yang kini berjumlah delapan orang itu memiliki sejarah kelam atau tidak.

Menghindari Political Buying

Masalah seleksi calon kapolri bukan hanya berhenti pada sulitnya mencari sosok seperti Hoegeng dan bagaimana mendorong agar mekanisme seleksi lebih akuntabel dan transparan, melainkan keterlibatan ranah politik dalam menentukan Kapolri. UU No 2 Tahun 2002 tentang Polri mengatur wewenang DPR untuk menyetujui atau menolak calon Kapolri yang diajukan Presiden.

Ini artinya,DPR sebagai lembaga politik akan menjadi aktor yang cukup strategis untuk menentukan siapa Kapolri terpilih. Masalahnya, wewenang DPR untuk memilih pejabat publik kerap kali disalahgunakan. Kasus pemilihan Miranda Gultom sebagai misal adalah bukti aktual bagaimana political buying potensial menghantui proses seleksi calon pejabat publik,termasuk Kapolri. Untuk mengantisipasi kemungkinan tawar-menawar politik antara calon Kapolri dengan politisi di Senayan, akan sangat baik jika Presiden cukup menyodorkan satu nama calon Kapolri kepada Komisi III DPR. Pasalnya, dalam kasus seleksi Panglima TNI, sudah ada pengalaman Presiden menyampaikan satu nama dan disetujui oleh DPR.

Harus disadari akan ada kemungkinan satu calon kKapolri yang diserahkan Presiden kepada DPR diterima meskipun kemungkinan untuk ditolak juga tetap ada. Penyerahan nama tunggal calon Kapolri juga akan meredakan ketegangan internal di tubuh Polri. Sebagai konsekuensi dari lebih dari satu nama calon Kapolri,akan muncul kompetisi yang dapat mengarah pada perpecahan. Jika arena kompetisi dibiarkan sangat terbuka bagi masing-masing calon Kapolri,masing-masing calon pasti membutuhkan tim sukses,pelobby, dan donatur dari pihak lain.

Caracara ini akan mengancam integritas calon Kapolri dan membuka peluang bagi masuknya politik balas budi yang membuat Polri sebagai institusi akan sulit melepaskan diri dari kepentingan berbagai pihak yang turut menyukseskan salah satu calon Kapolri sebagai pemenang.(*)

Adnan Topan Husodo
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW)


Tulisan disalin dari harian Seputar Indonesia, 27 Juli 2010

Anomali Pilkada

Pilkada langsung yang berlaku di Indonesia sejak 2005 telah melahirkan anomali dalam praktik demokrasi lokal. Premis yang menyebutkan bahwa demokrasi berkorelasi positif dengan tingkat korupsi yang menurun nyatanya tidak berlaku dalam konteks Indonesia.

Korupsi justru kian meningkat pasca- pelaksanaan pilkada langsung. Data kuantitatif Komisi Pemberantasan Korupsi menunjukkan, sejak 2005, terdapat 40 kepala daerah, baik gubernur, wali kota, maupun bupati yang menjadi terpidana kasus korupsi.

Sementara dari Kantor Sekretariat Negara dilaporkan, hingga 2010, Presiden SBY telah menandatangani 150 surat izin pemeriksaan bagi kepala daerah yang jadi saksi ataupun tersangka kasus korupsi.

Jika kita telusuri lebih jauh, masalah mendasar yang telah meningkatkan terjadinya tindak pidana korupsi pasca-pilkada adalah penggunaan uang dalam pemilu lokal yang tidak terkendali. Uang yang memang tidak bisa dihindari merupakan faktor penting untuk menyokong berbagai macam kegiatan kampanye.

Tanpa uang, sangat sulit bagi seorang kandidat dapat memenangi pilkada. Uang dibelanjakan untuk berbagai kepentingan, mulai dari pengadaan material kampanye, logistik, hingga pembiayaan tim sukses dan pendukungnya. Dalam fungsinya yang positif, uang dapat membantu kandidat meraih kursi kekuasaan.

Uang merusak pilkada
Namun, jika penggunaan dan sumber dalam memperoleh dana kampanye tidak diatur secara transparan dan akuntabel, uang justru menjadi faktor yang merusak.

Pemilu (pilkada) yang demokratis memiliki ciri-ciri utama, yakni terjaminnya prinsip keadilan dan kesetaraan bagi setiap kandidat yang berkompetisi. Adanya disparitas dalam penerimaan dan penggunaan sumber daya finansial dalam politik akan mencederai kompetisi politik yang seharusnya berlangsung adil.

Terdapat dua konsekuensi besar jika penggunaan uang dalam pemilu (pilkada) dibiarkan bebas dan tanpa kendali. Uang yang bebas bergerak dalam arena pertarungan politik memiliki potensi untuk mengooptasi semua proses penyelenggaraan pemilu.

Meskipun semua perangkat pemilu yang demokratis telah disiapkan, kekuatan uang dapat menyusup dan melampaui tatanan formal penyelenggaraan pilkada.

Protes berbagai hasil pilkada sedikit banyak menggambarkan kredibilitas penyelenggara pemilu dan pengawas yang rendah. Sangat mungkin, turunnya kredibilitas KPU/KPUD dan Panwaslu merupakan akibat dari pengaruh uang yang berlebihan dalam penyelenggaraan pilkada.

Bebasnya pergerakan uang membuat jalan instan untuk memenangi pertarungan menjadi sangat mungkin. Dengan ”menguasai” anggota KPUD, hitung-hitungan hasil pemilihan dapat direkayasa sedemikian rupa sehingga menguntungkan kandidat yang menggunakan uangnya untuk menyuap penyelenggara pemilu.

Pendek kata, hasil pemilu akan rentan untuk dimanipulasi jika pengaturan mengenai dana politik tidak menjadi prioritas dalam penyelenggaraan pemilu/pilkada. Sudah bisa diduga jika pemilu dilalui dengan proses yang koruptif dan manipulatif, yang akan lahir adalah pemimpin-pemimpin yang berwatak demikian.

Meningkatnya politik uang
Penggunaan uang dalam kampanye yang diatur ala kadarnya dapat meningkatkan praktik politik uang, terutama pada tingkat masyarakat pemilih. Politik uang dalam kacamata pemilih barangkali memiliki nilai ekonomis pada jangka pendek. Akan tetapi, dalam jangka panjang, hasil pilkada yang dimenangi melalui praktik politik uang justru mengurangi kesempatan masyarakat untuk mendapatkan akses terhadap kesejahteraan.

Di samping itu, praktik politik uang juga dapat menyerang fondasi demokrasi, menghancurkan nilai etik politik, serta meningkatkan perilaku koruptif, baik pada tingkat pemilih maupun elite politiknya.

Jika pelaksanaan pemilu telah dicemari dengan praktik manipulasi yang sangat serius, bisa dimengerti dalam jangka panjang akan terjadi krisis ketidakpercayaan publik terhadap lembaga demokrasi seperti partai politik dan DPR/DPRD, termasuk pejabat publiknya.

Publik akan semakin asing dengan proses pengambilan keputusan politik, sementara elite politik akan semakin kuat relasinya dengan para kelompok kepentingan yang bermain untuk mendapatkan keuntungan dari keputusan politik yang dilahirkan.

Demikian halnya pemimpin politik yang lahir dalam sebuah proses pemilu yang penuh korupsi akan membentuk sebuah pemerintahan yang tidak kredibel. Maraknya korupsi yang dilakukan kepala daerah telah memberikan konfirmasi atas sebuah proses pilkada yang kotor.

Sulit untuk membangun tata kelola pemerintahan yang baik, melakukan reformasi birokrasi, mengefektifkan APBD untuk tujuan pembangunan, dan membangun kebijakan publik yang berpihak pada kepentingan publik luas dalam kondisi di mana tingkat korupsi pejabat publiknya sangat tinggi.

Masyarakat luas juga tak luput dari imbas korupsi dalam pelaksanaan atau hajat besar demokrasi bernama pemilu/ pilkada. Dengan politik uang, masyarakat dididik untuk menghalalkan segala cara, mencari jalan keluar yang cepat, dan percaya bahwa suap akan memberikan keuntungan ekonomi.

Masyarakat menjadi pesimistis terhadap pemilu karena pemenangnya ditentukan oleh uang, sementara jika tidak ada pemberian uang, masyarakat juga menjadi alergi terhadap kandidat.

Pada akhirnya, pemilih hanya akan mencoblos kandidat-kandidat yang memberikan uang atau logistik paling besar. Hal inilah yang telah menghancurkan esensi demokrasi karena pemilih tidak lagi menggunakan pertimbangan logis dalam menentukan calon pemimpin mereka, tetapi sudah ditentukan oleh kekuatan uang. Dalam kondisi demikian, bandarlah yang menentukan pemenang pilkada, bukan pemilihnya. Lantas, di mana kita akan menempatkan vox populi vox dei?

Adnan Topan H, Wakil Koordinator ICW

Tulisan ini disalin dari Kompas, 24 Juli 2010

Friday, May 21, 2010

Susno Duadji, Peniup Peluit, dan Isu Perang Bintang

Penetapan Susno Duadji, mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, yang mengguncang publik dan internal Mabes Polri karena pengakuannya atas praktik mafia hukum dalam penanganan kasus pajak Gayus Tambunan, sebagai tersangka mengundang sejumlah kontroversi.

Bagi sebagian kalangan, Susno seharusnya mendapatkan perlindungan hukum karena jasanya mengungkap sebuah rahasia besar –yang jika tidak diungkap olehnya- mungkin kasus mafia hukum dalam penanganan perkara Gayus Tambunan tidak akan pernah meledak sedemikian besar. Dalam konteks ini, Susno seharusnya diposisikan sebagai pahlawan yang perlu mendapatkan perlakuan yang wajar, sekaligus perlindungan hukum, bukan justru ditetapkan sebagai tersangka.

Namun, bagi sebagian pihak, Susno dianggap pahlawan kesiangan, karena baru mengungkap adanya kebusukan di internal Mabes Polri setelah dirinya tidak lagi menjabat sebagai Kabareskrim. Susno yang jabatannya dicopot karena menjadi pemicu konflik Cicak (Cinta Indonesia Cinta KPK) melawan Buaya, dipandang terlambat dalam membocorkan semua rahasia tersebut.

Semestinya, saat menjabat sebagai Kabareskrim, Susno dengan kekuasaannya dapat melakukan berbagai hal, terutama dalam menangani dan menuntaskan perkara-perkara besar yang dipegang Mabes Polri. Dengan demikian, sepak terjang Susno selepas pencopotan dirinya sebagai Kabareskrim dianggap merupakan bentuk balas dendam pribadi terhadap kekuasaan di Mabes Polri yang telah mendepaknya. Dalam konteks ini, niat untuk mengungkap kasus mafia pajak dan berbagai macam kasus lain sebagaimana ia janjikan bukan ditujukan untuk reformasi di tubuh Mabes Polri.

Kontroversi lain yang muncul dalam kasus Susno adalah penetapan dirinya sebagai tersangka dalam kasus dugaan penyuapan dengan bekal fakta hukum berupa pengakuan tiga saksi yang dipandang sangat lemah. Apalagi dua saksi yang memberatkan Susno berasal dari internal Mabes Polri, dan saksi ketiga adalah orang yang pernah dilaporkan Susno sebagai Mr X. Dalam logika umum, Susno tidak mungkin akan menyuarakan sesuatu jika kelak justru membahayakan dirinya sendiri.

Demikian halnya, frase dari ”akan dijanjikan menerima uang” menjadi ”telah menerima uang” adalah sebuah pengertian dan fakta hukum yang berbeda, sehingga akan menimbulkan konsekuensi hukum yang berbeda pula. Sebagaimana kita ketahui, pengakuan Mr X (Syahril Djohan) yang sempat muncul di media massa adalah bahwa dirinya baru menjanjikan akan memberikan uang senilai Rp 500 juta jika Susno dapat menyelesaikan kasus yang dimakelari Syahril Djohan secara damai.

Namun, kini fakta hukum itu telah bergeser menjadi ”telah menerima”. Tentu saja jika benar fakta hukum itu telah berubah, Susno layak dijadikan sebagai tersangka, karena seorang pejabat publik tidak boleh menerima suap dari pihak mana pun. Meskipun demikian, dalam konstruksi pidana suap-menyuap, baru Susno sebagai penerima suap yang telah dijadikan sebagai tersangka oleh Mabes Polri, sedangkan pihak yang memberikan suap belum ditetapkan sebagai tersangka sama sekali. Pendek kata, jika ujung dari skenario kejahatan suap-menyuap yang menyeret Susno sebagai tersangka berhenti pada Susno semata, maka kasus penetapan Susno sebagai tersangka bisa memicu gejolak yang lebih besar.

Melindungi Peniup Peluit
Perdebatan menarik seputar penetapan Susno sebagai tersangka adalah isu absennya perlindungan hukum terhadap sang peniup peluit. Pertanyaan mendasarnya, apakah semestinya Susno mendapatkan perlindungan hukum atas apa yang telah dia ungkapkan? Sebenarnya sistem hukum di Indonesia telah memberikan mekanisme perlindungan hukum bagi para pelapor dan saksi.

Masalahnya, untuk mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, ada beberapa persyaratan yang sayangnya dalam kasus Susno tidak dipenuhi.

Pertama, Susno hanya bermain pada wilayah pemberitaan media massa dalam mengungkap kasus permainan hukum atas perkara pajak Gayus Tambunan. Meskipun kemudian fakta atas pengakuan Susno kian terang, dan beberapa pejabat publik sedang diproses secara hukum, posisi Susno yang tidak pernah menjadi saksi atau pelapor membuat perlindungan hukum menjadi sulit diberikan kepadanya. Kita tentu ingat, perlindungan hukum diberikan hanya bagi pihak yang telah melaporkan tindak pidana secara rahasia. Dengan mengungkap masalah tersebut kepada publik melalui media massa, persyaratan untuk mendapatkan perlindungan hukum menjadi tidak terpenuhi.

Kedua, Susno tidak pernah melaporkan adanya praktik mafia hukum itu kepada aparat penegak hukum. Meskipun ada pelaporan kepada Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, karena Satgas bukanlah bagian dari penegak hukum, maka sulit bagi Susno untuk dianggap sebagai pelapor. Semestinya Susno melaporkan temuan atas praktik mafia hukum itu kepada Komisi Pemberantasan Korupsi misalnya, sehingga dirinya akan mendapatkan perlindungan hukum yang memadai sebagaimana saksi atau pelapor lainnya yang telah diberikan perlindungan hukum yang tepat.

Perang Bintang Menuju Trunojoyo I
Pengakuan Susno dan penetapan Susno sebagai tersangka sesungguhnya hanya akan menjadi pernak-pernik dari pertarungan antarbintang di Mabes Polri menuju kursi Trunojoyo I. Oleh karena itu, jika Presiden tidak mengambil langkah politik yang besar untuk memulai melakukan reformasi di internal Mabes Polri, apa yang telah diungkap Susno dan apa yang terjadi pada Susno tidak akan berarti apa pun.

Bagaimanapun, situasi sekarang tidak memungkinan bagi Presiden untuk menyerahkan upaya perbaikan di Mabes Polri kepada mereka sendiri. Perlu ada intervensi politik untuk menata ulang, sekaligus merombak secara serius situasi internal di Mabes Polri. Jangan sampai apa yang kini dilakukan Mabes Polri, dengan menyeret para pelaku praktik mafia hukum dan pengungkapnya sendiri, yakni Susno, sebagai langkah reformasi yang bersifat buka-tutup.

Kita tentu tidak ingin setiap ada proses pergantian Kepala Kepolisian Republik Indonesia akan ada korban jatuh, sementara isu korupsi di Mabes Polri selalu menjadi bumbu penyedap dari perebutan kekuasaan menuju panglima tertinggi di Mabes Polri, sehingga mengabaikan agenda pemberantasan korupsi di lembaga penegak hukum. (E6)

Adnan Topan Husodo, Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch

sumber: http://www.vhrmedia.com/Susno-Duadji-Peniup-Peluit-dan-Isu-Perang-Bintang-opini4197.html#email-to-friend

Sunday, May 09, 2010

Jalan Terjal Kasus Cek Pelawat

Singapura adalah surga bagi para penggila belanja, sekaligus untuk para koruptor Indonesia. Sudah lebih dari belasan orang, baik yang berstatus tersangka, terdakwa maupun terpidana kasus korupsi melarikan diri ke negeri bermaskot singa ini. Bahkan di tempat ini pula kegiatan mengkapitalisasi hasil korupsi dilakukan, diantara dengan membuka bisnis atau menginvestasikan hasil jarahan uang negara ke berbagai jenis usaha.

Terakhir, Nunun Nurbaeti, saksi penting kasus dugaan suap dalam pemilihan Miranda Gultom juga mengambil tempat untuk menyembuhkan penyakit lupa akutnya di Singapura. Alasan itu pula yang membuat KPK hingga hari ini tidak bisa menghadirkan Nunun Nurbaeti ke pengadilan Tipikor untuk dimintai kesaksian atas terdakwa Hamka Yamdhu, Udju Djuhaeri, Endin Sofihara dan Dudi Makmun Murod. Keempat orang terakhir ini sudah lama ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK karena dianggap menerima cek pelawat sebagai imbalan dalam memilih Miranda Gultom.

Pentingnya Nunun Nurbaeti, istri mantan Wakapolri Adang Daradjatun dihadirkan sebagai saksi mengingat semua terdakwa kasus pemberian cek pelawat sebagai biaya pemenangan Miranda Gultom mengaku bahwa cek tersebut berasal dari Nunun Nurbaeti. Tentu saja dengan kehadiran Nunun, perkara dugaan suap yang dilaporkan pertama kali oleh Agus Chondro, mantan anggota DPR Komisi IX yang juga mengaku menerima cek pelawat akan semakin terang benderang.

Hingga saat ini, absennya Nunun di pengadilan Tipikor membuat berbagai pertanyaan penting yang semestinya bisa diungkap di pengadilan Tipikor menjadi tertunda. Publik tentu ingin mengetahui lebih dalam keterkaitan Nunun yang dalam berbagai kesaksian terdakwa maupun saksi lain telah memberikan cek pelawat dengan Miranda Gultom selaku pejabat publik yang terpilih. Demikian halnya, apa kepentingan Nunun Nurbaeti terhadap posisi Deputi Senior Gubernur BI sehingga dirinya sampai harus mengeluarkan cek pelawat bagi anggota DPR yang memilih Miranda Gultom.

Pengacau

Setelah sekian lama kasus dugaan suap cek pelawat disidangkan di Pengadilan Tipikor, ada dua faktor yang dapat mengacaukan hasil penyelidikan dan penyidikan KPK kelak. Pertama, mangkirnya Nunun Nurbaeti di Pengadilan Tipikor mengingat seluruh proses hukum yang dilakukan telah sampai pada kesimpulan bahwa cek pelawat yang digunakan sebagai alat untuk menyuap anggota Komisi IX DPR RI bersumber dari Nunun.

Maka dari itu, sebenarnya penting bagi KPK untuk mendapatkan informasi medis yang independen sehingga alasan sakit lupa akut yang diderita Nunun benar-benar dapat dikonfirmasi. Pasalnya, sudah banyak kasus dimana pihak yang hendak dimintai keterangan, baik sebagai saksi maupun tersangka mendadak sakit dan harus berobat ke luar negeri. Khusus untuk para tersangka, terdakwa dan terpidana korupsi, sakit telah dijadikan sebagai modus untuk melarikan diri dari jerat hukum. Di sisi lain, sakit juga merupakan alasan yang paling manusiawi sehingga acapkali aparat penegak hukum tidak memiliki pilihan kecuali mengijinkannya.

Masalahnya, jika Nunun benar-benar tidak bisa hadir di persidangan hingga pemeriksaan terhadap keempat terdakwa selesai, perkara dugaan suap terhadap Miranda Gultom menjadi hambar. Mengapa? Karena dalam konstruksi kasus suap-menyuap, yang bisa dihadirkan ke persidangan oleh KPK hanyalah pihak yang menerima suap dari kalangan DPR. Sementara dari pihak yang memberikan suap hingga sampai saat ini masih kabur jejaknya. Pertanyaannya, jika memang Nunun yang selama ini dianggap sebagai pemberi suap, mengapa hingga saat ini KPK masih belum menetapkannya sebagai tersangka?

Faktor kedua adalah adanya indikasi untuk menggeser persoalan sebenarnya dalam kasus dugaan suap terhadap Miranda Gultom ke isu sumbangan dana kampanye. Paling tidak, beberapa saksi mantan anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan menyebutkan bahwa cek pelawat yang mereka terima adalah sumbangan dana kampanye bagi pemilihan calon Presiden dan Wakil Presiden.

Argumentasi bahwa cek pelawat merupakan sumbangan dana kampanye merupakan strategi untuk mengalihkan isu pidana korupsi (suap-menyuap) ke ranah pemilu. Asumsinya, memberikan sumbangan dana kampanye merupakan sebuah hal yang sah sebagaimana diatur oleh UU Pemilu. Perkara mereka tidak melaporkannya sebagai sumbangan dana kampanye, hal itu merupakan pelanggaran pidana pemilu yang jika hendak diusut sekarang, tidak ada pijakan hukumnya mengingat kasus pelanggaran dana kampanye sudah dianggap kadaluarsa oleh UU Pemilu.

Langkah Tegas

Oleh karena itu, mengingat kasus ini sudah begitu lama diproses KPK, sementara belum ada penambahan tersangka baru kecuali empat terdakwa yang sudah terlebih dulu diproses ke Pengadilan Tipikor, untuk menyelesaikan secara tuntas proses hukum kasus dugaan suap Miranda Gultom, KPK sepertinya perlu mengambil langkah baru.

Kendati selama ini strategi membuka terlebih dahulu semua aktor yang terlibat dalam kasus korupsi melalui pengakuan dari para terdakwa maupun saksi merupakan langkah jitu KPK yang dapat dibilang sangat berhasil, dalam konteks kasus suap Miranda Gultom, KPK tampaknya harus proaktif mengambil langkah hukum yang lebih maju.

Salah satu hal yang bisa dilakukan oleh KPK adalah menetapkan Nunun sebagai tersangka mengingat semua alat bukti yang memberatkan Nunun sudah berada di tangan KPK. Baik kesaksian semua pihak yang telah dihadirkan di pengadilan Tipikor maupun petunjuk lain yang menguatkan keterlibatan Nunun sudah dimiliki KPK, sehingga menetapkan Nunun sebagai tersangka bukan merupakan langkah yang melanggar hukum.

Sebaliknya, dengan menetapkan Nunun sebagai tersangka, KPK dapat menjadikan Nunun sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO) jika Nunun tidak kooperatif untuk dimintai keterangan, baik dalam kaitannya dengan klaim penyakit lupa berat yang dideritanya, maupun keterangan atas mengalirnya cek pelawat ke anggota Komisi IX DPR RI. Bagaimanapun, jika Nunun tidak pernah diperiksa secara medis oleh tim yang independen, sulit untuk menerima alasan bahwa dirinya tengah berjuang untuk menyembuhkan penyakit lupa akutnya di Singapura.

Demikian pula, ketika KPK menghadapi kendala untuk menghadirkan Nunun ke Indonesia karena posisinya berada di Singapura, status tersangka atas diri Nunun telah memberikan jalan bagi KPK untuk berkoordinasi dengan interpol maupun pihak lain yang berwenang untuk membantu agar Nunun dapat dibawa pulang ke Indonesia.

Publik masih sangat menanti drama pengungkapan kasus cek pelawat ini. Keterangan Nunun sangat penting artinya untuk mengungkap lebih jauh, apakah semua kronologis dugaan suap akan berhenti pada diri Nunun, ataukah ada aktor baru yang kelak akan dibuka oleh Nunun sendiri di Pengadilan Tipikor. ***

Wednesday, May 05, 2010

Merevisi Rezim Antipencucian Uang

Dalam laporan tahunan 2007, PPATK menyebutkan bahwa laporan hasil analisis dari sejumlah temuan transaksi yang mencurigakan yang telah disampaikan kepada aparat penegak hukum mencapai 524 kasus.

Jumlah laporan hasil analisis itu––sebagaimana diakui Kepala PPATK Yunus Husein––mengalami peningkatan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.Akan tetapi, masalah yang selalu dihadapi publik untuk melakukan pengawasan atas kinerja pemberantasan praktik pencucian uang adalah tiadanya data yang akurat untuk melihat seberapa jauh tingkat proses hukum atas laporan tersebut. Sebagaimana diatur dalam Pasal 26 UU No 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang,PPATK memiliki tugas pokok yang salah satunya adalah melaporkan hasil analisis transaksi yang berindikasi tindak pidana pencucian uang kepada kepolisian dan kejaksaan.Dengan demikian, peranan PPATK dalam pemberantasan pencucian uang sebatas pada pengumpan (feeder), bukan eksekutor.

Mengingat wewenang eksekusi ada pada penegak hukum, yakni kepolisian dan kejaksaan, maka kinerja pemberantasan pencucian uang sangat bergantung pada kesigapan dan profesionalitas kedua lembaga penegak hukum ini untuk menindaklanjuti temuan dan laporan PPATK. Persoalannya,untuk mengukur secara kuantitatif prestasi dalam pemberantasan praktik pencucian uang,hingga saat ini tidak ada data akurat yang disediakan pusat informasi di kepolisian maupun kejaksaan.

Dengan demikian, publik tidak pernah mengetahui, apakah laporan PPATK telah ditindaklanjuti kepolisian dan kejaksaan secara serius atau tidak? Kalaupun ada upaya memproses secara hukum temuan PPATK, data mengenai jumlah keseluruhan kasus yang telah selesai ditangani tidak banyak tersedia.Ketertutupan inilah awal dari munculnya praktik penyimpangan dalam proses penegakan hukum kasus pencucian uang.

Pencucian Uang, Mafia Hukum, dan Korupsi

Contoh yang paling mutakhir atas potensi penyimpangan yang diduga dilakukan oleh penyelidik dan penyidik,baik di tubuh kepolisian maupun kejaksaan, adalah terbongkarnya kasus Gayus Tambunan. Dari tiga sangkaan yang dijatuhkan padanya, yakni penggelapan, pencucian uang, dan korupsi, pada akhirnya berkas yang masuk ke pengadilan hanya satu. Itu pun lantas lolos karena Gayus divonis bebas murni oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Tangerang.

Dalam kasus Gayus, banyak yang luput untuk memperhatikan kegagalan penegak hukum dalam melakukan upaya pemberantasan praktik pencucian uang. Sebaliknya, yang banyak disoroti adalah kejahatan Gayus dan keterlibatan beberapa aparat penegak hukum dalam meloloskan Gayus dari jerat hukum. Sebelumnya,PPATK juga telah melaporkan 15 perwira Polri yang memiliki rekening fantastis kepada Mabes Polri.Namun, ibarat jeruk makan jeruk, dugaan adanya praktik pencucian uang dan korupsi yang sudah disampaikan PPATK lenyap bak ditelan waktu. Hingga saat ini, tidak ada informasi perkembangan penegakan hukum dari Mabes Polri atas laporan itu.

Padahal,sangat mungkin,ada kaitan antara menggelembungnya jumlah rekening para perwira Polri dengan praktik beking dalam banyak kejahatan, mulai illegal logging, korupsi, penyelundupan hingga narkoba dan sebagainya. Posisi strategis pemberantasan praktik pencucian uang yang sejalan dan mendukung pemberantasan mafia hukum, mafia kayu, mafia pajak, mafia politik dan korupsi pada akhirnya mengalami stagnasi fungsi. Ini terjadi karena pada akhirnya yang menentukan sebuah laporan kasus indikasi pencucian uang akan dilanjutkan atau tidak ada di tangan institusi kepolisian dan kejaksaan. Sementara di sisi lain, praktik mafia hukum justru banyak beroperasi pada tingkat aparat penegak hukumnya. Pada konteks ini, peranan PPATK menjadi tidak terlalu banyak berarti karena “disandera” oleh wewenang eksekutorial aparat penegak hukum.

Dua Persoalan Utama

Minimnya kontribusi yang diberikan rezim antipencucian uang untuk meminimalkan berbagai macam praktik kejahatan ilegal terletak pada penataan yang tidak terlalu tepat atas wewenang PPATK. PPATK sebagai lembaga independen telah berada pada jalur yang benar.Namun, jalan atau tidaknya agenda pemberantasan praktik pencucian uang tidak hanya bergantung kepada PPATK. Dalam bahasa lain, seberapa banyak pun jumlah laporan hasil analisis atas transaksi yang mencurigakan ditemukan oleh PPATK,sepanjang pada tingkat penindakan mengalami kemacetan penanganan, maka jumlah temuan menjadi tidak relevan.

Ada dua persoalan utama yang menghambat penanganan yang harmonis atas praktik pencucian uang di Indonesia. Pertama, ujung dari semua hasil kerja analisis dan pengolahan data mengenai transaksi yang mencurigakan di PPATK berada pada aparat penegak hukum. Dari kacamata penerapan sistem checks and balances, hal itu sudah sangat lumrah supaya tidak ada pemusatan otoritas/kekuasaan pada satu lembaga.Akan tetapi dalam situasi aparat penegak hukum justru menjadi penghambat dalam program pemberantasan praktik pencucian uang, menyerahkan otoritas kepada aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti laporan transaksi mencurigakan sama dengan bunuh diri.

Kedua, PPATK tidak memiliki petugas yang mandiri dari pengaruh kekuasaan mana pun. Meskipun PPATK adalah lembaga independen, nasibnya setali tiga uang dengan KPK yang sebagian sumber daya manusianya direkrut dari institusi penegak hukum konvensional. Tak mengherankan jika banyak rumor mengenai adanya data di PPATK yang bocor terlebih dahulu kepada pihak terlapor sebelum dilaporkan kepada penegak hukum.

Catatan ke Depan

Berdasarkan dua persoalan di atas, pemerintah dan DPR perlu melakukan revisi atas peran dan otoritas PPATK ke depan. Jika pada masa lalunya PPATK hanya berperan sebagai pemberi informasi bagi aparat penegak hukum,sudah saatnya PPATK diberi wewenang yang lebih besar,yakni otoritas untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sendiri. Hal ini untuk meningkatkan peran PPATK dalam pemberantasan praktik pencucian uang sehingga sinergi antara PPATK dengan lembaga sejenis seperti KPK dan Komisi Yudisial dapat lebih kokoh terbangun.

Bagaimanapun, kaitan antara tindak kejahatan pencucian uang dengan kejahatan asalnya seperti korupsi,narkotik,judi,pembalakan liar, perdagangan manusia begitu kuat. Dalam rumusan hukum pencucian uang, memberantas kejahatan ini seharusnya sangat mudah karena para penyidik tidak harus membuktikan terlebih dahulu kejahatan asalnya. Sepanjang diketahui ada kecurigaan terhadap transaksi yang mencurigakan dan mengarah pada indikasi pencucian uang, pada saat itu pula proses hukum dapat dilakukan. Denganmemberikanwewenang penindakan kepada PPATK, diharapkan jumlah kasus pencucian uang yang bisa diungkap akan semakin signifikan.Demikian pula jika ada keterlibatan para perwira di tingkat penegak hukum dalam praktik pencucian uang,proses penegakan hukum tetap bisa dilakukan secara independen oleh PPATK.

Untuk melengkapi wewenang penindakan,PPATK juga harus dibekali para penyelidik dan penyidik yang independen. Kita harus becermin kepada KPK yang banyak mengalami hambatan penanganan perkara jika melibatkan aparat penegak hukum lain karena para penyelidik dan penyidik KPK sebagian besar berasal dari institusi kepolisian dan kejaksaan. Dengan penyelidik dan penyidik yang mandiri, PPATK akan menjadi pilar bagi penegakan hukum yang lebih menjanjikan di masa depan.(*)

Adnan Topan Husodo
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW)

Tulisan disalin dari harian Seputar Indonesia, 6 Mei 2010