Thursday, November 04, 2010

Stagnasi Pemberantasan Korupsi

TRANSPARANSI Internasional Indonesia (TII) baru saja melansir hasil survei indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia 2010.

Hasilnya bisa dikatakan mengecewakan. Sebab, nilai terhadap kinerja pemberantasan korupsi di Indonesia tidak berubah jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Skor yang diperoleh Indonesia hanya 2,8 poin atau sama dengan tahun sebelumnya. Tahun ini Indonesia berada di peringkat ke-110 di antara 178 negara dunia yang disurvei.

Dengan peringkat itu, Indonesia hanya disejajarkan dengan negara seperti Bolivia, Gabon, Kepulauan Solomon, dan Kosovo.

Sementara itu, pada level Asia Tenggara, Indonesia masih kalah jauh oleh Singapura (9,3), Brunei Darussalam (5,5), Malaysia (4,4), dan Thailand (3,5). Indonesia hanya berada di atas negara lemah, seperti Vietnam, Timor Leste, Filipina, Kamboja, dan Myanmar.

Stagnasi prestasi pemberantasan korupsi pada 2010 tentu saja merugikan. Sebab, itu berarti kita telah melewati waktu setahun dengan sia-sia.

Demikian halnya dengan ongkos serta energi yang telah dialokasikan untuk mendorong pemberantasan korupsi, hanya sanggup menjaga posisi Indonesia pada level yang sama dengan tahun sebelumnya tanpa bisa mendongkraknya ke tingkat yang lebih tinggi.

Dengan IPK itu, semakin sulit bagi Indonesia meraih peringkat yang lebih baik pada tahun-tahun mendatang, apalagi sampai 5,0 poin sebagaimana target Presiden SBY pada 2015.

Mengapa Stagnan?
Paling tidak, ada beberapa persoalan krusial yang mengakibatkan skor IPK Indonesia tak beringsut naik jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Faktor pelemahan KPK dan nasib yang tidak menentu atas kasus Bibit dan Chandra selama periode 2009-2010 menjadi salah satu pemicu stagnasi pemberantasan korupsi di Indonesia.

Bagaimanapun, harus diakui KPK merupakan salah satu faktor yang dapat mendongkrak peringkat pemberantasan korupsi Indonesia di mata internasional. Di sisi lain, kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum lain tidak kunjung pulih.

Sebaliknya, kepolisian dan kejaksaan justru selama ini dituding sebagai pihak yang berada di belakang kriminalisasi terhadap pimpinan KPK tersebut. Kasus dugaan mafia pajak yang melibatkan Gayus Tambunan juga tak bisa dilepaskan dari keterlibatan aparat penegak hukum di kepolisian maupun kejaksaan.

Lambannya program reformasi pada tubuh penegak hukum dapat dilihat juga dalam laporan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) per September 2010.

Data pengaduan masyarakat terhadap dugaan penyimpangan oleh aparat kepolisian di 32 entitas setingkat polda dan Mabes Polri menunjukkan bahwa 1.106 di antara 1.199 keluhan masyarakat berada pada satuan reskrim.

Sisanya merupakan keluhan pada fungsi samapta, lantas, intelijen, dan bina mitra. Data statistik tersebut bisa diartikan bahwa dalam fungsi penegakan hukum yang diwakili reskrim, kinerja Kepolisian RI masih dikategorikan buruk.

Laporan mengenai rekayasa perkara, manipulasi alat bukti, penolakan laporan masyarakat, dan kriminalisasi terhadap kasus perdata yang semua itu dikategorikan sebagai unfair trail juga telah menjadi catatan tersendiri Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta pada 2010.

IPK 2010 harus menjadi kritik sekaligus masukan yang berharga bagi Presiden SBY. Pertimbangannya, agenda pemberantasan korupsi berada pada garis komandonya.

Lambannya untuk tidak mengatakan stagnan agenda reformasi pada berbagai sektor, khususnya penegak hukum, perlu menjadi catatan yang serius bagi presiden.

Sebab, itu bisa diartikan sebagai kegagalan presiden dalam mengawal perbaikan pada lembaga penegak hukum.

Mendongkrak Citra Positif
Selain pekerjaan rumah untuk memoles citra positif penegak hukum yang masih berat, agenda pemberantasan korupsi bertumpu pada agenda reformasi birokrasi.

Dengan perbaikan pada sektor itu, publik akan secara langsung menikmati pelayanan yang lebih baik. Mulai pelayanan dasar, perizinan, maupun pengurusan hal lain.

Membaiknya pelayanan publik menandakan keberhasilan reformasi pada sektor birokrasi. Sebaliknya, kegagalan reformasi birokrasi dapat dilihat dari masih buruknya kualitas pelayanan publik.

Masalahnya, survei integritas sektor publik yang dilansir KPK pada awal November 2010 menunjukkan belum membaiknya mutu pelayanan publik secara umum.

Survei yang berlangsung pada April-Agustus 2010 tersebut dilakukan terhadap 353 unit layanan yang tersebar di 23 instansi pusat, 6 instansi vertical, dan 22 pemerintah kota.

Kegiatan itu melibatkan responden pengguna layanan sebanyak 12.616 orang. Mereka terdiri atas 2.763 responden di tingkat pusat, 7.730 responden di tingkat instansi vertikal, dan 2.123 responden di tingkat pemerintah kota.

Seluruh responden merupakan pengguna langsung layanan publik yang disurvei dalam setahun terakhir. KPK menggunakan ukuran standar minimal integritas sebesar 6,00 dari skala 0-10,00. Artinya, semakin besar nilai, semakin baik integritasnya.

Hasilnya, indeks integritas nasional tahun ini hanya berada pada level 5,42 atau separo dari skala 10,00 sebagai nilai tertinggi. Indeks integritas nasional merupakan nilai rata-rata dari sektor publik di tingkat nasional, instansi vertikal, dan pemerintah kota.

Padahal, program remunerasi yang dicanangkan pemerintah sebagai pemicu bagi perbaikan sektor birokrasi sudah diaplikasikan pada beberapa instansi pemerintah.

Barangkali perlu ada evaluasi ulang, apakah strategi menaikkan remunerasi merupakan solusi yang efektif untuk mempercepat agenda reformasi birokrasi. Terakhir, menurunnya tingkat korupsi dapat ditandai dengan semakin efektifnya penerimaan dan penggunaan anggaran negara di pusat maupun daerah.

Berdasar laporan hasil pemeriksaan semester I 2010 oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), ditemukan beberapa hal positif. Salah satunya adalah bertambahnya jumlah laporan keuangan di tingkat pemerintah pusat maupun daerah yang mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian (WTP).

Sebaliknya, yang mendapatkan predikat disclaimer turun. Sebanyak 44 di antara 78 laporan keuangan kementerian/lembaga (LKKL) di tingkat pusat mendapatkan opini WTP, naik sepuluh laporan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya 34.

Sementara itu, delapan laporan mendapatkan opini disclaimer atau turun sepuluh laporan dari tahun sebelumnya. Pada tiga hal tersebut, IPK Indonesia dipertaruhkan.

Karena itu, strategi pemberantasan korupsi harus diarahkan demi terciptanya pemulihan kepercayaan publik terhadap penegak hukum, perbaikan kualitas pelayanan publik, serta semakin efisien dan efektifnya penerimaan dan penggunaan anggaran negara.

Dengan strategi itu, semoga IPK Indonesia pada masa yang akan datang meningkat signifikan. (*)

Adnan Topan Husodo, wakil koordinator ICW

No comments: