Wednesday, February 28, 2007

Ketertutupan: Jalan Terang Korupsi

Korupsi tumbuh subur dalam suasana yang gelap dan tertutup. Sebagai sebuah kejahatan terorganisasi, korupsi mendapatkan tempatnya untuk berkembang dan besar pada sistem pemerintah yang tidak transparan. Ketertutupan bagi penyakit korupsi adalah jalan terang untuk tetap bertahan dan terus hidup. Sebaliknya, keterbukaan bagi virus korupsi adalah gerbang kematian yang paling dekat. Pendek kata, keterbukaan adalah alat efektif guna membatasi ruang gerak praktek korupsi.

Dalam kondisi ketika semua serba rahasia, para pejabat negara yang menguasai akses terhadap sumber daya publik mudah tergoda menyelewengkan kekuasaan dan kewenangan yang mereka miliki. Kerahasiaan pejabat negara terhadap publik menciptakan kesempatan yang besar untuk melakukan korupsi. Demikian halnya keengganan pejabat publik membuka diri sekaligus cermin dari watak kekuasaan yang koruptif.

Karena tidak transparan, korupsi yang merajalela kecil kemungkinan dapat terbongkar. Pejabat negara tenang dan nyaman melakukan korupsi karena tidak akan pernah diketahui. Peluang mendeteksi korupsi yang sangat terbatas membuat penyelewengan dan penyimpangan menjadi keseharian gerak birokrasi. Karena itu, sulit mengelak bahwa setiap rupiah anggaran negara yang dialokasikan dalam rangka menggerakkan pembangunan menjadi rentan terhadap praktek korupsi.

Cara-cara tidak bertanggung jawab, seperti memanipulasi dokumen, menggelembungkan nilai proyek, membuat pelaporan fiktif, menyunat anggaran, dan menggelapkan uang, adalah akibat langsung tiadanya sistem transparansi. Penyebab korupsi yang menggurita adalah pejabat negara tidak memiliki kewajiban membuka informasi kepada masyarakat. Di sisi lain, para pejabat negara selalu berdalih bahwa data yang mereka pegang merupakan rahasia negara sehingga tidak dapat diberikan kepada pihak lain.

Padahal instrumen kontrol yang efektif hanya dapat diciptakan dengan mendesain sebuah sistem pemerintah yang transparan dan akuntabel. Barangkali tidak ada cara yang lebih efektif untuk memberantas korupsi, kecuali memaksa pejabat negara agar bersikap terbuka. Daya paksa untuk memiliki kesadaran bersikap transparan dapat dilakukan dengan mendorong lahirnya Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (KMIP).

Dalam konteks penyempurnaan sistem antikorupsi di Indonesia, posisi UU KMIP menjadi sangat penting sebagai salah satu upaya melengkapi aturan pemberantasan korupsi yang sudah ada, seperti UU Perlindungan Saksi dan Korban. Hal ini juga sejalan dengan mandat United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Dengan meratifikasi UNCAC, pemerintah Indonesia memiliki tanggung jawab untuk menyelaraskan berbagai peraturan mengenai pemberantasan korupsi dengan standar internasional sebagaimana tertuang dalam dokumen UNCAC. Apalagi ratifikasi itu telah ditindaklanjuti dengan lahirnya UU Nomor 7 Tahun 2006 tentang Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Antikorupsi 2003.

Selain itu, lahirnya UU KMIP dapat dijadikan sebagai parameter untuk menilai tingkat keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi. Sebagaimana diketahui, kesulitan terbesar masyarakat dalam melakukan kontrol terhadap pejabat negara adalah karena tidak adanya sistem transparansi (baca: akses terhadap informasi). Keadaan demikian menyebabkan proses-proses pengawasan dari masyarakat tidak berjalan efektif.

Sebaliknya, masyarakat yang bersusah payah mendapatkan data dan dokumen dapat serta merta dijerat dengan pasal pencurian dan tindak pidana lain yang berkaitan dengan penyebaran dokumen rahasia negara. Sungguh suatu masa yang ironis ketika pemberantasan korupsi telah menjadi agenda nasional. Namun, agenda itu tidak didukung oleh perangkat-perangkat yang memudahkan bangsa ini menyelesaikan problemnya.

Karena itu, kehadiran UU KMIP akan menjadi tonggak baru bagi semakin menguatnya posisi kontrol masyarakat dalam berhadapan dengan negara. Pejabat negara tidak akan lagi berbuat semena-mena, menyembunyikan kejahatan korupsi dengan berlindung di balik alasan rahasia negara. Masyarakat juga akan dengan mudah melakukan fungsi pengawasan sebagai bentuk partisipasi dalam memberantas korupsi.

Masalahnya, sudah lebih dari enam tahun RUU KMIP dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah. Namun, hingga detik ini belum ada titik terang bahwa peraturan tersebut akan segera diselesaikan. Jalan menuju UU KMIP sepertinya masih panjang, curam, dan terjal. Padahal KMIP adalah bagian dari prioritas legislasi nasional 1999-2004. Ini artinya, sudah dua kali periode kekuasaan berganti, tapi tak satu pun pemerintah terpilih dapat mengegolkan UU KMIP.

Karena itu, banyak yang berhitung bahwa 2007 adalah titik balik RUU KMIP. Jika tidak diloloskan menjadi sebuah undang-undang pada tahun ini, nasib UU KMIP bisa jadi akan tertunda sampai 2010. Hal ini mengingat pada 2008, politikus Senayan dan pemerintah sudah bersiap-siap menghadapi Pemilihan Umum 2009. Ini artinya, nasib KMIP berada di ujung tanduk.

Sebenarnya, mengingat RUU KMIP adalah usul inisiatif DPR, bola liarnya kini ada di tangan pemerintah. Tarik-ulur mengenai beberapa isu krusial ditengarai menjadi hambatan terbesar mengapa proses legislasi KMIP tidak berjalan mulus. Pemerintah sampai saat ini masih menganggap ada beberapa hal dalam draf UU KMIP yang belum dapat diselaraskan.

Isu krusial itu dapat dikelompokkan menjadi empat hal, yakni definisi badan publik yang akan terkena kewajiban membuka informasi, eksistensi komisi informasi, masa peralihan untuk persiapan aparatur birokrasi menghadapi kebebasan informasi, dan perdebatan mengenai pengaturan sanksi.

Terlepas dari lemah-tidaknya argumentasi mengenai empat isu krusial tersebut, yang pasti, dalam konteks pemberantasan korupsi, KMIP merupakan salah satu alat yang sangat mumpuni. Implikasi diberlakukannya UU KMIP sekaligus akan menjangkau dimensi pencegahan dan penindakan korupsi. Dengan demikian, kampanye pemberantasan korupsi yang gencar disuarakan pemerintah tidak akan terlalu banyak berarti jika jaminan untuk mendapatkan kebebasan memperoleh informasi publik diabaikan.

Karena itu, seandainya pemerintah tidak sungguh-sungguh dalam menyelesaikan proses pembahasan RUU KMIP ini dalam waktu dekat, persoalan korupsi akan tetap menjadi pekerjaan rumah yang berat di masa-masa mendatang. Alih-alih dipandang pro terhadap agenda pemberantasan korupsi, minus UU KMIP, pemerintah dapat dianggap sebagai bagian dari rezim yang tertutup.

Tulisan ini dimuat pada Koran Tempo, Kamis, 1 Maret 2007

Wednesday, February 21, 2007

Sisi Lemah Pengadaan Barang dan Jasa

Laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dilansir beberapa waktu lalu menyebutkan bahwa selama tahun 2005, sebanyak 24 dari 33 kasus korupsi yang ditangani, terkait dengan pengadaan barang/jasa pemerintah. Modus korupsi dalam pengadaan sebagaimana dimaksud meliputi penggelembungan harga (mark-up), perbuatan curang, penyuapan, penggelapan, pengadaan fiktif, pemberian komisi, penyalahgunaan wewenang, nepotisme, dan pemalsuan.

Studi Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2005 juga mengungkapkan indikasi terjadinya korupsi paling banyak mencuat pada proyek pengadaan. Hal itu terutama karena proses pengadaan barang/jasa tidak dilakukan melalui mekanisme lelang terbuka (tender), melainkan dengan penunjukan langsung. Padahal melalui penunjukan langsung, pelaksanaan proyek dapat menimbulkan konsekuensi pelanggaran hukum.

Dari sisi persaingan usaha sebagaimana telah diatur UU No. 5 tahun 1999, penunjukan langsung menutup peluang terjadinya kompetisi berkualitas. Oleh karena itu, para pelakunya dapat dikategorikan melanggar persaingan usaha yang sehat.

Pentingnya lelang terbuka karena diasumsikan adanya kontestansi akan mendorong tercapainya efektivitas dan efisiensi anggaran belanja. Negara diuntungkan karena memperoleh barang/jasa yang bagus dengan nilai proyek yang kompetitif.

Penunjukan langsung juga dapat dianggap melanggar Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa di Instansi Pemerintah. Terutama jika syarat-syarat penunjukan langsungnya tidak terpenuhi. Disamping itu, pelanggaran terhadap Keppres tersebut akan semakin nyata jika dalam praktik penunjukan langsung, negara dirugikan karena penggelembungan harga. Apalagi jika ditemukan unsur penyuapan dan bid rigging, yakni pemberian uang pelicin oleh peserta lelang kepada panitia lelang.

Meskipun demikian, penunjukan langsung tetap bisa dilakukan asal semua syarat wajib yang tertera dalam Keppres tersebut dipenuhi, termasuk pemenuhan prinsip-prinsip efektif dan efisien.

Oleh karenanya, mengacu kepada Keppres No. 80 Tahun 2003, dapat diberikan catatan khusus bahwa penunjukan langsung tidak berarti selalu dianggap salah atau melanggar hukum. Hal ini penting diperhatikan mengingat persepsi publik yang terbangun, jika ada proyek penunjukan langsung, berarti telah terjadi korupsi.

Penunjukan langsung dapat menjadi persoalan dalam ranah pidana khusus (korupsi) seandainya pejabat publik yang melakukannya memiliki motif korupsi. Indikasinya dapat dilihat pada penetapan nilai proyek yang tidak wajar, rekayasa alasan penunjukan langsung, rencana lelang yang sudah diarahkan, penentuan jadwal lelang yang tidak realistik dan lain sebagainya.

Nilai proyek yang berlipat ganda besarnya dibandingkan harga normal menunjukan bukti kuat bahwa telah terjadinya korupsi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa selisih harga proyek dengan harga pasar merupakan ongkos korupsi yang harus dibayar. Tanpa penggelembungan harga, rekanan sulit memperbesar keuntungan karena sudah menjadi hal jamak jika 30 hingga 40 persen nilai kontrak harus dibagi-bagikan untuk panitia proyek dan pejabat yang bertanggungjawab.

Pertanyaannya, mengapa pengadaan barang dan jasa sarat dengan praktik korupsi? Ada beberapa hal yang bisa dijelaskan. Saat ini, secara berjenjang, pengelolaan pengadaan dikendalikan oleh Pimpro, badan pelaksana yang sifatnya ad hoc dan memiliki posisi tawar rendah. Kondisi ini akan sangat menyulitkan adanya panitia lelang yang kredibel, mandiri dan objektif dalam menilai proses pelelangan karena mereka sendiri adalah kelompok yang rentan atas tekanan internal dan eksternal.

Buruknya performance panitia pengadaan juga diakibatkan oleh tiadanya mekanisme insentif bagi yang memiliki prestasi, khususnya para panitia lelang yang secara sungguh-sungguh telah mempraktikkan proses pelelangan yang efektif dan efisien.

Barangkali yang terjadi justru sebaliknya. Melakukan korupsi jauh lebih menguntungkan bagi panitia lelang dan pejabat yang bertanggungjawab daripada insentif –jika ada- yang diterima jika mereka melaksanakan tender yang bersih. Demikian halnya lemahnya sanksi administratif dan hukum yang diberikan kepada para pihak yang terlibat kolusi secara tidak sadar telah mengabadikan sistem pengadaan yang buruk.

Masalahnya menjadi kian kompleks dan berurat akar karena pengadaan dilakukan pada bilik-bilik tertutup. Keterlibatan publik dalam mengawasi proses pengadaan tidak terakomodasi dalam sistem yang tertutup dimana rezim lelang sangat didominasi oleh lingkaran panitia lelang dan beberapa pelaku usaha saja.

Hasil-hasil penawaran, informasi mengenai penunjukan langsung, dan dokumen yang terkait dengannya sulit diakses publik sehingga pada tingkat implementasi proyek, mekanisme pengawasan publik sulit dilakukan. Walhasil, proyek menjadi carut marut, kolusi berurat akar dan model arisan proyek menjadi kebiasaan untuk meratakan benefit pelaku usaha dan pejabat panitia lelang.

Tulisan ini dimuat di Koran Jurnal Nasional, Kamis, 22 Februari 2007

Monday, February 05, 2007

Pengadilan Pilihan Koruptor

Pemerintah punya rencana mengejutkan. Pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) akan dihapuskan melalui peniadaan eksistensi hakim ad hoc tipikor. Menurut pemerintah, melalui Tim Pembahasan RUU mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ke depan, wewenang mengadili kasus korupsi, baik yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi, kejaksaan, maupun kepolisian, diserahkan kepada hakim karier di pengadilan umum. Alasannya, hakim ad hoc tipikor tidak mengerti pekerjaan sebagai hakim. Pemerintah lari dari komitmen memberantas korupsi?

Tak dapat dimungkiri, wacana menghapus pengadilan tipikor merupakan babak selanjutnya dari putusan Mahkamah Konstitusi. Kala itu, dengan berbagai alasan, majelis hakim Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pengadilan tipikor harus dibentuk dengan undang-undang tersendiri, tidak disatukan dengan UU Komisi Pemberantasan Korupsi. Dari putusan itu, semestinya pemerintah mendorong adanya RUU Pengadilan Tipikor, bukan justru membubarkannya. Ini berarti ada pemutarbalikan logika sekaligus pemelintiran makna sesungguhnya dari putusan Mahkamah Konstitusi.

Karena itu, sebaiknya pemerintah tidak gegabah membubarkan pengadilan tipikor. Pemerintah perlu mempertimbangkan secara lebih matang rencana itu. Sebab, jika tidak, bisa dipastikan program pemberantasan korupsi yang tengah dilaksanakan akan menuai hasil yang jauh dari harapan. Masyarakat yang mulai membangun optimisme baru terhadap penegakan hukum korupsi akan kembali pesimistis. Bisa-bisa program pemberantasan korupsi akan kembali ke titik nol karena hasil pengadilan tidak selaras dengan tuntutan keadilan masyarakat.

Mengapa demikian? Ada beberapa alasan untuk menjelaskannya. Pertama, dari sisi kinerja penegakan hukum korupsi. Sejauh catatan yang dimiliki Indonesia Corruption Watch, kinerja pengadilan tipikorlah yang mendongkrak harapan baru bahwa pemberantasan korupsi bisa dilakukan, bukan pengadilan biasa. Pasalnya, semua kasus korupsi yang dituntut KPK ke pengadilan tipikor divonis bersalah. Lantas apakah ada yang keliru dengan pola ini?

Sebenarnya, dalam konteks tindak pidana, hasil akhir penanganan kasus hampir pasti bisa diprediksi. Meskipun tidak matematis, probabilitasnya sangat tinggi. Maksudnya, jika di tingkat penyelidikan dan penyidikan aparat penegak hukum (KPK, kejaksaan, dan kepolisian) telah ditemukan bukti yang cukup atas terjadinya tindak pidana korupsi, bisa diprediksi para terdakwa yang diajukan ke pengadilan dapat terjerat. Apa yang terjadi dalam kasus KPK dan pengadilan tipikor bukanlah bentuk "kolusi" dalam menangani kasus sebagaimana tudingan beberapa kalangan, melainkan gambaran yang mewakili asas predictable itu sendiri.

Sebaliknya, kinerja pengadilan biasa sebagaimana diklaim oleh Tim Pembahasan RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai hakim yang mengerti pekerjaannya sungguh mengecewakan. Kita tentu masih ingat vonis bebasnya terdakwa korupsi APBD Kabupaten Cilacap, Frans Lukman, di Pengadilan Negeri Cilacap, 21 Desember 2006.
Dalam salah satu pertimbangannya, majelis hakim memasukkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 sebagai dasar hukum bahwa berbagai dana yang dituduhkan dikorupsi oleh terdakwa dibenarkan oleh peraturan tersebut. Padahal kasus korupsi itu sendiri terjadi pada 2004, dua tahun sebelum peraturan itu lahir. Hakim yang sehat tentu tidak akan pernah berpikir sekacau itu dengan memasukkan dasar pertimbangan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 untuk membebaskan terdakwa.

Gambaran secara makro atas kinerja pengadilan umum dalam menangani kasus korupsi dapat dilihat selama kurun waktu 2006. Dalam catatan Indonesia Corruption Watch, seperti pada tahun sebelumnya, pengadilan umum masih menjadi jalur hukum yang menguntungkan bagi para terdakwa korupsi.

Sesuai dengan data pemantauan Indonesia Corruption Watch selama tahun 2006 dari berbagai media massa, tercatat 125 perkara korupsi dengan 362 orang terdakwa yang diperiksa dan diputus oleh pengadilan (umum) di seluruh Indonesia. Di tingkat pengadilan negeri terdapat 100 perkara korupsi, di tingkat pengadilan tinggi (banding) tercatat 18 perkara, dan di tingkat kasasi hingga peninjauan kembali di Mahkamah Agung terdapat 7 perkara.

Dari 124 perkara yang telah diperiksa dan divonis, sebanyak 40 perkara dengan 117 terdakwa (32 persen) divonis bebas oleh pengadilan. Meskipun harus diakui bahwa tidak semuanya bebas karena terdapat 85 perkara (68 persen) yang akhirnya divonis bersalah, vonis bersalah yang dijatuhkan pengadilan sulit diharapkan dapat memberikan dampak kapok bagi pelakunya karena masih teramat ringan.

Tercatat, 37 perkara korupsi atau sekitar 29,8 persen dijatuhi vonis di bawah 2 tahun penjara. Angka ini jauh lebih mendominasi dibandingkan dengan kasus korupsi yang divonis penjara di atas 2 tahun hingga 5 tahun, yang hanya 32 perkara atau sekitar 25,8 persen. Angka tersebut akan kian menyusut jika melihat kasus korupsi yang divonis di atas 5 tahun penjara, yang hanya 16 perkara atau 12,8 persen.

Kenyataan penegakan hukum ini sangat kontras jika kita bandingkan dengan penanganan perkara korupsi oleh pengadilan tipikor. Selama dua tahun terakhir sejak berdirinya pengadilan tipikor, sedikitnya 29 perkara telah diperiksa dan diputus. Semua berkas perkara yang dilimpahkan KPK itu divonis bersalah dan tidak ada satu pun yang dibebaskan. Tidak hanya dari sisi itu, dari aspek penanganan perkara, proses di pengadilan tipikor jauh lebih cepat dibandingkan dengan hakim-hakim di pengadilan biasa.

Dengan perbandingan kinerja tersebut, apa yang telah ditunjukkan hakim pengadilan tipikor seharusnya diapresiasi oleh pemerintah. Seharusnya pengadilan tipikor mendapatkan tempat yang lebih kuat di dalam konstitusi, bukan justru akan dibubarkan.
Kedua, berlandaskan fakta tersebut, kehadiran KPK sebagai penegak hukum yang memiliki kewenangan besar tidak akan fungsional jika pengadilan tipikor dihapuskan.

Sebaliknya, ini akan menjadi awal dari proses memburuknya citra KPK di mata publik. Itu karena secanggih apa pun KPK memberikan bukti dan data hukum yang akurat, jika pengadilan biasa yang mengadilinya, sulit untuk bisa ditebak hasil akhirnya. Jika saja kelak di pengadilan biasa ada kasus KPK yang dibebaskan, bukan tak mungkin tuntutan pembubaran KPK juga akan kian kuat.

Karena itu, sebaiknya pemerintah tetap melandaskan usul-usul perbaikan dalam sistem pemberantasan korupsi pada putusan yang telah dibuat Mahkamah Konstitusi. Toh, UU Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 Tahun 2004 Pasal 15 ayat 1 memungkinkan adanya pengadilan khusus, termasuk pengadilan tipikor, sebagaimana ayat penjelasannya. Artinya, jika berniat membubarkan pengadilan tipikor, pemerintah telah mengingkari adanya berbagai peraturan dan keputusan yang tetap menganggap pengadilan tipikor bisa dibentuk, sekaligus mengingkari agenda pemberantasan korupsi itu sendiri.