Saturday, March 21, 2009

Membedah Suap Dana Stimulus APBN 2009

KEMBALI salah satu anggota DPR dicokok KPK karena dugaan suap. Kali ini yang tertangkap tangan adalah Abdul Hadi Djamal (AHD), anggota DPR Komisi V dari Partai Amanat Nasional (PAN), sekaligus caleg DPR RI dapil Sulsel I. Karena tindakan korupsi itu, KPK telah menetapkan AHD sebagai tersangka dan PAN langsung memecat dirinya sebagai anggota dan pengurus partai, yang otomatis membuat pesakitan itu tidak bisa lagi mencalonkan diri sebagai anggota DPR untuk periode berikutnya.

Satu hal yang menarik dari perkembangan kasus ini adalah nyanyian tersangka AHD bahwa yang terlibat dalam kasus suap dana stimulus 2009 bukan hanya dirinya. Dalam beberapa kesempatan, AHD menyebut nama Jhonny Allen Marbun, wakil ketua Panitia Anggaran DPR dari Partai Demokrat, lantas Anggito Abimanyu, ekonom sekaligus kepala Badan Kebijakan Fiskal Depkeu, dan terakhir Rama Pratama, mantan aktivis '98, anggota Panitia Anggaran DPR RI dari PKS.

Atas pengakuan tersebut, semua orang yang diakui AHD mengetahui kasus suap dana stimulus 2009 kompak menyangkal. Bahkan, Rama Pratama dan PKS telah mengajukan somasi kepada AHD. Sangat mungkin, gugatan somasi ini akan berujung pada pelaporan pencemaran nama baik.

Dari kasus ini, ada beberapa hal yang menarik untuk didiskusikan. Pertama, setiap anggota DPR yang ditangkap tangan oleh KPK, cepat atau lambat, akan memberikan informasi mengenai pihak-pihak lain yang diduga terlibat. Tentu saja pengakuan semacam itu bukan tanpa dasar, karena disampaikan dalam keadaan sadar dan memiliki konsekuensi hukum jika mengandung unsur kehobongan. Artinya, tersangka yang sudah menyebut nama pihak lain dapat saja digugat balik dengan pasal pencemaran nama baik.

Anehnya, di antara semua kasus korupsi di KPK yang melibatkan anggota DPR, tidak ada satu pun anggota DPR atau pihak lain yang disebut-sebut oleh tersangka/terdakwa kemudian mengajukan keberatan melalui upaya hukum. Contoh kasus adalah Paskah Susetta, mantan anggota DPR Komisi IX -kini kepala Bappenas- yang kerap disebut-sebut oleh Hamka Yamdu dalam berbagai persidangan.

Atau, misalnya, Azwar Chesputra dan teman-temannya di Komisi IV DPR yang dikatakan Yusuf Emir Faisal terlibat dalam kasus korupsi pembangunan Pelabuhan Bagan Siapi-api, Sumatera Selatan. Sementara untuk kasus suap dana stimulus yang menjadikan AHD sebagai tersangka, Jhonny Allen Marbun dan Anggito Abimanyu juga tidak pernah berencana melakukan gugatan balik meski namanya meluncur dari mulut AHD.

Bandingkan jika para anggota DPR itu, misalnya, disebut-sebut oleh media massa atau LSM terlibat dalam korupsi, tentu reaksinya akan spontan muncul dan taring kekuasaannya akan menyeringai. Barangkali, tanpa menunggu waktu yang lama, laporan pencemaran nama baik sudah disampaikan kepada polisi.

Atas hal ini, muncul beberapa pertanyaan krusial. Apakah orang-orang yang disebut namanya oleh para tersangka atau terdakwa itu memang terlibat korupsi? Jika tidak, mengapa mereka tidak berupaya maksimal menjaga atau mengembalikan nama baiknya melalui jalur hukum? Apakah ini berarti sebenarnya mereka terlibat atau setidak-tidaknya mengetahui kejadian korupsinya?

Kedua, ada upaya untuk menggiring wacana suap dana stimulus APBN 2009 hanya kepada pelibatan anggota DPR di komisi V, tempat AHD bertugas. Logika yang dibangun, karena suap ini terkait dengan proyek pembangunan dermaga dan pelabuhan di wilayah Indonesia bagian timur yang notabene berada di komisi V dan Departemen Perhubungan sebagai mitra kerja, maka yang pasti terlibat menjadi calo anggaran ialah anggota di komisi V.

Sebaliknya, alat kelengkapan DPR lain, seperti panitia anggaran, tidak ada kaitannya sama sekali dengan komisi V. Apalagi jika anggota Panggar yang disebut AHD bertugas di komisi yang berbeda.

Menyesatkan

Terus terang, argumentasi di atas sangat menyesatkan. Oleh karena itu, saya menganggap hal tersebut sebagai upaya mengelabui fakta yang sebenarnya. Dalam dokumen kesimpulan rapat kerja Panggar DPR dengan menteri keuangan 23-24 Februari 2009, sangat jelas dinyatakan adanya persetujuan alokasi dan besaran dana stimulus fiskal 2009 senilai Rp 73,3 triliun oleh Panggar DPR. Dari total dana tersebut, Rp 17,0 triliun dialokasikan untuk belanja negara di mana Rp 12,2 triliunnya merupakan belanja infrastruktur.

Selanjutnya, dokumen itu menyatakan kesimpulan rapat kerja Panggar DPR dengan menteri keuangan merupakan bentuk persetujuan DPR yang bersifat final. Tidak memerlukan pembahasan lebih lanjut.

Penegasan atas keterlibatan penuh Panggar DPR dalam pengalokasian dana stimulus terdapat pada poin yang menyebutkan bahwa rincian alokasi belanja menurut unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja ditetapkan bersama oleh Panggar dengan Menkeu 5 (lima) hari setelah rapat kerja tanggal 23-24 Februari 2009, yakni tanggal 1 Maret 2009.

Mengacu pada waktu penangkapan AHD oleh KPK pada 3 Maret 2009, semakin jelas kaitan antara proses pembahasan dana stimulus di Panggar DPR dengan lobi para calon kontraktor yang sangat mungkin berjalan sangat intens.

Bisa jadi, lobi yang berujung suap dalam belanja dana stimulus senilai Rp 12,2 triliun tersebut terjadi juga pada proyek-proyek lainnya yang ada di berbagai komisi dan departemen teknis atau pemerintah daerah. Perlu diingat, uang sebesar itu harus dihabiskan hanya dalam waktu kurang lebih 9 (sembilan) bulan, yaitu Maret-Desember 2009. Potensi suap-menyuapnya menjadi kian rentan karena dana itu dikucurkan menjelang pemilu legislatif dan pemilu presiden/wakil presiden.

Kembali ke pengakuan AHD, bahwa yang terlibat dalam kasus itu bukanlah dirinya sendiri, tetapi juga ada pihak lain yang lebih menentukan sebagaimana yang digambarkan olehnya dalam pertemuan di Hotel Ritz Charlton.

Untuk membuktikan kehadiran orang-orang yang disebut AHD dalam rapat tersebut, caranya tidaklah sulit. Cukup KPK meminta manajemen Ritz Charlton untuk memutar kembali rekaman CCTV di hotel tersebut pada waktu dan jam yang disebut AHD telah terjadi pertemuan empat pihak.

Jika hasil rekaman itu membenarkan pernyataan AHD, nasib orang-orang yang ikut dalam rapat informal di hotel mewah tersebut akan ditentukan oleh proses hukum selanjutnya. Bagi partai-partai yang kerap menggunakan slogan antikorupsi, seperti PKS dan Demokrat, tentu saja hal itu akan jadi pukulan telak menjelang pemilu. Bisa-bisa, tingkat kepercayaan publik menukik tajam yang akan berimbas pada dulangan suara kedua partai tersebut. Kita lihat saja gebrakan KPK selanjutnya. ***

*. Adnan Topan Husodo, wakil koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) di Jakarta

tulisan ini dimuat di Jawapos, 22 Maret 2009

Thursday, March 19, 2009

Lubang Besar Pengaturan Dana Kampanye

Lubang Besar Pengaturan Dana Kampanye
Oleh: Adnan Topan Husodo
Wakil Koordinator ICW

Diskursus publik tentang implikasi penggunaan metoda suara terbanyak menjelang pelaksanaan pemilu 2009 lebih didominasi oleh bagaimana meletakkan kebijakan affirmative action bagi caleg perempuan paska putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Respon KPU sendiri atas keputusan tersebut begitu cepat, hingga mengajukan Perpu khusus untuk caleg perempuan.

Padahal dampak putusan MK mengenai penetapan calon terpilih dengan suara terbanyak bukan hanya terkait dengan soal diatas. Masalah diatas adalah penting, namun sepertinya KPU tidak memperlakukan masalah lain yang sama pentingnya pada derajat yang sama. Pasalnya, masih ada masalah lain yang cukup pelik tapi tidak direspon secara memadai oleh berbagai pihak, terutama KPU, yakni isu yang berkaitan dengan pengaturan dana kampanye peserta pemilu.

Harus diingat bahwa putusan MK disadari atau tidak telah memunculkan implikasi serius terhadap pengaturan dana kampanye, khususnya dana kampanye calon legislatif (caleg). Sebagaimana kita ketahui, pengaturan dana kampanye dalam UU Pemilu Legislatif Nomor 10 Tahun 2008 (UU Pileg) menggunakan basis partai politik dan calon perorangan sebagai peserta pemilu.

Secara ideal, pengaturan dana kampanye dalam pasal 129 hingga pasal 140 UU Pileg dimaksudkan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas peserta pemilu dalam hal keterbukaan atas sumber pendanaan kampanye (penyumbang) dan pertanggungjawaban penggunaan dana tersebut melalui pelaksanaan audit dana kampanye oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) yang ditunjuk KPU.

Akan tetapi, subjek hukum atas pengaturan dana kampanye diatas adalah partai politik dan calon perseorangan (DPD). Artinya, yang memiliki kewajiban dalam UU untuk melakukan pencatatan, pelaporan dan audit dana kampanye adalah peserta pemilu menurut UU Pileg. Sementara caleg adalah bagian dari partai politik itu sendiri yang pertanggungjawaban dana kampanyenya sama sekali tidak diatur/tidak diwajibkan oleh UU Pileg.

Masalahnya, penetapan caleg terpilih dengan suara terbanyak dalam prakteknya telah menempatkan caleg sebagai peserta pemilu yang terpisah sama sekali dari partai politik. Dengan demikian, sangat mungkin mobilisasi dana kampanye akan langsung dilakukan oleh masing-masing caleg beserta tim sukses mereka, bukan melalui partai politik.

Padahal dalam UU Pileg, terdapat aturan bahwa semua dana kampanye wajib dimasukkan dalam rekening khusus dana kampanye sebelum digunakan untuk kepentingan kampanye (pasal 129 ayat 4 UU Pileg). Aturan tersebut dipertegas oleh Peraturan KPU No 1 Tahun 2009 mengenai pencatatan dan pelaporan dana kampanye peserta pemilu 2009 mengenai larangan penggunaan dana kampanye untuk keperluan kampanye sebelum dimasukkan dalam rekening khusus dana kampanye.

Pertanyaannya kemudian, apakah mungkin semua caleg dari masing-masing partai politik bersedia menyetorkan dana kampanye mereka ke dalam rekening khusus dana kampanye partai politik sebelum dipakai untuk kegiatan kampanye? Jawabannya sangat mustahil karena ini berarti, dana kampanye caleg akan tercampur dengan dana kampanye caleg yang lain dalam satu partai politik.

Disamping itu, caleg sangat mungkin akan memilih langsung menggunakan dana kampanye yang mereka dapatkan untuk kampanye. Hal ini mengingat semua caleg, baik di internal maupun antar partai politik harus bertarung satu sama lain untuk memperoleh suara terbanyak jika ingin menjadi anggota legislatif.

Oleh karenanya dapat dipastikan bahwa sebagian besar caleg sudah dan akan mencari dana kampanye secara swadaya, sekaligus mengelola dan menggunakannya tanpa melalui aturan main yang telah ditetapkan UU Pileg. Tidak mengherankan jika dalam pelaksanaan audit laporan dana kampanye nanti, saldo rekening khusus dana kampanye partai politik sangat minim jumlahnya.

Meskipun Peraturan KPU No 1 tahun 2009 coba mengantisipasi bobolnya akuntabilitas dan transparansi dana kampanye caleg dengan mewajibkan pencatatan dan pelaporan dana kampanye bagi caleg. Akan tetapi penegasan diatas sangat mungkin tidak akan banyak digubris mengingat UU Pileg tidak mengaturnya. Bahkan bisa terjadi sebaliknya, KPU akan dituding telah menciptakan norma baru yang tidak diatur sama sekali dalam UU Pileg.

Faktanya memang demikian. Dari kewajiban pelaporan rekening khusus dana kampanye dan laporan awal dana kampanye peserta pemilu, khususnya partai politik, jumlah saldo awal partai politik sangatlah minim. Partai Gerindra adalah partai politik yang memiliki saldo awal terbesar, yakni Rp 15,5 miliar. Sementara partai politik besar yang telah berkuasa pada era sebelumnya, yakni Demokrat, Golkar, PDI P, PKS dan PPP justru lebih rendah nilainya. Yang mengejutkan, saldo awal Golkar tak lebih dari Rp 150 juta.

Tentu saja nilai diatas hampir tidak dapat dipercaya, terutama karena level partai politik yang menyerahkannya adalah partai politik tingkat pusat, sekaligus bahwa aktivitas kampanye partai politik melalui media massa, seperti di televisi yang sudah dilakukan berulang kali merupakan cerminan dari ongkos/pengeluaran kampanye yang tidak sedikit. Bisa disebut, jumlah belanja kampanye untuk iklan televisi jauh lebih besar dari saldo awal yang mereka laporkan kepada KPU.

Nilai saldo yang kecil itu juga kian menegaskan bahwa dana kampanye caleg dalam prakteknya telah dipisahkan dari dana kampanye partai politik yang tersimpan dalam rekening khusus dana kampanye. Karena dana kampanye caleg merupakan entitas tersendiri yang tidak diatur sama sekali pertanggungjawabannya dalam UU Pileg, maka dapat dipastikan bahwa penggunaan dana kampanye caleg tidak terkontrol sama sekali.

Munculnya lubang besar pengaturan dana kampanye yang tidak diantisipasi paska putusan MK hanya menciptakan buruknya sistem akuntabilitas dan transparansi dana kampanye peserta pemilu, khususnya caleg.

Tiadanya kewajiban bagi caleg untuk mempertanggungjawabkan dana kampanye mereka membuka peluang bagi berkembangnya invested corruption melalui caleg. Situasi ini kemungkinan besar akan dimanfaatkan oleh caleg dan partai politik sebagai ajang untuk melakukan pencucian uang dan menggunakan dana kampanye yang melanggar UU.

Pada akhirnya, tanpa didukung dengan sistem akuntabilitas dan transparansi dana kampanye peserta pemilu yang memadai, deklarasi antikorupsi partai politik peserta pemilu 2009 yang dimotori KPK kemarin hanya akan menjadi ajang pencitraan peserta pemilu untuk mempercantik wajah mereka di depan para pemilih, tidak lebih.

****

Tulisan ini dimuat di Koran Tempo, 19 Maret 2009

Tuesday, March 10, 2009

Transparansi yang Tak Transparan

Tanggal 9 Maret 2009 kemarin adalah hari terakhir batas penyerahan rekening khusus dana kampanye dan laporan awal dana kampanye bagi peserta pemilu.


Sebagaimana disebutkan oleh Pasal 134 ayat (1) UU Pemilu Legislatif No 10 Tahun 2008, partai politik peserta pemilu sesuai dengan tingkatannya memberikan laporan awal dana kampanye pemilu dan rekening khusus dana kampanye kepada KPU di tiap tingkatan paling lambat tujuh hari sebelum hari pertama jadwal pelaksanaan kampanye dalam bentuk rapat umum.

Untuk calon perseorangan DPD,kewajiban tersebut diatur dalam Pasal 134 ayat (2) pada UU yang sama. Bagi peserta pemilu yang tidak memenuhi kewajiban di atas hingga batas akhir penyerahan kepada KPU, mereka dikenai sanksi berat, yakni pembatalan oleh KPU sebagai peserta pemilu di tiap wilayah sebagaimana diatur dalam Pasal 138 ayat (1) dan (2).

Dengan demikian dapat dipahami bahwa kewajiban tersebut bersifat kumulatif.Artinya,peserta pemilu harus menyerahkan, baik rekening khusus dana kampanye maupun laporan awal dana kampanye kepada KPU. Jika peserta pemilu hanya menyerahkan salah satu saja di antara kedua kewajiban tersebut, KPU tetap harus membatalkannya sebagai peserta pemilu.

Pertanyaannya kemudian, apakah yang dimaksud dengan rekening khusus dana kampanye dan apa pula laporan awal dana kampanye? Jika UU No 10 Tahun 2008 telah mengaturnya sebagai dua hal yang disebutkan terpisah, seharusnya ini dimaknai bahwa kedua hal tersebut merupakan definisi yang berbeda. Dalam Pasal 129 ayat (4) UU Pemilu Legislatif, rekening khusus dana kampanye adalah rekening yang secara khusus digunakan oleh peserta pemilu untuk menempatkan dana kampanye pemilu dalam bentuk uang.

Pengertiannya adalah lalu lintas transaksi dana kampanye dalam bentuk uang harus melalui rekening khusus ini, tidak dengan rekening pribadi atau rekening lain.Pendek kata, segala penerimaan dan pengeluaran dana kampanye yang berbentuk uang harus melalui rekening khusus dana kampanye terlebih dahulu sebelum digunakan untuk pendanaan kampanye.

Sementara itu, pengertian mengenai laporan awal dana kampanye tidak pernah dijelaskan dengan detail dalam UU.Oleh KPU,melalui Pasal 12 ayat (3) Peraturan Nomor 1 Tahun 2009 mengenai pedoman pelaporan dana kampanye peserta Pemilu 2009, ditegaskan kembali mengenai kewajiban penyerahan laporan awal dana kampanye. Dengan adanya penegasan ini, semakin tampak bahwa antara laporan rekening khusus dana kampanye dan laporan awal dana kampanye merupakan dua hal yang sama sekali berbeda.

Akan tetapi fakta di lapangan menunjukkan bahwa partai politik peserta pemilu tidak banyak yang menyerahkan laporan awal dana kampanye mereka kepada KPU.Jika kita konsisten dengan materi UU Pemilu Legislatif beserta sanksi yang mengaturnya, secara otomatis partai politik yang tidak menyampaikan laporan awal dana kampanye harus didiskualifikasi sebagai peserta pemilu. Ini agaknya sesuatu yang tidak mungkin dilakukan KPU mengingat hanya terdapat enam partai politik yang menyerahkan laporan kepada KPU secara lebih lengkap.

KPU pada kenyataannya juga memberikan kontribusi atas kekacauan laporan awal dana kampanye peserta pemilu. Keterlambatan KPU dalam mengesahkan peraturan KPU No 1 Tahun 2009 beserta lampirannya adalah masalah serius yang mengakibatkan acuan untuk memenuhi kewajiban peserta pemilu terkait dengan dana kampanye baru disosialisasikan belakangan. Tidak banyak peserta pemilu yang memperoleh informasi cukup dalam rangka menjalankan kepatuhannya dengan baik.

*** Agaknya, lahirnya Peraturan KPU No 1 Tahun 2009 berikut lampirannya bukan malah membantu peserta pemilu, tapi kian menyesatkan.Sedikitnya peserta pemilu yang menyerahkan laporan awal dana kampanye merupakan konsekuensi dari “pengertian” baru yang diciptakan KPU di mana yang disebut sebagai laporan awal dana kampanye adalah rekening khusus dana kampanye.

Meskipun dalam batang tubuh peraturan KPU No 1/2009 disebut mengenai laporan awal dana kampanye, lampiran peraturan tersebut tidak menyinggung sama sekali bagaimana format laporan awal dana kampanye,apa saja informasi yang ada di dalamnya, serta standar pelaporan awal dana kampanye seperti apa yang harus disusun peserta pemilu. Maka tak aneh jika banyak dari partai politik peserta pemilu pada akhirnya hanya menyerahkan laporan rekening khusus dana kampanye.

Pada aspek pelaporan rekening khusus dana kampanye pun masalah besar muncul.Pasalnya, tidak ada satu pun partai politik yang menjelaskan dari mana asal usul saldo awal dana kampanye mereka peroleh.Seharusnya laporan rekening khusus dana kampanye meliputi empat informasi dasar, yakni nama pemilik rekening, nomor rekening yang digunakan,jumlah saldo awal dan keterangan asal-usul saldo awal.

Karena informasi lengkap mengenai asal-usul saldo awal tidak dilaporkan kepada KPU, sangat mungkin Kantor Akuntan Publik (KAP) tidak dapat melakukan audit dengan benar. Demikian halnya dengan jumlah rekening khusus dana kampanye.Mengacupadanilai yang ada,saldo awal dana kampanye dalam bentuk uang paling besar dimiliki Partai Gerindra yang “cuma”mencapai Rp15,6 miliar.

Yang memiriskan, partai besar seperti Golkar hanya mencantumkan saldo awal Rp156 juta. Sementara PDI Perjuangan lebih banyak dengan selisih sedikit, yakni Rp1 miliar. Pertanyaannya, apakah nilai saldo awal di atas merupakan cerminan dari kondisi terakhir penggunaan dana kampanye peserta pemilu? Harus diingat bahwa setiap lalu lintas dana kampanye harus melewati rekening khusus dana kampanye.

Jika jumlah yang dilaporkan kepada KPU teramat sedikit dibandingkan dengan belanja kampanye yang telah mereka keluarkan, terutama belanja iklan di media massa, khususnya TV,dari mana sumber dana untuk pembelanjaan iklan itu diperoleh? Begitu pula di mana dana untuk iklan itu disimpan selama ini? Kuat dugaan bahwa dengan adanya kevakuman aturan dana kampanye selama periode awal kampanye dimulai, yakni bulan Juli 2008, hingga disahkannya Peraturan KPU No 1 Tahun 2009 pada akhir Februari 2009, banyak peserta pemilu yang tidak mencatat penerimaan dana kampanye dan pengeluarannya.

Jika hal ini benar, sebenarnya masih banyak rekening lain atau tempat-tempat lain yang selama ini digunakan oleh peserta pemilu untuk mengelola dana kampanye mereka.Walhasil, lolosnya lalu lintas transaksi penerimaan dan pengeluaran dana kampanye selama periode kampanye dari kewajiban pencatatan mengindikasikan buruknya sistem transparansi dan akuntabilitas dana kampanye Pemilu Legislatif 2009.(*)

Adnan Topan Husodo
Wakil Koordinator ICW

Tulisan ini dimuat di Harian Seputar Indonesia, 11 Maret 2009