Wednesday, March 19, 2008

Momentum Pemulihan Penegakan Hukum

Jaksa Urip Tri Gunawan (sebut saja Urip) dalam dugaan suap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi telah menghantam tembok keangkuhan institusi kejaksaan. Gembar-gembor reformasi yang dikumandangkan para petinggi kejaksaan mendapatkan konfirmasinya dengan peristiwa penangkapan itu. Kesan bahwa korupsi di tubuh penegak hukum telah diberantas tak sejalan dengan realitasnya. Tak pelak lagi, reformasi di institusi penegak hukum, khususnya kejaksaan, tak sesungguhnya terjadi.

Namun, upaya untuk bersikap defensif atas terjadinya skandal itu juga tak kurang banyak. Dengan mengatakan Urip adalah oknum, tersirat ada usaha untuk mengatakan bahwa secara keseluruhan, institusi kejaksaan tidak sekotor itu. Urip adalah Urip, dan Urip tidak ada kaitan sama sekali dengan integritas Kejaksaan Agung. Tapi apakah sedemikian gampang kita dapat memakluminya?

Dalam fase-fase terjadinya korupsi, adanya oknum yang melakukan korupsi adalah tahap yang paling awal. Pada level ini, sistem yang kuat akan dengan mudah mendeteksi praktek korupsi yang terjadi. Sehingga kasus UTG--jika kita memang tengah dalam fase korupsi awal dimaksud--dengan sangat cepat bisa diketahui oleh institusi Kejaksaan Agung sendiri.

Pendek kata, dugaan suap oleh Urip yang ditengarai berkaitan erat dengan keluarnya surat perintah penghentian penyidikan Kejaksaan Agung dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia tak mungkin lolos dari sensor sistem kontrol internal kejaksaan. Walhasil, Urip-Urip yang lain juga dapat dideteksi dengan mudahnya, sehingga praktek korupsi yang terjadi karena faktor oknum tidak akan mempengaruhi sistem secara keseluruhan.

Tapi faktanya, yang menangkap Urip adalah KPK, yang merupakan lembaga penegakan hukum eksternal dan memiliki kewenangan luar biasa dalam melakukan, misalnya, penyadapan. Pun dalam sejarahnya, belum ada catatan bahwa Kejaksaan Agung telah berhasil menangkap jaksanya sendiri yang telah melakukan pemerasan atau suap. Rujukan lain yang lebih akademis bisa kita lihat dalam survei Transparency International Indonesia yang selalu menempatkan institusi penegak hukum, termasuk di dalamnya kejaksaan, sebagai organisasi yang sangat korup.

Pada fase terakhir, korupsi yang terjadi sudah sangat akut, sistematis, dan telah menjalar ke berbagai sendi kehidupan. Dalam korupsi yang sudah sedemikian parah, sistem tidak lagi berdaya dalam melawan korupsi. Bahkan sebaliknya, sistem yang berlaku melanggengkan praktek korupsi itu sendiri. Tidak ada lagi istilah oknum, karena hampir semua orang dalam sistem yang korup melakukannya. Jika oknum jumlahnya lebih banyak daripada orang yang tidak melakukan korupsi, apakah ini masih dianggap sebagai oknum?

Selanjutnya, karakteristik fase korupsi sistematis adalah berlangsungnya korupsi sebagai kejahatan yang terorganisasi. Korupsi bukan lagi representasi penyimpangan individual (baca: oknum), tapi sebuah tindak pidana yang melibatkan banyak pihak dan terjadi secara hierarkis (menetes ke bawah). Simpul yang terbentuk memperkuat sistem proteksi dan bekerja dalam sebuah struktur kekuasaan sehingga korupsi sulit diberantas. Bawahan adalah pelaksana dari tindak pidana korupsi, dan atasan memberikan perlindungan yang cukup untuk itu. Karena atasan tidak langsung ambil bagian dalam kejahatan ini, membongkar kasus seperti Urip hingga ke level dalang sebenarnya memang membutuhkan kerja ekstrakeras.

Kesimpulan awalnya, penangkapan Urip dan gagalnya sensor internal kejaksaan dalam mendeteksi dugaan suap tersebut merupakan pertanda bahwa sistem tidak lagi berdaya menghadapi ancaman korupsi. Karena itu, menyelesaikan persoalan Urip tidak cukup hanya dengan memprosesnya secara hukum. Kasus Urip adalah puncak gunung es dari sistem koruptif peradilan kita. KPK kesulitan melakukan upaya penindakan kasus korupsi secara menyeluruh karena tidak didukung oleh penegak hukum yang lain. Dengan menangkap aparat penegak hukum, KPK sebenarnya tengah memulai mendorong pemulihan penegakan hukum.

Tanpa adanya pembersihan di lembaga penegakan hukum, mustahil kita dapat berharap pemulihan penegakan hukum dilakukan. KPK akan sibuk dengan agenda penanganan kasus, sedangkan aparat penegak hukum yang lain berpesta pora dalam menangani perkara. Walhasil, Urp-Urip yang lain juga akan tetap dilahirkan. Pembersihan yang dimaksud tentu saja tidak hanya menangkap para jaksa yang nakal, tapi juga melihat ulang sistem integritas kelembagaannya, sekaligus memaksa adanya perbaikan secara cepat.

Jika diamati secara lebih jauh, sebagian besar persoalan yang terkait dengan buruknya integritas jaksa dimulai dari lemahnya sistem rekrutmen, jenjang karier, promosi, mutasi, dan pengawasan internal, khususnya bagi para jaksa yang sedang melakukan pemeriksaan terhadap suatu perkara. Isu soal gaji yang rendah tidak lagi disinggung dalam tulisan ini karena hal itu lebih cocok diperdebatkan dalam konteks petty corruption (korupsi kecil-kecilan).

Ibarat sebuah kerja produksi, input sangat mempengaruhi output. Bahan yang buruk tentu saja tidak akan dapat menghasilkan kualitas baik. Sistem kerja produksi juga sangat dipengaruhi oleh kemampuan mesinnya. Dalam konteks institusi negara, mesin yang memproduksi input telah terkontaminasi dengan praktek suap yang akut, meskipun tidak ada data yang dapat dikonfirmasi berapa harga yang harus dibayar untuk menjadi seorang jaksa. Tapi berkelit dari dugaan ini juga sangat sulit karena suap dalam rekrutmen hampir terjadi di semua institusi pemerintah.

Karena korupsi selalu bertautan dengan kekuasaan, sudah seharusnya ada suatu formulasi yang baik untuk menempatkan kontrol kekuasaan kejaksaan dalam genggaman publik. Mandulnya sistem pengawasan internal kejaksaan, baik yang berkarakter fungsional maupun yang melekat, merupakan konsekuensi atas kejahatan korupsi yang sudah memasuki tahap terorganisasi. Sehingga dapat dikatakan hampir percuma meminta Jaksa Agung Muda Pengawasan melakukan pemeriksaan terhadap Urip dan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus serta Direktur Penyidikan Kejagung dalam kasus dugaan suap itu. Karena sesungguhnya peristiwa penangkapan Urip adalah buah dari kegagalan pengawasan dalam menjalankan fungsinya. Lantas mengapa sekarang seolah-olah bidang pengawasan internal Kejaksaan ingin mengambil peran?

Representasi publik dalam konteks pengawasan penegakan hukum sebenarnya dapat diakomodasi dalam Komisi Kejaksaan. Sayangnya, komisi yang satu ini tak jelas arahnya. Peran Komisi Kejaksaan dalam menciptakan iklim yang kondusif bagi lahirnya jaksa-jaksa baik nyatanya tak pernah terjadi. Barangkali karena kewenangan yang sangat minim, disertai dengan buruknya sistem akuntabilitasnya, Komisi Kejaksaan pada akhirnya hanya menjadi "pajangan" dalam proses reformasi kejaksaan. Karena itu, membenahi Komisi Kejaksaan adalah bagian dari upaya untuk membenahi kejaksaan itu sendiri.

Oleh: Adnan Topan Husodo
Anggota Badan Pekerja ICW

Tulisan disalin dari Koran Tempo, 19 Maret 2008