Saturday, June 27, 2009

Bahaya Masih Ancam KPK

Perlahan tapi pasti, KPK sepeninggal ketuanya, Antasari Azhar (AA), seperti tancap gas dalam menangani berbagai perkara korupsi. Empat pimpinan KPK, antara lain, melakukan gebrakan dengan menetapkan tiga anggota DPR sebagai tersangka kasus korupsi Tanjung Api-Api. Mereka adalah Azwar Chesputra, Fahri Andi Leluasa, dan Hilman Indra yang semua merupakan anggota Komisi IV DPR.

Penindakan KPK belum berhenti karena BUMN juga menjadi sasaran. Setelah sekian lama tidak pernah menyentuh korupsi di wilayah perusahaan negara, KPK tanpa AA menangani kasus dugaan korupsi proyek CMS PLN di Jawa Timur. Mantan general manager PLN Jawa Timur berinisial HS pun telah ditetapkan sebagai tersangka bersama rekan-rekannya yang lain.

Kenyataan bahwa KPK pasca AA menjadi lebih baik juga ditunjukkan beberapa waktu lalu. Yakni, empat tersangka pertama kasus dugaan suap pemilihan deputi senior gubernur BI, Endin A.J. Soefihara, Udhu Djuhaeri, Dudi Makmun Murod, dan Hamka Yandu, diumumkan KPK.

Upaya Pembusukan

Gencarnya KPK pasca AA menangani berbagai kasus korupsi telah mengancam banyak pihak. Reaksi balik pun mulai dilancarkan, terutama dengan menyebarkan isu kepada masyarakat luas bahwa KPK juga menyimpan kebusukan.

Isu terbaru yang dijadikan alat pembusukan adalah kasus penyadapan terhadap Nasrudin (almarhum) dan Rani yang dituduhkan kepada salah seorang pimpinan KPK, Chandra M. Hamzah (CMH). Wacana yang sengaja dibangun adalah bahwa KPK (baca: CMH) telah melakukan penyadapan ilegal terhadap seseorang mengingat kasus yang disadap bukanlah kasus korupsi. Target pengungkapan kasus tersebut sangat jelas, menetapkan tersangka terhadap diri CMH.

Jika itu berhasil, dengan status tersangka, CMH mau tidak mau akan diberhentikan sementara oleh presiden sesuai pasal 32 ayat (2) UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK. Jika satu lagi pimpinan KPK menjadi tersangka, dorongan dari elite politik Senayan untuk menghentikan segala aktivitas penindakannya bisa terulang. Tujuannya sudah pasti agar kasus-kasus korupsi yang melibatkan elite partai politik maupun pengusaha hitam batal diproses KPK.

Selain itu, desakan untuk memilih ulang pimpinan KPK dipastikan muncul. Situasi semacam itu akan menempatkan kubu parlemen dalam posisi diuntungkan. Mereka akan mengendalikan proses seleksi sekaligus menentukan siapa yang akan menggantikan pimpinan KPK nonaktif.

Karena itu, kepolisian semestinya bersikap lebih profesional dan independen dalam menangani dugaan penyadapan ilegal yang diduga melibatkan CMH. Sangat mungkin kasus tersebut akan dimanfaatkan kelompok anti pemberantasan korupsi, melalui aparat kepolisian, untuk menggembosi KPK.

Jika menilik pada kasus penyadapan ilegal itu, ada sesuatu yang ganjil. Sumber informasi kasus tersebut sudah dipastikan dari salah seorang di antara tersangka pembunuhan Nasrudin. Jika melihat kemungkinan yang paling besar, tentu saja dia adalah AA karena selama ini menjabat ketua KPK. Lantas, apa motif pengungkapan kasus penyadapan ilegal itu jika bukan untuk menyeret pimpinan KPK yang lain sebagai tersangka?

Kasus penyadapan tersebut sebenarnya sudah jelas. Dari sisi wewenang dan prosedur, KPK memilikinya. Saat itu, KPK memang tengah menyadap pihak-pihak tertentu yang diduga terlibat korupsi. Namun, dalam prosesnya, AA menitipkan beberapa nomor telepon untuk disadap juga. Alasannya, ada teror dan ancaman kepada istrinya agar tidak mengungkap kasus korupsi.

Sampai tahap ini, yang diduga keras melakukan abuse of power adalah ketua KPK, AA. Atas nama ketua KPK dan atas nama teror terhadap istrinya, dia meminta dilakukan penyadapan terhadap nomor-nomor tertentu. Padahal, kenyataannya, nomor-nomor yang disadap itu terkait dengan masalah pribadinya. Sudah semestinya kepolisian memeriksa AA sebagai pihak yang diduga melakukan penyadapan ilegal, bukan yang lain.

Dibutuhkan Leadership

Dalam situasi yang berbahaya seperti sekarang, sangat mungkin orang yang bekerja di KPK akan mengalami degradasi moral. Kegalauan dan kecurigaan dapat berkembang pesat jika pimpinan KPK tidak segera mengambil tindakan yang cepat dan tepat.

Karena itu, dibutuhkan leadership yang kuat sekaligus seimbang. Maksudnya, antara satu pimpinan dengan pimpinan KPK yang lain tidak boleh ada yang lebih kuat. Sebab, selama ini timbul kesan bahwa AA sangat dominan dalam mengambil keputusan.

Penasihat KPK juga harus memberikan kontribusi yang lebih nyata untuk menghadapi ancaman dari pihak-pihak tertentu yang ingin terus menggembosi KPK. Jika selama ini posisi mereka relatif tidak signifikan, pimpinan KPK perlu menyatukan gerak dan langkah dalam setiap pengambilan keputusan bersama-sama dengan para penasihatnya.

Ancaman terhadap KPK tidak akan pernah berhenti. Jika secara internal lengah dan mudah diayunkan ke kiri dan ke kanan, bisa jadi KPK akan lumpuh. KPK harus tetap didukung secara penuh oleh masyarakat luas, sehingga ancaman tersebut tidak akan dihadapi sendiri oleh KPK. Mungkin saja akan ada isu baru yang diembuskan kembali kepada KPK.

Kini, mulai santer terdengar salah seorang pimpinan KPK disebut-sebut menerima suap dalam kasus tertentu. Kita berharap KPK bisa merespons setiap isu negatif itu dengan lugas, sehingga eksistensi KPK tetap bisa dipertahankan. (*)

*) Adnan Topan Husodo, wakil koordinator ICW

Disalin dari Jawa Pos, 27 Juni 2009

Wednesday, June 17, 2009

Menggugat Seleksi Calon Anggota BPK

Hampir tidak ada yang mengetahui kalau pada 20-23 April 2009 kemarin, Komisi XI DPR telah menyelesaikan tahap pendaftaran calon anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sejalan dengan wewenang yang dimilikinya, DPR cq Komisi XI memang diberikan mandat oleh UU No 15 Tahun 2006 tentang BPK, khususnya pasal 14 untuk menyelenggarakan seleksi calon anggota BPK. Bukan hanya UU BPK, wewenang DPR diperkuat dengan konstitusi, yakni pasal 23 huruf F ayat (1) UUD '45 hasil amandemen.

Hanya saja seleksi calon anggota BPK yang diselenggarakan Komisi XI memiliki perbedaan dibandingkan dengan metoda pemilihan pejabat publik lain di tingkat komisi independen, seperti KPU, KPK, KPPU, Komnas HAM dan sebagainya. Pasalnya dalam seleksi calon anggota BPK, tidak ada klausul yang mensyaratkan mekanisme pembentukan panitia seleksi (pansel) yang biasanya menjadi otoritas Presiden (eksekutif). Pada pemilihan calon anggota BPK, mulai dari tahapan awal hingga menentukan anggota terpilih seluruhnya menjadi wewenang Komisi XI DPR.

Tepatnya pada tanggal 20 Oktober 2009 mendatang, tujuh anggota BPK dari total sembilan anggota telah habis masa tugasnya. Sesuai dengan UU BPK, enam bulan sebelum memasuki waktu pensiun, BPK harus memberitahukan kepada Komisi XI DPR supaya proses seleksi segera dipersiapkan. Oleh karena itu, pada April 2009, Komisi XI telah melakukan tahapan awal seleksi berupa pendaftaran bagi para pelamar.

Tertutup dan Tidak Akuntabel

Pada titik ini, masalah tahapan seleksi muncul. Hal tersebut dipicu oleh proses pendaftaran yang bisa dibilang sangat tertutup dan cenderung mengabaikan prinsip akuntabilitas dalam penyelenggaraan seleksi. Gejala ini setidaknya sudah nampak ketika Komisi XI DPR secara diam-diam sudah membuat iklan layanan masyarakat di satu koran nasional dan website resmi DPR yang isinya mengundang masyarakat luas untuk mendaftarkan diri sebagai calon anggota BPK.

Pengumuman yang disampaikan terkesan sangat minimalis. Dampaknya informasi tersebut tidak mendapatkan respon yang cukup luas dari masyarakat. Hanya dengan dua sarana iklan diatas, sudah bisa dipastikan hampir tidak ada yang mengetahui bahwa Komisi XI tengah membuka pendaftaran calon anggota BPK. Terbukti, dari total pelamar yang masuk, jumlahnya tak lebih dari 51 orang. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika mekanisme sosialisasi dan diseminasi informasi mengenai seleksi calon anggota BPK yang dibuat Komisi XI bisa dibilang hanya untuk memenuhi syarat formalitas belaka.

Dilihat dari masa berlakunya pendaftaran pun tidak masuk akal. Para calon pelamar hanya diberikan waktu 3 (tiga) hari, yakni mulai tanggal 21 hingga 23 April 2009 untuk mengirimkan aplikasi lengkap kepada sekretariat Komisi XI.

Masalahnya, dalam UU BPK pasal 13 disebutkan beberapa syarat sebagai calon anggota BPK, diantaranya adalah sehat jasmani dan rohani, tidak sedang pailit dan tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap karena melakukan pidana dengan ancaman hukuman 5 tahun atau lebih. Untuk mengurus tiga syarat administratif diatas, waktu tiga hari sangatlah mustahil. Belum lagi jika pelamar berdomisili di luar Jawa dengan segala keterbatasan akses informasi. Oleh karena itu, sangat naif jika Ketua Komisi XI berdalih, masyarakatlah yang harus mencari informasi mengenai seleksi calon anggota BPK.

Dengan media sosialisasi dan waktu pendaftaran yang sangat terbatas, Komisi XI sepertinya sengaja untuk membatasi akses pelamar yang mendaftar. Tak heran jika pada akhirnya, komposisi pelamar sebagian besarnya didominasi oleh anggota DPR sendiri (8 orang) dan para pejabat di BPK (9 orang). Hal ini kian menguatkan dugaan bahwa proses seleksi calon anggota BPK untuk periode 2009-2014 didesain agar hanya diisi oleh orang-orang dari DPR dan BPK sendiri.

Lahirnya Masalah dalam Seleksi

Sesungguhnya proses seleksi calon anggota BPK yang demikian tertutup akan menimbulkan beberapa implikasi serius yang bisa mengganggu kinerja BPK sebagai lembaga pengawas keuangan negara ke depan. Bagaimanapun, posisi BPK sangat strategis sebagai partner kerja bagi KPK dan aparat penegak hukum lainnya dalam memberantas korupsi. Dikhawatirkan proses seleksi yang mengabaikan prinsip transparansi, akuntabilitas dan partisipasi publik hanya akan menghasilkan anggota BPK yang buruk.

Masalah pertama yang bisa muncul adalah tidak terpenuhinya kaidah norma hukum dan ketentuan yang menjadi landasan bagi pelaksanaan seleksi itu sendiri. Satu hal yang harus digarisbawahi adalah bahwa calon anggota BPK harus memiliki integritas moral dan kejujuran.

Berkaca pada mayoritas pelamar, khususnya yang berlatar belakang politisi maupun mantan pejabat publik lainnya, ditemukan indikasi cacat integritas. Diantara pelamar ada yang diduga terkait kasus korupsi YPPI Bank Indonesia, kasus pengadaan barang/jasa di lingkungan BPK sendiri maupun mereka-mereka yang pernah terlibat sebagai konseptor Peraturan Pemerintah 37 tahun 2006 mengenai uang tunjangan anggota DPRD yang sempat menjadi skandal nasional. Terakhir, dua pelamar BPK, yakni Endin Soefihara, anggota DPR dari fraksi PPP dan Udju Djuhaeri, anggota BPK telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan suap dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior BI.

Demikian halnya, ada satu syarat penting sebagai calon anggota BPK dimana mereka yang mendaftar paling singkat 2 tahun harus sudah menanggalkan jabatan sebagai pejabat pengelola anggaran negara. Mengacu pada syarat ini, banyak diantara pelamar yang tidak memenuhi syarat karena mereka sebagian masih menjabat sebagai pengelola anggaran negara. Sangat mungkin jika mekanisme seleksi yang diam-diam itu untuk mengantisipasi adanya pengawasan publik terkait dengan pemenuhan syarat administrasi calon.

Masalah berikutnya adalah timbul konflik kepentingan, baik dari sisi penyelenggara seleksi maupun para pelamar sendiri. Problem ini berkait kelindan dengan mekanisme seleksi yang tertutup. Sangat sulit menjaga objektifitas dan potensi benturan kepentingan di Komisi XI karena sebagian pelamar yang masuk adalah anggota DPR sendiri.

Ketertutupan dan ketergesa-gesaan proses seleksi juga telah memicu ketimpangan informasi antara anggota DPR atau pejabat BPK yang sudah mengetahui jauh-jauh hari akan ada proses seleksi anggota BPK dengan masyarakat umum yang ingin melamar sebagai calon anggota BPK. Proses seleksi semacam ini hanya menguntungkan anggota DPR dan pejabat BPK. Terbukti, diantara 51 pelamar yang masuk ke penyelenggara seleksi, sebagian besarnya adalah anggota DPR dan pejabat di BPK.

Oleh karena itu, sudah selayaknya proses seleksi calon anggota BPK diulang kembali agar memberikan peluang bagi masyarakat luas untuk ikut mendaftar, mengawasi dan memberikan masukan terhadap latar belakang calon. Proses seleksi yang sekarang berjalan tidak dapat dipertahankan karena sudah cacat prosedur mengingat prinsip dan asas transparansi, akuntabilitas dan partisipasi publik sangat diabaikan. Komisi XI jangan berjudi dengan masa depan BPK, karena berarti hal itu merupakan langkah mundur bagi upaya pemberantasan korupsi. ****

Oleh: Adnan Topan Husodo
Wakil Koordinator ICW
disalin dari koran Seputar Indonesia, Kamis, 17 Juni 2009

Wednesday, June 10, 2009

Menerka Ujung Kasus Agus Condro

Setelah sekian lama publik menanti, KPK meningkatkan status kasus dugaan suap dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior BI pada Juni 2004 lalu dari penyelidikan ke penyidikan. Hal itu ditandai dengan penetapan empat tersangka pertama, yang saat ini semuanya berasal dari kalangan DPR. Mereka adalah Endin A.J Soefihara (anggota DPR dari fraksi PPP), Dudi Makmun Murod (anggota DPR dari fraksi PDI P), Hamka Yamdu (mantan anggota DPR dari fraksi Golkar) dan Udju Djuhaeri (mantan anggota DPR dari Fraksi TNI/Polri).

Dari latar belakang para tersangka yang berbeda fraksi, semakin menguatkan dugaan bahwa pemberian cek perjalanan yang nilainya ditaksir Rp 500 juta per lembar itu tidak hanya melibatkan fraksi besar di Komisi IX DPR periode 1999-2004, akan tetapi hampir sebagian fraksi yang ada didalamnya. Kalkulasinya mudah, dari total 56 anggota Komisi IX DPR, calon pejabat publik yang ingin terpilih harus mendapatkan sekurang-kurangnya 50+1 suara dukungan.

Sementara komposisi anggota DPR di Komisi IX tidak ada satupun fraksi yang memiliki anggota mayoritas mutlak. PDI P sebagai fraksi terbanyak hanya diwakili oleh 17 anggota, disusul Golkar dengan 15 kader, 7 dari PPP, 5 anggota dari PKB, fraksi reformasi berjumlah 5 anggota dan 4 dari fraksi TNI/Polri. Tiga suara tersisa dibagi rata untuk fraksi Daulat Ummat, fraksi Bulan Bintang dan fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia.

Dari catatan pemilihan Deputi Gubernur Senior BI pada Juni 2004 silam, total dukungan yang diberikan untuk Miranda Gultom mencapai 41 suara. Jika seluruh suara fraksi Golkar, PDI P, PPP dan TNI/Polri digabung, akan terdapat 41 suara yang artinya klop dengan dukungan yang didapat Miranda Gultom saat pemilihan. Dengan demikian, bisa diduga, semua anggota fraksi diatas juga turut menerima suap.

Naik paska Antasari

Spekulasi bahwa kasus Agus Condro tidak akan dapat diproses KPK kini telah dibayar kontan dengan penetapan empat tersangka. Masalahnya, kasus ini naik statusnya menjadi penyidikan setelah Ketua KPK, Antasari Azhar harus dinonaktifkan karena menjadi tersangka kasus dugaan pembunuhan. Ini bisa diartikan, ada masalah non-teknis di KPK selama AA menjadi Ketua KPK yang membuat kasus suap yang dilaporkan Agus Condro begitu lama tertahan di tingkat penyelidikan.

Oleh karena itu, penting artinya bagi Komite Etik KPK yang kini tengah mempelajari dan mendalami berbagai dugaan pelanggaran kode etik oleh Ketua KPK non-aktif, AA untuk melihat juga kemungkinan pelanggaran pada penanganan berbagai kasus korupsi di KPK. Langkah ini penting untuk mengembalikan KPK sebagai lembaga independen yang kredibel dan memiliki integritas tinggi.

Agar proses Komite Etik bisa lebih objektif dan mendalam hasilnya, alangkah baiknya jika pimpinan KPK saat ini mengakomodasi perwakilan masyarakat untuk masuk sebagai anggota Komite. Mereka bisa berasal dari kalangan akademisi, tokoh LSM atau tokoh masyarakat yang sudah diakui dan dikenal luas integritas dan kredibilitasnya.

Calo Perbankan
Belajar dari kasus suap BI terdahulu yang melibatkan Gubernur BI dan petinggi BI lainnya, penetapan empat tersangka oleh KPK dalam dugaan kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior BI bisa dilihat sebagai langkah awal saja. Ini artinya, KPK tidak akan mungkin menghentikan proses hukum itu hanya untuk Endin, Udju, Hamka Yamdu dan Dudi Makmun Murod.

Sebagai sebuah kasus politik uang, tentu ada yang disuap dan ada yang menyuap. Saat ini KPK baru berhasil mengungkap sebagaian kecil pihak yang menerima suap. Sementara yang memberikan suap belum diproses sama sekali. Dengan demikian, ada pekerjaan rumah bagi KPK untuk mengungkap semua anggota Komisi IX yang telah menerima cek perjalanan sebagaimana sudah dilaporkan oleh PPATK.

Karena praktek politik uang di DPR merupakan bagian dari bentuk kejahatan teroganisir, maka sudah dapat dipastikan jika ada yang menjadi bos dan anak buah. Merujuk pada pengakuan Agus Condro ke KPK, bisa disebut bahwa Agus Condro adalah anak buah. Dirinya tidak mengetahui sama sekali transaksi politik tersebut kapan dimulai, apa materi kesepakatan dan siapa saja yang terlibat dalam kesepakatan-kesepatan tersebut.

Pendek kata, kegiatan semacam itu bukan merupakan tugas Agus Condro, akan tetapi ada petinggi di Komisi IX yang lebih berwenang untuk melakukan negosiasi. Dengan begitu, mengungkap siapa otak dibalik suap itu merupakan tanggungjawab KPK yang telah menetapkan beberapa anggota DPR sebagai tersangka. Tentu kita tidak ingin melihat bahwa proses hukum KPK hanya menyeret orang-orang yang menjadi bagian kecil saja dari skandal besar tersebut.

Pekerjaan berat KPK lainnya adalah mengungkap siapa yang membiayai transaksi politik uang dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior BI. Kemungkinannya dua, pertama, transaksi itu dibiayai sendiri oleh Miranda Gultom, atau kedua, ada pihak lain yang menjadi donatur agar anggota Komisi IX memilih Miranda.

Kemungkinan yang pertama sangat kecil. Pasalnya, catatan kekayaan Miranda Gultom tahun 2001 yang dilaporkan ke KPKPN hanya berkisar 6 miliar rupiah. Sangat mustahil dalam kurun waktu tiga tahun, yakni pada Juni 2004, Miranda Gultom mampu membiayai pemilihan dirinya hingga mencapai Rp 24 miliar. Sangat tidak masuk akal dalam kurun waktu diatas, kekayaan Miranda melonjak hingga mencapai 400 persen.

Oleh karena itu, kemungkinan kedua menjadi lebih logis, yakni adanya donatur yang memberikan dukungan finansial penuh agar Miranda terpilih. Saksi berinisal 'N' yang disebut-sebut oleh KPK bisa jadi adalah Nunung yang dulu sempat beberapa kali diperiksa oleh KPK. Nunung adalah istri Adang Dorodjatun, mantan pejabat Polri dan mantan calon Gubernur DKI Jakarta. Pertanyaannya, dalam kapasitas sebagai apa saksi berinisial 'N' diperiksa oleh KPK jika bukan karena terkait dengan aliran uang ke anggota Komisi IX?

Sementara jika melihat latar belakangnya, 'N' bukanlah pihak yang memiliki kepentingan langsung dengan sebuah bisnis yang berkaitan dengan kebijakan pengawasan Bank Indonesia. Oleh karena itu, hipotesis yang bisa diajukan adalah bahwa 'N' bukanlah penyumbang sesungguhnya. Bisa jadi dia hanya sebagai perantara saja dalam kasus tersebut. Lantas, siapa yang menjadi calo dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior BI kala itu? Melakukan pemeriksaan intens terhadap 'N' barangkali adalah awal bagi KPK untuk membongkar siapa-siapa aktor utama dalam kasus suap yang dilaporkan Agus Condro.
****

Adnan Topan Husodo
Wakil Koordinator ICW

Disalin dari jawapos, 11 Juni 2009

Tuesday, June 02, 2009

Pergeseran Praktek Politik Uang

Data pelanggaran pidana pemilu legislatif 2009 yang direkap oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan adanya peningkatan jumlah temuan, khususnya dalam konteks pidana politik uang. Ini jika dibandingkan dengan politik uang dalam pemilu legislatif 2004, yang menurut data Panitia Pengawas Pemilu 2004 hanya mencapai 50 kasus. Sedangkan untuk pemilu legislatif 2009, data pemantauan ICW di empat kota, yakni Jakarta, Semarang, Surabaya dan Makassar, menemukan setidaknya 150 kasus dugaan politik uang. Bisa diduga, jumlah ini akan membengkak karena secara nasional setiap daerah memiliki potensi yang sama terhadap terjadinya pelanggaran politik uang.

Naiknya angka pelanggaran pidana politik uang sudah diprediksi jauh-jauh hari sebelumnya, terutama ketika Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan terhadap Pasal 214 huruf a sampai e UU No. 10 Tahun 2008 mengenai penetapan calon terpilih dengan nomor urut. Oleh MK, pasal tersebut dibatalkan dan penetapan calon legislator terpilih kemudian melalui perolehan suara terbanyak.

Bagi calon legislator yang mendapat nomor urut bawah (sepatu), putusan MK merupakan anugerah karena peluang menang, yang awalnya sangat tipis, menjadi lebih terbuka. Konsekuensinya jelas, pertarungan antarcalon legislator, baik di lingkup internal partai politik maupun calon legislator antarpartai politik peserta pemilu, menjadi kian intens. Sebelum putusan MK partai politik adalah garda terdepan kampanye, sedangkan dengan pembatalan pasal 214 di atas ujung tombak kompetisi pemilu ada di masing-masing calon legislator.

Kekosongan aturan
Putusan MK juga telah membawa pengaruh terhadap aspek yuridis UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif , khususnya pada pengaturan dana kampanye. Sebagaimana diketahui, bingkai regulasi dana kampanye dalam UU Pemilu Legislatif menempatkan partai politik sebagai peserta pemilu. Sementara itu, calon legislator merupakan bagian dari partai politik. Melalui putusan MK, secara faktual calon legislator adalah peserta pemilu bersama-sama partai politik dan calon anggota DPD. Masalahnya, yang tidak diantisipasi seusai putusan MK adalah tidak adanya kewajiban sama sekali pelaporan dana kampanye bagi calon legislator.

Kombinasi antara pertarungan yang kian tinggi antarcalon legislator dan ketiadaan kewajiban pertanggungjawaban dana kampanye bagi calon legislator membuka peluang lebar bagi penyalahgunaan dana kampanye. Jika praktek pemberian uang atau materi lainnya dalam pemilu dilihat sebagai pengeluaran dana kampanye, politik uang adalah pelanggaran terhadap aturan dana kampanye.

Kekosongan hukum dalam konteks aturan dana kampanye calon legislator inilah yang meningkatkan praktek politik uang dalam pemilu legislatif 2009. Celah hukum lainnya adalah tiadanya aturan pemidanaan politik uang dalam UU Pemilu Legislatif, apabila praktek politik uang dilakukan pada masa tenang sebelum hari pencoblosan suara. UU Pemilu Legislatif hanya mengatur pelanggaran politik uang pada masa kampanye dan hari pencoblosan.

Pergeseran aktor
Selain jumlah pelanggaran politik uang yang meningkat, perubahan lainnya dapat dilihat dari sisi aktor. Pada pemilu legislatif 2004 pelaku politik uang biasanya adalah para anggota tim sukses bayangan dari masing-masing partai politik, sedangkan pada pemilu legislatif 2009 aktor politik uang bukan hanya mereka tapi juga calon legislator sendiri. Kepentingan untuk mendapatkan suara terbanyak dari pemilih, berinteraksi langsung dengan mereka, sekaligus kompetisi yang kian ketat, telah memicu praktek politik uang oleh para calon legislator.

Dalam situasi ekonomi yang sulit dan tingkat pendidikan yang buruk, sasaran politik uang selalu masyarakat di tingkat bawah. Mereka inilah yang dengan senang hati menerima pemberian uang atau materi lainnya dari calon legislator karena didorong oleh kebutuhan hidup konkret. Bahkan terdapat sebuah kesimpulan sementara yang menyebutkan bahwa pemilu legislatif 2009, termasuk di dalamnya praktek politik uang, telah meningkatkan daya beli masyarakat miskin, meskipun untuk waktu yang singkat.

Akan tetapi, pada pemilu legislatif 2009, sasaran politik uang bukan hanya pemilih kelas bawah. Ada fenomena baru di mana pemilih dari akar rumput lebih canggih mengakali kebutuhan hidup pada saat kampanye. Strategi terima uang dari semua calon legislator dan memilih yang paling besar pemberiannya merupakan sesuatu yang secara langsung merugikan pelaku politik uang.

Karena pemilihan calon legislator dilakukan secara langsung oleh pemilih, sulit mengukur tingkat loyalitas orang terhadap pilihannya, meskipun sudah ada pemberian materi sebelumnya. Maka, tidak mengherankan jika pada pemilu legislatif 2009 banyak ditemukan kasus di mana calon legislator yang tidak lolos meminta kembali materi atau uang yang pernah diberikannya kepada pemilih. Demikian pula adanya fenomena calon legislator stres yang sebagian besarnya dipicu oleh hilangnya aset, uang dan kekayaan pribadi calon legislator.

Sulitnya mengikat loyalitas pemilih melalui politik uang telah menggeser sasaran politik uang pada penyelenggara pemilu, dari tingkat TPS, kelurahan, kecamatan, hingga kabupaten. Tak aneh jika main mata antara calon legislator dan oknum penyelenggara pemilu sudah mulai ditemukan kasusnya, terutama dengan modus penggelembungan perolehan suara calon legislator. Bahkan ditemukan fakta di mana penyelenggara pemilu secara aktif mendekati calon legislator untuk menawarkan jasa bantuan pemenangan melalui utak-atik jumlah perolehan suara.

Beberapa anggota KPU daerah yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh pihak kepolisian karena melakukan penggelembungan suara, setidaknya memberikan bukti yang cukup kuat. Bagi calon legislator, menyuap penyelenggara pemilu jauh lebih pasti dibanding memberikan materi kepada pemilih.

Prediksi
Berkaca kepada pengalaman pemilu legislatif 2009, titik rawan politik uang dalam pelaksanaan pemilu presiden dan wakil presiden paling tidak ada pada tiga wilayah, yakni lemahnya regulasi tentang politik uang, sepak terjang tim kampanye bayangan atau siluman, dan peluang penyalahgunaan posisi pejabat incumbent.

Untuk yang pertama, dalam UU Nomor 39 Tahun 2008 terdapat celah besar aturan terkait dengan praktek politik uang, di mana tidak ada aturan pidana politik uang yang berlaku pada masa hari tenang sebelum pencoblosan. Artinya, dalam UU Pemilihan Presiden, jika praktek politik uang dilakukan pada masa tenang sebelum hari pencoblosan, tidak ada aturan yang dapat menjerat para pelakunya.

Tampaknya regulator sengaja mendesain celah hukum ini, karena tiadanya aturan pidana politik uang pada hari tenang juga terdapat dalam UU Pemilu Legislatif. Kaitan kepentingannya mudah, politik uang biasanya kian massif terjadi pada masa menjelang pencoblosan. Tiadanya regulasi politik uang pada hari tenang membuka jalan bagi berlangsungnya praktek politik uang dengan lebih bebas tanpa bisa dijerat oleh hukum.

Kedua, aktor politik uang pada pemilu presiden biasanya adalah para anggota tim sukses bayangan. Mereka leluasa melakukan praktek politik uang karena eksistensinya dalam setiap kampanye tidak pernah diatur dengan jelas. Padahal konsekuensinya bagi kualitas pemilu cukup berat, karena dana kampanye ilegal bisa digelontorkan kepada tim bayangan dan mereka membelanjakan dana itu dengan cara-cara yang melanggar aturan juga. Pengalaman pemilu presiden 2004 juga menunjukkan bahwa tim sukses bayangan adalah orang-orang yang memiliki akses besar terhadap dana publik (APBN-APBD). Tak mengherankan jika dalam beberapa kasus korupsi yang terungkap oleh KPK, uang hasil korupsi juga mengalir kepada tim sukses bayangan.

Terakhir, posisi pejabat incumbent yang dapat menggunakan dana belanja sosial, baik di APBN maupun APBD untuk kepentingan terselubung praktek politik uang. Naiknya alokasi Bantuan Langsung Tunai (BLT) pada 2009 dibanding 2008 merupakan indikasi sekaligus berpotensi disalahgunakan oleh pejabat publik. Wajar jika pasangan JK-Win meminta agar gaji ke-13 bagi pegawai negeri sipil tidak dibagikan dulu, karena ini juga bisa diselewengkan untuk praktek politik uang terselubung. Dari poin di atas, tampaknya kita akan masih kesulitan membendung praktek politik uang. Maka, tak aneh jika secara substansi, hasil pemilu selalu dianggap tidak legitimate.

Oleh: Adnan Topan Husodo
WAKIL KOORDINATOR INDONESIA CORRUPTION WATCH

Tulisan disalin dari Koran Tempo, 3 Juni 2009