Thursday, October 27, 2005

Pemberantasan Korupsi, Quo Vadis?


Pemberantasan korupsi yang dicanangkan pemerintah SBY-Kalla akan memasuki masa satu tahun. Tercatat setidaknya 6 produk kebijakan khusus yang telah dikeluarkan untuk mendukung agenda tersebut. Satu diataranya adalah Inpres No. 5 tahun 2004 tentang percepatan pemberantasan korupsi. Lainnya yakni Keppres No 11 Tahun 2005 tentang Timtas Tipikor.

Ditilik dari substansi kebijakan, presiden SBY nampaknya menekankan agenda pemberantasan korupsi pada penegakan hukum. Ini artinya, penanganan kasus-kasus korupsi, baik yang dilaporkan oleh masyarakat, maupun karena hasil temuan aparat penegak hukum menjadi prioritas untuk diselesaikan.

Dengan demikian, berapa jumlah koruptor yang diadili, ringan atau berat dan bebas atau bersalah vonis terhadap mereka diberikan, berapa nilai kerugian negara yang dapat diselamatkan, siapa koruptor yang diadili, kelas kakap atau kelas teri koruptor yang ditangani, cepat atau lambat penanganan kasusnya diselesaikan menjadi standar penilaian kinerja pemberantasan korupsi SBY-JK.

Pilihan untuk memprioritaskan aksi pemberantasan korupsi pada aspek penegakan hukum memiliki maksud jelas, yakni SBY hendak mengirimkan pesan kepada pelaku korupsi untuk tidak memulai, apalagi mengulangi perbuatan korupsi karena hukum akan ditegakan. Disini, efek jera sebagai dampak dari penegakan hukum menjadi sesuatu yang sangat diharapkan muncul.

Namun agaknya strategi itu melesat dari target yang hendak diharapkan. Hingga menjelang satu tahun usia pemerintah SB, perubahan yang berarti dalam pemberantasan korupsi belum nampak, kecuali satu dua kasus korupsi yang berhasil diungkap. Itupun dengan catatan kritis bahwa kasus tersebut tersendat proses hukumnya, entah karena faktor internal lembaga penegak hukum, maupun faktor eksternal yang sarat dengan kalkulasi politis.

Contoh yang paling konkret adalah kasus dana tantiem PLN dan dugaan korupsi di Sekretariat Negara. Benar bahwa Timtas Tipikor telah menyelesaikan kasus korupsi Dana Abadi Umat (DAU) di Departemen Agama dan Bank Mandiri yang kini kasusnya sudah dalam proses persidangan. Barangkali ini sebuah prestasi yang bisa dicatat. Selebihnya masyarakat masih menunggu, kasus besar apa yang akan dijadikan prioritas untuk ditangani.

Sebenarnya jika pemberantasan korupsi diorientasikan pada penegakan hukum, prasyarat utamanya mutlak dipenuhi, yakni adanya penegak hukum yang kredibel, serius, profesional dan bebas dari penyakit yang akan diberantasnya. Sehingga kendala-kendala teknis maupun non-teknis dalam penanganan kasus dapat sedini mungkin dihindari. Belajar dari komisi independent pemberantasan korupsi (ICAC) di Hongkong, mereka memulai pemberantasan korupsi dari pembersihan terhadap aparat penegak hukum terlebih dulu.

Kendala penegakan hukum yang justru bersumber dari aparat penegak hukum sendiri dapat dilihat juga pada penanganan kasus korupsi di daerah yang melibatkan pejabat tinggi. Dalam catatan ICW, hingga Oktober 2005, sudah ada 51 ijin pemeriksaan yang dikeluarkan oleh SBY terhadap beberapa kepala daerah di Indonesia yang terdiri dari 4 orang Gubernur, 6 orang Walikota dan 32 orang Bupati, 1 orang wakil walikota, dan 8 orang wakil bupati.

Akan tetapi betapa pun kemauan kuat telah diperlihatkan SBY, penanganan kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi Negara di sebagian besar daerah masih tergolong lamban. Cepatnya ijin pemeriksaan terhadap kepala daerah tidak diikuti dengan cepatnya penanganan perkara korupsinya.

Dari 51 orang kepala daerah (gubernur, walikota, bupati, wakil walikota dan wakil bupati) yang telah mendapatkan ijin pemeriksaan dari Presiden, hasilnya seorang divonis bebas ditingkat pertama, yakni Chalik Effendi (walikota Bengkulu). Sementara tiga orang masih dalam proses di pengadilan, yakni Djoko Munandar (Gubernur Banten), Imam Muhadi (Bupati Blitar) dan Totok Ary Prabowo (Bupati Temanggung). Perkembangan terakhir, Djoko Munandar oleh SBY di nonaktifkan sebagai Gubernur Banten karena berstatus terdakwa.

Selebihnya atau 48 kepala daerah lainnya masih dalam pemeriksaan (penyelidikan/penyidikan). Lambatnya penanganan perkara korupsi khususnya yang melibatkan kepala daerah, menunjukkan bahwa komitmen SBY dalam pemberantasan korupsi ternyata belum didukung oleh jajaran dibawahnya.

Demikian halnya niat Kejaksaan Agung RI untuk membuka kembali beberapa perkara besar yang telah di SP3 –termasuk SP3 terhadap Ginandjar Kartasasmita- merupakan sinyal positif bagi penegakan hukum. Khusus untuk kasus Ginandjar, tim hukum Kejaksaan Agung bahkan telah merampungkan tugasnya dalam melakukan kajian terhadap keluarnya SP3 kepada Ginandjar, sekaligus rekomendasi kepada Jaksa Agung mengenai langkah-langkah yang harus diambil. Sayangnya sampai saat ini hasil kajian tersebut belum jua disampaikan kepada masyarakat sehingga berpotensi menimbulkan spekulasi dan persepsi negatif terhadap keseriusan Jaksa Agung.

Sebenarnya dengan titik tekan pemberantasan korupsi pada penegakan hukum, tidak mungkin masalah korupsi bisa diselesaikan. Lahirnya Timtas Tipikor, Tim Pemburu Koruptor, Inpres Percepatan Pemberantasan Korupsi hanyalah perangkat yang mendukung agenda penegakan hukum. Apalagi dengan realitas bahwa aparat penegak hukum justru selama ini menjadi bagian tak terpisahkan dari perluasan dan perkembangan praktek korupsi itu sendiri, korupsi akan sulit untuk diberantas.

Yang harus diyakini oleh SBY bahwa korupsi akan selalu tumbuh jika tiga kondisi yang merusak tidak diperbaiki secara simultan, yakni pertama, peluang atau kesempatan untuk melakukan korupsi tetap tinggi, kedua, kemungkinan koruptor tertangkap kecil dan kemungkinan lepasnya tinggi dan ketiga, hasil dari melakukan korupsi jauh lebih tinggi daripada resiko yang akan diterima koruptor.

Sayangnya, Presiden sendiri walaupun ada keinginan kuat untuk melakukan pemberantasan korupsi, namun pendekatan yang ditempuh tidak fokus, kurang sistematis dan parsial. Menempatkan agenda pemberantasan korupsi pada wilayah yang terpisahkan dari agenda perbaikan di sektor lainnya telah menghilangkan kesempatan untuk menciptakan peluang yang lebih baik dalam memperbaiki secara terpadu masalah-masalah di sektor ekonomi, pelayanan publik dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Padahal tiga hal tersebut yang selama ini menjadi agenda prioritas pemerintahan SBY-Kalla.

*******

Tuesday, October 11, 2005

Mimpi Buruk Keadilan

Kembali peristiwa hukum mencoreng wajah peradilan kita. KPK beberapa waktu lalu menangkap Harini Wiyoso, mantan hakim tinggi PT Jogjakarta, yang menjadi kuasa hukum Probosutedjo beserta 5 staf Mahkamah Agung. Dalam penangkapan itu, KPK berhasil menyita uang senilai USD 400 ribu (sekitar Rp 4 miliar) dan Rp 800 juta. Menurut pengakuan salah satu tersangka, uang itu akan digunakan untuk menyuap Ketua MA. Penangkapan itu tak berselang lama setelah Popon, kuasa hukum Abdullah Puteh juga dicokok KPK. Kejadian tersebut telah memberikan sinyal kuat kepada kita bahwa mafia peradilan masih bercokol. Hal itu sekaligus menandaskan bahwa reformasi peradilan menjadi kebutuhan mendesak untuk segera dilakukan.

Hakim dalam sosoknya yang paling ideal adalah pemberi rasa keadilan yang paripurna. Ia bisa menyatakan terdakwa bebas atau dihukum melalui ketukan palunya. Dengan intuisinya sebagai pemberi keadilan, hakim dapat menangkap sinyal-sinyal keadilan yang lemah sekalipun. Tapi melalui kekuasaannya, fakta hukum juga bisa disulap menjadi kekeliruan dan kepalsuan bisa dirubah menjadi kebenaran. Oleh karena itu posisi seorang hakim setiap saat akan selalu berhadapan dengan godaan penyuapan. Hanya itu semua terpulang kepada hakim, mau membuka pintu bagi pembeli keadilan atau menutup serapat-rapatnya demi diri dan keadilan itu sendiri.

Jika hakim telah berani membuka pintu bagi para pembeli keadilan, pada detik itu pula keadilan telah menjadi barang dagangan. Tidak seperti alat putar video, tape recorder, pakaian atau buku di supermal yang telah diberi harga pasti, mendagangkan keadilan selalu dilakukan sembunyi-sembunyi, di pasar gelap dengan mekanisme lelang. Siapa yang berani membayar dengan harga tertinggi, bisa dipastikan dialah pemenangnya. Bagi orang-orang berkantong cekak, keadilan tidak pernah mungkin bisa diraihnya dan harus selalu bersiap-siap untuk menerima kekalahan.  

Dalam pasar gelap keadilan, panitera dan pengacara adalah perantara. Mereka menjadi penghubung antara pembeli keadilan dengan penjualnya. Tertangkapnya salah satu pengacara Abdullah Puteh dan Wakil Ketua Panitera PT DKI Jakarta oleh KPK telah memberikan penegasan bahwa transaksi keadilan bukanlah penampakan atau berada di dunia lain. Tapi ia adalah reality show.

Jaksa dan polisi menjadi pihak lain yang memberikan kemudahan bagi berlangsungnya transaksi itu. Melalui tuntutan yang kabur, bukti-bukti yang sumir dan saksi-saksi yang meringankan, dagelan di pengadilan bisa disetting menjadi lebih sempurna, seolah-olah benar adanya. Setelah ketukan palu hakim, semua bisa bernapas lega. Pengacara tersenyum, hakim girang karena pundit-pundinya bertambah, sang pembeli keadilan ‘menangis’, bersujud syukur kemudian mengepalkan tangan dan berteriak “ternyata masih ada keadilan!!!”.

Yang harus diyakini, membersihkan aparat penegak hukum dari praktek mafia peradilan bukanlah sesuatu yang mustahil. Hanya dibutuhkan keberanian dan keseriusan untuk menggunakan beberapa formula yang mungkin akan membentur tembok aturan legalistik-formal. Tapi tak mengapa, menurut salah satu murid Satjipto Rahardjo dalam sebuah diskusi di Pontianak, peraturan itu selalu memiliki penyakit cacat bawaan.Yakni ketidaksempurnaannya karena pembuat peraturan adalah orang-orang yang berkuasa. Ibarat membuat pagar yang akan memagari dirinya sendiri. Dalam kaitannya dengan pemberantasan mafia peradilan, setidaknya ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk menghentikan praktek perdagangan keadilan.

Berhubung praktek mafia peradilan identik dengan transaksi jual-beli narkotik atau senjata illegal. Maka cara yang efektif untuk memberantasnya adalah dengan menggunakan metoda penjebakan, penyadapan dan penangkapan langsung pada saat transaksi dilakukan untuk menangkap basah para pelaku. Artinya para pemberantas mafia peradilan seperti KPK misalnya harus secara aktif menyebarkan ranjau-ranjau penjebakan, penyadapan dan menanam orang-orang di seluruh lembaga peradilan yang dapat dijadikan informan kunci untuk memberitahukan dimana akan dan sedang terjadi transaksi. Terbukti dengan cara tersebut KPK telah menunjukan beberapa keberhasilan.

Karena muara dari mafia peradilan itu adalah uang, KPK juga memiliki peranan sentral dalam mendorong tertibnya aparatur penegak hukum, khususnya para hakim. Laporan kekayaaan hakim yang telah diserahkan kepada KPK dapat dijadikan sebagai petunjuk awal untuk mengidentifikasi sekaligus melakukan penelusuran atas kebenaran dari laporan itu. Untuk menyembunyikan uang dari hasil penjualan putusan, bisa dengan ditabung atau didepositokan, menempatkannya dalam surat berharga, membeli kemewahan seperti rumah, mobil, perhiasan atau menginvestasikannya dalam sebuah kegiatan usaha. Oleh karena itu, kerjasama dengan pihak lain seperti PPATK menjadi amat penting. Sebagai catatan, diantara para pejabat publik yang wajib menyerahkan laporan kekayaan ke KPK, hanya hakim yang sampai sekarang tidak banyak merespon. Hal ini bisa dijadikan alasan untuk mengembangkan kecurigaan-kecurigaan yang diarahkan pada banyaknya sumber-sumber kekayaan illegal.

Masyarakat juga dapat berperan aktif dalam mendorong terciptanya lembaga peradilan yang bersih dari mafia peradilan. Biasanya pola dan aktor yang berlaku di dunia mafia peradilan melibatkan orang dan kelompok yang sama sebagaimana halnya sebuah sidikasi kejahatan. Sindikasi mafia peradilan tidak spontan terbentuk, tapi terorganisir dan sistematis. Metoda interpretative investigation, yakni memetakan wilayah kejadian, aktor yang bermain dan hasil-hasil putusan pengadilan akan memberikan gambaran sekaligus informasi yang kuat mengenai praktek mafia peradilan yang terjadi. Pola yang terorganisir itu misalnya jika hakimnya si A, maka paniteranya si B, jaksanya si C dan pengacaranya si D. Dari hubungan A-B-C-D itu, putusannya akan dapat diprediksi bersifat konstan, yakni A, A, A dan A. Informasi yang diperoleh dari pemetaan ini sangat berguna bagi KPK misalnya untuk melakukan kegiatan pemantauan, penjebakan ataupun penyadapan.

Secara tidak langsung, masyarakat juga dapat mengontrol lembaga peradilan dengan melakukan pengujian independen terhadap hasil putusan majelis hakim dalam suatu perkara. Istilah populernya adalah eksaminasi publik. Metoda eksaminasi publik memang tidak akan dapat menemukan bukti-bukti bahwa telah terjadi traksaksi jual-beli perkara. Namun setiap tindak kejahatan itu selalu meninggalkan bekas. Bekas-bekas itulah yang seringkali hinggap di dalam putusan. Dengan melakukan eksaminasi publik, setiap putusan hakim dapat dinilai kembali apakah sudah memenuhi tahap-tahap prosedur dan substansi hukum yang benar atau tidak. MA atau Komisi Judicial yang telah terbentuk beberapa waktu lalu dapat menjadikan hasil eksaminasi publik sebagai acuan untuk menilai dan sekaligus memberikan tindakan tegas bagi para hakim yang menyimpang dari aturan main.

Calo Berdasi

Biasanya menjelang hari raya besar umat beragama di Indonesia, aparat penegak hukum kerap mengadakan razia calo tiket di terminal, stasiun dan bandara. Tidak hanya aparat penegak hukum, instansi teknis yang bertanggungjawab atas kelancaran pelayanan transportasi pun menggelar berbagai macam spanduk, yang isinya menghimbau masyarakat untuk tidak membeli tiket kepada calo. Maksudnya jelas, agar segala urusan pembelian tiket lancar dan murah sehingga masyarakat diuntungkan.

Persoalannya kemudian, bagaimana jika petugas tiket itu justru merangkap sebagai calo? Apakah membuat persoalan tidak semakin runyam? Tentunya jika kedapatan ada petugas tiket mencari tambahan uang dari usaha menjadi calo, dapat diduga hukumannya tidak sama dengan calo biasa. Sudah pasti akan lebih berat. Karena petugas yang merangkap sebagai calo telah menggadaikan tanggung-jawabnya demi memperoleh keuntungan pribadi, dengan mengorbankan kepentingan banyak orang.

Praktek percaloan nyatanya bukan monopoli di terminal, stasiun atau bandara. Baru-baru ini di DPR RI, tempat dimana wakil rakyat telah disumpah untuk selalu setia pada kepentingan rakyat, terendus bau tak sedap. Disinyalir kuat beberapa anggota DPR RI telah mendagangkan kewenangannya dengan menjadi ‘juru selamat’ untuk daerah-daerah yang ingin mendapatkan anggaran bencana alam. Memang tidak ada makan siang yang gratis. Bagi daerah, khususnya yang minus dan memiliki potensi rawan terjadinya bencana, sangat berkepentingan untuk mendapatkan anggaran itu. Dalam kondisi terjepit, apapun bisa dilakukan, diantaranya dengan membayar ‘utang budi’ kepada para juru selamat.

Walau terasa miris, praktek percaloan di DPR bukanlah berita baru, meskipun juga bukan berita yang baik. Barangkali jika para kepala daerah mau berterus terang, pastinya akan banyak informasi tentang percaloan di DPR periode sebelumnya yang bisa diangkat. Merekalah yang menjadi saksi bisu sekaligus pihak yang paling mengetahui praktek kejahatan itu.

Sebagaimana diketahui, lahirnya konsep perimbangan keuangan pusat-daerah sebagai konsekuensi adanya otonomi daerah dirumuskan dalam bentuk pengucuran Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU). Di satu sisi, mekanisme penentuan alokasi DAK dan DAU sangat didominasi oleh pengaruh DPR. Karena itulah, praktek pemerasan di DPR yang sering dibahasakan sebagai percaloan itu tidak dapat dihindari.

Bagi kepala daerah yang ingin mendapatkan porsi DAU atau DAK lebih besar, maka loby ke DPR harus lebih intens. Selain daripada itu, perlu ada timbal balik yang seimbang sehingga sama-sama menguntungkan kedua belah pihak. Jika sejumlah dana tertentu yang diusulkan berhasil digolkan, maka kewajiban bagi daerah untuk memberikan presentase keberhasilan (baca:fee) itu kepada anggota DPR yang memperjuangkannya  

Hanya saja, berita yang memalukan itu baru muncul pada periode sekarang. Pada masa-masa sebelumnya, hal itu tidak pernah mencuat ke permukaan, apalagi mengharapkan adanya tindakan konkret dari Badan Kehormatan DPR. Padahal dari beberapa informasi, masalah percaloan di DPR sudah menjadi praktek yang wajar. Sebut saja misalnya FORMAPPI, sebuah LSM di Jakarta yang memiliki perhatian khusus pada pengawasan kinerja DPR dalam laporan di majalah Awasi Parlemen pada tahun 2003 sudah menyebutkan adanya indikasi praktek percaloan oleh anggota DPR.

Merebaknya praktek percaloan di DPR tidak bisa dilepaskan dari beberapa faktor. Pertama, menguatnya posisi tawar DPR tidak diimbangi dengan adanya kewajiban untuk terbuka (transparan) dalam segala aktivitas yang menjadi tugas dan tanggung-jawabnya. Tidak dapat dipahami mengapa dalam rapat-rapat DPR, ada beberapa pertemuan khusus yang sifatnya tertutup, yang tidak dapat diikuti atau dihadiri oleh siapapun, termasuk pers. Padahal keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan di DPR RI akan sangat menentukan berjalan atau tidaknya mekanisme kontrol dari publik.

Ini artinya, prinsip keterbukaan di lingkungan parlemen sangat berperan dalam mengendalikan kecenderungan terjadinya abuse of power dan abuse of authority, khususnya yang berhubungan dengan libido untuk memperoleh kekayaan material secara instant. Barangkali jika pertemuan di Komisi V DPR RI itu dilakukan secara terbuka, dalam artian semua anggota masyarakat diberi hak dan akses yang luas untuk terlibat ataupun mengontrol setiap proses pengambilan keputusan, kecil kemungkinan terjadinya kemufakatan jahat yang menjadi sumber maraknya korupsi.

Kedua, semakin pudarnya kekuatan single majority yang ditandai dengan hadirnya beberapa partai baru yang menempatkan para wakilnya di parlemen tidak secara otomatis membuat mekanisme checks and balances bekerja dengan baik. Adanya kantong-kantong kekuatan baru di parlemen yang diwakili oleh Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera dan beberapa partai baru lainnya belum dimanfaatkan untuk menghidupkan budaya oposisi yang bervisi anti-korupsi. Ini bukan berarti partai terdahulu tidak memiliki peluang yang sama untuk memperjuangkan gerakan anti-korupsi di parlemen, akan tetapi partai baru agaknya lebih memiliki legitimasi moral untuk memulainya.

Namun sayangnya, gagasan untuk membentuk kaukus anti-korupsi di parlemen ternyata belum direspon secara proporsional oleh anggota DPR. Bahkan hingga saat ini, gagasan itu masih belum dapat diimplementasikan. Sehingga seolah-olah, tidak ada perubahan berarti di DPR kecuali hanya sebatas perubahan pada para anggotanya. Padahal gagasan lahirnya kaukus anti-korupsi di DPR sekaligus bertujuan untuk mengidentifikasi sekaligus penegasan apakah kebiasaan, cara berpikir dan perilaku para politisi di DPR sudah mengalami perubahan.  

Yang sulit dipahami, mengapa Partai Keadilan Sejahtera misalnya, belum mampu menunjukkan pengaruhnya yang signifikan dalam kerangka mewujudkan lembaga politik yang lebih sehat dan bersih, kecuali beberapa manuver personelnya saja yang menonjol. Padahal yang harus dipahami, dalam realitas politik, kesalehan individu untuk menolak segala macam bentuk korupsi saja tidak cukup. Karena perspektif anti-korupsi dalam kehidupan di parlemen bukanlah untuk dirinya sendiri, melainkan harus diperjuangkan sebagai sebuah kebijakan konkret yang akhirnya akan dipatuhi oleh semua anggota DPR. Ini mengandung makna bahwa blok oposisi yang berorientasi pada gerakan anti-korupsi tidak hanya sekedar sebagai gerakan moral belaka, melainkan harus mengarah pada gerakan politik itu sendiri. Dengan demikian, gerakan anti-korupsi di DPR bukan sekedar himbauan yang mengandalkan pada kesadaran seseorang, melainkan lebih mengarah pada perbaikan sistem yang lebih transparan dan akuntabel, sehingga dapat memaksa setiap anggota dewan untuk mematuhinya.

****