Tuesday, October 11, 2005

Calo Berdasi

Biasanya menjelang hari raya besar umat beragama di Indonesia, aparat penegak hukum kerap mengadakan razia calo tiket di terminal, stasiun dan bandara. Tidak hanya aparat penegak hukum, instansi teknis yang bertanggungjawab atas kelancaran pelayanan transportasi pun menggelar berbagai macam spanduk, yang isinya menghimbau masyarakat untuk tidak membeli tiket kepada calo. Maksudnya jelas, agar segala urusan pembelian tiket lancar dan murah sehingga masyarakat diuntungkan.

Persoalannya kemudian, bagaimana jika petugas tiket itu justru merangkap sebagai calo? Apakah membuat persoalan tidak semakin runyam? Tentunya jika kedapatan ada petugas tiket mencari tambahan uang dari usaha menjadi calo, dapat diduga hukumannya tidak sama dengan calo biasa. Sudah pasti akan lebih berat. Karena petugas yang merangkap sebagai calo telah menggadaikan tanggung-jawabnya demi memperoleh keuntungan pribadi, dengan mengorbankan kepentingan banyak orang.

Praktek percaloan nyatanya bukan monopoli di terminal, stasiun atau bandara. Baru-baru ini di DPR RI, tempat dimana wakil rakyat telah disumpah untuk selalu setia pada kepentingan rakyat, terendus bau tak sedap. Disinyalir kuat beberapa anggota DPR RI telah mendagangkan kewenangannya dengan menjadi ‘juru selamat’ untuk daerah-daerah yang ingin mendapatkan anggaran bencana alam. Memang tidak ada makan siang yang gratis. Bagi daerah, khususnya yang minus dan memiliki potensi rawan terjadinya bencana, sangat berkepentingan untuk mendapatkan anggaran itu. Dalam kondisi terjepit, apapun bisa dilakukan, diantaranya dengan membayar ‘utang budi’ kepada para juru selamat.

Walau terasa miris, praktek percaloan di DPR bukanlah berita baru, meskipun juga bukan berita yang baik. Barangkali jika para kepala daerah mau berterus terang, pastinya akan banyak informasi tentang percaloan di DPR periode sebelumnya yang bisa diangkat. Merekalah yang menjadi saksi bisu sekaligus pihak yang paling mengetahui praktek kejahatan itu.

Sebagaimana diketahui, lahirnya konsep perimbangan keuangan pusat-daerah sebagai konsekuensi adanya otonomi daerah dirumuskan dalam bentuk pengucuran Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU). Di satu sisi, mekanisme penentuan alokasi DAK dan DAU sangat didominasi oleh pengaruh DPR. Karena itulah, praktek pemerasan di DPR yang sering dibahasakan sebagai percaloan itu tidak dapat dihindari.

Bagi kepala daerah yang ingin mendapatkan porsi DAU atau DAK lebih besar, maka loby ke DPR harus lebih intens. Selain daripada itu, perlu ada timbal balik yang seimbang sehingga sama-sama menguntungkan kedua belah pihak. Jika sejumlah dana tertentu yang diusulkan berhasil digolkan, maka kewajiban bagi daerah untuk memberikan presentase keberhasilan (baca:fee) itu kepada anggota DPR yang memperjuangkannya  

Hanya saja, berita yang memalukan itu baru muncul pada periode sekarang. Pada masa-masa sebelumnya, hal itu tidak pernah mencuat ke permukaan, apalagi mengharapkan adanya tindakan konkret dari Badan Kehormatan DPR. Padahal dari beberapa informasi, masalah percaloan di DPR sudah menjadi praktek yang wajar. Sebut saja misalnya FORMAPPI, sebuah LSM di Jakarta yang memiliki perhatian khusus pada pengawasan kinerja DPR dalam laporan di majalah Awasi Parlemen pada tahun 2003 sudah menyebutkan adanya indikasi praktek percaloan oleh anggota DPR.

Merebaknya praktek percaloan di DPR tidak bisa dilepaskan dari beberapa faktor. Pertama, menguatnya posisi tawar DPR tidak diimbangi dengan adanya kewajiban untuk terbuka (transparan) dalam segala aktivitas yang menjadi tugas dan tanggung-jawabnya. Tidak dapat dipahami mengapa dalam rapat-rapat DPR, ada beberapa pertemuan khusus yang sifatnya tertutup, yang tidak dapat diikuti atau dihadiri oleh siapapun, termasuk pers. Padahal keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan di DPR RI akan sangat menentukan berjalan atau tidaknya mekanisme kontrol dari publik.

Ini artinya, prinsip keterbukaan di lingkungan parlemen sangat berperan dalam mengendalikan kecenderungan terjadinya abuse of power dan abuse of authority, khususnya yang berhubungan dengan libido untuk memperoleh kekayaan material secara instant. Barangkali jika pertemuan di Komisi V DPR RI itu dilakukan secara terbuka, dalam artian semua anggota masyarakat diberi hak dan akses yang luas untuk terlibat ataupun mengontrol setiap proses pengambilan keputusan, kecil kemungkinan terjadinya kemufakatan jahat yang menjadi sumber maraknya korupsi.

Kedua, semakin pudarnya kekuatan single majority yang ditandai dengan hadirnya beberapa partai baru yang menempatkan para wakilnya di parlemen tidak secara otomatis membuat mekanisme checks and balances bekerja dengan baik. Adanya kantong-kantong kekuatan baru di parlemen yang diwakili oleh Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera dan beberapa partai baru lainnya belum dimanfaatkan untuk menghidupkan budaya oposisi yang bervisi anti-korupsi. Ini bukan berarti partai terdahulu tidak memiliki peluang yang sama untuk memperjuangkan gerakan anti-korupsi di parlemen, akan tetapi partai baru agaknya lebih memiliki legitimasi moral untuk memulainya.

Namun sayangnya, gagasan untuk membentuk kaukus anti-korupsi di parlemen ternyata belum direspon secara proporsional oleh anggota DPR. Bahkan hingga saat ini, gagasan itu masih belum dapat diimplementasikan. Sehingga seolah-olah, tidak ada perubahan berarti di DPR kecuali hanya sebatas perubahan pada para anggotanya. Padahal gagasan lahirnya kaukus anti-korupsi di DPR sekaligus bertujuan untuk mengidentifikasi sekaligus penegasan apakah kebiasaan, cara berpikir dan perilaku para politisi di DPR sudah mengalami perubahan.  

Yang sulit dipahami, mengapa Partai Keadilan Sejahtera misalnya, belum mampu menunjukkan pengaruhnya yang signifikan dalam kerangka mewujudkan lembaga politik yang lebih sehat dan bersih, kecuali beberapa manuver personelnya saja yang menonjol. Padahal yang harus dipahami, dalam realitas politik, kesalehan individu untuk menolak segala macam bentuk korupsi saja tidak cukup. Karena perspektif anti-korupsi dalam kehidupan di parlemen bukanlah untuk dirinya sendiri, melainkan harus diperjuangkan sebagai sebuah kebijakan konkret yang akhirnya akan dipatuhi oleh semua anggota DPR. Ini mengandung makna bahwa blok oposisi yang berorientasi pada gerakan anti-korupsi tidak hanya sekedar sebagai gerakan moral belaka, melainkan harus mengarah pada gerakan politik itu sendiri. Dengan demikian, gerakan anti-korupsi di DPR bukan sekedar himbauan yang mengandalkan pada kesadaran seseorang, melainkan lebih mengarah pada perbaikan sistem yang lebih transparan dan akuntabel, sehingga dapat memaksa setiap anggota dewan untuk mematuhinya.

****