Sunday, November 28, 2010

Rekening Gayus (Tambun)an

Sosok mirip Gayus Tambunan yang sempat ditangkap kamera dalam pertandingan tenis Commonwealth Tournament of Champions 2010 di Kuta, Bali—dan kemudian diakui sendiri oleh Gayus sebagai dirinya—menyentak kesadaran publik kembali atas karut-marutnya hukum di Indonesia.

Sulit untuk menyangkal jika Gayus tidak berkeliaran di luar penjara Brimob, Kelapa Dua, Depok, karena semua bukti sudah tidak bisa dibantah lagi.

Hampir semua orang memercayai jika pesakitan berduit seperti Gayus dan orang sejenisnya mudah sekali membeli kebebasan meski sedang berhadapan dengan hukum atas dugaan tindak pidana yang dilakukannya. Tentu tak mungkin kita berharap ada efek jera bagi pelaku kejahatan, terutama yang mengakibatkan kerugian besar bagi keuangan atau perekonomian negara jika penjara justru menjadi tempat yang paling mudah untuk dibeli.

Rasa keadilan publik kian teriris tatkala di balik penjara, Gayus—yang didakwa terlibat praktik mafia pajak dan suap kepada penegak hukum dalam upaya meloloskan dirinya dari hukuman setelah praktik mafia pajak yang dilakukannya terbongkar— dapat kembali menyuap penegak hukum yang menjaga dirinya.

Rumah sangat mentereng, mobil mewah, dan rekening gendut yang masih dikuasainya memudahkan praktik suap-menyuap terjadi. Sangat mungkin, dengan uangnya yang masih bertumpuk, Gayus tidak hanya berada di Bali, tetapi juga di tempat lain yang ia kehendaki.

Gayus sesungguhnya bisa dihukum berat karena kombinasi kejahatan pidana yang dilakukannya. Selain telah merongrong uang negara dari pendapatan pajak, Gayus juga telah memorakporandakan integritas penegak hukum. Dampak dari kejahatan yang dilakukannya sungguh nyata: selain kerugian negara yang sangat mungkin bernilai triliunan rupiah karena ulahnya bermain mata dengan wajib pajak, Gayus juga telah melecehkan hukum sedalam-dalamnya.

Hal yang membuatnya bisa menerima hukuman lebih berat karena dalam perkara pidana yang sedang dihadapi, ia kembali disangka melakukan kejahatan suap agar dapat bebas sementara dari penjara. Namun, barangkali publik justru kian pesimistis dapat menyaksikan dengan mata kepala sendiri Gayus mendapatkan hukuman keras karena gerak-gerik penegak hukum tak menunjukkan iktikad kuat. Sebaliknya, publik luas yang menuntut keadilan dihadapkan dilema, di satu sisi berharap aparat penegak hukum bertindak tegas, di sisi lain masalah utama dari penegakan hukum adalah korupsi yang telah menggurita pada lembaga penegak hukum itu sendiri.

Siapa dapat menjamin, setelah kepergok di Bali dan ditetapkan sebagai tersangka suap, Gayus akan tetap berada di penjara? Dengan uang masih berjibun, apakah tak mungkin Gayus akan kembali menyuap aparat LP?

Karena itu, untuk menyelesaikan kasus Gayus dan kasus serupa, pekerjaan berat yang dihadapi negeri ini adalah bagaimana membersihkan aparat penegak hukum dari praktik korupsi yang sudah sangat sistemik. Kita tak bisa berharap aparat penegak hukum dengan setumpuk rekening gendut mencurigakan akan bisa menjalankan kewajiban hukumnya dengan ideal. Walhasil, kasus-kasus semacam Gayus akan terus mengusik keadilan publik negeri ini.

Pekerjaan rumah Presiden

Kasus memalukan yang kembali menampar wajah Polri merupakan sinyal merah bagi pengambil kebijakan untuk segera menempuh langkah serius membenahi aparat penegak hukum. Jika dianalogikan kanker, korupsi sistemik di tubuh penegak hukum sudah tahap stadium empat. Ini artinya, membenahi penegak hukum tidak bisa lagi diserahkan urusannya hanya kepada mekanis internalnya.

Paling tidak, ketika Kepala Humas Polri mengatakan dalam kasus lepasnya Gayus dikarenakan ada sembilan petugas polisi ”busuk” dalam ”keranjang apel” menunjukkan perspektif yang sempit dalam melihat persoalan korupsi pada lembaga penegak hukum. Cara pandang yang masih mengedepankan faktor individual dalam memberantas korupsi pada tubuh aparat penegak hukum bertolak belakang dengan fakta sebenarnya.

Memang pada tahap korupsi awal, faktor individual yang menyimpang dalam sebuah sistem masih sangat dominan, tetapi jika korupsi sudah sistemik, maka untuk menyelesaikan persoalan ini pendekatan individual sudah tidak dapat lagi digunakan. Pendek kata, perlu ada pembenahan sistematis untuk menutup peluang terjadinya praktik korupsi di tubuh penegak hukum.

Tampaknya Presiden perlu memegang kendali penuh untuk memastikan pembenahan di tubuh aparat penegak hukum berjalan sesuai skenario. Kapolri Timur Pradopo yang telah dipilihnya harus diberi ultimatum untuk segera mengambil langkah cepat dan tegas agar kasus serupa tak berulang. Menghentikan strategi pencitraan akan sangat membantu negeri ini dari keterpurukan karena korupnya aparat penegak hukum. Kita tak ingin menunggu pembusukan di tubuh aparat penegak hukum selesai dengan sendirinya.

Adnan Topan Husodo Wakil Koordinator ICW
Tulisan ini disalin dari Kompas, 20 November 2010

Monday, November 15, 2010

Mewaspadai Penyimpangan Dana Bencana

KORAN TEMPO – Senin, 15 November 2010

Oleh : Adnan Topan Husodo

Bertubi-tubi bencana menimpa negeri kita, antara lain banjir bandang Wasior, gempa disusul tsunami di Mentawai, dan meletusnya Gunung Merapi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Akibat bencana tersebut, sebagian besar warga yang jadi korban harus kehilangan banyak hal, dari harta benda, tempat tinggal, pekerjaan, sumber penghidupan, sampai korban nyawa. Demikian pula fasilitas sosial dan fasilitas umum turut rusak akibat bencana alam.

Secara umum, pendekatan dalam menangani bencana alam disusun dalam dua skenario besar, yakni masa tanggap darurat serta masa rekonstruksi dan rehabilitasi. Untuk menjamin kedua skenario ini berjalan baik, tentu dibutuhkan dukungan finansial yang tidak sedikit. Baik untuk keperluan mengantisipasi penyakit yang kerap muncul dalam masa pengungsian; kebutuhan sehari-hari pengungsi; tempat tinggal sementara; bantuan rehabilitasi psikologis, terutama untuk korban yang rentan, yakni anak-anak dan orang tua; maupun untuk membangun kembali berbagai jenis infrastruktur yang rusak.

Pemerintah, baik melalui anggaran pendapatan dan belanja negara maupun anggaran pendapatan dan belanja daerah, setiap tahun selalu mengalokasikan anggaran untuk antisipasi bencana. Cukup atau tidaknya anggaran yang disediakan sangat bergantung pada besar-kecil dan sedikit-banyaknya bencana alam yang terjadi. Semakin besar dan semakin massif bencana alam, tentu akan semakin banyak kebutuhan anggaran yang harus dipenuhi. Klasifikasi bencana, yakni bencana daerah atau bencana nasional, akan cukup membantu dalam mengkalkulasi kebutuhan finansial yang harus disediakan.

Beruntung, selain merupakan kewajiban dari negara untuk menangani bencana, semangat voluntary warga masyarakat Indonesia yang diwujudkan dalam berbagai macam bentuk simpati, baik sumbangan tenaga, doa, maupun dana, cukup meringankan beban korban bencana. Bahu-membahu, semangat people to people yang besar telah melahirkan energi positif untuk menanggung beban bencana bersama-sama. Berbagai badan hukum swasta juga membuka dompet kemanusiaan untuk menampung dan menyalurkan bantuan yang mengalir dari warga masyarakat umum.

Tentu saja, di luar persoalan bagaimana menangani secara cepat dan tanggap dampak langsung bencana, baik yang bersumber dari dana APBN/APBD maupun dana publik, isu transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana bantuan juga harus diperhatikan. Hal ini menjadi isu penting mengingat dua hal. Pertama, korupsi dana bantuan bencana maupun dana penanganan konflik di Indonesia kerap terjadi, baik sejak konflik Maluku, Poso, Sampit, maupun gempa Liwa, Lampung, gempa Yogya dan Klaten, tsunami di Pangandaran, serta tsunami terbesar di Aceh. Kedua, korupsi yang terjadi pada dana bantuan bencana dan penanganan konflik akan semakin mendorong tingkat keparahan dampak bencana.

Modus
Korupsi dana bantuan menjadi lebih rentan terjadi karena situasi yang mendukungnya. Keadaan darurat kerap memaksa penyaluran dana bantuan dilakukan tanpa mengikuti kaidah administratif yang baik. Berbagai macam aturan main yang secara paksa harus diterapkan oleh pengguna anggaran negara dalam situasi normal tidak berlaku dalam situasi krisis. Terlebih dana publik yang dikelola oleh berbagai elemen masyarakat hampir tidak dipandu oleh mekanisme akuntabilitas dan transparansi yang memadai.

Dalam konteks dana APBN/APBD, titik rentan korupsi dana bantuan ditunjukkan dalam berbagai modusnya. Berdasarkan pengamatan Indonesia Corruption Watch selama menangani pengaduan dugaan korupsi dana bantuan, paling tidak terdapat empat modus korupsi yang kerap terjadi.

Modus pertama, penggelembungan data administrasi penduduk yang menjadi korban. Di Klaten, Jawa Tengah, jumlah penduduk setelah gempa bumi justru menjadi lebih besar daripada data administrasi sebelum gempa. Menggelembungkan data jumlah penduduk yang menjadi korban bertujuan mendapatkan alokasi dana bantuan lebih besar dari yang sebenarnya. Setelahnya, pelaku korupsi akan mengambil selisih dana bantuan berdasarkan angka nyata dan angka manipulasi.

Kedua, penyunatan dana bantuan oleh aparat birokrasi kepada warga korban. Dengan berbagai dalih, kerap aparat birokrasi memaksa warga korban untuk menandatangani bukti penerimaan yang tidak sesuai dengan jumlah uang yang diterima. Situasi yang mendesak, kebutuhan atas dana bantuan, dan ketidakberdayaan korban bencana dimanfaatkan oleh pelaku untuk menekan. Hasilnya, warga korban dengan sangat terpaksa menandatangani bukti penerimaan uang yang tidak benar.

Modus ketiga adalah proyek fiktif. Data yang tidak valid serta berbeda-beda antara satu unit dan unit lainnya turut menyuburkan berbagai macam proyek fiktif, terutama dalam masa rehabilitasi dan rekonstruksi. Dobel alokasi anggaran, ulah kontraktor yang nakal, serta aparat birokrasi yang korup menjadi salah satu faktor menjamurnya proyek fiktif dalam masa rehabilitasi dan rekonstruksi. Untuk satu proyek pembangunan infrastruktur sangat mungkin akan dilaporkan oleh dua instansi yang berbeda.

Modus terakhir adalah wanprestasi kontraktor atas berbagai macam pekerjaan untuk membangun kembali infrastruktur serta pengadaan sarana dan prasarana pascabencana. Banyak gedung, jalan, rumah pengungsi, serta fasilitas sosial dan umum lainnya yang tidak sesuai dengan spesifikasi dan standar kualitas yang telah ditentukan. Dengan memanfaatkan situasi darurat, tiadanya mekanisme tender dalam pengerjaan proyek pemerintah telah memberi kontribusi bagi terjadinya salah urus dalam penanganan proyek. Bahkan terkadang aparat birokrasi yang mengendalikan pekerjaan rehabilitasi dan rekonstruksi terlibat sekaligus sebagai kontraktor.

Di luar rentannya korupsi APBN/APBD yang dialokasikan untuk bantuan bencana, dana publik yang dikelola oleh berbagai badan hukum swasta juga sangat potensial dikorupsi. Terlebih tidak ada satu pun aturan main yang telah dibuat sebagai panduan dalam pengelolaan dana publik untuk keperluan penanganan bencana di Indonesia. Transparan atau tidaknya pengelolaan dana publik sangat bergantung pada sistem internal yang dirancang oleh badan hukum swasta terkait. Akuntabel atau tidaknya penggunaan dana publik yang dikumpulkan untuk membantu korban bencana sangat berpulang dari kemauan baik pengelolanya. Padahal besarnya dana publik yang dikumpulkan untuk membantu bencana alam bisa melampaui jumlah yang dialokasikan negara.

Karena itu, sudah saatnya dipikirkan bagaimana dana publik yang besar tersebut bisa dikelola secara akuntabel dan transparan melalui instrumen hukum. Ini tentu menjadi pekerjaan rumah Dewan Perwakilan Rakyat mengingat domain penyusunan regulasi ada di tangan mereka. Paling tidak, regulasi mengenai tata kelola yang baik dana publik dapat menjadi rambu-rambu bersama para pejuang kemanusiaan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas mereka sekaligus meminimalkan para petualang yang hendak memanfaatkan situasi bencana untuk mengeruk keuntungan pribadi.

Adnan Topan Husodo, Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch

Sunday, November 14, 2010

Pemberantasan Korupsi Minus Peran Negara

Pada 9–13 November tahun ini digelar International Anti Corruption Conference (IACC) yang merupakan konferensi global antikorupsi. Dalam konferensi ini berbagai macam elemen antikorupsi bertemu,mulai dari aktivis civil society, akademisi, peneliti, perwakilan pemerintah, serta pelibatan sektor swasta.

Tujuan dari konferensi ini adalah untuk membangun komitmen bersama gerakan antikorupsi dalam spektrum global. Tekanan pada globalisasi pemberantasan korupsi mengindikasikan semakin kuatnya perhatian internasional pada isu korupsi, sekaligus membuka peluang yang kian besar bagi kerja sama internasional dalam memberantas korupsi. Dalam IACC kali ini tema besar yang diangkat adalah Restoring Trust: Global Action for Transparency.

Tema ini menjadi pokok pembicaraan untuk membangun kembali kepercayaan publik terhadap pemerintah dalam agenda pemberantasan korupsi. Mengembalikan kepercayaan publik bukan tugas yang mudah karena membutuhkan tindakan nyata, bukan hanya dari pemerintah tetapi juga sektor swasta dan civil society. Indonesia sendiri, melalui perwakilan beberapa NGO seperti Transparency Internasional Indonesia (TII) dan Indonesia Corruption Watch (ICW),

menyampaikan beberapa isu krusial yang menjadi persoalan serius dalam mengefektifkan pemberantasan korupsi di Indonesia.Selain perwakilan NGO Indonesia,Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga diundang sebagai salah satu narasumber sekaligus peserta. Sayangnya tidak ada perwakilan Pemerintah Indonesia yang mengikuti agenda akbar tersebut.

Ironi Komisi Independen

Membaca perkembangan terakhir agenda pemberantasan korupsi di Indonesia,terdapat dua isu pokok yang secara signifikan memengaruhi keberhasilan sekaligus kegagalan program pemberantasan korupsi. Pertama, fenomena pelemahan komisi independen KPK. Dalam konteks global,upaya untuk memandulkan KPK bukan hanya menjadi persoalan dalam negeri semata.

Di beberapa negara lain seperti Korea Selatan,Nigeria,dan Thailand, masing-masing komisi independen pemberantas korupsi menghadapi tantangan serius yang berhubungan dengan isu pelemahan. Di Nigeria,Nuhu Nibadu,salah seorang anggota komisi independen yang berwenang menangani korupsi harus melarikan diri keluar negeri karena menghadapi intimidasi dan ancaman pembunuhan dari politisi setempat. Hal itu disebabkan Ruhu dan rekan- rekannya membongkar kasus korupsi yang melibatkan politisi berpengaruh di Nigeria.

Di Thailand, di mana IACC digelar tahun ini, menghadapi persoalan yang sedikit berbeda. Para anggota komisi independennya dicopot oleh penguasa Thailand pasca-Thaksin Shinawatra. Sementara di Korea Selatan, komisi antikorupsinya dilebur dengan lembaga yang sudah ada dan ditempatkan di bawah kendali presiden.Untuk yang terakhir, alasannya sungguh tidak masuk akal karena pemberantasan korupsi dianggap bisa mengganggu akselerasi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.

Sesungguhnya realitas pelemahan KPK merupakan sebuah fakta yang ironis karena dalam konteks global komisi independen sudah disepakati sebagai jawaban atas mandulnya penegakan hukum dalam kasus korupsi. Bahkan dalam konferensi negara peserta konvensi UNCAC yang diselenggarakan di Doha,Qatar,November 2009 lalu, salah satu rekomendasinya adalah peningkatan tanggung jawab negara peserta untuk menjaga, memelihara, dan memperkuat lembaga antikorupsi yang independen.

Selain itu, salah satu prinsip utama konvensi UNCAC adalah menempatkan komisi independen pemberantasan korupsi sebagai lembaga yang tetap,bukan ad hoc. Dalam konteks Indonesia,KPK yang mulai menunjukkan kinerjanya justru dilemahkan secara politik. Lingkungan politik tidak mendukung sama sekali keberlanjutan KPK sehingga berimbas pada Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang pada tahun 2010 tidak beranjak dari skor 2,8, atau sama dengan tahun sebelumnya.

Demikian halnya wacana politik dominan selalu mengasumsikan bahwa secara hukum KPK adalah lembaga sementara.Eksistensinya bisa dihapuskan sepanjang kepolisian dan kejaksaan sudah mampu memberantas korupsi secara efektif. Kedua, isu pokok yang disampaikan dalam konferensi oleh delegasi Indonesia adalah kegagalan pemerintah dalam mengomandoi agenda pemberantasan korupsi.

Agenda strategis dan penting yang seharusnya dapat berjalan jika ada kemauan politik pemerintah adalah reformasi aparat penegak hukum, terutama kepolisian dan kejaksaan. Catatan merah kedua lembaga ini sudah banyak dikoleksi. Terakhir dalam kasus Gayus Tambunan, salah satu terdakwa kasus mafia pajak yang seharusnya mendekam di penjara Brimob Kelapa Dua, Depok, justru bisa berlenggang kaki ke Bali untuk menyaksikan pertandingan tenis dunia.

Bertubi-tubinya fakta atas bobroknya moral aparatur penegak hukum seharusnya sudah cukup bagi pemerintah untuk menegaskan kembali komitmennya terhadap pemberantasan korupsi.Tentu tidak pada tempatnya kita mengatakan pemerintah takut pada aparat penegak hukum. Barangkali yang lebih tepat, memperbaiki aparat penegak hukum adalah prioritas kerja yang belum mampu diselesaikan oleh pemerintah.

Hilangnya Golden Moment

Sudah banyak momentum perbaikan yang gagal dimanfaatkan dengan baik oleh Presiden. Di luar kasus Gayus yang baru terangkat, kasus rekening gendut di Mabes Polri, kasus penangkapan Urip Tri Gunawan,kasus dugaan keterlibatan aparat penegak hukum dalam berbagai macam praktik kejahatan merupakan golden momentyang hilang karena sikap pemerintah yang tidak jelas.

Sebaliknya,upaya mendorong reformasi penegakan hukum oleh pemerintah masih terlihat kurang serius, terutama saat Presiden lebih memilih untuk mengangkat Kapolri baru Timur Pradopo yang memiliki persoalan latar belakang pada isu penegakan HAM di Indonesia dibandingkan yang lain. Pertimbangannya sungguh sangat politis, sekedar untuk menjaga suhu politik di parlemen tidak bergejolak. Presiden memang telah membentuk Satgas Mafia Hukum, akan tetapi kinerja Satgas Mafia Hukum tidak optimal dan gagal menyentuh akar masalah mafia hukum dan hanya menjadi alat pencitraan pemerintah.

Harus ada keberanian dari Presiden untuk menggebrak dan mengambil alih tongkat komando pemberantasan korupsi. Demikian halnya dengan isu reformasi birokrasi yang dalam survei KPK tahun 2010 tidak mengalami kemajuan.KPK baru saja melansir hasilsurveiIndeksIntegritasSektor Publik yang kesimpulannya mengecewakan. Dari skala integritas tertinggi 10, sektor publik hanya mendapatkan angka rata-rata skor 5,42 , atau turun dibandingkan skor tahun lalu.

Hasil survei itu menggambarkan betapa buruknya kinerja birokrasi dan tingkat korupsi di lembaga birokrasi yang tidak berkurang. Ini sekaligus membuktikan bahwa ternyata kenaikan pendapatan (renumerasi) pegawai negeri bukan jawaban yang tepat untuk menjalankan agenda reformasi birokrasi. Terakhir,Presiden juga belum menandatangani Stranas Pemberantasan Korupsi yang sudah disusun sejak awal pemerintahan SBY-Boediono terbentuk.

Padahal, Stranas Pemberantasan Korupsi merupakan guidelines yang disusun oleh pemerintah untuk mengawal agenda pemberantasan korupsi. Dalam situasi negara acuh tak acuh terhadap pemberantasan korupsi, tampaknya sulit memperbaiki kepercayaan publik terhadap pemerintah dan lembaga penegak hukum.(*)

Adnan Topan Husodo
Wakil Koordinator
Indonesia Corruption Watch (ICW)

Tulisan disalin dari Harian Sindo, 15 November 2010

Thursday, November 04, 2010

Stagnasi Pemberantasan Korupsi

TRANSPARANSI Internasional Indonesia (TII) baru saja melansir hasil survei indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia 2010.

Hasilnya bisa dikatakan mengecewakan. Sebab, nilai terhadap kinerja pemberantasan korupsi di Indonesia tidak berubah jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Skor yang diperoleh Indonesia hanya 2,8 poin atau sama dengan tahun sebelumnya. Tahun ini Indonesia berada di peringkat ke-110 di antara 178 negara dunia yang disurvei.

Dengan peringkat itu, Indonesia hanya disejajarkan dengan negara seperti Bolivia, Gabon, Kepulauan Solomon, dan Kosovo.

Sementara itu, pada level Asia Tenggara, Indonesia masih kalah jauh oleh Singapura (9,3), Brunei Darussalam (5,5), Malaysia (4,4), dan Thailand (3,5). Indonesia hanya berada di atas negara lemah, seperti Vietnam, Timor Leste, Filipina, Kamboja, dan Myanmar.

Stagnasi prestasi pemberantasan korupsi pada 2010 tentu saja merugikan. Sebab, itu berarti kita telah melewati waktu setahun dengan sia-sia.

Demikian halnya dengan ongkos serta energi yang telah dialokasikan untuk mendorong pemberantasan korupsi, hanya sanggup menjaga posisi Indonesia pada level yang sama dengan tahun sebelumnya tanpa bisa mendongkraknya ke tingkat yang lebih tinggi.

Dengan IPK itu, semakin sulit bagi Indonesia meraih peringkat yang lebih baik pada tahun-tahun mendatang, apalagi sampai 5,0 poin sebagaimana target Presiden SBY pada 2015.

Mengapa Stagnan?
Paling tidak, ada beberapa persoalan krusial yang mengakibatkan skor IPK Indonesia tak beringsut naik jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Faktor pelemahan KPK dan nasib yang tidak menentu atas kasus Bibit dan Chandra selama periode 2009-2010 menjadi salah satu pemicu stagnasi pemberantasan korupsi di Indonesia.

Bagaimanapun, harus diakui KPK merupakan salah satu faktor yang dapat mendongkrak peringkat pemberantasan korupsi Indonesia di mata internasional. Di sisi lain, kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum lain tidak kunjung pulih.

Sebaliknya, kepolisian dan kejaksaan justru selama ini dituding sebagai pihak yang berada di belakang kriminalisasi terhadap pimpinan KPK tersebut. Kasus dugaan mafia pajak yang melibatkan Gayus Tambunan juga tak bisa dilepaskan dari keterlibatan aparat penegak hukum di kepolisian maupun kejaksaan.

Lambannya program reformasi pada tubuh penegak hukum dapat dilihat juga dalam laporan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) per September 2010.

Data pengaduan masyarakat terhadap dugaan penyimpangan oleh aparat kepolisian di 32 entitas setingkat polda dan Mabes Polri menunjukkan bahwa 1.106 di antara 1.199 keluhan masyarakat berada pada satuan reskrim.

Sisanya merupakan keluhan pada fungsi samapta, lantas, intelijen, dan bina mitra. Data statistik tersebut bisa diartikan bahwa dalam fungsi penegakan hukum yang diwakili reskrim, kinerja Kepolisian RI masih dikategorikan buruk.

Laporan mengenai rekayasa perkara, manipulasi alat bukti, penolakan laporan masyarakat, dan kriminalisasi terhadap kasus perdata yang semua itu dikategorikan sebagai unfair trail juga telah menjadi catatan tersendiri Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta pada 2010.

IPK 2010 harus menjadi kritik sekaligus masukan yang berharga bagi Presiden SBY. Pertimbangannya, agenda pemberantasan korupsi berada pada garis komandonya.

Lambannya untuk tidak mengatakan stagnan agenda reformasi pada berbagai sektor, khususnya penegak hukum, perlu menjadi catatan yang serius bagi presiden.

Sebab, itu bisa diartikan sebagai kegagalan presiden dalam mengawal perbaikan pada lembaga penegak hukum.

Mendongkrak Citra Positif
Selain pekerjaan rumah untuk memoles citra positif penegak hukum yang masih berat, agenda pemberantasan korupsi bertumpu pada agenda reformasi birokrasi.

Dengan perbaikan pada sektor itu, publik akan secara langsung menikmati pelayanan yang lebih baik. Mulai pelayanan dasar, perizinan, maupun pengurusan hal lain.

Membaiknya pelayanan publik menandakan keberhasilan reformasi pada sektor birokrasi. Sebaliknya, kegagalan reformasi birokrasi dapat dilihat dari masih buruknya kualitas pelayanan publik.

Masalahnya, survei integritas sektor publik yang dilansir KPK pada awal November 2010 menunjukkan belum membaiknya mutu pelayanan publik secara umum.

Survei yang berlangsung pada April-Agustus 2010 tersebut dilakukan terhadap 353 unit layanan yang tersebar di 23 instansi pusat, 6 instansi vertical, dan 22 pemerintah kota.

Kegiatan itu melibatkan responden pengguna layanan sebanyak 12.616 orang. Mereka terdiri atas 2.763 responden di tingkat pusat, 7.730 responden di tingkat instansi vertikal, dan 2.123 responden di tingkat pemerintah kota.

Seluruh responden merupakan pengguna langsung layanan publik yang disurvei dalam setahun terakhir. KPK menggunakan ukuran standar minimal integritas sebesar 6,00 dari skala 0-10,00. Artinya, semakin besar nilai, semakin baik integritasnya.

Hasilnya, indeks integritas nasional tahun ini hanya berada pada level 5,42 atau separo dari skala 10,00 sebagai nilai tertinggi. Indeks integritas nasional merupakan nilai rata-rata dari sektor publik di tingkat nasional, instansi vertikal, dan pemerintah kota.

Padahal, program remunerasi yang dicanangkan pemerintah sebagai pemicu bagi perbaikan sektor birokrasi sudah diaplikasikan pada beberapa instansi pemerintah.

Barangkali perlu ada evaluasi ulang, apakah strategi menaikkan remunerasi merupakan solusi yang efektif untuk mempercepat agenda reformasi birokrasi. Terakhir, menurunnya tingkat korupsi dapat ditandai dengan semakin efektifnya penerimaan dan penggunaan anggaran negara di pusat maupun daerah.

Berdasar laporan hasil pemeriksaan semester I 2010 oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), ditemukan beberapa hal positif. Salah satunya adalah bertambahnya jumlah laporan keuangan di tingkat pemerintah pusat maupun daerah yang mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian (WTP).

Sebaliknya, yang mendapatkan predikat disclaimer turun. Sebanyak 44 di antara 78 laporan keuangan kementerian/lembaga (LKKL) di tingkat pusat mendapatkan opini WTP, naik sepuluh laporan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya 34.

Sementara itu, delapan laporan mendapatkan opini disclaimer atau turun sepuluh laporan dari tahun sebelumnya. Pada tiga hal tersebut, IPK Indonesia dipertaruhkan.

Karena itu, strategi pemberantasan korupsi harus diarahkan demi terciptanya pemulihan kepercayaan publik terhadap penegak hukum, perbaikan kualitas pelayanan publik, serta semakin efisien dan efektifnya penerimaan dan penggunaan anggaran negara.

Dengan strategi itu, semoga IPK Indonesia pada masa yang akan datang meningkat signifikan. (*)

Adnan Topan Husodo, wakil koordinator ICW