Sosok mirip Gayus Tambunan yang sempat ditangkap kamera dalam pertandingan tenis Commonwealth Tournament of Champions 2010 di Kuta, Bali—dan kemudian diakui sendiri oleh Gayus sebagai dirinya—menyentak kesadaran publik kembali atas karut-marutnya hukum di Indonesia.
Sulit untuk menyangkal jika Gayus tidak berkeliaran di luar penjara Brimob, Kelapa Dua, Depok, karena semua bukti sudah tidak bisa dibantah lagi.
Hampir semua orang memercayai jika pesakitan berduit seperti Gayus dan orang sejenisnya mudah sekali membeli kebebasan meski sedang berhadapan dengan hukum atas dugaan tindak pidana yang dilakukannya. Tentu tak mungkin kita berharap ada efek jera bagi pelaku kejahatan, terutama yang mengakibatkan kerugian besar bagi keuangan atau perekonomian negara jika penjara justru menjadi tempat yang paling mudah untuk dibeli.
Rasa keadilan publik kian teriris tatkala di balik penjara, Gayus—yang didakwa terlibat praktik mafia pajak dan suap kepada penegak hukum dalam upaya meloloskan dirinya dari hukuman setelah praktik mafia pajak yang dilakukannya terbongkar— dapat kembali menyuap penegak hukum yang menjaga dirinya.
Rumah sangat mentereng, mobil mewah, dan rekening gendut yang masih dikuasainya memudahkan praktik suap-menyuap terjadi. Sangat mungkin, dengan uangnya yang masih bertumpuk, Gayus tidak hanya berada di Bali, tetapi juga di tempat lain yang ia kehendaki.
Gayus sesungguhnya bisa dihukum berat karena kombinasi kejahatan pidana yang dilakukannya. Selain telah merongrong uang negara dari pendapatan pajak, Gayus juga telah memorakporandakan integritas penegak hukum. Dampak dari kejahatan yang dilakukannya sungguh nyata: selain kerugian negara yang sangat mungkin bernilai triliunan rupiah karena ulahnya bermain mata dengan wajib pajak, Gayus juga telah melecehkan hukum sedalam-dalamnya.
Hal yang membuatnya bisa menerima hukuman lebih berat karena dalam perkara pidana yang sedang dihadapi, ia kembali disangka melakukan kejahatan suap agar dapat bebas sementara dari penjara. Namun, barangkali publik justru kian pesimistis dapat menyaksikan dengan mata kepala sendiri Gayus mendapatkan hukuman keras karena gerak-gerik penegak hukum tak menunjukkan iktikad kuat. Sebaliknya, publik luas yang menuntut keadilan dihadapkan dilema, di satu sisi berharap aparat penegak hukum bertindak tegas, di sisi lain masalah utama dari penegakan hukum adalah korupsi yang telah menggurita pada lembaga penegak hukum itu sendiri.
Siapa dapat menjamin, setelah kepergok di Bali dan ditetapkan sebagai tersangka suap, Gayus akan tetap berada di penjara? Dengan uang masih berjibun, apakah tak mungkin Gayus akan kembali menyuap aparat LP?
Karena itu, untuk menyelesaikan kasus Gayus dan kasus serupa, pekerjaan berat yang dihadapi negeri ini adalah bagaimana membersihkan aparat penegak hukum dari praktik korupsi yang sudah sangat sistemik. Kita tak bisa berharap aparat penegak hukum dengan setumpuk rekening gendut mencurigakan akan bisa menjalankan kewajiban hukumnya dengan ideal. Walhasil, kasus-kasus semacam Gayus akan terus mengusik keadilan publik negeri ini.
Pekerjaan rumah Presiden
Kasus memalukan yang kembali menampar wajah Polri merupakan sinyal merah bagi pengambil kebijakan untuk segera menempuh langkah serius membenahi aparat penegak hukum. Jika dianalogikan kanker, korupsi sistemik di tubuh penegak hukum sudah tahap stadium empat. Ini artinya, membenahi penegak hukum tidak bisa lagi diserahkan urusannya hanya kepada mekanis internalnya.
Paling tidak, ketika Kepala Humas Polri mengatakan dalam kasus lepasnya Gayus dikarenakan ada sembilan petugas polisi ”busuk” dalam ”keranjang apel” menunjukkan perspektif yang sempit dalam melihat persoalan korupsi pada lembaga penegak hukum. Cara pandang yang masih mengedepankan faktor individual dalam memberantas korupsi pada tubuh aparat penegak hukum bertolak belakang dengan fakta sebenarnya.
Memang pada tahap korupsi awal, faktor individual yang menyimpang dalam sebuah sistem masih sangat dominan, tetapi jika korupsi sudah sistemik, maka untuk menyelesaikan persoalan ini pendekatan individual sudah tidak dapat lagi digunakan. Pendek kata, perlu ada pembenahan sistematis untuk menutup peluang terjadinya praktik korupsi di tubuh penegak hukum.
Tampaknya Presiden perlu memegang kendali penuh untuk memastikan pembenahan di tubuh aparat penegak hukum berjalan sesuai skenario. Kapolri Timur Pradopo yang telah dipilihnya harus diberi ultimatum untuk segera mengambil langkah cepat dan tegas agar kasus serupa tak berulang. Menghentikan strategi pencitraan akan sangat membantu negeri ini dari keterpurukan karena korupnya aparat penegak hukum. Kita tak ingin menunggu pembusukan di tubuh aparat penegak hukum selesai dengan sendirinya.
Adnan Topan Husodo Wakil Koordinator ICW
Tulisan ini disalin dari Kompas, 20 November 2010
No comments:
Post a Comment