Wednesday, December 30, 2009

Memprivatisasi Hukum, Menyingkirkan Keadilan

Catatan Hukum 2009:

Tahun 2009 dilewati dengan berbagai peristiwa hukum yang dramatis, sekaligus menyedihkan. Kita tentu akrab dengan nama Prita Mulyasari yang menulis uneg-uneg pelayanan rumah sakit lewat email, Mbok Minah yang mengambil 3 biji kakao tanpa ijin pemilik dan sederet wong cilik lainnya yang senasib dengan Prita dan Mbok Minah. Mereka harus berhadapan dengan hukum karena tindakan yang menurut penegak hukum, dikategorikan sebagai pelanggaran pidana. Bahkan untuk kasus tertentu, ‘korban’ hukum tidak hanya orang kecil, akan tetapi juga pejabat negara yang tengah berusaha menegakkan hukum, sebut saja dua pimpinan KPK, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah.


Mereka adalah para korban hukum bercitra rasa teks kaku dan beraroma suap. Hukum yang bekerja dengan kacamata legal-formal, dilumuri oleh gula-gula uang sehingga memproduksi secara terus-menerus rasa ketidakadilan. Padahal secara ideal, hukum menjadi alat untuk memperoleh keadilan. Sebuah ironi yang masih harus kita hadapi dalam sebuah rezim yang menurut kabar, sudah demokratis.


Jika produk hukum adalah ketidakadilan, bangsa ini perlu wamas diri karena kebuntuan dalam mencari kebenaran akan dipecahkan dengan cara-cara yang tak beradab. Main hakim sendiri, kekerasan dan berbagai cara apapun yang mengarah pada vandalisme mengindikasikan reaksi atas kerja hukum yang juga serampangan. Oleh karena itu, mengutuk masyarakat yang senang dengan tindakan main hakim sendiri adalah sebuah kekeliruan mendasar jika tidak menjawab persoalan krusial atas jatuhnya kredibilitas hukum dimata publik.


Hukum Milik Perorangan


Menyelidiki hancurnya citra hukum (dan penegaknya) dapat dimulai dengan sebuah pertanyaan, mengapa hukum hanya berlaku hanya untuk orang biasa? Jika diasumsikan proses hukum adalah netral, dalam pengertian berlaku untuk semua orang, maka dalam realitasnya, sejak awal hingga selesainya, proses hukum bisa diarahkan. Siapa yang mengarahkan, kebanyakan dari mereka adalah orang atau kelompok yang memiliki kekuasaan untuk menggerakkan hukum beserta aparaturnya. Hukum pada akhirnya tak beda dengan mesin-mesin berat yang digunakan oleh Satpol PP untuk menggusur kios-kios liar pedagang kaki lima dan rumah-rumah kumuh di bantaran sungai.


Pendek kata, hukum di Indonesia telah diprivatisasi oleh sekelompok orang yang memiliki kekuasaan formal maupun uang. Lihat saja dalam kasus Cicak versus Buaya, dimana aktor utamanya, Anggodo sangat lugas mengatur proses hukum di Kepolisian untuk menjerat Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah, dua Pimpinan KPK yang dijadikan sebagai tersangka atas dugaan pelanggaran pidana yang tidak pernah jelas. Anggodo bak Kapolri tanpa seragam resmi dan tongkat komando, akan tetapi kekuasaannya bisa melebihi Kapolri yang sesungguhnya.


Anggodo dan orang-orang sejenisnya adalah perental hukum, menyewa penegak hukum agar berbuat dan bertindak sesuai dengan keinginannya. Fakta, bukti yuridis dan pasal-pasal pemidanaan dapat dikreasi sedemikian rupa supaya serasi dengan kebutuhan penyewa. Cacat hukum bisa menjadi sangat sempurna jika sudah disajikan dalam tuntutan dan dakwaan resmi di muka pengadilan. Dengan bahasa lain, hukum di Indonesia telah menjadi bisnis jasa. Anda memiliki banyak uang, berarti anda bisa memakainya. Jika tidak, lupakan soal keadilan karena keadilan ditentukan oleh seberapa banyak anda memiliki uang.


KPK sebagai Sandera Kekuasaan


Prita, Mbok Minah dan KPK adalah sama dan senasib meski dalam ruang dan dimensi yang berbeda. Jika hukum konvensional sudah dianggap gagal menjalankan misinya, keberadaan KPK dimaksudkan untuk merehabilitasi ketidakpercayaan publik yang akut terhadap penegakan hukum, khususnya dalam kasus korupsi. Pemulihan kepercayaan itu ditunjukkan dengan menyeret para pejabat negara ke pengadilan, mulai dari Kepala Daerah, mantan Menteri, Gubernur Bank Sentral, anggota DPR, hingga besan Presiden.


Namun tindakan KPK tampaknya membuat beberapa kalangan merasa tidak nyaman. Usaha untuk menjegal KPK yang telah mendapatkan kepercayaan publik yang cukup besar puncaknya ada pada kasus Cicak versus Buaya. Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah adalah simbol penganiayaan politik terhadap KPK yang telah terjadi terus menerus.


Sejak awal hingga sekarang, sejarah KPK memang dipenuhi oleh intrik dan upaya penjegalan. Wewenangnya terus dipersoalkan, produk hukumnya digugat, dasar hukumnya dijudicial review, kinerjanya diragukan dan pimpinannya dipidanakan. Dan mereka yang mempersoalkan KPK adalah elit politik, anggota DPR, pejabat Kepolisian dan Kejaksaan dan pengacara terdakwa korupsi.


Coba tengok, tak satupun bagian dari institusi negara yang ada memberikan dukungan terhadap KPK, kecuali putusan Mahkamah Konstitusi dan publik luas, termasuk pers. Ketika Bibit dan Chandra dipidanakan oleh Polisi, yang berada dibelakang KPK adalah publik dan media massa. Demonstrasi, protes di berbagai daerah dan tekanan publik melalui pemberitaan wartawan sangat memberikan pengaruh atas keputusan politik di level elit. Oleh Karena itu, sangat lucu jika Presiden SBY dalam pidatonya menyatakan akan berada di belakang KPK, akan tetapi baru mengambil keputusan ketika tekanan publik padanya sudah sangat keras.


Utang Budi KPK


Secara umum, tak akan banyak yang berubah dari kinerja hukum pada 2010. Usaha mengincar dan menjegal KPK akan terus terjadi, seiring dengan lahirnya RPP Penyadapan yang dirancang oleh Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo). Secara substansial, draft tersebut tak ada yang mendukung penegakan hukum, kecuali sebuah agenda tersembunyi dari kekuasaan politik untuk ‘mengontrol’ KPK.


Publik hanya dapat berharap banyak dari usaha penegakan hukum korupsi yang dilakukan KPK. Perlu dicatat bahwa penyelamatan KPK yang gemilang pada 2009 kemarin merupakan utang budi KPK yang harus dibayar kepada publik. Dukungan publik kepada KPK bukanlah cek kosong karena dibalik semua itu, ada harapan publik yang terus-menerus menyala dan KPK harus menjaganya supaya tidak redup ditelan kekecewaan.

****

Tuesday, December 29, 2009

2009: Tahun Pelemahan KPK

PADA 2009, situasi pemberantasan korupsi di Indonesia diwarnai berbagai hal ironis. Di satu sisi, Indonesia dinilai mengalami banyak kemajuan atas meningkatnya indeks persepsi korupsi (IPK). Tetapi pada sisi yang berbeda, lembaga penegak hukum (KPK) yang turut memberikan kontribusi terhadap kenaikan IPK harus menghadapi banyak batu sandungan. Terakhir, dua pimpinannya, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah, dikriminalisasi oleh kepolisian atas inisiatif dan rancangan seorang makelar kasus, Anggodo. Meski akhirnya kasus mereka berhenti karena tekanan publik yang keras, itu tidak menghilangkan sebuah fakta bahwa mafia keadilan masih bercokol kuat di institusi penegak hukum kita.

Pada level politik, dukungan untuk memberantas korupsi hampir tidak tampak. Bahkan, seorang Presiden SBY yang namanya disebut beberapa kali dalam rekaman pembicaraan Anggodo tidak menunjukkan respons yang memadai atas gentingnya kondisi hukum di Indonesia. Tim pemberantasan mafia hukum memang telah dibentuk SBY pascarekaman Anggodo diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi (MK), tetapi secara real, belum ada tindakan istimewa dalam rangka melawan jaringan mafia peradilan.

Demikian pula halnya di tingkat parlemen, cecaran terhadap KPK dalam rapat dengar pendapat dengan DPR jauh lebih menonjol daripada iktikad baik untuk bersama-sama KPK memberantas korupsi. Bahkan, anggota parlemen yang memiliki otoritas membentuk UU turut mengamini dan sangat bersemangat memereteli wewenang KPK. Itu sangat mungkin terjadi karena banyak anggota DPR yang ditangkap dan diproses hukum oleh KPK dalam kasus korupsi.

KPK Musuh Penguasa

Jika korupsi merupakan musuh bersama masyarakat, sebaliknya KPK yang telah menunjukkan kinerja cukup baik dalam memberantas korupsi adalah musuh bersama elite penguasa. Sepanjang sejarah keberadaan KPK, upaya melemahkan lembaga antikorupsi tersebut telah berlangsung sistematis dan tanpa henti. Usaha itu kian intens pada 2009, yang berujung pada konflik cicak versus buaya.

Setidaknya, dari konflik cicak versus buaya, kita dapat mengidentifikasi aktor-aktor besar yang menginginkan supaya KPK tidak terlalu banyak ''bertingkah''. Pertama, mereka yang menggunakan baju kebesaran sebagai wakil rakyat. Kita tentu masih ingat respons anggota DPR terhadap persoalan Bibit dan Chandra. Dengan bersembunyi di balik argumentasi proses yuridis yang harus dihormati, mereka meminta kerja kepolisian dalam melanjutkan kasus Bibit dan Chandra tidak diganggu. Hanya segelintir anggota DPR yang meminta supaya persoalan kriminalisasi terhadap dua pimpinan KPK dihentikan oleh kepolisian.

Di luar kasus Bibit dan Chandra, dasar hukum KPK yang dituangkan dalam UU No 30 Tahun 2002 juga diutak-atik oleh DPR. Terutama pada sisi wewenang KPK untuk melakukan penyadapan dan penuntutan kasus korupsi. Meski usaha memereteli otoritas KPK yang menjadi faktor determinan bagi keberhasilan KPK dalam mengungkap kasus korupsi telah gagal, hal itu tidak menutupi sebuah fakta bahwa DPR secara telanjang tidak menginginkan KPK memiliki kewenangan besar untuk memberantas korupsi. Ibarat buah simalakama, UU KPK yang telah dirancang DPR pada akhirnya juga menyeret anggota DPR sendiri ke hadapan hukum.

Kedua, penguasa di sektor bisnis seperti Anggodo. Di luar Anggodo yang kedapatan menjalin komunikasi ''mesra'' dengan aparat penegak hukum untuk menjerat dua pimpinan KPK, sebenarnya masih banyak Anggodo-Anggodo lain yang juga geram terhadap sepak terjang KPK. Mereka adalah para pengusaha yang besar karena mendapatkan kontrak-kontrak pemerintah maupun akses pendanaan dari bank-bank pemerintah melalui cara-cara KKN.

Ketiga, penguasa hukum yang menjadi pejabat di kepolisian maupun kejaksaan. Jika ditelusuri sejarahnya, rencana membentuk KPK sudah ditentang elite kejaksaan dan kepolisian. Mereka beranggapan kerja-kerja KPK akan tumpang tindih dengan kerja-kerja penegak hukum yang sudah ada.

Dalam perkembangannya, KPK dalam waktu yang tidak terlalu lama sudah menjelma menjadi idola publik dalam memberantas korupsi. Sementara kejaksaan dan kepolisian harus terus menangkis kritik publik atas kinerja mereka yang tidak memuaskan dalam memberantas korupsi. Jika kita tengok kasus Bibit dan Chandra, nama-nama petinggi kepolisian dan kejaksaan ikut disebut-sebut dalam rekaman Anggodo.

Politik Pelemahan KPK

Sepanjang 2004-2009, usaha pelemahan terhadap KPK dilakukan tanpa henti. Inisiatif untuk ''mengendalikan'' KPK terus bermunculan. Secara umum, terdapat tiga cara utama dalam melemahkan KPK.

Pertama, melalui proses legislasi dan berbagai produk peraturan lainnya. Karena landasan KPK dalam bekerja adalah aturan, maka mengutak-atik aturan maupun produk hukum yang berhubungan dengan wewenang KPK adalah strategi politik yang jitu untuk melemahkan KPK.

Jika DPR dan pemerintah hendak mengatur wewenang KPK atau mengurangi wewenang KPK, itu merupakan bagian dari usaha ''mengendalikan'' KPK. Terakhir, Depkominfo menerbitkan draf RPP Penyadapan yang jika dikritisi lebih jauh, tidak ada satu ayat atau pasal pun yang mendukung kerja-kerja pemberantasan korupsi KPK.

Kedua, melalui gugatan hukum atas UU yang memayungi KPK maupun mempersoalkan proses penegakan hukum KPK. Modus ini sudah berlangsung sejak lama mengingat UU KPK adalah UU yang paling banyak digugat melalui judicial review di MK. Demikian juga, proses penegakan hukum KPK sering dipraperadilankan dengan alasan tidak sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketiga, melalui kriminalisasi terhadap KPK. Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah adalah dua pimpinan KPK yang menjadi simbol atas usaha kriminalisasi KPK. Untuk meredam langkah KPK dalam mengungkap kasus-kasus korupsi tertentu, pimpinan KPK perlu dipidana sehingga pengambilan keputusan tidak dapat dilakukan.

Tampaknya, pemberantasan korupsi di Indonesia masih menjadi urusan publik dan pers semata sehingga ketika KPK hendak dilemahkan, yang berteriak lantang untuk menentang adalah masyarakat dan media massa. Oleh karena itu, KPK, publik, dan pers harus terus mewaspadai usaha pelemahan KPK yang sangat mungkin akan muncul kembali pada 2010. (*)

*). Adnan Topan Husodo, wakil koordinator ICW

Tulisan dimuat di harian Jawa Pos, 29 Desember 2009

Monday, November 23, 2009

Menyelamatkan IPK Indonesia

SUDAH berjalan dua tahun berturut-turut, yakni pada 2008 dan 2009, indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia meningkat. Jika pada survei 2008, IPK Indonesia adalah 2,6 atau naik 0,3 poin jika dibandingkan dengan IPK 2007, pada 2009 IPK Indonesia kembali meningkat menjadi 2,8. Meski demikian, kita tidak boleh buru-buru berpuas diri mengingat pada skala IPK global, Indonesia masih dalam kategori negara yang dipersepsikan rawan korupsi.

Hal itu akan semakin jelas jika kita membandingkan IPK Indonesia dengan negara lain, meski sebatas kawanan Asia Tenggara. Hingga 2009, kita masih sangat tertinggal jauh dari Malaysia (4,5), Singapura, Brunei Darussalam (5,5), dan Thailand (3,3).

IPK sebagai pendekatan ilmiah telah diakui secara global sebagai instrumen untuk mengukur keadaan korupsi di sebuah negara. Gambaran IPK menjadi urgen dalam konteks Indonesia mengingat hingga saat ini, kita masih berjuang terus-menerus untuk memberantas korupsi.

Mestinya, kecenderungan yang positif itu terus dipelihara dengan mengawal agenda pemberantasan korupsi pada aras yang tepat. Sangat mungkin jika upaya pemberantasan korupsi melemah, pada 2010 atau tahun setelahnya, IPK Indonesia kembali merosot.

Inkonsistensi skor IPK Indonesia dapat dirujuk pada tahun-tahun sebelumnya. Indonesia selalu berada pada level yang fluktuatif, yakni dari skor 2,0 (2004), 2,2 (2005), 2,4 (2006), dan 2,3 (2007). Naik turunnya IPK Indonesia dapat dibaca sebagai gagalnya pemerintah dalam mendorong agenda pemberantasan korupsi secara lebih serius. Dengan bahasa lain, ketika pemberantasan korupsi sudah membaik, ganjalan kemudian datang. Contoh yang paling aktual adalah kriminalisasi terhadap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini.

Faktor Penguat IPK


Sebagaimana rilis IPK 2009 yang dilansir TII, meningkatnya IPK Indonesia pada 2009 lebih disebabkan faktor kinerja pemberantasan korupsi oleh KPK dan agenda reformasi birokrasi yang didorong Departemen Keuangan. Itu berarti para responden survei IPK yang terdiri atas pelaku bisnis dan pengamat negara menilai tingkat keseriusan Indonesia dalam memberantas korupsi baru muncul pada dua institusi tersebut.

Harus diakui, sedikit banyak kiprah KPK telah memberikan warna bagi Indonesia di mata dunia internasional (baca: investor). Keberanian KPK dalam membongkar korupsi tingkat tinggi turut membentuk persepsi publik bahwa Indonesia mulai serius dalam memberantas korupsi.

Bank Dunia melalui IFC (International Finance Cooperation) secara rutin memantau perkembangan iklim usaha dunia, termasuk di Indonesia. Doing Business sebagai judul riset rutin Bank Dunia menggunakan instrumen kemudahan birokrasi perizinan untuk mengukur tingkat iklim usaha dunia. Jika dalam birokrasi perizinan masih sangat kuat praktik pemerasan, suap-menyuap yang melahirkan ketidakpastian dalam memperoleh pelayanan usaha, bisa dipastikan di mata internasional, peringkat iklim usaha negara itu akan jeblok.

Seiring dengan sepak terjang KPK, reformasi di Departemen Keuangan juga secara tidak langsung telah memengaruhi secara positif persepsi pelaku bisnis, khususnya pada sektor pajak dan bea cukai. Paling tidak, langkah konkret yang telah diambil otoritas dalam mengimplementasikan reformasi birokrasi di Departemen Keuangan adalah dipecatnya ratusan pegawai Depkeu karena melanggar kode etik PNS maupun terlibat dalam indikasi tindak pidana.

Kriminalisasi KPK


Tentu saja menjadi sangat ironis jika di satu sisi KPK merupakan salah satu faktor pendorong naiknya IPK Indonesia. Tapi, di sisi lain, eksistensi KPK justru terancam. Sebenarnya sudah menjadi siklus alamiah jika sebuah badan baru yang dibentuk untuk memberantas korupsi telah berani mengusik wilayah status quo, serangan balik akan dialami.

Kecenderungan itu tidak hanya terjadi dalam konteks KPK Indonesia. Di Burundi, negara di belahan Afrika sana, salah satu anggota komisioner badan antikorupsi indepedennya dibunuh karena sepak terjangnya dalam memberantas korupsi. Di belahan Afrika lainnya, Nigeria, ketua KPKnya harus melarikan diri ke Amerika Serikat karena diintimidasi sekaligus dipecat dari jabatannya karena berani memproses kasus dugaan korupsi yang melibatkan karib presiden Nigeria.

Di Korea Selatan, KICAC (Korean Independent Commission Againts Corruption) dibubarkan dan dilebur ke dalam sebuah badan baru yang tidak lagi memiliki kewenangan penindakan. Salah satu mantan komisionernya, Kim Geu Song, yang secara langsung berdiskusi dengan penulis pada sela-sela Konferensi UNCAC di Doha, Qatar, beberapa waktu lalu juga ditetapkan sebagai tersangka karena dianggap menyalahgunakan keuangan KICAC.

Saat ini, kata kunci bagi keselamatan KPK ada pada Presiden SBY. Jika SBY memiliki komitmen yang kuat dalam memberantas korupsi, seharusnya IPK Indonesia yang sudah membaik akan tetap dipertahankan. Konflik cicak lawan buaya yang tidak ada ujung pangkalnya hanya akan merusak capaian positif dari agenda pemberantasan korupsi.

Presiden SBY tidak hanya berurusan dengan publik di Indonesia jika masalah kriminalisasi terhadap KPK tidak segera diputuskan. Tetapi, juga berhadapan dengan komunitas internasional yang dipayungi oleh PBB. Indonesia sebagai salah satu negara peserta UNCAC saat ini terikat dengan sebuah resolusi yang dikeluarkan pada Konferensi UNCAC ketiga di Doha. Negara peserta UNCAC harus memastikan keberadaan badan antikorupsi dengan menjaga independensinya dan memperkuat kapasitasnya serta sekaligus menjaga badan itu dari berbagai pengaruh yang tidak diinginkan. Wallahu a'lam. (*)

*) Adnan Topan Husodo , wakil koordinator ICW


Tulisan disalin dari harian Jawa Pos, 23 November 2009

Wednesday, November 18, 2009

Menanti Ketegasan SBY

Oleh sebagian kalangan, Presiden SBY dikenal sebagai pemimpin yang peragu. Bahkan namanya pun kerap diplesetkan menjadi Soesilo 'Bimbang' Yudhoyono. Tak heran karena banyaknya pertimbangan dan perhitungan dalam mengambil keputusan, momentum krusial yang harus segera diputuskan menjadi lepas.

Terlalu menekankan aspek harmonisasi dalam setiap pengambilan keputusan menjadi salah satu pemicu adanya keraguan atau kebimbangan. Yang muncul ke permukaan bukan sosoknya sebagai seorang mantan perwira TNI, akan tetapi lebih lekatnya budaya Jawa pada dirinya. Oleh karena itu tidak heran jika muncul kesan Presiden memiliki dualisme dalam mengambil posisi. Pada konteks kasus Cicak lawan Buaya, hal ini sangat jelas terlihat.

Kini publik ingin melihat SBY sebagai seorang Presiden yang tegas. Rekomendasi Tim 8 yang dibentuk sebagai respon atas tekanan publik berkaitan dengan penahanan Bibit dan Chandra telah disampaikan kemarin. Pada intinya, rekomendasi Tim 8 terbagi ke dalam tiga aspek utama.

Pertama, usulan untuk menghentikan proses hukum terhadap kasus Bibit dan Chandra mengingat bukti yang dimiliki Polri sangat lemah. Penghentian itu bisa dengan mengeluarkan SP3 di Mabes Polri atau mendeponir kasus jika berkas perkara sudah P21 di Kejaksaan Agung.

Kedua, indikasi kuat adanya mafia hukum atau makelar kasus yang direpresentasikan oleh Anggodo dan beberapa pihak lain. Tim 8 menemukan sebuah fakta bahwa Anggodo adalah tokoh yang mengatur sedemikian rupa agar Bibit dan Chandra dapat menjadi tersangka. Ambisi Anggodo untuk menghentikan kasus PT Masaro (SKRT) bertemu dengan kepentingan Kabareskrim Polri, Susno Duadji yang kebakaran jenggot karena disadap oleh KPK dalam kasus Bank Century.

Ketiga, pemberian sanksi hukum tegas kepada berbagai pihak, baik pejabat yang ada di Kepolisian maupun Kejaksaan serta pihak lain yang dengan kekuatan uang, telah mengatur proses hukum. Tim 8 juga menyarankan agar Presiden membentuk Komisi Negara untuk mengawal reformasi lembaga hukum di Indonesia.

Penghentian Kasus Bibit dan Chandra

Sebelum rekomendasi Tim 8 diserahkan kepada Presiden, SBY menyempatkan diri untuk bertemu terlebih dahulu dengan Kapolri dan Jaksa Agung. Hal ini tentu saja menimbulkan pertanyaan, apa yang sebenarnya dibicarakan? Secara positif, mungkin saja SBY telah mendengar atau mendapatkan bocoran mengenai isi rekomendasi Tim 8 sehingga pemanggilan terhadap Jaksa Agung dan Kapolri bisa dibaca sebagai teguran keras Presiden terhadap perilaku aparat penegak hukum kita.

Penulis mendengar informasi dari dalam Istana jika pada awalnya, Presiden sangat yakin bahwa kasus Bibit dan Chandra adalah sebuah fakta hukum. Isu mengenai pelemahan terhadap KPK pun ditepisnya. Akan tetapi setelah Tim 8 bekerja dan mengeluarkan rekomendasi, barangkali Presiden baru sadar bahwa informasi yang selama ini mengalir ke Istana sama sekali tidak akurat. Pertanyaannya, siapa yang menyampaikan informasi terus menerus kepada SBY sehingga Presiden sangat yakin bahwa Bibit dan Chandra telah melakukan pelanggaran hukum?

Penghentian kasus Bibit dan Chandra sebagaimana rekomendasi Tim 8 sering dibenturkan dengan argumentasi legal-formal bahwa proses hukum tidak boleh dihentikan karena tekanan politik atau opini publik. Presiden sendiri kadang terjebak pada format penalaran demikian sehingga ketika publik menuntut agar kriminalisasi Bibit dan Chandra dihentikan oleh Presiden, SBY beralasan bahwa dirinya tidak ingin mengintervensi hukum.

Satu hal yang harus diingat bahwa kriminalisasi atau rekayasa bukanlah proses hukum. Tentu saja publik akan sangat mengapresiasi aparat penegak hukum yang menjalankan fungsinya sebagai penegak hukum. Namun manakala penegakan hukum telah didesain sedemikian rupa untuk menjadikan seseorang sebagai pesakitan, maka pada saat yang bersamaan, proses hukum itu sendiri menjadi gugur maknanya. Oleh karena itu, dalam kasus Bibit dan Chandra, kita tidak dapat mengkategorikan hal ini sebagai proses hukum, yang kuat adalah aroma krinimalisasi. Dengan demikian, Presiden memiliki posisi jelas untuk menghentikan kriminalisasi itu.

Mafia Hukum

Rekomendasi Tim 8 lainnya adalah bagaimana Presiden mengambil peran sentral dalam memerangi mafia hukum. Makelar kasus yang bergentayangan di lembaga-lembaga penegak hukum merupakan sebuah fakta yang tidak bisa diingkari lagi. Rekaman pembicaraan Anggodo dengan berbagai pihak telah menunjukkan dengan sangat telanjang, bagaimana mafia hukum beroperasi. Barangkali jika kita bisa mendengar pada kasus-kasus lain, akan banyak Anggodo-Anggodo lain pula yang memainkan peran sebagai pengatur.

Akan tetapi, sampai hari ini, SBY hanya merespon dengan sangat normatif. Pertama, meletakkan perang terhadap mafia hukum sebagai prioritas program 100 hari SBY. Kedua, membuat kotak pos pengaduan sebagai instrumen untuk memerangi mafia hukum. Kita tentu masih ingat bahwa sebelumnya, Presiden juga telah membuat berbagai macam kotak pos pengaduan. Dalam beberapa hal kotak pos mungkin dapat menjadi alat untuk mendapatkan informasi langsung mengenai apa yang terjadi pada masyarakat. Akan tetapi kotak pos tidak mungkin bisa menjadi alat yang efektif untuk memberantas mafia hukum.

SBY semestinya melakukan langkah-langkah darurat untuk memulihkan lembaga penegak hukum yang sudah lumpuh oleh praktek mafia hukum melalui perubahan struktur. Pencopotan Jaksa Agung dan Kapolri merupakan langkah pertama yang segera diputuskan. Argumentasinya sederhana, kedua orang itu sangat bertanggungjawab terhadap apa yang telah terjadi dalam kasus Bibit dan Chandra.

Suburnya praktek mafia hukum di institusi Kepolisian dan Kejaksaan menunjukkan bahwa Kapolri dan Jaksa Agung gagal dalam menjalankan misi perubahan. Apalagi jika posisinya, kedua pejabat itu mengetahui tingkah laku anak buahnya dalam menggiring sebuah kasus, akan tetapi tidak melakukan tindakan apapun. Pembiaran terhadap sepak terjang anak buahnya dalam menyalahgunakan jabatan dan wewenang merupakan sebuah kesalahan substansial seorang Pemimpin yang tidak bisa ditoleransi.

Langkah berikutnya, seiring dengan rekomendasi Tim 8, Presiden harus memulihkan kondisi KPK yang secara langsung mendapatkan pengaruh negatif atas usaha kriminalisasi terhadap Pimpinannya. Jaminan dari Presiden bahwa dalam mengambil keputusan, Pimpinan KPK tidak akan dikriminalisasi merupakan langkah positif untuk memberikan keyakinan penuh sekaligus sinyal dukungan Presiden terhadap eksistensi KPK.

Harus diakui, sedikit banyak, KPK telah memberikan kontribusi penting untuk memerangi mafia hukum di Indonesia. Tertangkapnya Urip Tri Gunawan beserta makelar kasusnya, Arthalyta (Ayin) seharusnya menjadi momentum stragegis bagi SBY untuk melakukan pembersihan di tubuh aparat penegak hukum. Kita menyesal pada saat itu, Presiden tidak mengambil posisi apapun. Kini, Anggodo adalah momentum yang lain. Kita tidak ingin Presiden kembali diam sehingga akan muncul Anggodo-Anggodo berikutnya.

****
Tulisan dimuat di harian Seputar Indonesia, Kamis, 19 November 2009

Saturday, November 07, 2009

Reality Show Penegakan Hukum

Boleh dibilang, wacana kriminalisasi dua Pimpinan KPK oleh Mabes Polri paska penahanan Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah terbagi ke dalam dua babak besar. Babak pertama adalah pemutaran rekaman pembicaraan antara Anggodo Widojo (AW) dengan para pihak, baik pejabat di Kejaksaan Agung maupun orang-orang yang berasal dari Mabes Polri serta pihak ketiga dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK). Sementara babak kedua adalah masuknya isu 'proses hukum' Bibit dan Chandra dalam panggung politik parlemen yang dimulai dengan digelarnya Rapat Dengar Pendapat antara Komisi III DPR dengan Mabes Polri kemarin.

Membandingkan dua episode cerita diatas, terasa ada kesan yang sangat berbeda. Rekaman pembicaraan AW dengan lawan bicaranya yang diperdengarkan kepada publik dalam sidang MK tentu dibuat tanpa skenario, alamiah, apa adanya, blak-blakan dan mengandung berbagai macam informasi penting yang bisa diserap. Hal itu mengingat AW tidak tahu sama sekali jika dirinya tengah disadap oleh KPK. Demikian pula lawan bicara AW juga sangat mungkin tidak mengendus sama sekali soal penyadapan itu. Justru karena ketidaktahuan mereka itulah komunikasi dua arah yang diungkap oleh MK sangat mustahil merupakan hasil rekayasa KPK, sebagaimana tudingan pengacara AW, Bonaran Situmeang yang disampaikan kepada media massa.

Dirty talked antara adik buron kasus korupsi SKRT yang masih disidik KPK, Anggoro Widjojo dengan aparat penegak hukum dan para perantara telah menyingkap sedalam-dalamnya realitas mafia hukum yang selama ini kerap ditutup kabut pembuktian. Tidak ada yang bisa mengelak dari semua kebenaran pembicaraan itu, sekali lagi karena mengingat tidak ada skenario sama sekali, meskipun jika melongok materi pembicaraan, yang sedang digagas adalah sebuah skenario besar oleh sutradara bernama AW. Kemarahan publik atas skandal menggemparkan itu tak terbendung. Dukungan terhadap Bibit dan Chandra di jejaring sosial sudah menembus angka 900 ribu. Forum-forum diskusi publik di media online semarak, aksi massa di berbagai daerah merebak dan tuntutan yang lebih besar untuk mendorong reformasi total di lembaga kepolisian dan kejaksaan juga bergema dimana-mana.

Panggung Politik Pencitraan

Sayangnya, dorongan publik yang begitu keras agar ada pembenahan yang serius di tubuh Kepolisian dan Kejaksaan tidak direspon secara serius oleh petinggi Gedung Bundar dan Trunojoyo. Mundurnya A.H Ritonga, Wakil Jaksa Agung dan Susno Duadji (SD), Kabareskrim Polri hanya merupakan respon sesaat yang tidak dilandasi oleh semangat perubahan. Terbukti, Jaksa Agung, Hendarman Supandji justru menyesalkan sikap Ritonga yang mengundurkan diri, sementara dalam RDP Mabes Polri-Komisi III, publik baru menyadari bahwa SD ternyata tidak mundur selamanya, akan tetapi sementara waktu saja sepanjang pemeriksaan yang dilakukan TPF digelar. Kapolri sendiri menjamin, SD akan kembali menjadi Kabareskrim jika TPF sudah selesai menjalankan tugasnya.

Dari sikap diatas, ada sebuah kesimpulan sementara yang bisa ditarik bahwa rekaman pembicaraan antara AW dengan berbagai kalangan tidak dianggap sama sekali oleh Kapolri. Persahabatan yang intim antara penjahat dengan penegak hukum dipandang bukan merupakan masalah yang serius. Sebaliknya, dengan berlindung dibalik asas legal-formal, Kapolri masih harus menunggu kepastian mengenai benar-tidaknya rekaman tersebut, perlu mengajak saksi ahli, pihak ini dan itu untuk memastikan bahwa sang sutradara, AW dapat dipidana. Semua bergerak sangat lamban. Bahkan, setelah didengarnya rekaman itu di MK, penegakan hukum berjalan sebagaimana biasa, business as usual.

Argumentasi legal-formal juga nampak sekali ketika Kapolri menjawab pertanyaan, mengapa SD bisa bertemu dengan Anggoro Widjojo di Singapura, meskipun pada saat itu, Anggoro Widjojo merupakan buron kasus korupsi KPK? Jawabannya sangat sederhana, karena UU tidak melarang Polisii melakukan hal itu. Lain halnya dengan Antasari Azhar, karena posisinya sebagai Ketua KPK, ia terikat oleh kode etik dan UU KPK yang melarang pertemuan dengan pihak yang terkait dengan kasus korupsi. Esensi penegakan hukum tidak muncul sama sekali karena diredam oleh pendekatan legal-formal. Logika sederhana mengatakan, karena sesama penegak hukum, seharusnya ada sikap yang sama terhadap Anggoro Widjojo.

RDP Mabes Polri-Komisi III justru menjadi ajang pembelaan diri yang membanggakan Polri. Tepuk tangan meriah dari anggota DPR, curhat Kabareskrim mengenai sanak familinya, pemaparan fakta-fakta hukum mengenai kasus Bibit dan Chandra, diimbangi dengan pertanyaan normatif anggota Komisi III kepada Kapolri dan Kabareskrim menjadikan diskusi kemarin tak ubahnya sebuah reality show. Seolah-olah dihakimi, seakan-akan dinistakan dengan melibatkan aspek emosi menambah unsur dramatisasi yang luar biasa sebagaimana adegan sinetron. Hasilnya efektif karena sikap anggota Komisi III DPR mendukung penuh dan berada di belakang Mabes Polri.

Politik Parlemen

Periode RDP Mabes Polri dengan Komisi III kemarin merupakan antiklimaks dari bencana mafia hukum Indonesia. Sikap DPR yang berseberangan dengan arus publik memang sudah menjadi hal yang biasa terjadi. Alih-alih menggagas sebuah pendekatan yang efektif untuk memberantas mafia hukum, pernyataan yang terlontar dari anggota dewan terhormat terkesan menoleransi apa yang sudah terungkap dalam rekaman pembicaraan AW dengan kawan-kawannya. Barangkali satu hal yang memicu lahirnya pernyataan-pernyataan normatif itu adalah tiadanya bahan informasi yang memadai sebelum rapat digelar.

Kondisi ini tentu saja akan mencelakai harapan publik mengingat panggung politik merupakan arena yang bisa menentukan arah kebijakan dalam penegakan hukum. Jika anggota DPR bersikap sangat 'ramah' dengan mafia hukum, bukankah tidak mustahil karena ada kepentingan yang terganggu disana? Harus diingat, anggota Komisi III DPR diisi oleh para politisi yang berlatar belakang pengacara. Mereka memiliki firma hukum yang setiap saat bisa menerima klien dari kasus-kasus korupsi yang ditangani oleh KPK.

Kepentingan lain yang tak kalah menonjol adalah kemungkinan masih tersangkutnya beberapa anggota DPR senior dalam dugaan kasus korupsi di KPK. Jika Komisi III DPR bisa begitu pedas dan keras terhadap KPK, lain halnya jika berhadapan dengan Mabes Polri. Sikap yang akomodatif, pengertian, pemakluman dan sederet kata lain yang mewakili sebuah makna, status quo

Politik parlemen dalam pemberantasan korupsi masih sangat abu-abu. Sikap politik yang tidak tegas terhadap praktek mafia hukum semakin menguatkan opini publik bahwa DPR memang tidak bisa diharapkan. Pidato Presiden tentang program 100 hari yang menjadikan agenda pemberantasan mafia hukum menjadi prioritas pertama tak mendapatkan respon dan dukungan yang memadai dari Komisi III. Padahal kita tahu Ketua Komisi III merupakan wakil dari Partai Demokrat. Kita khawatir, wacana untuk memberantas mafia hukum hanya menjadi pelipur lara sesaat dan bertujuan hanya untuk meredam kemarahan publik. Tanpa agenda politik, tanpa desain yang komprehensif, tanpa melibatkan berbagai pihak dan tanpa komitmen yang sungguh-sungguh dalam memberantasnya, mafia hukum masih akan bercokol di lembaga penegak hukum kita.***

Monday, October 12, 2009

Mengubah Wajah Korupsi Dewan

Tepat pada 1 Oktober lalu, seluruh anggota DPR terpilih periode 2009-2014 telah dilantik. Secara resmi, mereka sudah menyandang status sebagai pejabat negara dengan pendapatan per bulan paling kurang Rp 60 juta. Harapan terhadap anggota DPR baru cukup terbuka, terutama dengan sikap responsif beberapa di antara mereka atas bencana gempa bumi yang baru saja mengoyak Padang dan Jambi. Paling tidak, para wakil rakyat kita sudah menunjukan tindakan konkret dengan mengumpulkan dana sumbangan dari kocek mereka untuk membantu korban gempa. Semoga sikap itu bukan sebuah kepalsuan, tetapi wujud kepedulian yang akan tetap dipelihara hingga lima tahun ke depan.

Jika komitmen dan sikap peduli terhadap kesulitan yang dihadapi rakyat terus menyala, DPR ke depan akan mengukir sejarah baru sebagai wakil rakyat yang sebenarnya. Penderitaan masyarakat luas tentu saja bukan hanya disebabkan oleh bencana, namun soal-soal lain yang secara lahiriah masih dapat dilihat di sekitar kita. Sebut saja kemiskinan, tingginya angka pengangguran, gizi buruk, pendidikan yang masih rendah, dan sebagainya. Formulasi kebijakan publik yang akan disusun oleh DPR merupakan ukuran yang dapat digunakan untuk menilai, apakah sikap pro terhadap masyarakat luas itu hanya sekadar pencitraan belaka atau merupakan sikap autentik dari masing-masing wakil rakyat.

Muka DPR lama
Untuk saat ini, kita tentu belum dapat menilai secara utuh, apakah DPR yang baru saja dilantik dapat merealisasikan sepenuhnya janji-janji mereka pada saat kampanye pemilu kemarin. Yang pasti, kita tentu tidak berharap, DPR baru mengikuti jejak 'saudara tua' mereka yang sebagian dari wakil rakyat itu telah diproses oleh hukum karena terlibat kasus korupsi. Wajah DPR periode 2004-2009 memang banyak dihiasi oleh bopeng. Dalam konteks tindak pidana korupsi, paling tidak sudah ada 18 wakil rakyat terjerat oleh KPK dalam kasus suap-menyuap. Jumlah itu kemungkinan akan meningkat karena beberapa kasus korupsi DPR yang kini ditangani KPK belum selesai diproses, seperti kasus dugaan suap Miranda Gultom. Seluruh kasus itu terjadi di beberapa komisi dan melibatkan berbagai kader partai politik.

Belum jika kita menghitung beberapa pelanggaran terhadap kode etik yang telah secara telanjang dilakukan. Misalnya, pergi pelesiran ke luar negeri dengan kedok studi banding tanpa ada izin dari pimpinan DPR, melakukan kunjungan daerah fiktif pada saat reses, menerima gratifikasi dari pihak ketiga, melakukan pertemuan ilegal dengan pihak ketiga untuk membicarakan keputusan politik, dan berbagai bentuk pelanggaran kode etik lainnya.

Terkesan, pada era sebelumnya, anggota DPR mudah menyimpangkan wewenangnya. Secara umum, praktik abuse of power yang dilakukan anggota DPR periode lama memang begitu mengkhawatirkan. Hampir seluruh wewenang DPR, mulai dari fungsi anggaran, fungsi legislasi, fungsi pengawasan, dan fungsi-fungsi tambahan lain, seperti memilih pejabat publik, tak luput dari penyimpangan. Bahkan, di antara pelaku, ada yang tertangkap tangan oleh KPK karena menerima suap dari pihak ketiga. Rawannya anggota DPR melakukan praktik penyimpangan menjadikan DPR dalam dua tahun berturut-turut ditempatkan sebagai lembaga terkorup di Indonesia oleh Transparansi Internasional Indonesia (TII).

Demikian halnya, menjelang akhir masa jabatan, kesan yang ditunjukkan kepada publik justru negatif. Khususnya, terkait dengan agenda pemberantasan korupsi yang semestinya didukung penuh secara politik oleh DPR. Usulan atau gagasan mengamputasi wewenang penyadapan dan penuntutan KPK oleh DPR merupakan sebuah keputusan politik yang sangat bertolak belakang dengan semangat masyarakat luas yang menginginkan pemberantasan korupsi terus dilakukan. Demikian pula ide untuk mengegolkan UU Rahasia Negara yang dalam kacamata publik luas dapat mengancam agenda pemberantasan korupsi.

Meningkatkan integritas DPR

Korupsi dan berbagai bentuk penyimpangan kekuasaan yang dilakukan DPR merupakan cermin dari lemahnya sistem integritas lembaga ini. Mudahnya anggota dewan melakukan kesepakatan ilegal dengan pihak ketiga untuk mengegolkan sebuah kebijakan menandakan bahwa kontrol internal tidak berjalan dengan baik. Meskipun kita harus sadari, sebaik apa pun sistem yang terbangun, tetap bergantung pada seberapa tinggi integritas personal anggota DPR.

Meskipun demikian, bukan berarti secara kelembagaan parlemen tidak perlu berbenah. Ada beberapa isu krusial yang dapat menjadi pintu masuk bagi upaya meningkatkan integritas anggota parlemen. Oleh karena itu, untuk menghindari terulangnya kembali praktik suap-menyuap yang terjadi dalam pelaksanaan fungsi wakil rakyat, ada beberapa hal yang harus dibenahi.

Pertama, DPR baru perlu mendesain sebuah aturan main yang lebih transparan dan melibatkan partisipasi publik dalam setiap proses pengambilan keputusan. Klausul yang memungkinkan wakil rakyat dapat membahas sesuatu secara tertutup harus dihapuskan dalam substansi tata tertib DPR ke depan. Jika dipertahankan, hal ini bukan saja bertabrakan dengan semangat yang diusung oleh UU Kebebasan Informasi Publik, tetapi juga menciptakan potensi terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Harus diingat bahwa ketertutupan merupakan pintu masuk terjadinya korupsi.

Kedua, DPR baru perlu merumuskan sistem integritas anggotanya dengan pengaturan mengenai kode etik yang lebih jelas dan ketat. Jika perilaku wakil rakyat tidak diatur dengan lebih ketat dan jelas, kemungkinan penyimpangan juga menjadi lebih tinggi. Padahal, kode etik merupakan alat pengendali yang efektif untuk mengerem terjadinya perilaku menyimpang sebelum korupsi menjadi sesuatu yang manifes. Pendek kata, kode etik yang dirumuskan dengan landasan spirit memberantas korupsi diharapkan dapat mengurangi terjadinya gelombang korupsi di DPR.

Ketiga, mengingat 70 persen anggota DPR periode 2009-2014 merupakan wajah baru, harus ada di antara mereka yang menjadi inisiator bagi terbentuknya kelompok antikorupsi di DPR. Mereka akan menjadi oposisi sekaligus pengontrol terhadap tindakan-tindakan koruptif, terutama yang terkait dengan skandal besar yang tidak hanya melibatkan personal wakil rakyat, tapi sudah menyeret kelompok yang lebih besar, seperti komisi atau fraksi. Kelompok antikorupsi ini potensial untuk membangun komunikasi yang intens dengan kelompok masyarakat sipil dan lembaga antikorupsi dalam mendorong terciptanya DPR ke depan yang lebih bersih.
(-)

Oleh: Adnan Topan Husodo
Wakil Koordinator ICW

Tulisan disalin dari Harian Republika, Sabtu, 10 Oktober 2009

Wednesday, September 30, 2009

Memperalat Penegakan Hukum

Politik dan hukum memang selalu tidak dapat dipisahkan. Keduanya berada pada aras yang saling mempengaruhi. Bedanya, lingkungan politik yang sehat akan mendukung hukum untuk bekerja dengan prinsip objektifitas dan imparsialitas. Sementara lingkungan politik yang kotor sangat mungkin akan menempatkan hukum sebagai alat kepentingan elit belaka. Oleh karena itu, implementasi penegakan hukum yang tanpa pandang bulu juga sangat ditentukan oleh baik buruknya lingkungan politik.

Masalahnya, dalam situasi dimana korupsi sudah sedemikian akut, merajalela dan sistemik, menyelesaikan korupsi dengan penegakan hukum kerap terbentur berbagai macam resistensi yang tidak bisa dianggap sederhana. Korupsi yang sudah membentuk kartel, kolusi yang mengakar antara kekuasaan politik, kalangan bisnis dan aparatur penegak hukum bukanlah soal yang bisa dirumuskan penyelesaiannya dengan mudah. Dan KPK hadir dalam situasi yang kurang lebih demikian.

Maka dari itu, tak heran jika agenda pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK terasa menjadi ganjalan besar bagi kemapanan para elit korup. Jangkauan KPK sudah mulai masuk ke ranah kekuasaan yang selama ini sudah dicap kebal hukum semisal DPR, besan Presiden, pejabat Bank Sentral, raja kecil di daerah (kepala daerah) dan sebagainya.

Demikian pula, KPK sebagai lembaga penegak hukum juga musti berhadap-hadapan langsung dengan aparat penegak hukum lainnya untuk membereskan masalah korupsi. Tertangkapnya UTG dan diprosesnya mantan Kapolri karena terlibat korupsi menjadi catatan tersendiri bahwa aparat penegak hukum di Indonesia memang perlu dibersihkan.

Perselingkuhan Kepentingan

Kesan bahwa KPK bekerja sendirian dalam memberantas korupsi memang tak berlebihan. Ironisnya, proteksi politik yang sangat dibutuhkan oleh KPK untuk memberantas korupsi dengan lebih efektif harus berhadapan dengan kepentingan politik yang kerap terganggu oleh gebrakan KPK. Untuk saat ini, harus diakui bandul kekuasaan politik lebih mengarah pada upaya melemahkan KPK dibandingkan kemauan untuk memperkuat posisi KPK.

Alih-alih menambah amunisi wewenang bagi KPK dalam rangka meningkatkan kinerjanya, kekuasaan pada wilayah parlemen dan eksekutif justru membangun perselingkuhan untuk mengebiri KPK. Benar sebagaimana dikatakan Pasuk Phongpaichit, seorang peneliti korupsi dari Thailand, dalam kondisi dimana kekuasaan politik menjadi sumber atau pusat korupsi, mustahil berharap dukungan politik dalam memberantas korupsi.

Menurutnya, satu-satunya jalan adalah dengan tuntutan yang kuat dari kalangan masyarakat sipil. Pendek kata, pemberantasan korupsi pada negara yang sistem politiknya korup hanya dapat dilakukan secara bottom-up, tidak top-down. Koalisi CICAK yang didorong oleh berbagai elemen masyarakat sipil memang sedikit banyak terbukti dapat mengerem upaya kekuasaan politik untuk mengamputasi otoritas KPK. Nampaknya, hanya dengan kontrol yang ketat dari publik luas, elit politik tidak dapat dengan mudah mengutak-atik eksistensi KPK.

Celakanya, instrumen untuk melumpukan KPK bukan hanya melalui regulasi. Celahnya terbuka lebar melalui penegakan hukum. UU KPK memang didesain dengan standar yang tinggi, sehingga ketika unsur Pimpinan KPK menjadi tersangka karena tindakan pidana, maka harus dinonaktifkan oleh Presiden. Oleh karena itu, sangkaan terhadap unsur pimpinan KPK harus benar-benar dilandasi oleh fakta yuridis yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Soalnya begitu mudah melumpuhkan KPK jika penegakan hukum atas pimpinan KPK telah dirasuki oleh kepentingan berbagai pihak.

Jika disebut-sebut penetapan tersangka oleh Mabes Polri atas dua pimpinan KPK merupakan buah pertemuan Kepolisian dengan Komisi III DPR, bukankah ini juga mengindikasikan perselingkuhan kekuasaan politik dan elit penegak hukum? Pasalnya pada saat yang bersamaan, Kabareskrim Mabes Polri, Susno Duadji telah terlebih dulu masuk dalam radar pantauan KPK terkait dengan kasus Bank Century.

Penegakan Hukum Dikendalikan Kepentingan?

Pertaruhan besar kini berada pada Kepolisian. Kredibilitasnya sebagai penegak hukum sangat mungkin hancur jika upaya hukum terhadap Pimpinan KPK yang dilakukan oleh mereka ternyata ditunggangi oleh berbagai kepentingan untuk melemahkan KPK. Posisi Kapolri menjadi sangat rawan andaikata Polisi tidak dapat membuktikan tuduhan suap yang dialamatkan kepada Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah, dua pimpinan KPK yang telah ditetapkan sebagai tersangka.

Kecenderungan yang kini bisa dilihat, Polisi justru semakin menunjukkan kebimbangannya. Sangkaan kepada pimpinan KPK terus berubah, sementara ketika masuk pada isu suap, mereka sepertinya tak memiliki alat bukti yang cukup. Bahkan untuk data mendasar yang berhubungan dengan alibi, Polisi ternyata tidak memiliki informasi akurat.

Jika menurut Polisi, suap telah diberikan kepada Bibit pada waktu yang diyakini Polisi, akan tetapi pada waktu yang disebut Polisi, Bibit berada di Peru untuk tugas kedinasan, bukankah ini merupakan kebodohan paling mendasar dalam teknik investigasi? Apalagi jika Bibit bisa menunjukkan bukti-bukti bantahan seperti visa, tiket pesawat, undangan tugas dinas, surat tugas dinas dan keterangan lain yang memperkuat alibinya.

Perkembangan penyidikan di Kepolisian atas pimpinan KPK semestinya jadi rujukan Presiden untuk meninjau ulang Perpu Plt Pimpinan KPK. Jika SBY tetap melanjutkan agenda Perpu, Presiden sebagai atasan langsung Kepolisian dapat dianggap turut merestui penzaliman terhadap Pimpinan KPK karena nyatanya proses itu tidak dilandasi bukti yuridis yang kuat. Atau dalam bahasa lain, SBY dapat dikategorikan terlibat dalam skenario untuk melemahkan KPK melalui penegakan hukum yang dipaksakan.

Sudah bukan waktunya lagi SBY berdalih bahwa posisinya sebagai Presiden tidak dapat mencampuri atau mengintervensi proses hukum oleh Kepolisian terhadap pimpinan KPK. Barangkali selama ini SBY keliru menerapkan manajemen informasi sehingga banyak keterangan sampah yang masuk dan digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan. Saat ini, masa depan pemberantasan korupsi tengah terancam dengan berbagai macam usaha sistematis untuk menghancurkan KPK. Sudah semestinya SBY memikul tanggungjawab besar untuk memulihkannya.

Oleh: Adnan Topan Husodo
Wakil Koordinator ICW


Tulisan disalin dari Harian Jawa Pos, 30 September 2009

Wednesday, September 16, 2009

Resiko Melemahkan KPK

Daya dukung politik terhadap eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ternyata tidak cukup kuat. Tak aneh jika gebrakan KPK dalam memberantas korupsi direspons dengan sangat negatif.


Caranya dengan melakukan usaha sistematis untuk merontokkan KPK. Jika pimpinan KPK dikriminalisasi melalui tindakan penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi oleh Mabes Polri,wewenang KPK dipreteli lewat jalur alternatif, yakni RUU Pengadilan Tipikor.Dua wewenang KPK yang terus menjadi target pemangkasan oleh elite politik adalah penuntutan dan penyadapan. Tindakan Reskrim Mabes Polri dalam memeriksa Pimpinan KPK sejak awal memang mencurigakan.

Bermula dari dugaan penyadapan ilegal, dugaan suap dalam kasus PT Masaro yang diterima oleh oknum KPK, hingga yang terbaru, dugaan penyalahgunaan wewenang oleh Pimpinan KPK atas penanganan kasus korupsi PT Masaro yang melibatkan Anggoro. Bahkan dua hari lalu kita digemparkan dengan status tersangka atas Candra Hamzah dan Bibit Samad Rianto. Dalam kasus pertama dan kedua, polisi nampaknya kecele karena tidak dapat menemukan bukti hukum yang mendukung.

Sementara kasus yang terakhir, saya khawatir Mabes Polri tidak membaca UU No 30 tahun 2002 tentang KPK. Dalam pasal 36 ayat 1 UU KPK diatur hak untuk mengajukan gugatan rehabilitasi dan atau kompensasi apabila seseorang dirugikan sebagai akibat dari penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang dilakukan oleh KPK. Ditambahkan dalam ayat 2, gugatan rehabilitasi dan atau kompensasi tidak menghilangkan hak orang yang dirugikan untuk mengajukan gugatan praperadilan. Dengan aturan di atas,semestinya Anggoro Wijaya, Direktur PT Masaro yang kasus korupsinya tengah disidik KPK dapat melakukan upaya hukum dengan mengajukan dua gugatan di atas.

Sementara di sisi lain, Kepolisian tidak memiliki wewenang sama sekali untuk melakukan reviu atau pemeriksaan atas proses hukum kasus korupsi yang tengah dilakukan KPK. Berdasarkan aturan hukum inilah, kita bisa mengatakan bahwa yang telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan sebenarnya adalah Reskrim Mabes Polri, bukan KPK.

Memangkas Wewenang KPK


Sikap pejabat Polri dan DPR setali tiga uang, yakni tidak menunjukkan komitmen untuk mendukung agenda pemberantasan korupsi di Indonesia.Parlemen masih terus menggodok RUU Pengadilan Tipikor meski kelompok masyarakat sipil telah menuntut supaya DPR tidak meneruskan proses tersebut. Salah satu isu besar yang menjadi bahan diskusi publik terkait pembahasan RUU Pengadilan Tipikor adalah upaya melemahkan KPK dengan mengamputasi wewenang penuntutan dan penyadapan.

Untuk soal penuntutan, alasan yang diajukan parlemen cukup sederhana,yakni adanya dualisme penuntutan antara KPK dan Kejaksaan. Logika ini menyesatkan karena dua hal.Pertama, dualisme penegakan hukum tidak hanya terjadi pada sisi penuntutan. Bahkan di tingkat penyelidikan, bukan hanya dualisme yang terjadi, tapi sudah “triisme”. Pasalnya polisi, jaksa dan KPK memiliki wewenang untuk melakukan penyelidikan kasus korupsi.Sementara untuk penyidikan,dualisme juga terjadi. Antara KPK dan Kejaksaan samasama memiliki wewenang itu.

Kedua, berhitung soal kinerja, penuntutan KPK justru lebih baik dibandingkan dengan penuntutan oleh Kejaksaan. Indikatornya mudah, tidak ada satu pun kasus korupsi yang dituntut KPK ke Pengadilan Tipikor berakhir dengan vonis bebas. Berbeda dengan Kejaksaan, masih banyak dari kasus korupsi yang dituntut Kejaksaan berujung bebas.Artinya, sejak dimulainya penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan, ada satu aras yang sejalan sehingga penuntutan KPK benar-benar dapat membuktikan secara hukum bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana korupsi.

Secara teknis,mengembalikan wewenang penuntutan ke Kejaksaan juga membuat urusan penegakan hukum menjadi tidak efektif dan tidak efisien. Parlemen seharusnya dapat mengambil contoh antara Kepolisian dan Kejaksaan. Bolak-balik berkas perkara antara Kepolisian dengan Kejaksaan kerap terjadi.Kita tentu akan melihat hal serupa jika KPK hanya diberi wewenang penyelidikan dan penyidikan, sementara wewenang penuntutan ada di Kejaksaan.

Risiko yang paling buruk, fakta-fakta hukum yang telah dikumpulkan KPK dapat dihilangkan dalam penuntutan oleh Kejaksaan.Pada akhirnya, kasus yang diproses KPK bisa saja divonis bebas karena penuntutan yang bermasalah.

Risiko bagi Agenda Pemberantasan Korupsi

Kita tentu merasa heran mengapa SBY sebagai Kepala Negara terkesan diam seribu bahasa atas upaya pihak-pihak tertentu yang ingin melemahkan KPK. Padahal pemberantasan korupsi merupakan isu yang dijual oleh SBYKalla maupun SBYBoediono dalam setiap kampanyenya.

Secara diam-diam, SBY pun mengakui kinerja KPK mengingat dalam periode kampanye Pilpres 2009 kemarin, materi kampanye keberhasilan pemberantasan korupsi Pemerintahan SBYKalla justru menonjolkan sisi KPK. Akan ada beberapa risiko besar jika secara politik,KPK tidak mendapatkan dukungan dan terus dilemahkan. Pertama,Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia untuk tahun 2009 dan selanjutnya tidak akan sebaik capaian IPK 2008 atau bahkan merosot ke titik paling rendah.

Sebagaimana kita tahu, kontribusi KPK dalam mendongkrak IPK Indonesia dari 2,3 pada tahun 2007 menjadi 2,6 pada 2008 merupakan hal yang tidak dapat dibantah. Oleh karena itu, menjadi sangat ironis jika target capaian IPK oleh SBY pada masa kedua kekuasaannya lebih tinggi daripada capaian IPK 2008,akan tetapi pada saat bersamaan,faktor-faktor yang mendukung peningkatan IPK tidak didukung secara politik.

Saya khawatir SBY terlalu percaya diri dengan agenda reformasi birokrasinya sehingga tidak menganggap sama sekali KPK sebagai pemberi kontribusi terbesar dalam mendongkrak IPK Indonesia 2008. Kedua, merosotnya IPK adalah indikator buruknya kepercayaan masyarakat internasional terhadap Indonesia. Lemahnya penegakan hukum, tiadanya kepastian hukum,berjangkitnya suap dalam praktek berusaha, panjangnya mata rantai birokrasi perizinan, tingginya ongkos ekonomi dan rendahnya integritas aparat pemerintah menjadi faktor kunci buruknya citra Indonesia.

Padahal diberantasnya semua faktor di atas adalah kunci untuk meningkatkan daya saing ekonomi nasional.KPK secara langsung maupun tidak langsung berjasa untuk mengubah citra Indonesia yang negatif. Oleh karena itu, jika SBY memiliki komitmen dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, seharusnya hal itu juga didukung oleh komitmen dalam memberantas korupsi.

Kini,semua bola panas yang menghantam KPK menggelinding ke Istana Negara. Sikap kenegarawanan seorang SBY tengah diuji menjelang pelantikannya sebagai Presiden untuk periode kedua. Nasib KPK ke depan berada dalam genggamannya.(*)

Oleh: Adnan Topan Husodo

Tulisan disalin dari Koran Seputar Indonesia, Kamis, 17 September 2009

Tuesday, September 15, 2009

Rezim Kerahasiaan Birokrasi

Kita sudah sepakat bahwa negara ini dikelola dengan cara-cara demokratis. Prinsip dari demokrasi sebagai sistem yang mengatur tata kelola negara adalah partisipasi yang luas dari publik untuk terlibat dalam setiap proses pengambilan kebijakan. Demikian halnya, konsep partisipasi juga berarti adanya mekanisme pengawasan publik atas penyelenggaraan negara.

Oleh karenanya, jaminan berfungsinya partisipasi yang efektif adalah transparansi. Dengan menerapkan prinsip transparansi, publik memiliki hak untuk mengakses segala macam informasi menyangkut kebijakan publik. Dokumen anggaran negara, laporan pertanggungjawaban pejabat publik, kontrak kerja antara pemerintah dengan swasta dan berbagai jenis informasi lainnya seharusnya dapat diakses dengan mudah untuk menjalankan fungsi pengawasan publik. Pada konteks ini, lahirnya UU No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) menandai lahirnya komitmen besar negara untuk lebih terbuka terhadap warganya.

Akan tetapi, situasi politik seringkali tidak mendukung langkah perubahan. UU KIP yang seyogyanya berlaku efektif pada tahun 2010 terancam mandul seiring dengan dibahasnya RUU Rahasia Negara oleh DPR dan Pemerintah. Kontra wacana keterbukaan informasi publik dalam RUU Rahasia Negara telah menghadirkan sebuah ancaman terhadap hidup dan tumbuhnya konsep partisipasi dan transparansi publik. Apalagi jika materi RUU Rahasia Negara menegasikan aturan mendasar dari UU KIP.

Kerahasiaan dalam bingkai KIP


Gerak cepat Komisi I DPR RI yang intens mengadakan rapat dalam rangka membahas RUU Rahasia Negara menyisakan tanda tanya besar. Komitmen politik dalam membuka akses publik yang sebelumnya melekat pada UU KIP kini nyaris tak jelas wujudnya oleh karena semangat DPR-Pemerintah untuk menyelesaikan RUU Rahasia Negara menjadi UU.

Pembahasan RUU Rahasia Negara tentu patut kita sayangkan karena secara substansial, kita baru akan menuju tahap awal era keterbukaan informasi publik. Terkesan, DPR hanya ingin mencapai target program legislasi nasional (Prolegnas) tanpa memperhitungkan aspirasi publik atas penolakan UU Rahasia Negara dan implikasi lahirnya UU Rahasia Negara terhadap kebebasan publik untuk mendapatkan informasi.

Paling tidak tersisa beberapa masalah esensial yang terus menjadi perdebatan publik hingga saat ini. Masalah itu antara lain signifikansi UU Rahasia Negara dalam bingkai kebebasan informasi publik. Sebenarnya konsep rahasia negara bukan sesuatu yang ditolak mentah-mentah oleh kalangan masyarakat sipil yang memperjuangkan demokratisasi. Pentingnya mengamankan informasi strategis negara ataupun informasi penting lainnya yang harus dirahasiakan merupakan suatu hal yang tidak keliru.

Akan tetapi dalam kerangka demokrasi, semestinya hal-hal yang diklasifikasikan rahasia oleh negara karena nilai strategisnya masuk dalam pengertian informasi yang dikecualikan. Bukan kemudian diatur sendiri dalam sebuah UU yang tegas-tegas memunculkan rezim kerahasiaan baru. Sebenarnya dalam UU KIP, nomenklatur pengecualian telah diatur, yakni pasal yang mengatur tentang pembatasan informasi yang bisa diakses oleh publik demi kepentingan negara.

Kerahasiaan Siapa?

Dalam rangka mengefektifkan agenda pemberantasan korupsi, Indonesia bersama-sama masyarakat internasional turut mengambil peran aktif dengan meratifikasi United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003). Sebagai strategi nasional, pada awal pemerintahan SBY-Kalla, telah lahir pula kebijakan Inpres No 5 Tahun 2004 tentang percepatan pemberantasan korupsi yang didalamnya sangat menekankan pentingnya nilai transparansi. Bahkan secara konkret, Inpres No 5 Tahun 2004 memberikan kewajiban bagi aparat negara untuk mempercepat pemberian informasi kepada publik atas hal yang berkaitan dengan perkara tindak pidana korupsi.

Jika RUU Rahasia Negara dipaksakan lahir hanya untuk mengakomodasi kepentingan pihak tertentu saja, dampak terburuknya adalah mandegnya agenda reformasi birokrasi yang dicanangkan pemerintah, sekaligus berarti terhambatnya agenda pemberantasan korupsi nasional. Sebagaimana kita tahu, masalah terbesar dari maraknya korupsi di Indonesia adalah karena budaya aparatur negara yang sangat tertutup. Lahirnya UU KIP bertujuan merombak sifat birokrasi yang penuh dengan rahasia. Oleh karena itu, keberadaan UU Rahasia Negara akan dijadikan alat legitimasi bagi birokrasi negara untuk menutup akses informasi kepada publik. Ini artinya eksistensi UU KIP kemungkinan besar akan kehilangan ruhnya.

Kontraproduktif

Jika kita coba cermati lebih dalam beberapa materi yang ada dalam RUU Rahasia Negara, akan ditemukan beberapa poin krusial yang potensial menjadi kontraproduktif dengan agenda pemberantasan korupsi. Karena untuk hal-hal yang elementer sekalipun seperti laporan pembelanjaan dan alokasi anggaran negara, hal ini telah dikategorikan sebagai informasi yang dirahasikan.

Menurut analisis ICW, setidaknya terdapat 12 pasal krusial yang kontraproduktif dengan pemberantasan korupsi. Salah satu hal yang punya implikasi serius terhadap upaya pemberantasan korupsi adalah pengaturan mengenai rahasia negara dalam konteks pengadaan di instansi militer/Departemen Pertahanan.

Seperti kita tahu, sebenarnya tanpa diatur dalam UU Rahasia Negara, praktek pengadaan yang terjadi di instansi militer sangatlah tertutup. Tak heran jika indikasi terjadinya skandal korupsi dalam proyek pengadaan alutsista semisal kasus helikopter MI-17, Tank Scorpion dan lain sebagainya kerap muncul. Akan tetapi pengusutan korupsi dalam proyek-proyek yang berkaitan langsung dengan alutsista sering menemui jalan buntu karena tembok kerahasiaan di tubuh militer. Jika kondisi yang demikian diperkokoh dengan UU Rahasia Negara, kita tidak memiliki celah sedikitpun untuk mengontrol penggunaan anggaran negara di instansi militer, maupun di instansi pemerintah lainnya.

Demikian halnya, karena setiap informasi yang diklasifikasikan rahasia negara dalam RUU Rahasia Negara tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti di pengadilan, berbagai macam kasus korupsi yang berkaitan dengan hal itu dipastikan akan macet penanganannya. Bagaimana mungkin penyidik akan meneruskan kasus korupsi di Pengadilan jika dokumen atau informasi yang dimiliki tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti di pengadilan.

Kerangka Rahasia Negara yang demikian juga berarti adanya pemberian kekebalan/impunitas bagi penyelenggara negara terhadap proses hukum. Jika budaya korupsi yang masih kuat ditopang dengan regulasi khusus yang mengatur kerahasiaan, maka RUU Rahasia Negara hanya akan memperkuat sistem kerahasiaan birokrasi (bureaucratic secrecy) yang akhirnya akan melembagakan korupsi dalam struktur pemerintahan. ***

Oleh: Adnan Topan Husodo

Tulisan disalin dari harian Jakarta, 4 September 2009

Saturday, September 12, 2009

Menjaga Integritas KPK

Jika kepemimpinan KPK harus diisi oleh orang-orang yang memiliki sifat setengah malaikat, hal ini bisa dibilang tidak berlebihan. Secara objektif, tidak terlalu sulit mencari karakter semacam ini, sepanjang kesempatan luas diberikan kepada mereka yang memilikinya.
KPK memang membutuhkan kualifikasi orang yang berintegritas tinggi, absen dari cacat latar belakang, dan memiliki komitmen besar untuk memberantas korupsi. Sedikit saja kita keliru menentukan siapa yang duduk di tampuk kekuasaan KPK, daya rusaknya bukan hanya akan menghancurkan kepercayaan publik terhadap institusi ini, melainkan juga melunturkan semangat dalam melawan korupsi.

Sebagaimana kita ketahui, KPK adalah lembaga penegak hukum yang memiliki wewenang besar. Sebagai institusi independen yang bersifat 'superbody', KPK berdasarkan mandat UU bisa melakukan penyadapan, mengambil-alih kasus korupsi dari penegak hukum lain, memeriksa pejabat negara tanpa melalui mekanisme izin pemeriksaan presiden, tidak boleh menghentikan proses penyidikan, dan sederet otoritas lainnya yang prestisius, sekaligus rentan dengan penyimpangan.

Perilaku Ajun Komisaris Polisi (AKP) Suparman, mantan penyidik KPK yang diproses secara hukum karena melakukan pemerasan dalam penanganan kasus korupsi adalah contoh kecil dari rawannya penyimpangan wewenang, yang diberikan kepada KPK. Oleh karena itu, kekuasaan KPK yang besar juga harus diimbangi dengan kontrol yang ketat, baik dalam konteks internal maupun eksternal. Masalahnya, di tengah kekuasaan yang besar itu, muncul laporan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan mantan pimpinan KPK, Antasari Azhar. Tidak tanggung-tanggung, dalam laporan ICW kepada KPK, paling tidak Antasari diduga kuat telah melakukan 17 pelanggaran kode etik.

Dengan jumlah dugaan pelanggaran sebesar itu, kita tentu dapat menduga bahwa ada yang tidak beres dari sisi mekanisme check and balances di internal KPK. Semestinya jika sistem kontrol internal berjalan baik, satu kali saja pelanggaran dilakukan pimpinan KPK, secara otomatis hal itu langsung bisa dideteksi dengan cepat.

Pengawas internal KPK
Pertanyaan yang bisa diajukan adalah, mengapa sejak awal Pengawas Internal (PI) KPK tidak dapat mendeteksi adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh ketuanya? Pertanyaan lainnya, mengapa pimpinan KPK yang lain juga tidak mengetahui hal itu, padahal konsep kepemimpinan KPK adalah kolektif-kolegial?

Untuk pertanyaan pertama, hipotesis yang bisa diajukan adalah bahwa PI KPK memang tidak dapat menyentuh pimpinan KPK sebagai bagian dari domain pengawasan mereka. Artinya, PI KPK hanya memiliki wewenang untuk beroperasi dan memiliki cakupan objek pengawasan pada level pegawai KPK saja. Jika benar demikian adanya, tentu kondisi ini sangat memungkinkan pimpinan KPK melakukan penyimpangan tanpa dapat dideteksi oleh mekanisme pengawasan internal.

Sebenarnya, desain pengawasan yang hanya bersandar pada mekanisme internal memang tidak pernah cukup. Seberapa pun kuat dan ketat mekanisme kontrol internal dibuat, pada kenyataannya, sulit untuk menyentuh pucuk pimpinan lembaga. Kritik KPK terhadap kinerja lembaga pengawas internal pemerintah adalah bukti konkretnya. Meskipun hal ini sebenarnya logis karena dari sisi hierarki, pengawas internal berada di bawah kendali pimpinan lembaga.

Demikian halnya di KPK, PI KPK menjalankan tugasnya atas mandat pimpinan KPK. Jika wewenang untuk mengontrol pimpinan KPK tidak diberikan, secara otomatis PI KPK hanya bertugas mengawasi kode etik pegawai KPK. Demikian pula, tampaknya mekanisme kontrol yang seharusnya dibangun antarpimpinan KPK tidak berjalan dengan baik. Adalah preseden buruk ketika ketua KPK dianggap memiliki wewenang dan posisi yang lebih tinggi dibandingkan pimpinan KPK yang lain. Sebagaimana telah disampaikan, konsep kepemimpinan KPK adalah kolektif-kolegial. Hal ini berarti antara satu pimpinan dan yang lain tidak ada yang lebih tinggi atau dominan.

Jika dalam praktiknya ternyata ketua KPK lebih dominan sehingga mudah melakukan pelanggaran kode etik, tentu masalahnya harus dilihat pada karakter masing-masing pimpinan KPK. Pada soal ini, lagi-lagi jalanÿ20keluarnya adalah pentingnya menekankan pada kualifikasi pimpinan KPK, yang tegas dan berani mengambil risiko untuk berbenturan dengan pimpinan KPK yang lain jika terjadi kekisruhan internal, apalagi jika masalahnya sudah dalam bentuk pelanggaran kode etik.

Komite Etik
Dengan modal kewenangan yang besar, KPK tidak dapat mengandalkan mekanisme pengawasan internal dan konsep kepemimpinan kolektif-kolegial. Faktanya, dua instrumen di atas gagal mengantisipasi terjadinya pelanggaran kode etik oleh ketua KPK. Padahal, bocornya kontrol internal merupakan gejala buruk bagi integritas KPK secara keseluruhan.
Oleh karena itu, kekuasaan di KPK harus dikendalikan melalui mekanisme yang lebih transparan, akuntabel, dan melibatkan partisipasi publik luas. Jika selama ini publik hanya diposisikan sebagai pelapor kasus korupsi oleh KPK, sudah saatnya publik dirangkul untuk menjadi bagian dari sistem pengawasan KPK.

Caranya, dengan membentuk Komite Etik yang bersifat permanen, tidak ad hoc sebagaimana dalam konteks sekarang. Jika saat ini Komite Etik dapat dibentuk sewaktu-waktu kalau dibutuhkan oleh pimpinan KPK untuk menyelidikan terjadinya pelanggaran kode etik, Komite Etik ke depan harus diposisikan sebagai representasi publik untuk menjalankan peran pengawasan terhadap KPK.

Karena merupakan perwakilan masyarakat, tentu saja komposisi Komite Etik dimaksud harus mencerminkan keterwakilan publik di dalamnya. Supaya peran pengawasan yang dilakukan Komite Etik berjalan efektif, unsur KPK harus dibuat minoritas. Artinya, pihak KPK yang duduk dalam Komite Etik tidak boleh sama atau melebihi jumlah anggota Komite Etik dari kalangan masyarakat.

KPK dapat memiliki tokoh-tokoh masyarakat dari berbagai latar belakang, seperti LSM, ormas, akademisi, jurnalis, peneliti, dan sebagainya melalui sebuah proses seleksi yang ketat. Hal ini untuk menjaga supaya anggota Komite Etik benar-benar memiliki kualitas yang prima serta integritas yang memadai untuk mengawal KPK.

Dengan adanya Komite Etik, diharapkan perilaku menyimpang dan kejadian yang dapat merusak citra dan integritas KPK dapat dihindari. Bukan hanya itu, Komite Etik akan mendekatkan komunikasi KPK dengan publik luas, termasuk untuk mendesain strategi pemberantasan korupsi di Indonesia.

Oleh: Adnan Topan Husodo

Tulisan disalin dari Republika, Sabtu, 12 September 2009

Friday, September 04, 2009

Pengganti Antasari Azhar

Posisi Antasari Azhar (AA) sebagai Ketua KPK sudah bisa dipastikan melayang karena statusnya sebagai terdakwa. Sesuai dengan UU KPK No 30 Tahun 2002, dalam Pasal 32 ayat 1 huruf (3) dinyatakan bahwa pimpinan KPK berhenti atau diberhentikan jika menjadi terdakwa karena melakukan tindak kejahatan.

Setelah pimpinan KPK berhenti permanen, mekanisme pengganti sesuai dengan prosedur Pasal 29, 30, dan 31 UU KPK adalah dengan seleksi dua tahap. Tahapan pertama, Presiden membentuk panitia seleksi yang tugasnya menjaring calon pimpinan KPK. Tahap kedua, Presiden, berdasarkan hasil seleksi panitia seleksi, menyerahkan daftar calon pimpinan KPK kepada DPR untuk dipilih.

Wacana untuk secepatnya mengganti AA paling tidak terbagi pada tiga perdebatan. Pertama, pengganti AA haruslah calon yang berasal dari unsur Kejaksaan Agung karena AA berlatar belakang jaksa. Wacana ini disorongkan oleh Kejaksaan Agung yang kini sudah mempersiapkan dua orang pengganti AA dari unsur jaksa. Kedua, yang diganti bukan hanya AA, melainkan semua pimpinan KPK.

Gagasan ini dikemukakan oleh kalangan DPR.Ketiga, Presiden tidak perlu menyerahkan daftar calon pengganti AA karena Pimpinan KPK yang sekarang sudah cukup memadai untuk menjalankan kerja-kerja pemberantasan korupsi.Ide ini diwacanakan oleh kelompok masyarakat sipil.

Haruskah Unsur Kejaksaan?


Sebenarnya, dalam UU KPK tidak pernah disebutkan secara eksplisit bahwa unsur pimpinan KPK salah satunya harus berasal dari kejaksaan. Pasalnya, desain UU hanya mengatur bahwa calon pimpinan KPK merupakan representasi dari individu-individu yang memiliki kemampuan untuk menjadi pimpinan KPK, bukan representasi kelembagaan penegak hukum atau representasi aparat penegak hukum.

Faktanya, pada seleksi calon pimpinan KPK jilid II, AA dan calon pimpinan KPK lainnya yang kebetulan dari unsur jaksa mendaftarkan diri atas nama pribadi,tidak disodorkan oleh Kejaksaan Agung. Bahwa kemudian berkembang wacana bahwa unsur kejaksaan–– bersama dengan unsur kepolisian–– arus masuk sebagai salah satu pimpinan KPK, ini semata-mata tafsir bebas dari anggota panitia seleksi calon pimpinan KPK.

Argumentasinya sederhana, jaksa mengetahui masalah teknis penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi sehingga salah satu pimpinan KPK harus ada yang berasal dari unsur kejaksaan. Pada titik ini, ada masalah paradoksal yang sangat mengganggu. KPK sebagai lembaga penegak hukum korupsi memiliki tugas utama untuk menangani perkara korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum.

Dengan demikian, asumsi awal diktum ini dibuat menegaskan satu hal bahwa aparat penegak hukum konvensional seperti jaksa dan polisi korup merupakan bagian penting dari persoalan yang harus dibereskan KPK. Oleh karena itu, sangat tidak mungkin KPK dapat memberantas korupsi di tubuh penegak hukum lain jika salah satu unsur pimpinannya berasal dari lembaga yang dikenal subur dengan korupsinya.

Catatan kinerja KPK telah menunjukkan dengan tegas bahwa masuknya unsur jaksa dalam pimpinan KPK justru menjadi penghambat usaha pembersihan yang serius lembaga penegak hukum lain dari penyakit korupsi. Memang benar bahwa KPK telah berhasil menangkap Urip Tri Gunawan (UTG),seorang jaksa di Kejaksaan Agung dalam kasus suap.

Akan tetapi ketika kasus itu hendak dikembangkan kemungkinannya lebih jauh akan keterlibatan pihak-pihak lain yang lebih besar kekuasaannya di Kejaksaan Agung, KPK menghadapi kesulitan yang serius.Padahal, pada saat itu, nama-nama petinggi Kejaksaan Agung sudah muncul satu per satu.Akan tetapi nyatanya, proses hukum tidak pernah menyentuh mereka.

Beberapa di antaranya kemudian hanya diberi sanksi administrasi,yakni dimutasi. Paradoks lain adalah bahwa figur pimpinan KPK haruslah benar-benar terjamin integritasnya. Sosok AA yang dipilih DPR sebagai Ketua KPK sejak awal diketahui catat rekam jejak.Penelusuran ICW dan Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) menyimpulkan bahwa AA tak layak sama sekali menjadi Ketua KPK karena integritasnya yang meragukan.

Pendek kata, dalam situasi seperti sekarang, sulit sekali mendapatkan jaksa yang benar-benar bersih sehingga layak menjadi calon pimpinan KPK. Sangat mungkin jika dua nama yang sudah disiapkan Kejaksaan Agung memiliki masalah yang tidak jauh berbeda dengan AA.

Ambisi DPR

Di satu sisi Kejaksaan Agung tampaknya memiliki ambisi untuk “mengendalikan” KPK,di sisi lain secara politik DPR juga memiliki hasrat besar untuk tetap mengontrol KPK. Pascalengsernya AA sebagai Ketua KPK, suhu politik di DPR memanas karena mereka seakan- akan kehilangan kendali sepenuhnya terhadap KPK.Sebagaimana diketahui, AA merupakan anak emas DPR.

Sementara itu, KPK pasca-AA terus membongkar kasus-kasus korupsi besar yang melibatkan anggota DPR. Resistensi DPR terhadap KPK diperlihatkan dalam banyak hal, salah satunya mendorong wacana agar seluruh pimpinan KPK diganti. Gagasan di atas secara yuridis sangat tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Dalam UU KPK, tidak ada satu pasal pun yang mengatur bahwa jika salah satu pimpinan KPK bermasalah, seluruhnya harus menanggung akibat. Hantam kromo ala DPR bisa jadi dilatarbelakangi motif untuk kembali mengendalikan KPK. Tujuannya cukup jelas, supaya sepak terjang KPK dalam memberantas korupsi memiliki batas-batas toleransi yang jelas. Mana kasus korupsi yang boleh ditangani dan mana yang menjadi wilayah terlarang KPK.

Jika kita kembali pada mekanisme UU KPK,untuk mencari pengganti AA dibutuhkan waktu yang cukup panjang.Akan tetapi ini lebih baik karena berarti DPR yang sekarang tidak dapat menentukan siapa pengganti AA. Karena andai DPR yang saat ini masa tugasnya tersisa kurang lebih 1 bulan diberi otoritas kembali untuk menentukan pengganti AA,sangat mungkin kita akan mengulangi kesalahan.

Meskipun mekanisme seleksi pimpinan KPK oleh DPR merupakan sesuatu yang ideal dari kaca mata sistem checks and balances, dalam kondisi di mana DPR merupakan lembaga yang paling korup, memberikan kewenangan kepada mereka untuk memilih pimpinan KPK sama artinya dengan memberikan senjata kepada orang yang tidak tepat.

Sekeras apa pun warning dan protes dari kelompok antikorupsi agar DPR tidak memilih AA faktanya tidak digubris sama sekali. Kini ketika kondisinya semakin membuktikan betapa salahnya DPR menetapkan AA sebagai Ketua KPK, mereka tidak mau bertanggung jawab sama sekali.

Mungkin memang Presiden perlu mengabaikan tuntutan DPR periode sekarang supaya segera mencari pengganti AA.Akan lebih baik jika DPR periode mendatang yang meneruskan tugas untuk memilih calon pimpinan KPK baru. Paling tidak, DPR baru belum tercemari oleh masalah korupsi. Kita berharap DPR terpilih akan memilih calon-calon pimpinan KPK yang cakap sehingga tugas memberantas korupsi akan lebih mudah dilaksanakan.(*)

Adnan Topan Husodo
Wakil Koordinator
Indonesia Corruption Watch (ICW)


Tulisan disalin dari Seputar Indonesia, 5 September 2009

Friday, August 28, 2009

Menutup Peluang Korupsi Anggota Dewan

SALAH seorang anggota DPR dari Komisi IV DPR dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhfid al-Busyairi, telah menyampaikan laporan gratifikasi senilai Rp 100 juta kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tindakan Muhfid itu sudah sesuai pasal 16 UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK, yakni terdapat kewajiban bagi penyelenggara negara untuk melaporkan setiap penerimaan gratifikasi kepada KPK.

Setidaknya ada dua pelajaran yang bisa kita petik dari laporan gratifikasi Muhfid tersebut. Pertama, dalam situasi seperti sekarang ini, ternyata masih ada anggota DPR yang mau menyampaikan informasi berharga kepada KPK sekaligus memberikan bahan awal bagi penyelidikan terhadap indikasi penyuapan dalam pembahasan kebijakan publik di lembaga legislatif.

Hal itu akan memperbaiki citra dewan yang sedemikian jatuh. Kita harus yakin, di luar Muhfid, masih ada wakil rakyat lain yang memiliki kejujuran serupa, meski mungkin dari sisi jumlah mereka adalah minoritas. Tapi, mereka yang jujur, meski minoritas, tetap akan bisa menjadi whistle blower yang efektif untuk membongkar sindikasi kejahatan korupsi di Senayan.

Kedua, meski KPK sudah beberapa kali menangkap basah dan memproses secara hukum anggota dewan yang didapati berkorupsi, dampak yang diharapkan belum terlalu terlihat. Justru sebaliknya, efek jera yang seharusnya muncul setelah upaya represif dilakukan KPK terhadap wakil rakyat dibalas dengan menggantung nasib KPK melalui pembahasan RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang berlarut-larut. Demikian pula, uang Rp 100 juta yang diterima Muhfid menegaskan satu hal. Yakni, belum berubahnya perangai politisi yang masih gemar melakukan sogok-menyogok.

Mirisnya, gratifikasi ini muncul sebulan sebelum anggota dewan periode 2004-2009 menyelesaikan masa tugasnya. Semestinya, karena dalam masa lima tahun kemarin wakil rakyat di Senayan belum banyak mendapatkan tempat di mata kaum reformis, pada akhir masa jabatan mereka, ada hal positif yang diperlihatkan. Sayang, harapan itu masih sangat jauh karena lagi-lagi indikasi suap dalam penyusunan kebijakan publik di DPR masih menjadi fakta yang sulit dihilangkan.

Alih-alih memberikan hadiah perpisahan yang menyenangkan kepada publik luas, menjelang kekuasaan anggota DPR berakhir, yang berlaku adalah aji mumpung. Saat ini, mungkin banyak di antara mereka yang tengah sibuk-sibuknya mencari pesangon bagi persiapan pensiun mereka dengan menggadaikan jabatan serta amanat dari rakyat.

Pekerjaan Rumah DPR


Seberapa pun buruknya kita memandang DPR, lembaga itu harus tetap dipertahankan dan diselamatkan. Karena itu, momentum untuk memperbaiki citra DPR yang korup ada pada wajah-wajah anggota DPR baru yang jumlahnya mencapai 90 persen.

KPK sudah bersiap-siap memberikan pembekalan kepada anggota dewan terpilih tentang tindak pidana korupsi. Masing-masing partai politik tempat bernaung para wakil rakyat anyar juga telah membaiat dengan sumpah antikorupsi. Diharapkan, begitu mereka tampil sebagai anggota DPR yang resmi, praktik korupsi yang menggurita di Senayan bisa direduksi.

Namun, tampaknya, bekal itu saja tidak cukup. Mengingat, masalah korupsi di DPR jauh lebih kompleks daripada karena faktor individu. Perlu diingat, korupsi di lembaga legislatif merupakan bentuk penyalahgunaan kekuasaan politik. Karena kekuasaan memang cenderung korup, kekuasaan itulah yang harus dikendalikan. Karena itu, ada beberapa hal yang harus dibenahi anggota DPR ke depan, terutama dari sisi internal mereka.

Membenahi Pengawasan Internal


Dari sisi internal, lemahnya kontrol internal anggota dewan telah membuka ruang yang besar bagi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan yang berujung pada korupsi. Hadirnya instrumen Badan Kehormatan (BK) DPR sebagai early warning system tidak berdaya untuk membendung maraknya korupsi di sana.

Karena itu, ke depan, desain BK DPR harus dibuat lebih responsif dan akuntabel untuk menjadi pengawas yang ditakuti anggotanya. Salah satu hal yang absen dalam sistem pengawasan BK DPR terdahulu adalah tiadanya akuntabilitas yang memadai kepada publik atas kinerja pengawasan itu. Karena itu, berbagai keputusan yang diambil BK DPR atas pelanggaran kode etik anggotanya tidak pernah disampaikan kepada masyarakat luas.

Padahal, mekanisme pertanggungjawaban kepada publik menjadi penting untuk menjaga independensi dan objektivitas BK DPR. Sebagaimana kita ketahui, komposisi anggota BK DPR adalah anggota partai politik yang lolos ke Senayan. Tentu saja, jika ruang lingkup pertanggungjawaban BK DPR hanya pada pimpinan DPR, peluang untuk menganulir atau memetieskan kasus-kasus pelanggaran kode etik anggotanya menjadi terbuka lebar.

BK DPR ke depan juga perlu mengembangkan sebuah mekanisme internal untuk bisa memberikan proteksi dan tempat yang aman bagi para anggotanya yang hendak melaporkan adanya praktik-praktik kecurangan yang terjadi.

Orang-orang seperti Muhfid barangkali akan leluasa membeberkan informasi yang berharga bagi BK DPR jika mekanisme perlindungan pelapor atau saksi itu tersedia. Memang, BK DPR selama ini tidak membocorkan identitas pelapor atau saksi dugaan pelanggaran kode etik kepada siapa pun. Tapi, hal itu tidak dilengkapi proteksi yang layak bagi mereka, terutama dari ancaman ditarik oleh partai politiknya dan berbagai ancaman lain yang kemungkinan mereka terima.

Ke depan, BK DPR perlu menjalin kerja sama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk memastikan pemberian perlindungan yang layak dan aman. Jika itu menjadi perhatian utama anggota DPR baru, mungkin pada masa mendatang kasus-kasus korupsi anggota DPR yang diproses di KPK bisa berkurang signifikan.

*) Adnan Topan Husodo , wakil koordinator ICW


Disalin dari Jawapos, 29 Agustus 2009

Monday, August 17, 2009

Politik Uang dan Pemilu

Uang (dana kampanye) selalu diidentikkan dengan kemenangan pemilu. Hipotesisnya, semakin banyak dana kampanye dikumpulkan, kian besar pula potensi untuk meraih kemenangan. Sebaliknya, jika anggaran untuk kampanye pemilu yang diperoleh hanya sedikit, kemungkinan untuk memang juga semakin tipis. Keyakinan umum atas hubungan kausalitas uang dan kemenangan pemilu telah memicu setiap peserta pemilu, baik kandidat maupun partai politik untuk berlomba-lomba memobilisasi dana kampanye. Harus diakui posisi uang dalam pemilu sangat penting, akan tetapi uang bukan satu-satunya faktor yang menentukan kemenangan pemilu.

Sayangnya untuk mendapatkan sumbangan dana kampanye yang besar, acapkali cara-cara yang tidak layak ditempuh oleh peserta pemilu. Baru-baru ini ICW telah melaporkan kepada Bawaslu dugaan penerimaan dana dari pihak asing oleh pasangan capres dan cawapres dalam pilpres 2009. Sebagaimana diketahui, pasal 103 ayat 1 huruf (a) UU Pilpres telah mengatur larangan yang tegas bagi pasangan calon untuk mencari atau menerima sumbangan dana kampanye dari pihak asing.

Selanjutnya pada ayat 2 disebutkan jika pasangan calon menerima dana dari pihak asing, dana tersebut tidak boleh digunakan dan wajib dilaporkan kepada KPU dan menyerahkan sumbangan tersebut ke kas negara paling lambat 14 hari setelah kampanye berakhir. Nampaknya, waktu dan kesempatan yang diberikan oleh UU sudah terlewati. Semestinya Bawaslu dapat membuktikan laporan tersebut sehingga langkah hukum dapat diambil.

Manipulasi Dana Kampanye


Mengacu pada hasil audit laporan dana kampanye untuk pemilu legislatif 2009 yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP), kecenderungan peserta pemilu melakukan kecurangan dalam penerimaan dan pengeluaran dana kampanye juga terjadi. Dari sisi penerimaan, KAP menemukan beberapa daftar penyumbang yang tidak dilengkapi identitas lengkap. Begitu pula, beberapa penyumbang tidak dapat dikonfirmasi, baik alamat, nomor telepon maupun kebenaran sumbangan.

Sebenarnya sejak tahun 2004, ICW sudah mendeteksi adanya upaya manipulasi laporan dana kampanye, terutama dengan mengaburkan identitas penyumbang yang sebenarnya. Modusnya dengan membuat identitas palsu, tidak memberikan identitas sama sekali, mengatasnamakan pihak atau orang lain sebagai penyumbang dan orang yang menyumbang tidak layak memberikan sumbangan dalam nilai tertentu dilihat dari sudut pandang kemampuan ekonomi. Pada akhirnya, tujuan dari semua indikasi manipulasi diatas adalah untuk menyamarkan atau mengaburkan identitas penyumbang sebenarnya.

Ditinjau dari sisi pengeluaran, dana kampanye yang didapatkan seharusnya hanya digunakan untuk kegiatan kampanye yang dikategorikan legal menurut UU. Jika dana tersebut dipakai untuk membiayai kegiatan kampanye, membuat umbul-umbul, mencetak kaos, pin, bendera, sewa artis, sewa kendaraan umum, sewa helikopter dan sebagainya, hal itu sesuatu yang tidak melanggar hukum.

Namun demikian, praktek tercela seperti politik uang masih menjadi ancaman serius bagi peningkatan integritas penyelenggaraan pemilu, khususnya pada pileg dan pilpres 2009. Dalam perspektif pengeluaran dana kampanye, politik uang adalah praktek penyimpangan atas penggunaan dana kampanye. Istilah serangan fajar masih kerap terjadi dan dikeluhkan banyak pihak.

Berdasarkan penjelasan diatas, masalah dana kampanye pada akhirnya bukan hanya dari sisi jumlahnya. Akan tetapi juga harus dilihat dari bagaimana cara memperolehnya, cara menggunakannya dan kejujuran atau kebenaran atas laporannya. Pada tiga wilayah ini, masalah dana kampanye di Indonesia masih banyak yang harus diperbaiki.

Besar Pasak Daripada Tiang


Dalam kasus pemilu legislatif 2009, data kuantitatif menunjukkan bahwa untuk beberapa partai politik, besarnya dana kampanye tidak berkorelasi positif dengan perolehan suara. Seperti contoh partai Gerindra, dari laporan akhir dana kampanye mereka ke KPU, total penerimaan dana kampanye partainya Prabowo ini sebesar Rp 308,7 miliar. Sementara hasil akhir perolehan suara Gerinda hanya sebesar 4,6 juta pemilih.

Jika dalam kegiatan kampanye, setiap ongkos yang dikeluarkan merupakan cerminan dari harga setiap suara yang diperoleh, maka harga satu suara untuk partai Gerindra mencapai Rp 66,4 ribu. Di urutan kedua adalah partai Demokrat dengan total penerimaan dana kampanye sebesar Rp 234,8 miliar, sementara perolehan suaranya sebesar 21,7 juta. Dengan demikian, harga satu suara untuk partai Demokrat adalah Rp 10,8 ribu. Terbesar ketiga adalah partai Golkar dengan total penerimaan dana kampanye senilai Rp 145,5 miliar dan perolehan suara akhir sebesar 15,03 juta. Ini artinya partai Golkar harus membayar harga satu suara senilai Rp 9,6 ribu.

Sementara itu untuk partai-partai lain nilainya relatif lebih kecil, seperti misalnya PPP dengan harga per suara hanya Rp 750, PKB Rp 701, sementara PAN Rp 2,8 ribu. PDI P termasuk yang mencengangkan karena harga per suaranya hanya Rp 2,6 ribu. Namun khusus untuk PDI P, data laporan dana kampanye mereka ke KPU senilai Rp 38 miliar dianggap meragukan karena berdasarkan estimasi belanja kampanye PDI P berdasarkan data AC Nielsen, mereka telah mengeluarkan dana kampanye hingga Rp 102 miliar. Artinya, apa yang dilaporkan secara resmi kepada KPU dengan apa yang faktual dikeluarkan jauh lebih kecil jumlahnya. Masalah otentisitas laporan dana kampanye yang meragukan juga mungkin berlaku pada partai politik lainnya.

Merujuk pada data kuantitatif diatas, dapat dikatakan bahwa korelasi positif antara besarnya jumlah dana kampanye dan perolehan suara mendapatkan bantahannya jika mengacu pada beberapa partai besar. Pesan yang dapat dipetik dari hal ini adalah bahwa uang bukan satu-satunya penentu kemenangan pemilu. Sikap menghambur-hamburkan uang pada batas tertentu tidak dapat mendongkrak perolehan suara peserta pemilu.

Sementara di sisi lain, partai politik non incumbent harus menghadapi kecurangan pada penyelenggaraan pemilu, baik pada tahap awal hingga pada perhitungan suara. Oleh karena itu, semestinya partai politik tidak hanya memikirkan dan mengalokasikan dana yang besar untuk kepentingan kampanye semata. Apalagi jika kemudian dana kampanye itu dipakai untuk kegiatan politik uang.

Perlu diingat bahwa peserta pemilu memiliki peran untuk mengawasi jalannya pemilu sehingga lebih menjamin kejujuran. Masalahnya, partai politik, khususnya yang baru berdiri dan tidak memiliki kekuasaan mayoritas baru memprotes hasil perhitungan suara setelah semuanya terlambat.

Partai politik lupa bahwa dana kampanye yang mereka miliki seharusnya juga digunakan untuk kepentingan pengawasan pemilu. Jika kekacauan Daftar Pemilih Tetap (DPT) sudah terendus sejak awal, langkah yang semestinya diambil oleh peserta pemilu adalah melakukan koalisi untuk mengawasi penyelenggaraan pemilu.

Asumsinya, jika peserta pemilu mengalokasikan dana kampanye untuk mengawasi paling tidak 50% dari total TPS yang ada, kemungkinan kecil pelanggaran yang kini sedang digugat di MK akan terjadi. Jikapun ada, peserta pemilu yang menggugat memiliki data yang sangat akurat.

Perlu dipahami bahwa politik uang bukan hanya menyuap pemilih, melainkan juga berhubungan dengan penyuapan kepada penyelenggara pemilu, dari tingkat TPS hingga ke pusat. Peringatan ini mungkin sudah terlambat, tapi akan ada ratusan pemilihan umum lokal pada tahun 2010 untuk memilih kepala daerah dan wakilnya yang harus dipikirkan oleh partai politik.

****

Oleh: Adnan Topan Husodo
Tulisan disalin di Koran Jakarta, Jumat, 14 Agustus 2009

Monday, August 10, 2009

Trisula Pembunuh KPK

LaporanAntasariAzhar (AA) kepada Mabes Polri tentang indikasi suap di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kian menyudutkan posisi lembaga penegak hukum ini.

Setelah sempat diperiksa Polda Metro Jaya dalam kasus dugaan penyadapan ilegal yang dituduhkan kepada Chandra M Hamzah (Wakil Ketua KPK), kini Muhammad Yasin,Wakil Ketua KPK yang lain, dituduh menerima uang dalam kaitannya dengan penanganan kasus korupsi PT Masaro.

Secara objektif, hukum harus tegak di mana pun.Oleh karena itu, KPK juga bukan lembaga yang tak tersentuh dewi keadilan.Tentu kita juga sangat paham jika AA,Ketua KPK non-aktif, kini ditahan oleh polisi karena disangka mengotaki pembunuhan terhadap Nasrudin.

Demikian halnya jika fakta hukum menjadi dasar untuk menjerat pimpinan KPK yang lain dalam kasus pidana korupsi, siapa pun tidak boleh ada yang menggugatnya. Titik tekan pada fakta hukum menjadi prasyarat dalam setiap proses projustisia. Penegak hukum yang melakukan proses hukum juga tidak bisa main-main karena melekat di dalamnya sumpah untuk menegakkan keadilan dan kebenaran.

Mereka pun bertindak atas nama Tuhan Yang Maha Kuasa. Pendek kata,wakil Tuhan di muka bumi adalah para pendekar penegak hukum. Persoalannya, hukum telah lama menjadi “mainan”. Hilangnya martabat dan keagungan hukum, termasuk penegak hukum,dikarenakan banyaknya berbagai kepentingan yang menunggangi hukum itu sendiri.

Hukum telah tercemar oleh korupsi, ambisi politik, keserakahan, suap, dan balas dendam. Dalam konteks hukum yang membusuk ini, isu mengenai suap di KPK relevan untuk dikaji lebih jauh. Pertanyaan utama yang layak diajukan kemudian,mengapa KPK setelah AA dinonaktifkan justru semakin mendapatkan tekanan?

Baik dalam bentuk tuduhan,sentilan dari Presiden,ancaman dari pejabat publik tertentu untuk menarik personelnya dari KPK hingga terkatung-katungnya nasib RUU Pengadilan Tipikor di parlemen. Tentu saja, sulit untuk kemudian tidak mengaitkan berbagai serangan terhadap KPK itu dengan sepak terjang KPK dalam menangani kasus korupsi, khususnya pascakepemimpinan AA.

Golden periodKPK telah direspons dengan perlawanan terhadapnya. Jika pada era AA KPK terkesan sangat berhati-hati untuk mengambil keputusan dalam mengangkat perkara korupsi,sumbatan itu seakanakan hilang seiring status AA sebagai tersangka. Dengan demikian, ancaman terhadap KPK dalam berbagai macam bentuknya tidak bisa dilepaskan dari tingginya tensi KPK dalam menangani perkara korupsi.

Testimoni AA: Fitnah atau Fakta?

Sesungguhnya, laporan AA belum dapat dikategorikan sebagai fakta hukum karena berbagai macam keterbatasannya. Dari tiga data yang dimiliki kepolisian, tidak ada satu pun data yang bisa dikategorikan sebagai fakta hukum. Pertama, otentisitas informasi dalam rekaman pembicaraan AA dengan Anggoro, Direktur PT Masaro yang juga tersangka korupsi dalam proyek sistem komunikasi radio terpadu (SKRT) Departemen Kehutanan yang kasusnya ditangani KPK.

Dalam rekaman tersebut Anggoro menyampaikan langsung kepada AA bahwa telah terjadi pemberian uang senilai Rp6 Miliar kepada M Yasin,Ade Rahardja selaku Deputi Penindakan KPK, Bambang W (Direktur Penyidikan KPK) beserta tim penyidik dan sopir. Jumlah yang disebut Anggoro mencapai 12 orang.

Masalahnya, yang langsung menyerahkan uang itu bukan Anggoro, tetapi orang lain. Anggoro hanya mendengar informasi dari orang yang disebut sebagai Toni.Namun,Toni pun bukan orang yang bertemu langsung dengan pihak yang diklaim sebagai petinggi KPK.Toni dalam rekaman itu mengirimkan orang kepercayaannya untuk mengatur kasus PT Masaro yang sedang ditangani KPK.

Singkatnya, AA menerima laporan dari Anggoro, sementara Anggoro sendiri mendapatkan informasi dari pihak lain. Mata rantai informasi yang panjang ini mengakibatkan pengakuan Anggoro sulit dipercayai kebenarannya. Sebenarnya untuk meyakinkan bahwa dugaan suap itu benarbenar terjadi, surat pencabutan cekal terhadap Anggoro oleh “KPK”sudah disampaikan kepada polisi.

Sayangnya, data kedua ini pun sulit diyakini kebenarannya. KPK telah membantah dan mengatakan bahwa surat pencabutan cekal itu palsu. Demikian halnya, Dirjen Imigrasi sendiri hingga saat ini belum pernah menerima permintaan cabut cekal atas diri Anggoro dari KPK.

Jika surat itu benar, tentu Dirjen Imigrasi sudah mencabut status cekal Anggoro semenjak permintaan resmi dari KPK diajukan. Karena dua data pendukung dugaan suap di KPK sebagaimana diuraikan di atas lemah, dapat dibilang testimoni AA sebenarnya tidak dibekali oleh fakta hukum yang memadai.

Oleh karena itu, jika polisi tetap bersemangat dan maju pantang mundur untuk mengusut laporan AA tanpa konstruksi kasus suap yang kuat,tidak menutup kemungkinan adanya dorongan lain di luar motto “demi kebenaran dan keadilan”.

Tiga Penguasa

Gangguan terhadap KPK tidak bisa dilepaskan dari kasus korupsi yang ditanganinya, kemungkinan besar yang ingin meredam upaya KPK dalam memproses hukum kasus korupsi adalah merekamereka yang telah dirugikan atau terancam posisinya. Mereka dapat dibagi dalam tiga kelompok penguasa yang semuanya merasa terganggu oleh sepak terjang KPK. Pertama,penguasa di parlemen.

Politikus Senayan sepertinya sudah sangat gerah dengan langkah KPK dalam memberantas korupsi. Pada saat bidang penegakan KPK tidak memasuki ranah legislatif,bisa dibilang hampir tidak pernah ada tekanan yang berarti dari parlemen. Akan tetapi situasi menjadi berbeda tatkala satu per satu anggota DPR diproses KPK karena melakukan korupsi.

Mengingat tipikal korupsi di parlemen merupakan korupsi bersama- sama, tentu saja perlawanan terhadap KPK juga lebih kuat karena kelompok anti-KPK berasal dari berbagai latar belakang partai dan fraksi. Kedua, penguasa yang tidak menghendaki KPK bertindak terlalu jauh adalah elite politik di lingkungan eksekutif.

Sebagaimana kita tahu,sebagian besar terpidana korupsi yang sudah dijebloskan KPK ke penjara berlatar belakang pejabat eksekutif.Adanya pertautan kepentingan dalam berbagai macam kebijakan publik yang berbau suap acap melibatkan kalangan parlemen dan eksekutif sebagai pelaku korupsi.Tidak aneh jika penguasa eksekutif juga alergi terhadap gebrakan KPK.

Penguasa terakhir adalah pemodal atau pebisnis kotor.Mereka kerap menyogok pejabat publik untuk mendapatkan keuntungan, baik berupa proyek, fasilitas, proteksi maupun konsesi. Dari berbagai macam kasus korupsi yang diproses KPK, ketiga penguasa, yakni anggota parlemen, pejabat eksekutif, dan penguasa kotor, sering berada pada kasus korupsi yang sama.

Konspirasi tingkat tinggi untuk mengegolkan sebuah kebijakan publik yang akan menguntungkan pebisnis kotor telah membentuk kekuatan korupsi yang sulit diberantas. Meskipun Indonesia tidak dianggap sebagai negara yang dikuasai mafia obat terlarang seperti Italia, bentuk-bentuk kejahatan korupsi menunjukkan gejala sebagai kejahatan mafia.

Tak aneh bila,tanpa KPK,banyak skandal korupsi yang macet ketika ditangani kejaksaan dan kepolisian. Sepak terjang KPK secara langsung maupun tidak langsung telah memasuki wilayah kejahatan korupsi baru yang selama ini tak tersentuh hukum. Dalam bahasa lain, KPK telah melanggar batas-batas toleransi dari operasi penegakan hukum korupsi.

Batas-batas itulah yang selama ini dijaga begitu disiplin oleh AA sehingga meskipun secara kuantitatif KPK banyak menangani korupsi, tidak ada gejolak yang cukup berarti sebagai dampaknya. Kasus Agus Condro barangkali telah menabrak batas toleransi, demikian pula kasus-kasus korupsi yang lain. Kini KPK tengah menghadapi musuh sebenarnya. Kuat atau tidaknya KPK sangat tergantung dari seberapa ketat KPK menjaga integritasnya secara konsisten.(*)

Adnan Topan Husodo
Wakil Koordinator
Indonesia Corruption Watch (ICW)


Tulisan disalin dari harian Seputar Indonesia, Selasa, 11 Agustus 2009

Sunday, August 09, 2009

Menguji Dugaan Suap di KPK

Pertemuan jajaran kejaksaan dengan kepolisian beberapa waktu lalu membahas satu masalah yang sangat serius, yakni dugaan suap di KPK. Lengkapnya, salah seorang pimpinan KPK diduga menerima suap dari PT Masaro senilai lebih dari Rp 6 miliar. Tujuannya tak lain adalah untuk menghentikan perkara dugaan korupsi yang melibatkan Anggoro, direktur PT Masaro, dalam proyek alat komunikasi (alkom) di Departemen Kehutanan (Dephut).

Kasus dugaan korupsi PT Masaro merupakan pengembangan dari kasus penyuapan dalam proyek alih fungsi hutan lindung di Banyuasin, Sumatera Selatan, yang melibatkan Yusuf Emir Faisal cs sebagai anggota DPR dari komisi IV. Dari pengakuan yang diterima KPK, dana yang mengalir ke Komisi IV DPR ternyata bukan hanya untuk proyek alih fungsi hutan lindung, melainkan juga dari PT Masaro.

Berdasar informasi itulah, KPK lantas menggeledah Dephut yang di kemudian hari banyak ditemukan data yang mendukung dugaan adanya korupsi dalam proyek pengadaan alat komunikasi di Dephut. PT Masaro merupakan rekanan Dephut yang sejak 1990-an menyuplai alkom.

Entah bagaimana prosesnya, melalui tender atau tidak, yang pasti PT Masaro kerap mendapatkan proyek untuk menyediakan kebutuhan alkom bagi Dephut. Sudah tentu, kasus PT Masaro yang kini ditangani KPK akan menyeret pejabat di Dephut, mengingat proyek alkom berlangsung sejak lama.

Mempertanyakan Motif

Kembali ke topik bahasan, dugaan suap di KPK ini informasinya dari mantan Ketua KPK Antasari Azhar (AA). Menurut versi kepolisian, berdasar pemeriksaan terhadap laptop AA, ditemukan berbagai informasi serta petunjuk mengenai indikasi penyuapan yang diduga dilakukan Anggoro, direktur PT Masaro, terhadap salah seorang pimpinan KPK. Disebut-sebut, pimpinan KPK itu adalah Muhammad Jasin.

Senada dengan informasi lain yang berkaitan dengan dugaan penyadapan ilegal oleh pimpinan KPK Chandra M. Hamzah yang kasusnya juga masih diperiksa kepolisian, sumber informasi atas kedua hal tersebut bisa jadi berasal dari orang yang sama, yakni AA.

Mengingat kronologi kejadian antara indikasi penyadapan ilegal dengan dugaan penyuapan berlangsung secara simultan, motif pengungkapan kasus-kasus tersebut menjadi patut dipertanyakan. Benarkah AA tidak ingin dirinya sendiri yang diseret dalam sebuah kasus, sehingga perlu ''mengajak'' pimpinan KPK yang lain?

Terkesan, pengungkapan dua kasus, yakni indikasi penyadapan ilegal dan dugaan penyuapan, sangat intens dilakukan kepolisian dengan berkoordinasi dengan kejaksaan tatkala KPK tengah gencar-gencarnya mengungkap berbagai kasus korupsi. Salah satu yang sebelumnya ditunggu publik luas adalah kasus dugaan penyuapan dalam pemilihan Miranda Goeltom.

Oleh KPK pasca ditinggal AA, status kasus tersebut ditingkatkan ke penyidikan. Karena yang mungkin terlibat dalam kasus Miranda Goeltom adalah elite politik di Senayan, pejabat BI, serta pihak-pihak tertentu yang sangat mungkin mendanai penyuapan tersebut, sangat mungkin proses hukum terhadap indikasi penyadapan ilegal dan dugaan penyuapan oleh salah seorang pimpinan KPK merupakan sebuah proses hukum yang sudah tidak steril. Kepentingannya sangat jelas. Yakni, ingin menghentikan proses hukum kasus korupsi oleh KPK.

Benarkah Ada Suap?

Mengingat indikasi suap di KPK masih dalam tingkat penyelidikan oleh kepolisian, tentu bukan pada tempatnya menyimpulkan bahwa suap itu merupakan kasus yang direkayasa. Tanpa bermaksud mencampuri proses hukum oleh kepolisian atas indikasi suap di KPK, penulis ingin mengungkapkan beberapa hal mendasar yang bisa mengungkap lebih jauh benar atau tidaknya suap tersebut.

Pertama, biasanya motif penyuapan dalam proses hukum dilakukan untuk menghentikan sebuah kasus yang sedang ditangani aparat penegak hukum. Istilah mafia peradilan merupakan hal yang tepat untuk menggambarkan praktik penyuapan dalam proses peradilan. Dengan berbagai cara, pihak yang sedang diproses hukum memiliki kepentingan untuk menghentikan kasusnya. Entah berujung pada SP3 atau penghentian penyelidikan. Demikian logikanya.

Masalahnya, dalam kaitan dengan kasus pengadaan alkom oleh PT Masaro, KPK bahkan meningkatkan status hukumnya ke tingkat penyidikan. Anggoro yang disebut-sebut merupakan pihak yang mengemukakan adanya suap tersebut sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Bahkan karena menyembunyikan diri, KPK telah menetapkan status buron terhadap diri Anggoro.

Dengan penetapan status hukum ke penyidikan dan penetapan status tersangka atas diri Anggoro oleh KPK, dugaan penyuapan terhadap salah seorang pimpinan KPK menjadi sulit dipercayai. Meski dapat diasumsikan bahwa penyuapan itu telah terjadi, pihak yang disuap tidak sanggup membendung keputusan di KPK. Tapi, hal itu juga perlu didukung oleh data dan fakta hukum yang memadai.

Pada aspek yang terakhir ini, kasus penyuapan di KPK menjadi sangat sumir. Data yang diperoleh ICW menunjukkan bahwa sumber informasi atas indikasi penyuapan berasal dari Anggoro. Namun, Anggoro tentu tidak bisa dijadikan saksi karena dua hal. Pertama, yang menyebutkan adanya suap tersebut hanya Anggoro seorang. Dalam logika hukum pidana, satu orang tidak bisa disebut sebagai saksi.

Kedua, adanya penyuapan yang diakui atau dikatakan oleh Anggoro ternyata tidak bersumber dari Anggoro sendiri. Maksudnya, Anggoro bukanlah pihak langsung yang menyuap orang KPK. Dia mendapatkan informasi adanya penyuapan itu dari pihak ketiga.

Tentu saja, jika informasi mengenai adanya penyuapan tersebut berasal dari pihak yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, kita dapat mengembangkan beberapa spekulasi. Bisa jadi, Anggoro telah ditipu oleh pihak-pihak tertentu yang selama ini terkesan ingin membantu dia menyelesaikan kasus dengan berperan sebagai penghubung ke pihak KPK.

Padahal, sangat mungkin uang yang sudah diberikan Anggoro untuk menyuap tidak pernah disampaikan ke pihak yang berkepentingan. Atau, ada pihak-pihak tertentu yang mengaku sebagai orang KPK dan memanfaatkan situasi kepanikan untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Dari penjelasan tersebut, kasus suap di KPK masih sulit diyakini kebenarannya. (*)

Adnan Topan Husodo

Tulisan disalin dari Harian Jawa Pos, Sabtu, 8 Agustus 2009