Posisi Antasari Azhar (AA) sebagai Ketua KPK sudah bisa dipastikan melayang karena statusnya sebagai terdakwa. Sesuai dengan UU KPK No 30 Tahun 2002, dalam Pasal 32 ayat 1 huruf (3) dinyatakan bahwa pimpinan KPK berhenti atau diberhentikan jika menjadi terdakwa karena melakukan tindak kejahatan.
Setelah pimpinan KPK berhenti permanen, mekanisme pengganti sesuai dengan prosedur Pasal 29, 30, dan 31 UU KPK adalah dengan seleksi dua tahap. Tahapan pertama, Presiden membentuk panitia seleksi yang tugasnya menjaring calon pimpinan KPK. Tahap kedua, Presiden, berdasarkan hasil seleksi panitia seleksi, menyerahkan daftar calon pimpinan KPK kepada DPR untuk dipilih.
Wacana untuk secepatnya mengganti AA paling tidak terbagi pada tiga perdebatan. Pertama, pengganti AA haruslah calon yang berasal dari unsur Kejaksaan Agung karena AA berlatar belakang jaksa. Wacana ini disorongkan oleh Kejaksaan Agung yang kini sudah mempersiapkan dua orang pengganti AA dari unsur jaksa. Kedua, yang diganti bukan hanya AA, melainkan semua pimpinan KPK.
Gagasan ini dikemukakan oleh kalangan DPR.Ketiga, Presiden tidak perlu menyerahkan daftar calon pengganti AA karena Pimpinan KPK yang sekarang sudah cukup memadai untuk menjalankan kerja-kerja pemberantasan korupsi.Ide ini diwacanakan oleh kelompok masyarakat sipil.
Haruskah Unsur Kejaksaan?
Sebenarnya, dalam UU KPK tidak pernah disebutkan secara eksplisit bahwa unsur pimpinan KPK salah satunya harus berasal dari kejaksaan. Pasalnya, desain UU hanya mengatur bahwa calon pimpinan KPK merupakan representasi dari individu-individu yang memiliki kemampuan untuk menjadi pimpinan KPK, bukan representasi kelembagaan penegak hukum atau representasi aparat penegak hukum.
Faktanya, pada seleksi calon pimpinan KPK jilid II, AA dan calon pimpinan KPK lainnya yang kebetulan dari unsur jaksa mendaftarkan diri atas nama pribadi,tidak disodorkan oleh Kejaksaan Agung. Bahwa kemudian berkembang wacana bahwa unsur kejaksaan–– bersama dengan unsur kepolisian–– arus masuk sebagai salah satu pimpinan KPK, ini semata-mata tafsir bebas dari anggota panitia seleksi calon pimpinan KPK.
Argumentasinya sederhana, jaksa mengetahui masalah teknis penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi sehingga salah satu pimpinan KPK harus ada yang berasal dari unsur kejaksaan. Pada titik ini, ada masalah paradoksal yang sangat mengganggu. KPK sebagai lembaga penegak hukum korupsi memiliki tugas utama untuk menangani perkara korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum.
Dengan demikian, asumsi awal diktum ini dibuat menegaskan satu hal bahwa aparat penegak hukum konvensional seperti jaksa dan polisi korup merupakan bagian penting dari persoalan yang harus dibereskan KPK. Oleh karena itu, sangat tidak mungkin KPK dapat memberantas korupsi di tubuh penegak hukum lain jika salah satu unsur pimpinannya berasal dari lembaga yang dikenal subur dengan korupsinya.
Catatan kinerja KPK telah menunjukkan dengan tegas bahwa masuknya unsur jaksa dalam pimpinan KPK justru menjadi penghambat usaha pembersihan yang serius lembaga penegak hukum lain dari penyakit korupsi. Memang benar bahwa KPK telah berhasil menangkap Urip Tri Gunawan (UTG),seorang jaksa di Kejaksaan Agung dalam kasus suap.
Akan tetapi ketika kasus itu hendak dikembangkan kemungkinannya lebih jauh akan keterlibatan pihak-pihak lain yang lebih besar kekuasaannya di Kejaksaan Agung, KPK menghadapi kesulitan yang serius.Padahal, pada saat itu, nama-nama petinggi Kejaksaan Agung sudah muncul satu per satu.Akan tetapi nyatanya, proses hukum tidak pernah menyentuh mereka.
Beberapa di antaranya kemudian hanya diberi sanksi administrasi,yakni dimutasi. Paradoks lain adalah bahwa figur pimpinan KPK haruslah benar-benar terjamin integritasnya. Sosok AA yang dipilih DPR sebagai Ketua KPK sejak awal diketahui catat rekam jejak.Penelusuran ICW dan Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) menyimpulkan bahwa AA tak layak sama sekali menjadi Ketua KPK karena integritasnya yang meragukan.
Pendek kata, dalam situasi seperti sekarang, sulit sekali mendapatkan jaksa yang benar-benar bersih sehingga layak menjadi calon pimpinan KPK. Sangat mungkin jika dua nama yang sudah disiapkan Kejaksaan Agung memiliki masalah yang tidak jauh berbeda dengan AA.
Ambisi DPR
Di satu sisi Kejaksaan Agung tampaknya memiliki ambisi untuk “mengendalikan” KPK,di sisi lain secara politik DPR juga memiliki hasrat besar untuk tetap mengontrol KPK. Pascalengsernya AA sebagai Ketua KPK, suhu politik di DPR memanas karena mereka seakan- akan kehilangan kendali sepenuhnya terhadap KPK.Sebagaimana diketahui, AA merupakan anak emas DPR.
Sementara itu, KPK pasca-AA terus membongkar kasus-kasus korupsi besar yang melibatkan anggota DPR. Resistensi DPR terhadap KPK diperlihatkan dalam banyak hal, salah satunya mendorong wacana agar seluruh pimpinan KPK diganti. Gagasan di atas secara yuridis sangat tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Dalam UU KPK, tidak ada satu pasal pun yang mengatur bahwa jika salah satu pimpinan KPK bermasalah, seluruhnya harus menanggung akibat. Hantam kromo ala DPR bisa jadi dilatarbelakangi motif untuk kembali mengendalikan KPK. Tujuannya cukup jelas, supaya sepak terjang KPK dalam memberantas korupsi memiliki batas-batas toleransi yang jelas. Mana kasus korupsi yang boleh ditangani dan mana yang menjadi wilayah terlarang KPK.
Jika kita kembali pada mekanisme UU KPK,untuk mencari pengganti AA dibutuhkan waktu yang cukup panjang.Akan tetapi ini lebih baik karena berarti DPR yang sekarang tidak dapat menentukan siapa pengganti AA. Karena andai DPR yang saat ini masa tugasnya tersisa kurang lebih 1 bulan diberi otoritas kembali untuk menentukan pengganti AA,sangat mungkin kita akan mengulangi kesalahan.
Meskipun mekanisme seleksi pimpinan KPK oleh DPR merupakan sesuatu yang ideal dari kaca mata sistem checks and balances, dalam kondisi di mana DPR merupakan lembaga yang paling korup, memberikan kewenangan kepada mereka untuk memilih pimpinan KPK sama artinya dengan memberikan senjata kepada orang yang tidak tepat.
Sekeras apa pun warning dan protes dari kelompok antikorupsi agar DPR tidak memilih AA faktanya tidak digubris sama sekali. Kini ketika kondisinya semakin membuktikan betapa salahnya DPR menetapkan AA sebagai Ketua KPK, mereka tidak mau bertanggung jawab sama sekali.
Mungkin memang Presiden perlu mengabaikan tuntutan DPR periode sekarang supaya segera mencari pengganti AA.Akan lebih baik jika DPR periode mendatang yang meneruskan tugas untuk memilih calon pimpinan KPK baru. Paling tidak, DPR baru belum tercemari oleh masalah korupsi. Kita berharap DPR terpilih akan memilih calon-calon pimpinan KPK yang cakap sehingga tugas memberantas korupsi akan lebih mudah dilaksanakan.(*)
Adnan Topan Husodo
Wakil Koordinator
Indonesia Corruption Watch (ICW)
Tulisan disalin dari Seputar Indonesia, 5 September 2009
No comments:
Post a Comment