Daya dukung politik terhadap eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ternyata tidak cukup kuat. Tak aneh jika gebrakan KPK dalam memberantas korupsi direspons dengan sangat negatif.
Caranya dengan melakukan usaha sistematis untuk merontokkan KPK. Jika pimpinan KPK dikriminalisasi melalui tindakan penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi oleh Mabes Polri,wewenang KPK dipreteli lewat jalur alternatif, yakni RUU Pengadilan Tipikor.Dua wewenang KPK yang terus menjadi target pemangkasan oleh elite politik adalah penuntutan dan penyadapan. Tindakan Reskrim Mabes Polri dalam memeriksa Pimpinan KPK sejak awal memang mencurigakan.
Bermula dari dugaan penyadapan ilegal, dugaan suap dalam kasus PT Masaro yang diterima oleh oknum KPK, hingga yang terbaru, dugaan penyalahgunaan wewenang oleh Pimpinan KPK atas penanganan kasus korupsi PT Masaro yang melibatkan Anggoro. Bahkan dua hari lalu kita digemparkan dengan status tersangka atas Candra Hamzah dan Bibit Samad Rianto. Dalam kasus pertama dan kedua, polisi nampaknya kecele karena tidak dapat menemukan bukti hukum yang mendukung.
Sementara kasus yang terakhir, saya khawatir Mabes Polri tidak membaca UU No 30 tahun 2002 tentang KPK. Dalam pasal 36 ayat 1 UU KPK diatur hak untuk mengajukan gugatan rehabilitasi dan atau kompensasi apabila seseorang dirugikan sebagai akibat dari penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang dilakukan oleh KPK. Ditambahkan dalam ayat 2, gugatan rehabilitasi dan atau kompensasi tidak menghilangkan hak orang yang dirugikan untuk mengajukan gugatan praperadilan. Dengan aturan di atas,semestinya Anggoro Wijaya, Direktur PT Masaro yang kasus korupsinya tengah disidik KPK dapat melakukan upaya hukum dengan mengajukan dua gugatan di atas.
Sementara di sisi lain, Kepolisian tidak memiliki wewenang sama sekali untuk melakukan reviu atau pemeriksaan atas proses hukum kasus korupsi yang tengah dilakukan KPK. Berdasarkan aturan hukum inilah, kita bisa mengatakan bahwa yang telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan sebenarnya adalah Reskrim Mabes Polri, bukan KPK.
Memangkas Wewenang KPK
Sikap pejabat Polri dan DPR setali tiga uang, yakni tidak menunjukkan komitmen untuk mendukung agenda pemberantasan korupsi di Indonesia.Parlemen masih terus menggodok RUU Pengadilan Tipikor meski kelompok masyarakat sipil telah menuntut supaya DPR tidak meneruskan proses tersebut. Salah satu isu besar yang menjadi bahan diskusi publik terkait pembahasan RUU Pengadilan Tipikor adalah upaya melemahkan KPK dengan mengamputasi wewenang penuntutan dan penyadapan.
Untuk soal penuntutan, alasan yang diajukan parlemen cukup sederhana,yakni adanya dualisme penuntutan antara KPK dan Kejaksaan. Logika ini menyesatkan karena dua hal.Pertama, dualisme penegakan hukum tidak hanya terjadi pada sisi penuntutan. Bahkan di tingkat penyelidikan, bukan hanya dualisme yang terjadi, tapi sudah “triisme”. Pasalnya polisi, jaksa dan KPK memiliki wewenang untuk melakukan penyelidikan kasus korupsi.Sementara untuk penyidikan,dualisme juga terjadi. Antara KPK dan Kejaksaan samasama memiliki wewenang itu.
Kedua, berhitung soal kinerja, penuntutan KPK justru lebih baik dibandingkan dengan penuntutan oleh Kejaksaan. Indikatornya mudah, tidak ada satu pun kasus korupsi yang dituntut KPK ke Pengadilan Tipikor berakhir dengan vonis bebas. Berbeda dengan Kejaksaan, masih banyak dari kasus korupsi yang dituntut Kejaksaan berujung bebas.Artinya, sejak dimulainya penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan, ada satu aras yang sejalan sehingga penuntutan KPK benar-benar dapat membuktikan secara hukum bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana korupsi.
Secara teknis,mengembalikan wewenang penuntutan ke Kejaksaan juga membuat urusan penegakan hukum menjadi tidak efektif dan tidak efisien. Parlemen seharusnya dapat mengambil contoh antara Kepolisian dan Kejaksaan. Bolak-balik berkas perkara antara Kepolisian dengan Kejaksaan kerap terjadi.Kita tentu akan melihat hal serupa jika KPK hanya diberi wewenang penyelidikan dan penyidikan, sementara wewenang penuntutan ada di Kejaksaan.
Risiko yang paling buruk, fakta-fakta hukum yang telah dikumpulkan KPK dapat dihilangkan dalam penuntutan oleh Kejaksaan.Pada akhirnya, kasus yang diproses KPK bisa saja divonis bebas karena penuntutan yang bermasalah.
Risiko bagi Agenda Pemberantasan Korupsi
Kita tentu merasa heran mengapa SBY sebagai Kepala Negara terkesan diam seribu bahasa atas upaya pihak-pihak tertentu yang ingin melemahkan KPK. Padahal pemberantasan korupsi merupakan isu yang dijual oleh SBYKalla maupun SBYBoediono dalam setiap kampanyenya.
Secara diam-diam, SBY pun mengakui kinerja KPK mengingat dalam periode kampanye Pilpres 2009 kemarin, materi kampanye keberhasilan pemberantasan korupsi Pemerintahan SBYKalla justru menonjolkan sisi KPK. Akan ada beberapa risiko besar jika secara politik,KPK tidak mendapatkan dukungan dan terus dilemahkan. Pertama,Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia untuk tahun 2009 dan selanjutnya tidak akan sebaik capaian IPK 2008 atau bahkan merosot ke titik paling rendah.
Sebagaimana kita tahu, kontribusi KPK dalam mendongkrak IPK Indonesia dari 2,3 pada tahun 2007 menjadi 2,6 pada 2008 merupakan hal yang tidak dapat dibantah. Oleh karena itu, menjadi sangat ironis jika target capaian IPK oleh SBY pada masa kedua kekuasaannya lebih tinggi daripada capaian IPK 2008,akan tetapi pada saat bersamaan,faktor-faktor yang mendukung peningkatan IPK tidak didukung secara politik.
Saya khawatir SBY terlalu percaya diri dengan agenda reformasi birokrasinya sehingga tidak menganggap sama sekali KPK sebagai pemberi kontribusi terbesar dalam mendongkrak IPK Indonesia 2008. Kedua, merosotnya IPK adalah indikator buruknya kepercayaan masyarakat internasional terhadap Indonesia. Lemahnya penegakan hukum, tiadanya kepastian hukum,berjangkitnya suap dalam praktek berusaha, panjangnya mata rantai birokrasi perizinan, tingginya ongkos ekonomi dan rendahnya integritas aparat pemerintah menjadi faktor kunci buruknya citra Indonesia.
Padahal diberantasnya semua faktor di atas adalah kunci untuk meningkatkan daya saing ekonomi nasional.KPK secara langsung maupun tidak langsung berjasa untuk mengubah citra Indonesia yang negatif. Oleh karena itu, jika SBY memiliki komitmen dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, seharusnya hal itu juga didukung oleh komitmen dalam memberantas korupsi.
Kini,semua bola panas yang menghantam KPK menggelinding ke Istana Negara. Sikap kenegarawanan seorang SBY tengah diuji menjelang pelantikannya sebagai Presiden untuk periode kedua. Nasib KPK ke depan berada dalam genggamannya.(*)
Oleh: Adnan Topan Husodo
Tulisan disalin dari Koran Seputar Indonesia, Kamis, 17 September 2009
No comments:
Post a Comment