Tuesday, July 29, 2008

Dana Kampanye di Sarang Penyamun

Cara-cara ilegal untuk memobilisasi dana kampanye menjadi fakta yang tidak dapat dihindari. Melalui korupsi, pemerasan terhadap kalangan pengusaha, meminta kepada BUMN/BUMD, hingga menggunakan dana dari perjudian, narkotika, sampai pembalakan liar, peserta pemilu menggali sumber keuangan politik.

Tetapi, menjerat mereka yang melanggar itu sulit karena minimnya perangkat hukum yang tersedia. Jika pun ada, inisiatif untuk menggunakannya amat sedikit. Akibatnya miris karena pemenang pemilu tidak steril dari penggunaan dana-dana haram.

Persoalannya, menyulap perolehan sumbangan haram menjadi laporan resmi adalah hal yang mudah. Apalagi audit terhadap dana kampanye menggunakan pendekatan prosedur yang disepakati, bukan investigatif audit. Prosedur yang disepakati telah membuat Kantor Akuntan Publik (KAP) pada akhirnya terbentur pada keterbatasan akses dan dokumen.

Hal itu mengingat dalam pendekatan prosedur yang disepakati, KAP hanya dapat melakukan audit terhadap informasi dan data yang disediakan para peserta pemilu. KAP tidak dapat melampaui dari batasan itu.

Di sisi lain, penting bagi KPU untuk menyelamatkan pemilu sehingga tidak cacat hukum. Dengan begitu, audit dana kampanye kerap dilakukan sebatas memenuhi kewajiban formal UU saja.

Modus Kecurangan

***Saat ini kampanye pemilu telah dimulai. Dapat dipastikan, peserta pemilu mulai mengumpulkan dan membelanjakan sumber pendanaan kampanyenya. Pertanyaannya, apakah aktivitas memobilisasi dana kampanye sekaligus kegiatan membelanjakannya dapat dibuat lebih transparan dan akuntabel sehingga sistem yang tersedia dapat mendeteksi adanya pelanggaran terhadap aturan dana kampanye?

Mungkin, kita dapat merujuk kepada beberapa temuan yang diperoleh Indonesia Corruption Watch pada pelaksanaan pemantauan dana kampanye Pemilu 2004. Dari penelurusan ICW pada pelaporan dana kampanye Pemilu 2004, ditemukan beberapa modus operandi pelanggaran dana kampanye, yang pada intinya membuat laporan dana kampanye seolah-olah sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Modus pertama dengan memecah-mecah dana dari satu penyumbang, baik individu maupun badan hukum/swasta, ke berbagai ''joki'' penyumbang untuk menghindari batasan maksimal sumbangan.

Untuk aturan dana kampanye Pemilu 2009, pembatasan jumlah maksimal sumbangan bagi perorangan dan badan hukum/swasta mengalami peningkatan dibandingkan pada Pemilu 2004. Sesuai dengan pasal 134 UU No 10/2008 tentang Pemilu, batas maksimal sumbangan individu adalah Rp 1 miliar, sedangkan bagi badan hukum/swasta mencapai Rp 5 miliar.

Dengan kondisi bahwa partai politik dan kandidat peserta pemilu masih dikuasai segelintir pihak yang memiliki akses pendanaan luas, modus di atas masih mungkin terjadi.

Modus lainnya adalah memecah dana dari satu penyumbang ke berbagai nama penyumbang fiktif untuk menghindari kewajiban pencatatan identitas penyumbang. UU Pemilu 2004 mewajibkan adanya pencatatan terhadap identitas penyumbang yang nilai sumbangannya di atas Rp 5 juta. Dengan mendistribusikan jumlah tertentu sumbangan ke berbagai penyumbang fiktif, maka kewajiban pencatatan identitas penyumbang dapat dihindari.

Untuk Pemilu 2009, meskipun aturan baru telah mewajibkan adanya pencatatan identitas penyumbang tanpa terkecuali, sangat mungkin daftar laporan penyumbang dengan identitas fiktif masih akan banyak ditemukan.

Hal itu mengingat sejak awal para penyumbang dana kampanye tidak ingin diketahui identitasnya. Tujuannya jelas, yakni untuk menghindari kemungkinan diketahuinya sumber bantuan dana kampanye yang sejatinya berasal dari sumber yang dilarang UU.

Modus berikutnya menggunakan rekening liar sebagai penampungan dana kampanye. Meskipun ada kewajiban bagi peserta pemilu untuk memiliki rekening khusus dana kampanye, pada praktiknya mereka dapat membuka rekening liar yang tidak dilaporkan kepada KPU. Teknik ini sulit dideteksi karena pengelola rekening liar adalah tim bayangan yang juga tidak terdaftar secara resmi sebagai tim kampanye di KPU.

Tantangan ke depan yang harus dijawab adalah pemberian sanksi terhadap berbagai pelanggaran terkait dengan aturan dana kampanye bisa ditegakkan. Dengan begitu peserta pemilu yang kedapatan melakukan kecurangan dapat didiskualifikasi sebagai peserta pemilu dan pemenang, terlebih dipidana.

Tiga Pendekatan

Jika dibagi berdasar jenisnya, ada tiga kategori pelanggaran dana kampanye. Pertama, pelanggaran administratif dan pidana pemilu itu sendiri, yakni pelanggaran terhadap ketentuan yang berlaku dalam UU No 10/2008 tentang Pemilu, khususnya yang terkait langsung dengan dana kampanye.

Terhadap peserta pemilu yang melanggar aturan main dana kampanye, pidana pemilu dapat memberikan sanksi cukup berat berupa diskualifikasi sebagai peserta pemilu atau sebagai pemenang.

Pendekatan itu bisa sangat efektif jika Bawaslu dan KPU memiliki kemauan kuat untuk menertibkan dana kampanye liar. Masalah ke depan yang mungkin muncul ialah pada masa kedaluwarsa temuan laporan pelanggaran aturan dana kampanye yang sangat singkat sehingga memperkecil peluang untuk dapat ditindaklanjuti oleh Bawaslu.

Jenis pelanggaran kedua ialah pelanggaran yang ketentuannya di luar UU Pemilu. Yakni pidana pencucian uang. Banyak pihak yang menengarai pemilu merupakan ajang yang tak luput dari pencucian uang. Apalagi peserta pemilu dapat membuka rekening liar yang tidak dilaporkan ke KPU. Kerja sama yang baik KPU dengan PPATK sangat memungkinkan pidana pencucian uang ditemukan dalam penyelenggaraan pemilu.

Terakhir adalah pidana korupsi. Kasus mengalirnya dana DKP ke berbagai tim sukses pasangan capres-cawapres pada Pemilu 2004 mewakili bentuk pidana ini. Sayang, KPK tidak melanjutkan proses hukum terhadap temuan itu sehingga tidak menjadi preseden bagi pemilu selanjutnya.

Ketika ada aliran dana dari sumber-sumber yang dilarang, apalagi dari APBN/APBD atau BUMN/BUMD, maka sebenarnya KPK atau kejaksaan dapat mulai mengusut indikasi tindak pidana korupsinya. Bukan justru mengalihkan isu pidana korupsi kepada masa kedaluwarsa pelanggaran pidana pemilu sehingga seolah-olah terjadi kekosongan hukum.***

Adnan Topan Husodo , koordinator Divisi Korupsi Politik pada Indonesia Corruption Watch (ICW) di Jakarta

Disalin dari Jawapos, 30 Juli 2008

paradoks Asas Keterbukaan Parlemen


Secara mengejutkan, dua momen penting rapat dengar pendapat (RDP) Komisi III DPR RI dengan KPK dan Kejaksaan Agung RI yang terakhir dilakukan secara tertutup. Padahal kedua lembaga mitra kerja Komisi III DPR RI ini sedang memiliki pekerjaan rumah besar. KPK sedang menangani perkara suap yang melibatkan berbagai anggota DPR, sementara Kejaksaan Agung RI setelah kasus suap Ayin-jaksa UTG harus segera melakukan percepatan reformasi internalnya. Bukan hanya itu, karena dari hasil sadapan KPK, diketahui kasus suap ini tidak hanya melibatkan UTG semata, akan tetapi sudah menyeret beberapa nama Jaksa Agung Muda, yang kemudian harus disingkirkan oleh Jaksa Agung, Hendarman Supandji atas desakan publik.

Dengan dua hajatan besar tersebut, seharusnya pertemuan antara Komisi III DPR RI dengan aparat penegak hukum dilakukan secara terbuka. Supaya publik mengetahui sejauh mana perkembangan penanganan perkara suap di parlemen itu diselesaikan KPK, sekaligus seserius apa Kejaksaan Agung telah melakukan langkah-langkah darurat untuk membenahi citranya.

Tak dapat dihindari jika kemudian pertemuan tertutup itu memunculkan banyak spekulasi. Salah satu yang paling mencuat adalah isu intervensi politik DPR terhadap KPK. Kebenaran akan hal ini masih perlu dikonfirmasi, akan tetapi motif Komisi III DPR RI untuk melakukan pertemuan tertutup juga tidak dapat diterima nalar sehat.

Secara teoritis, DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat harus mengembangkan prinsip-prinsip good governance dalam setiap pelaksanaan fungsi dan kewenangannya. Hal ini berarti, DPR harus menerapkan paling tidak tiga hal, yakni prinsip transparansi, prinsip akuntabilitas dan prinsip partisipasi. Ketiga prinsip ini penting untuk diterapkan sebagai mekanisme kontrol publik atas kerja parlemen. Apalagi di satu sisi, DPR baru saja mengesahkan UU Kebebasan Informasi Publik (KIP). Oleh karenanya, menjadi sangat lucu jika pertemuan Komisi III DPR RI dengan aparat penegak hukum justru dilakukan secara tertutup. Bukankah ketertutupan itu adalah awal terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme?

Ketertutupan Komisi III DPR dalam membahas perkembangan pemberantasan korupsi dengan KPK dan Kejaksaan Agung RI menandakan bahwa DPR tidak memiliki respon yang baik terhadap tuntutan transparansi. Seharusnya dalam kondisi dimana DPR sedang babak belur karena mencuatnya berbagai kasus suap yang melibatkan anggotanya, DPR mengambil inisiatif untuk memperbaiki citranya.

Ada beberapa hal yang perlu dicermati dari Rapat Dengar Pendapat antara Komisi III dan KPK yang dilakukan secara tertutup:

Pertama, Komisi III DPR dapat dianggap melakukan perbuatan melawan hukum. Pasal 3 UU 30 Tahun 2002 tentang KPK: "Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun"

Pasal ini menegaskan sifat kewenangan KPK yang independen dan tidak dapat diintervensi pihak manapun, termasuk DPR. Persoalan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan merupakan bagian terpenting dari kewenangan KPK. Artinya, jika Komisi III DPR masuk pada persoalan substansi dan teknis penyidikan, baik pengembangan tersangka atau sejenisnya, maka Komisi III telah melakukan perbuatan yang melanggar independensi KPK. Atau dalam bahasa lain, DPR telah melakukan intervensi. Lain halnya jika KPK mengharapkan adanya dukungan politik dari DPR untuk memberantas korupsi, khususnya yang melibatkan anggota dewan itu sendiri.

Pasal 20 ayat (1) UU KPK menyebutkan: " Komisi Pemberantasan Korupsi bertanggung jawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan."

Pasal ini mengatur secara jelas, pertanggungjawaban KPK hanya dapat dilakukan secara terbuka. Selain dapat dianggap melanggar pasal 3 UU KPK, tindakan Komisi III DPR juga dinilai bertentangan dengan Pasal 20 ayat (1) UU KPK.

Berdasarkan UU KPK tersebut secara jelas dinyatakan bahwa pertanggungjawaban KPK adalah menyampaikan laporannya kepada publik secara terbuka dan bukan semata segelintir anggota Komisi III DPR RI, dalam hal ini adalah Komisi III DPR RI. Karena bagaimanapun, anggota Komisi III DPR tidak dapat disebut sebagai perwakilan rakyat dalam pengertian sesungguhnya. Anggota Komisi III DPR adalah entitas politik yang memiliki kepentingan dan agenda tersendiri yang bisa atau bahkan sering keluar dari konteks kepentingan publik.

Kedua, Tindakan Komisi III DPR bertentangan dengan semangat UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Padahal UU baru saja dihasilkan oleh DPR itu sendiri. UU ini menyebutkan pada prinsipnya setiap informasi bisa diakses publik, kecuali yang bersifat sangat rahasia, seperti: data intelijen, data yang membahayakan keamanan negara, kebijakan moneter, nama dan identias pelapor yang wajib dilindungi, dan data teknis penyelidikan. Jika DPR beralasan bahwa rapat tertutup itu sesuai dengan Tata Tertib DPR, ada kelemahan mendasar dalam nomenklatur ini, yakni tiadanya syarat pengecualian yang secara rinci disebutkan sehingga tidak menimbulkan multitafsir.

Ketiga, alasan mengapa pertemuan dilakukan secara tertutup seperti untuk memahami kinerja lembaga itu lebih mendalam- merupakan alasan yang terkesan dicari-cari dan justru merusak citra DPR dimata publik. Diluar kasus korupsi yang tengah melilit para anggota dewan, Komisi III justru memperkeruh keadaan dengan mengadakan rapat tertutup dengan KPK.

Ada kesan yang timbul bahwa DPR melakukan intervensi terhadap proses penanganan kasus korupsi yang dilakukan oleh KPK. Apalagi KPK sedang aktif menangkap dan memproses beberapa anggota DPR. Hal ini juga dapat menimbulkan kecurigaan dari masyarakat bahwa ada 'main mata' atau 'kongkalingkong' antara KPK dan Komisi III DPR dan dapat menjadi preseden buruk serta mengancam independensi KPK.

Di luar kasus Bulyan Royan, DPR juga menyoroti kasus aliran dana BI yang proses hukumnya belum selesai. Sejak awal tampak bahwa persoalan aktor/pelaku menjadi perhitungan sendiri dalam mengusut sebuah kasus korupsi. Dalam kasus aliran dana BI/YPPI, KPK masih sebatas menjerat lima orang, yakni Burhanudin Abdullah, Oey dan Rusli S dari kalangan BI, serta Hamka Yamdu dan Anthony dari DPR.

Padahal dokumen dan bukti yang ada, serta berbagai fakta yang berkembang dalam pemeriksaan para tersangka menunjukan masih ada aktor lain yang seharusnya ikut diseret KPK. Jika proses hukum tidak beranjak maju, ada kekhawatiran bahwa KPK telah terjebak pada penghukuman terbatas pada aktor-aktor yang tidak memiliki proteksi politik. Padahal konsep penegakan hukum hanya mengenal prinsip imparsialitas.

Oleh karena itu, kedepan pembahasan kebijakan publik yang melibatkan DPR dengan mitra kerjanya harus dilakukan secara terbuka. Parlemen sebagai penyusun UU KPK juga perlu menghormati independensi KPK sebagai lembaga penegak hukum. Sebaliknya, DPR sudah semestinya merubah paradigma dengan mengubah beberapa pasal dalam tata tertib DPR yang mengekang prinsip transparansi dan akuntabilitas publik. Hanya dengan cara-cara diatas DPR dapat dianggap memiliki kemauan politik dalam memberantas korupsi, sekaligus menyokong secara politik agenda pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Bukan justru mengekangnya.

****

Adnan Topan Husodo

Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW

Thursday, July 24, 2008

Menghentikan Gelombang Korupsi Parlemen

Saya sangat tertegun melihat salah satu anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat RI dari Fraksi Demokrasi Indonesia Perjuangan pada sebuah acara talk show di stasiun televisi swasta beberapa waktu lalu. Ia membuka informasi langka, yakni jumlah saldo rekening tabungan yang dimilikinya selama dua setengah tahun menjadi wakil rakyat. Di samping kejujurannya, saya terhenyak dengan angkanya, hanya Rp 42 juta!

Jumlah itu bukan hanya sangat kecil menurut ukuran pejabat publik, tapi juga menunjukkan "anomali". Disebut demikian karena biasanya pejabat publik, apalagi sekelas wakil rakyat, dapat dipastikan memiliki jumlah kekayaan yang sangat banyak. Hal itu dapat diukur dengan kepemilikan harta kekayaan seperti rumah mewah atau apartemen, mobil mahal lebih dari satu, anak-anak berlatar belakang pendidikan luar negeri, ikut menjadi anggota klub-klub berkelas, dan lain sebagainya.

Pun laporan harta kekayaan penyelenggara negara yang setiap tahun wajib diperbarui dan dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi oleh penyelenggara negara, termasuk anggota parlemen, tidak pernah mencatat nilai kekayaan di bawah Rp 100 juta! Justru sebaliknya, kecenderungan laporan nilai kekayaan meningkat setiap tahun, ini pun dengan asumsi bahwa para penyelenggara negara tidak sepenuhnya jujur mencatatkan seluruh harta kekayaan yang dimiliki.

Paling-paling, jika kekayaan itu dianggap cukup fantastis, argumentasi yang dibangun adalah bahwa di luar pekerjaan menjadi anggota parlemen, mereka memiliki usaha sampingan, mulai dari membuka kantor pengacara, mendirikan perusahaan, atau berkilah bahwa sebagian besar kekayaan berasal dari hibah. Hibah dari siapa dan kapan diberikan, tidak terlalu penting untuk disampaikan.

Secara sadar alasan ini telah mendorong anggota parlemen masuk atau terlibat dalam konflik kepentingan. Sebagai seorang pejabat negara, apalagi menjadi wakil rakyat, ada nilai-nilai etik yang harus dihormati untuk tidak memasuki wilayah rawan penyimpangan kekuasaan. Menjadi pengacara nonaktif dan menjadi pengusaha nonaktif tidak serta-merta menanggalkan potensi terjadinya konflik kepentingan. Dengan berbagai cara, kekuasaan yang dimiliki anggota DPR dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan keuntungan pribadi, meskipun secara formal dirinya tidak terlibat dalam seluruh aktivitas nonparlemen.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana perhitungannya sehingga anggota DPR di atas hanya memiliki saldo Rp 42 juta? Begini jawabannya. Angka itu adalah ongkos kejujuran, di mana dia hanya memperoleh gaji resmi yang diterima setiap bulannya sebagai anggota Dewan. Dari hidup jujur itu, diperoleh keseimbangan bahwa jumlah gaji sama dengan jumlah pendapatan. Berbeda dengan pejabat publik yang senang dengan rumus baku: gaji kecil tapi pendapatan besar.

Sebenarnya, jika gaji sebagai anggota Dewan yang rata-rata mencapai Rp 50 juta setiap bulan dinikmati sendiri, nilai itu sudah sangat cukup. Tapi karena ada kewajiban menyetor kepada partai politik, mengayomi konstituen yang datang dengan berbagai proposal dan permohonan bantuan, gaji sebesar apa pun menjadi sangat kurang. Tak aneh jika selama dua setengah tahun menjadi anggota DPR yang jujur, ia hanya dapat menabung sejumlah Rp 42 juta.

Lantas, apakah anggota DPR lainnya tidak berlaku jujur? Delapan anggota Dewan yang kini sedang diproses hukum oleh KPK adalah alat konfirmasinya. Mulai dari Saleh Djasit hingga terakhir Yusuf Emir Faishal, yang telah dinyatakan sebagai tersangka oleh KPK karena melakukan korupsi, menandakan bahwa cara-cara untuk mendapatkan kekayaan dari pekerjaan menjadi anggota Dewan telah melawan secara hukum.

Analisis ini pasti akan dicurigai sebagai generalisasi. Namun, jika korupsi anggota Dewan yang beberapa kali terungkap oleh KPK merupakan fenomena gunung es, sangat mungkin praktek penyelewengan kekuasaan di DPR telah menjadi bagian dari cara kerja wakil rakyat itu sendiri. Dengan demikian, melakukan generalisasi dalam konteks ini menjadi absah.

Pola relasi
Mencari akar masalah untuk memahami praktek korupsi yang kian banyak muncul ke permukaan setelah KPK rajin melakukan razia terhadap anggota DPR tidaklah sulit, meskipun tidak semudah yang dibayangkan. Paling tidak, apa yang telah diakui oleh sebagian besar politikus bahwa relasi antara kader partai dan partai politik yang menekankan pada aspek setoran uang dan pembiayaan untuk kerja partai politik telah mendorong adanya usaha memperoleh dana dari sumber-sumber “alternatif”.

Pola relasi yang menguras ongkos politik tidak hanya terjadi pada ranah partai politik dengan kader partai, tapi juga antara kader partai dan konstituennya. Seperti diketahui, sebenarnya antara partai politik dan konstituen tidak ada hubungan yang nyata, kecuali bagi segelintir pengurus elite partai itu sendiri. Relasi partai politik dengan konstituen dijembatani oleh kader partai yang menjadi wakil rakyat sebagai konsekuensi demokrasi perwakilan.

Komunikasi itu terjadi melalui berbagai macam kegiatan, baik pada saat reses maupun kegiatan temu konstituen. Namun, mengingat sudah menjadi kebiasaan bahwa cara memelihara konstituen adalah dengan uang, aktivitas politik semacam itu tak ubahnya sebatas menebar uang kepada pemilih. Padahal seharusnya momentum bertemu dengan pemilih menjadi alat untuk menyerap aspirasi para pemilih.

Akibatnya negatif bagi kedua pihak. Di satu sisi, para kader partai yang menjadi politikus, baik di Senayan maupun di daerah, menjadi sangat koruptif karena ada kebutuhan untuk membiayai berbagai macam kegiatan politik. Meskipun di luar konteks ini, politikus yang melakukan korupsi juga memiliki motif menumpuk kekayaan untuk dinikmati secara pribadi. Pendek kata, antara kebutuhan untuk memperkaya diri dan mempertahankan kekuasaan bertemu kepentingannya melalui cara-cara koruptif.

Pada sisi lain, konstituen dan pemilih dimanjakan dengan bantuan ini-itu yang membuat perilaku meminta uang kepada kader partai menjadi habit. Jika kader partai datang tanpa membawa uang sama sekali, itu sama artinya dengan selesainya loyalitas dan waktunya untuk berpaling kepada kader lain. Gejala pembusukan dalam model hubungan antara tiga aktor, yakni partai politik, kader, dan konstituennya, telah memperkuat praktek korupsi di wilayah politik. Hal ini menjadi sangat kontradiktif mengingat dalam sistem pembiayaan politik yang benar, dalam arti partai politik dapat menjaga independensinya, donasi dari anggota partai politik sangatlah diharapkan.

Maka, mau tidak mau, pola relasi semacam itu harus diubah. Sebenarnya ada skenario substitusi untuk secara perlahan mendorong perbaikan pada masalah ini. Yakni dengan menempatkan agenda dan kepentingan konstituen sebagai bagian dari perjuangan kader partai politik di parlemen. Cash money, yang biasanya menjadi rutinitas komunikasi kader partai dengan konstituen, diganti dengan perjuangan kebijakan pada wilayah alokasi anggaran dan program. Dalam jangka panjang, pemilih sudah pasti lebih menyukai jika kebutuhan kelompok kepentingannya diwujudkan melalui perjuangan alokasi anggaran, baik APBN maupun APBD, serta terakomodasinya aspirasi mereka dalam program-program pembangunan. Bukan dengan uang tunai yang ujung-ujungnya jatuh di tangan segelintir orang saja.

Oleh: Adnan Topan Husodo
Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW

Artikel diterbitkan Koran Tempo, Jumat, 25 Juli 2008

Monday, July 07, 2008

Membatasi Kuasa Uang dalam Pemilu

Dalam politik, posisi uang teramat penting, tapi tidak menentukan. Ibarat pelumas mesin, uang adalah energi untuk menggerakkan partai. Tanpa uang, partai politik tidak akan berbuat banyak. Ini bukan kesimpulan yang bermakna rakus, akan tetapi sebuah realitas yang sudah diterima secara universal dalam dunia politik.

Walau begitu, berdemokrasi juga tidak harus menelan ongkos yang mahal. Demokrasi yang bergelimang uang adalah demokrasi yang tidak sehat. Demokrasi yang baik adalah ketika yang memiliki modal besar dengan yang pas-pasan dapat bersaing secara sehat. Di sini, aturan dalam kompetisi politik adalah masalahnya. Ketika kemenangan dalam rivalitas politik ditentukan hanya oleh uang, maka aturan main dalam sistem demokrasi dapat dibeli.

Praktek beli suara, beli kursi, dan beli pengaruh dalam politik menjadikan uang bukan lagi sebagai penyokong, tetapi sudah menjadi persoalan besar. Pertautan kepentingan antara aktor politik dan pelaku ekonomi dimulai dengan praktek jual beli posisi. Aktor politik yang butuh kemenangan akan dipasok oleh pelaku ekonomi dengan jumlah dana yang biasanya tidak sedikit sebagai modal untuk berkompetisi.

Posisi politik yang telah direbut melalui pembelian suara (money politics) pada akhirnya akan dipakai untuk mengembalikan modal, sekaligus mengkapitalisasinya melalui instrumen kebijakan negara. Pada akhirnya, negara bukan lagi sebagai representasi dari kepentingan publik yang luas, tetapi mengerucut hanya sebatas sarana memperluas kekuasaan, baik politik maupun ekonomi. Tujuan akhirnya, kekuasaan politik yang telah diraih dapat dipertahankan, dan pada saat yang bersamaan, kekuasaan ekonomi mengalami ekspansi.

Masalahnya, kepentingan politik-bisnis yang mengendarai demokrasi prosedural (baca: pemilu) semakin kuat cengkeramannya dalam situasi masyarakat pemilihnya tidak memiliki daya tawar yang kuat. Hanya dengan bergerak melalui penyebaran uang ke berbagai kelompok masyarakat yang rentan, kekuatan politik-bisnis dapat menguasai negara, dan mengendalikan kebijakannya.

Sayangnya, kelompok rentan masih dalam jumlah yang relatif besar, jika tidak bisa dibilang dominan. Cara-cara berpolitik yang tidak kreatif, miskin inovasi, tidak komunikatif dalam menyampaikan ide dan janji, dapat terus bertahan jika sisi permintaan (demand side) dari masyarakat tidak berubah. Partai politik dan politisinya tidak akan banyak melakukan kerja politik, kecuali sekadar menggelontorkan uang.

Meningkatkan Kualitas Permintaan

Analisis supply and demand interaction dalam ekonomi sebagai sarana menemukan titik kesetimbangan baru dapat digunakan dalam dunia politik. Ketika ada pembiaran, dan justru menganggap pemberi uang sebagai sinterklas yang datang pada saat kampanye dan pemilu, maka usaha untuk menempatkan demokrasi sebagai mekanisme sirkulasi kekuasaan yang sehat mendapatkan ancaman yang sesungguhnya.

Meningkatkan kualitas sisi permintaan dalam politik adalah proyek demokrasi yang mendesak. Pendidikan pemilih adalah salah satu cara yang diambil, tetapi merasionalkan pemilih butuh energi yang banyak dan usaha yang terus-menerus. Bukan hanya karena musuh dari demokrasi itu sendiri adalah uang, tetapi money politics adalah candu yang menciptakan halusinasi massal.

Selebihnya, pemilih harus belajar dari masa lalunya. Masa uji bagi penguasa baru yang dipilih melalui pemilu adalah lima tahun. Jika selama itu pemimpin yang diberi amanat tidak bijak dalam menjalankan tanggung jawabnya, maka candu money politics dapat digunakan untuk melupakannya, meski hanya sesaat. Mewaspadai datangnya candu ini sama pentingnya dengan mengingat kembali janji kampanye para politisi.

Hasilnya, demand side dalam politik sudah mulai bergerak, mulai menerjang kekuatan uang, sekaligus sejarah mesin politik. Makna filosofisnya, yang berpengalaman berkuasa belum tentu yang paling baik. Maka, di beberapa daerah di Indonesia, politisi incumbent kian banyak yang tumbang dalam pemilihan kepala daerah. Sampai Ketua Umum Golkar Jusuf Kalla mengingatkan kepada para kadernya untuk mengubah cara-cara konvensional dalam menghadapi pemilihan kepala daerah.

Secara implisit, permintaan Kalla merupakan refleksi atas kegagalan Golkar dalam banyak pemilu daerah. Terakhir, yang menyesakkan, Golkar tumbang di Jawa Barat oleh koalisi PAN-PKS yang mengusung wajah-wajah muda sebagai calon gubernur dan wakil gubernur. Demikian juga halnya dengan kekalahan Golkar di Jawa Tengah. Padahal, Jawa Barat adalah lumbung suara bagi Golkar selama ini. Apakah ini artinya pemilih mulai bosan dengan gaya politik mesin kekuasaan tua? Bisa jadi kebosanan itu dipicu oleh tak kunjung datangnya perubahan yang diharapkan, sebagaimana ketika janji-janji kampanye diucapkan.

Pada konteks ini, uang tidak lagi memiliki daya yang cukup untuk memenuhi hasrat berkuasa. Jika benar klaim Ahmad Heryawan-Dede Yusuf bahwa mereka hanya mengeluarkan anggaran tak lebih dari Rp 800 juta, maka jalan untuk memulai berdemokrasi secara lebih murah telah dibuka. Lantas, kekuatan apa yang dapat menandingi uang dalam pemilu?

Barangkali kerja politik yang terus menerus adalah kuncinya. Semangat untuk memobilisasi pemilih merupakan cermin dari kuatnya ideologi partai politik yang menancap dalam sanubari pendukungnya. Sumbangan sukarela dari pendukung partai dan kandidat telah memperkuat infrastruktur partai politik itu sendiri.

Sebaliknya, uang yang telah lama menjadi model konvensional pemenangan pemilu telah merusak ideologi partai. Pembelian suara mendorong motivasi berpolitik sekadar untuk mendapatkan keuntungan dan malas menjalankan kerja politik. Pendukung partai pada akhirnya juga mengalami demoralisasi. Korupsi kemudian menjadi praktek yang biasa terjadi dalam membelanjakan dana politik.

Ini adalah alarm bagi partai politik. Ancaman akan runtuhnya kekuasaan dan kekuatan partai politik bukanlah pada pembubaran dirinya oleh negara, tetapi ketika pemilih telah mulai berpaling darinya. Perilaku pemilih yang mulai bergeser harus menjadi pelajaran berharga bagi pengurus partai untuk meningkatkan kualitas penawarannya.

Adnan Topan Husodo, Koordinator Departemen Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch

Disalin dari Koran Tempo, 8 Juli 2008

Gunung Es Korupsi di Parlemen

Sudah ada delapan anggota parlemen berlatar partai politik berbeda diproses secara hukum oleh KPK karena terlibat korupsi. Belum lagi anggota-anggota DPR yang muncul dalam proses hukum kasus korupsi Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dengan terpidana Rokhmin Dahuri yang kini tidak ditindaklanjuti KPK. Selain itu, kasus aliran dana Bank Indonesia yang sedang diproses KPK juga membuka deretan nama anggota DPR yang diduga kecipratan dana haram itu. Setidaknya demikian dokumen pemeriksaan tersangka Hamka Yamdu menyebutkan.

Meskipun kian banyak anggota DPR yang tertangkap tangan menerima uang haram, tetapi kondisi ini masih dipandang sebagai puncak gunung es dari korupsi yang sebenarnya terjadi di parlemen. Pasalnya, hampir pada semua kewenangan DPR, baik pada konteks pengawasan, penganggaran, maupun legislasi, semua rawan praktik korupsi.

Survei korupsi yang dilansir Transparency Internasional Indonesia menyebutkan, parlemen dan partai politik adalah lembaga paling korup sejak dua tahun berturut-turut.

Akar masalah korupsi

Pertanyaannya, apa akar masalah korupsi di parlemen? Mengapa parlemen yang lahir dari pemilu yang demokratis justru menjadi aktor utama korupsi? Jawabannya dapat ditemukan pada beberapa hal berikut.

Pertama, akuntabilitas politik DPR amat rendah. Hampir tidak ada mekanisme yang dapat menjamin akuntabilitas politik itu dijalankan. Saat ini, pertanggungjawaban kerja parlemen hanya sebatas laporan lima tahun yang dibuat satu kali menjelang masa jabatan mereka berakhir.

Dari sisi akuntabilitas anggaran, memang ada audit reguler yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), tetapi korupsi di parlemen justru tidak terlalu banyak terjadi pada wilayah anggaran mereka sendiri. Wilayah kerja korupsi parlemen lebih banyak dilakukan pada perdagangan kekuasaan dan wewenang, baik dalam fungsi pengawasan, penganggaran, maupun legislasi. Sayang, pada titik ini, justru parlemen tidak memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas.

Kedua, mekanisme perekrutan politik di internal partai politik yang melahirkan anggota DPR berorientasi uang. Kader yang bagus, memiliki integritas tinggi, tetapi tidak memiliki cukup dana untuk mencalonkan diri sebagai anggota parlemen, kecil kemungkinan mendapat tempat. Sebaliknya, kader-kader yang buruk integritasnya, tetapi memiliki akses luas terhadap uang dan elite partai, akan menjadi calon kuat. Loyalitas antara partai politik dan kadernya diikat uang.

Ketiga, mahalnya ongkos politik. Bagi politisi yang kemudian menjadi pejabat publik dan menguasai sumber daya ekonomi, pertama-tama yang dilakukan adalah mengembalikan investasi politik yang telah dikeluarkan untuk menjadi pejabat publik, lalu menggunakan sumber daya publik yang dikuasai untuk kepentingan kelanggengan kekuasaan. Maka, di sini korupsi menjadi mata rantai yang sulit diputus karena sudah dimulai sejak ranah partai politik.

Perbaikan jangka pendek

Karena itu, guna menghindari korupsi yang kian sistemik di parlemen, dalam jangka pendek, upaya perbaikan harus segera dilakukan.

Pertama, Ketua DPR dan jajaran elite di DPR tidak bisa tinggal diam dengan rentetan kejadian penangkapan anggota DPR. Tanggung jawab DPR secara kelembagaan adalah menciptakan sistem integritas untuk mengurangi korupsi yang terjadi. Karena itu, menerapkan sistem integritas menjadi suatu hal yang tidak lagi bisa ditawar-tawar untuk menciptakan pembaruan pada sistem kelembagaan parlemen sehingga memungkinkan terjadinya check and balances. Kekuasaan yang begitu besar di DPR tanpa diimbangi mekanisme akuntabilitas politik yang memadai telah membuka peluang terjadinya korupsi yang kian gawat.

Kedua, DPR harus lebih ketat merumuskan kode etik parlemen dengan sanksi dan mekanisme pemberian sanksi yang lebih efektif guna mengurangi perilaku menyimpang anggota DPR, sekaligus memberi efek jera. Akan amat sulit hanya mengandalkan KPK untuk memperbaiki kondisi di parlemen. Karena itu, mekanisme internal parlemen perlu didesain ulang untuk mendeteksi pelanggaran etik secara aktif.

Ketiga, menjelang Pemilu 2009, partai politik peserta pemilu harus merombak sistem perekrutan calon anggota legislatif dengan menempatkan integritas, kualitas, dan profesionalitas sebagai parameter utama. Para kader partai yang terlibat korupsi dan kejahatan lain diharapkan tidak dicalonkan lagi guna menghindari korupsi berkelanjutan di parlemen.

Adnan Topan Husodo Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch

Disalin dari harian Kompas, 8 Juli 2008