Tuesday, May 29, 2007

Lonceng Kematian Janin Transparansi

Semangat dasar dari lahirnya Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (KMIP) adalah prinsip keterbukaan yang lebih luas dari aparatur negara kepada masyarakat. Keterbukaan ini diharapkan menjadi landasan baru untuk mendesain ulang tata hubungan antara pemerintah dan masyarakat dalam koridor sistem sosial-politik yang lebih demokratis.

Pola hubungan yang kian terbuka dari pemerintah kepada masyarakatnya memiliki makna yang sangat berarti untuk mengembalikan posisi yang asimetris ke dalam sebuah relasi yang setara. Keterbukaan berarti meletakkan tata hubungan baru antara pemerintah dan masyarakat yang bukan lagi top-down, melainkan bottom-up. Menggeser karakter kekuasaan yang instruktif menjadi komunikatif.

Dalam konteks ini, masyarakat tidak lagi dianggap sebagai obyek kebijakan belaka, tapi telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari proses penyusunan dan perumusan kebijakan. Pendek kata, peran dan keterlibatan masyarakat sebagai salah satu pilar governance dalam mewarnai roda kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi sangat diperhitungkan di dalam orde yang semakin terbuka.

Karena itu, dengan semangat keterbukaan yang akan lahir melalui UU KMIP, diharapkan akan terbentuk sebuah sikap dan watak yang transparan dari pejabat publik kepada masyarakatnya, terutama dalam proses perumusan dan pengambilan kebijakan. Hal ini mengingat pengetahuan dan informasi yang mudah diakses oleh masyarakat akan dapat meminimalkan berbagai potensi penyimpangan dalam perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan.

Maka menjadi sangat ironis ketika Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah menyepakati rapat Panitia Kerja RUU KMIP yang dilakukan secara tertutup. Hal ini tidak sekadar menunjukkan sikap yang plinplan, tapi juga mencerminkan adanya pengingkaran atas semangat dasar yang menjadi roh RUU KMIP.

Keputusan yang menyebutkan bahwa rapat Panitia Kerja RUU KMIP dilakukan secara tertutup telah membawa pada kesimpulan bahwa proses pembahasan RUU KMIP antara DPR dan pemerintah tidak berada dalam makna keterbukaan yang sesungguhnya. Karena nyatanya masih ada ruang-ruang gelap yang dipertahankan sebagai sarana untuk keluar dari tuntutan akuntabilitas.

Gawatnya, ketertutupan yang telah disepakati itu berlindung pada alasan mandat peraturan. Memang benar bahwa tata tertib DPR RI mengatakan rapat panitia kerja dilakukan secara tertutup. Tapi terdapat aturan pengecualian ketika sebuah rapat dapat dilakukan secara terbuka jika disepakati bersama. Dengan kata lain, rapat panitia kerja yang dilakukan secara terbuka tidak akan membawa implikasi cacat hukum terhadap hasilnya, sebagaimana pihak pemerintah memberikan alasan mengapa harus tertutup.

Bagaimana mungkin sebuah pembahasan RUU KMIP, yang mengamanatkan adanya keterbukaan, dilakukan secara tertutup. Mustahil sebuah proses perumusan dan pengambilan kebijakan yang dilakukan secara tertutup akan menghasilkan kebijakan yang berkualitas, populis, dan bermanfaat bagi masyarakat luas. Alih-alih melahirkan pemerintahan yang transparan, ketertutupan justru mendominasi pembahasan RUU KMIP.

Perlu dipahami bahwa proses perumusan kebijakan yang dilakukan secara tertutup akan menimbulkan beberapa konsekuensi negatif. Pembahasan RUU KMIP yang tertutup akan membunuh semangat dasar RUU KMIP yang mengandaikan adanya keterbukaan. Dapat dikatakan, keputusan ironis untuk membahas secara tertutup RUU KMIP adalah lonceng kematian janin transparansi yang dibunyikan oleh rahimnya sendiri.

Ketertutupan atas pembahasan RUU tersebut dapat menggerogoti legitimasi hasil-hasilnya. Padahal legitimasi atas kebijakan yang diputuskan sangat penting untuk menjamin fungsi sebuah peraturan ketika telah disahkan. Yang sering kita lupa, begitu banyak peraturan yang telah dibuat, tapi gagal dalam implementasinya. Dikhawatirkan, ketika pembahasan rapat Panitia Kerja RUU KMIP dilakukan secara tertutup, undang-undang ini akan bernasib sama dengan berbagai peraturan yang lahir dalam keadaan tanpa daya.

Pembahasan RUU yang tertutup juga akan memupus ruang partisipasi masyarakat untuk melakukan pengawasan dan memberikan usul atau masukan atas berbagai isu yang akan dibahas dalam RUU KMIP. Padahal pengawasan masyarakat menjadi sesuatu yang penting, mengingat proses pembahasan peraturan perundang-undangan kerap kali diwarnai berbagai kepentingan yang dapat mengandaskan substansi adanya sebuah peraturan.

Tak aneh jika kemudian banyak peraturan yang telah ditetapkan, tapi kosong dalam pelaksanaannya. Hal ini wajar mengingat proses perumusan kebijakan kerap disandera oleh berbagai kepentingan yang mudah masuk ketika kontrol dari masyarakat tidak berjalan sama sekali.

Demikian pula seharusnya dalam menyusun sebuah kebijakan, DPR RI dan pemerintah bersedia menampung sebanyak mungkin pendapat dari semua pihak. Dengan usaha sungguh-sungguh untuk menjaring aspirasi yang berkembang di luar parlemen, postur UU KMIP dapat mencerminkan sikap yang akomodatif atas berbagai kepentingan. Yang harus dipahami, semakin kaya masukan yang diberikan, kelak akan semakin hidup sebuah peraturan itu ketika sudah berlaku di tengah-tengah masyarakat.

Namun, jika pembahasan RUU KMIP dilakukan secara tertutup, akan muncul berbagai kemungkinan, semisal benturan kepentingan dan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme. Tentunya kita masih ingat fakta bahwa beberapa undang-undang yang telah disahkan DPR ternyata didanai oleh kelompok kepentingan tertentu. Praktek cukong dalam pembahasan undang-undang merupakan bahaya besar karena proses penyusunannya kemudian akan mengikuti alur kepentingan pemberi dana, bukan mengabdi pada kehendak masyarakat.

Selain itu, rapat Panitia Kerja RUU KMIP yang tertutup dapat membawa preseden buruk bagi proses pengambilan kebijakan lainnya di DPR. Dalihnya, jika pembahasan undang-undang mengenai kebebasan memperoleh informasi saja dilakukan secara tertutup, apalagi undang-undang lain yang tidak menyentuh substansi transparansi. Karena itu, penting bagi DPR dan pemerintah untuk becermin dari pembahasan RUU Kewarganegaraan yang dilakukan secara terbuka.

Karena secara substansial RUU KMIP mengusung semangat keterbukaan, pembahasan RUU ini seharusnya bersifat terbuka sehingga dapat menjadi inspirasi yang positif bagi proses perumusan kebijakan pada isu dan sektor yang lain. Bukan sebaliknya, menjadi faktor pendorong berkembangnya sikap yang lebih tertutup bagi proses-proses perumusan dan penyusunan kebijakan publik lainnya.

Tulisan ini dimuat oleh Koran Tempo, 29 Mei 2007

Monday, May 21, 2007

Penegakan Etika Pejabat Bagi Pemberantasan Korupsi

Keberhasilan pemberantasan korupsi sangat ditentukan oleh ada-tidaknya dukungan politik penguasa.Adanya dukungan politik penguasa acap kali diwujudkan dalam berbagai bentuk kebijakan. Namun, pada intinya,dukungan politik itu adalah usaha memberikan ruang, keadaan,dan situasi yang mendukung program pemberantasan korupsi bekerja sangat efektif.

Sekaligus mendorong partisipasi yang lebih besar bagi masyarakat untuk bersama-sama memberantasnya. Karena itu,menempatkan posisi politik dalam program pemberantasan korupsi berarti melihat perilaku korupsi sebagai musuh besar,sekaligus berstatus luar biasa karena pelaku, dampak,dan kerugian yang ditimbulkannya sudah sedemikian mengkhawatirkan.

Dengan demikian, program pemberantasan korupsi menjadi benar-benar memiliki daya untuk menyelesaikan persoalannya. Memiliki elan yang kokoh untuk tidak kompromi dengan berbagai bentuk kepentingan yang dapat mengganggu program pemberantasan korupsi.

Satu hal yang patut diambil pelajaran adalah kasus Paul Wolfowitz, Presiden Bank Dunia, yang kini terancam kehilangan posisi karena telah mengistimewakan kekasihnya. Sebagai bos di Bank Dunia,dia menggunakan kewenangannya untuk menaikkan gaji Shaha Riza,staf Bank Dunia secara fantastis.

Sistem di Bank Dunia melihat bahwa kasus ini merupakan tindakan tidak terpuji, mengganggu integritas dan efektivitas Bank Dunia, serta telah menghancurkan kepercayaan atas kepemimpinannya.

Hikmah yang dapat kita petik dari kasus ini adalah kemampuan sistem di Bank Dunia untuk melihat sebuah kejadian ’’kecil’’ sebagai masalah besar. Dalam arti,sistem yang dibentuk bertujuan mencegah sekaligus tidak memberikan kesempatan untuk berkompromi dengan segala macam jenis skandal. Pendekatan seperti ini merupakan kunci bagi pemberantasan korupsi yang berhasil.

Sistem yang dibangun atas dasar etika politik yang mengatur perilaku pejabat dalam bertindak dan mengambil putusan merupakan dasar yang kuat untuk mengantisipasi segala macam perilaku menyimpang. Dengan demikian, memberantas korupsi tidak harus menunggu penegakan hukum dimulai. Memberikan hukuman dari sisi etik, sebagaimana yang dialami Paul Wolfowitz,merupakan langkah konkret bagi upaya yang sungguh-sungguh dalam menegakkan pemerintahan yang bersih (clean government).

Becermin dari kasus Paul Wolfowitz, miris rasanya jika kita menengok ke dalam (baca: Indonesia). Dari berbagai sendi pemerintahan yang merupakan pilar utama bagi pemberantasan korupsi,sedikit sekali pihak yang serius menginginkan korupsi diberantas. Penyikapan, komentar, dan pendekatan dalam melihat sebuah kejahatan korupsi menunjukkan rapuhnya dukungan bagi program pemberantasan korupsi.

Kita bisa memulai dengan melihat presiden dan wakil presiden sebagai contoh kasus di wilayah eksekutif. Meskipun pernyataan Presiden SBY kerap menegaskan kemauan yang kuat untuk memberantas korupsi, penilaian itu akan kembali pada sebuah pertanyaan, apa yang telah dilakukan? Sejak terbongkarnya skandal pencairan dana Tommy Soeharto senilai Rp90 miliar yang diduga keras mudah terjadi karena atas bantuan dari Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) dan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham),SBY tidak pernah menyampaikan sepatah kata pun, apalagi tindakan cepat dan konkret. Bahkan,meminta keterangan dan pertanggungjawaban atas penyalahgunaan kewenangan kedua pembantunya pun tak ada dalam catatan publik.Memang kemudian, mereka dicopot sebagai menteri.Akan tetapi,faktor pendorongnya bukan pada usaha untuk menegakkan etika pejabat,melainkan dorongan dan tekanan politik.

Coba bandingkan dengan penyikapan Bank Dunia atas kasus Paul Wolfowitz. Padahal,secara kasatmata, dua skandal itu berbeda kualitasnya. Akan tetapi,Bank Dunia melihat bahwa tindakan presidennya telah menumbuhkan bibit-bibit kerusakan yang dapat mencoreng integritas Bank Dunia.Karena itu,kejadian tersebut patut menjadi agenda besar dalam rangka mendesak adanya pergantian kepemimpinan. Memang benar bahwa secara legal formal,Paul Wolfowitz belum terbukti melakukan korupsi, kolusi,atau nepotisme (KKN). Namun, nilai-nilai etika yang berkembang dan menjadi pedoman perilaku pejabatnya telah bekerja dengan sendirinya. Di Indonesia,semua berkelit dan berlindung di balik proses hukum. Alasan yang kerap dikedepankan, selama proses hukum,belum membuktikan seseorang terlibat KKN. Maka,tidak pernah dapat diambil tindakan apa pun atas kesalahan yang dilakukannya.

Bahkan,yang lebih memprihatinkan, Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah dalam sebuah pernyataan yang disampaikannya kepada media,menyebut bahwa apa yang dilakukan Hamid Awaluddin,eks Menkumham adalah tindakan yang benar.Bukan kecaman apalagi punishment, tapi perlindungan yang diberikan. Padahal,berbagai pelanggaran atas berbagai undangundang nyata-nyata ditemukan dalam kasus itu.Akan tetapi,fakta politik bicara lain.Lantas,apa yang mau kita harapkan dari program pemberantasan korupsi Pemerintah?

Contoh lainnya adalah DPR sebagai lembaga legislatif.DPR yang seharusnya menjadi pilar kekuasaan di luar eksekutif yang dapat menyokong sekaligus mendukung secara politik agenda pemberantasan korupsi juga tidak luput dari skandal.

Kasus Rokhmin Dahuri yang kini ditangani Pengadilan Tipikor telah menyingkap fakta bahwa sebagian dana Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) mengalir kepada orang-orang di DPR.Tindakan yang dapat dikategorikan gratifikasi sebagaimana Undang-Undang (UU) No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tidak jelas penyelesaiannya hingga kini.

Secara internal,DPR melalui pimpinan telah meminta Sekretariat Jenderal DPR untuk mengklarifikasi perkembangan yang terjadi dalam pengadilan Rokhmin Dahuri.Akan tetapi,kesimpulan awal yang bisa diambil menyebutkan bahwa tidak ditemukan dalam catatan resmi Sekretariat Jenderal DPR bahwa ada anggota DPR telah menerima dana dari DKP. Badan Kehormatan (BK) DPR yang dibentuk untuk menegakkan dan menjaga etik para anggotanya juga, tampaknya,lebih nyaman menunggu laporan.

Padahal,dalam tata tertib DPR, BK tidak dilarang mengambil langkah proaktif untuk membentuk panel khusus dalam rangka memeriksa skandal itu. Lagi-lagi, tameng yang dipakai adalah proses hukum adanya dugaan gratifikasi belum rampung dikerjakan oleh KPK. Dari kedua contoh kasus di atas,kita dapat melihat bahwa proses hukum menjadi kata kunci untuk berlindung dari segala macam skandal yang terjadi. Benar atau tidaknya pejabat publik melakukan sesuatu hanya dapat diukur melalui legalitas hukum.

Barangkali karena mereka mengerti betul jika proses hukum merupakan mekanisme yang rumit,berbelit,susah,dan dapat muncul berbagai macam kemungkinan.

Kita barangkali memang terlalu banyak bicara soal pemberantasan korupsi,tapi tidak memberikan alternatif jalan untuk menyelesaikannya. Tanpa penegakan etika pejabat negara,proses hukum hanyalah ’’kambing hitam’’ yang di dalamnya penuh dengan aral merintang,batu terjal,dan kesulitankesulitan tertentu yang dapat membuat orang yang sebenarnya bersalah dalam kacamata sistem dan etika politik,akan tetapi bisa menjadi benar dalam kacamata hukum.

(*) ADNAN TOPAN HUSODO Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW)
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo Sore, 15 Mei 2007

Tuesday, May 08, 2007

S'pore extradition treaty and fight against corruption

Indonesia finally signed extradition and defense treaties with Singapore on April 27. Indonesia had previously signed similar extradition treaties with Hong Kong, Malaysia, the Philippines, Australia and Thailand. China and Canada are the next targets.

The new treaty reaffirms the public conviction that corruption is a transnational crime. It is undeniable that embezzlers have so far been free to carry the fruits of corruption out of Indonesia. They have even been able to launder that stolen money through various investments and businesses, which are -- to a certain extent -- very profitable for these people's host countries.

On one side, this kind of activity is very damaging to the country where the corruption originally takes place (locus delicti). Stolen state wealth can no longer be allocated for the social and economic needs of the population.

On the other side, that same money helps develop the economy of the country where corruption fugitives end up. As long as there is no international cooperation to combat corruption, imbalances and inequalities will remain between countries. This is what has happened between Singapore and Indonesia.

The extradition treaty between Indonesia and Singapore as a result needs to be looked at with the collective awareness that corruption can not only be eradicated in the country where the crimes take place. This is in line with the United Nations Convention Against Corruption (UNCAC, 2003), which emphasizes the importance of international cooperation in combating corruption. No less than 138 countries have ratified the convention.

Unfortunately, Singapore is not one of them.

However, Singapore's goodwill in signing the extradition treaty deserves our appreciation. The signing also shows Singapore's successful diplomacy and a more open attitude to solving problems related to transnational crime.

There are at least three important points of substance in the extradition treaty.

First is the list of economic crimes agreed to by Indonesia and Singapore.

Second is the 15-year retroactive period, which enables the government to hunt embezzlers from the Soeharto era, along with their assets.

The last is the agreement to return the assets to Indonesia. Because this is a reciprocal treaty, Singapore can also in theory get the same from Indonesia.

For the Indonesian government, there are some important things to take into account. The extradition treaty with Singapore will not automatically facilitate the legal processes to bring the corrupt to justice.

There are examples where Indonesia's extradition treaties have failed.

There is the example of banker Hendra Rahardja, an Indonesian tried in absentia for corruption while living in Australia. Hendra remained in Australia until his death because the Australian courts would not allow the banker to be deported to Indonesia out of mistrust of the integrity of Indonesian courts.

Each country has its own different legal mechanisms. This factor can influence the process by which extradition treaties are realized.

Indonesia needs to anticipate from the outset all possible technical and legal barriers to extradition. This is important because many Indonesians expect much from the government to bring these fugitives back to Indonesia.

This extradition treaty is a strategic bilateral mechanism to effectively combat corruption. There are a lot of mega-corruption cases out there, both from the past and the present day. In particular its worth remembering the Bank of Indonesia emergency liquidity funds scandal (BLBI), which inflicted huge financial losses on the government.

Most of the BLBI suspects have fled Indonesia. One of their safe havens is Singapore. According to Indonesian Corruption Watch's (ICW) records, 43 of them are now residing abroad, 13 in Singapore. Some of them have become permanent residents.

Although we have already signed the extradition treaty, it would be impossible to depend on Singapore's political will alone to eradicate corruption. The government needs to be much more serious about bringing the crooks to justice. There is widespread public suspicion that criminals have been easily able to run away from Indonesia with the help of government officials. This can happen because of poor coordination among state agencies, as well as bribery.

We hope the extradition treaty with Singapore will accelerate the process of legal reform in Indonesia. If we fail to do that, other countries will conclude that Indonesia is not serious about eradicating major corruption. If that is the truth, why should they help us?

The writer is member of the working committee of Indonesia Corruption Watch. He can be reached at topan@antikorupsi.org.

this article have been published by the jakarta post on May 8, 2007