Friday, August 28, 2009

Menutup Peluang Korupsi Anggota Dewan

SALAH seorang anggota DPR dari Komisi IV DPR dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhfid al-Busyairi, telah menyampaikan laporan gratifikasi senilai Rp 100 juta kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tindakan Muhfid itu sudah sesuai pasal 16 UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK, yakni terdapat kewajiban bagi penyelenggara negara untuk melaporkan setiap penerimaan gratifikasi kepada KPK.

Setidaknya ada dua pelajaran yang bisa kita petik dari laporan gratifikasi Muhfid tersebut. Pertama, dalam situasi seperti sekarang ini, ternyata masih ada anggota DPR yang mau menyampaikan informasi berharga kepada KPK sekaligus memberikan bahan awal bagi penyelidikan terhadap indikasi penyuapan dalam pembahasan kebijakan publik di lembaga legislatif.

Hal itu akan memperbaiki citra dewan yang sedemikian jatuh. Kita harus yakin, di luar Muhfid, masih ada wakil rakyat lain yang memiliki kejujuran serupa, meski mungkin dari sisi jumlah mereka adalah minoritas. Tapi, mereka yang jujur, meski minoritas, tetap akan bisa menjadi whistle blower yang efektif untuk membongkar sindikasi kejahatan korupsi di Senayan.

Kedua, meski KPK sudah beberapa kali menangkap basah dan memproses secara hukum anggota dewan yang didapati berkorupsi, dampak yang diharapkan belum terlalu terlihat. Justru sebaliknya, efek jera yang seharusnya muncul setelah upaya represif dilakukan KPK terhadap wakil rakyat dibalas dengan menggantung nasib KPK melalui pembahasan RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang berlarut-larut. Demikian pula, uang Rp 100 juta yang diterima Muhfid menegaskan satu hal. Yakni, belum berubahnya perangai politisi yang masih gemar melakukan sogok-menyogok.

Mirisnya, gratifikasi ini muncul sebulan sebelum anggota dewan periode 2004-2009 menyelesaikan masa tugasnya. Semestinya, karena dalam masa lima tahun kemarin wakil rakyat di Senayan belum banyak mendapatkan tempat di mata kaum reformis, pada akhir masa jabatan mereka, ada hal positif yang diperlihatkan. Sayang, harapan itu masih sangat jauh karena lagi-lagi indikasi suap dalam penyusunan kebijakan publik di DPR masih menjadi fakta yang sulit dihilangkan.

Alih-alih memberikan hadiah perpisahan yang menyenangkan kepada publik luas, menjelang kekuasaan anggota DPR berakhir, yang berlaku adalah aji mumpung. Saat ini, mungkin banyak di antara mereka yang tengah sibuk-sibuknya mencari pesangon bagi persiapan pensiun mereka dengan menggadaikan jabatan serta amanat dari rakyat.

Pekerjaan Rumah DPR


Seberapa pun buruknya kita memandang DPR, lembaga itu harus tetap dipertahankan dan diselamatkan. Karena itu, momentum untuk memperbaiki citra DPR yang korup ada pada wajah-wajah anggota DPR baru yang jumlahnya mencapai 90 persen.

KPK sudah bersiap-siap memberikan pembekalan kepada anggota dewan terpilih tentang tindak pidana korupsi. Masing-masing partai politik tempat bernaung para wakil rakyat anyar juga telah membaiat dengan sumpah antikorupsi. Diharapkan, begitu mereka tampil sebagai anggota DPR yang resmi, praktik korupsi yang menggurita di Senayan bisa direduksi.

Namun, tampaknya, bekal itu saja tidak cukup. Mengingat, masalah korupsi di DPR jauh lebih kompleks daripada karena faktor individu. Perlu diingat, korupsi di lembaga legislatif merupakan bentuk penyalahgunaan kekuasaan politik. Karena kekuasaan memang cenderung korup, kekuasaan itulah yang harus dikendalikan. Karena itu, ada beberapa hal yang harus dibenahi anggota DPR ke depan, terutama dari sisi internal mereka.

Membenahi Pengawasan Internal


Dari sisi internal, lemahnya kontrol internal anggota dewan telah membuka ruang yang besar bagi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan yang berujung pada korupsi. Hadirnya instrumen Badan Kehormatan (BK) DPR sebagai early warning system tidak berdaya untuk membendung maraknya korupsi di sana.

Karena itu, ke depan, desain BK DPR harus dibuat lebih responsif dan akuntabel untuk menjadi pengawas yang ditakuti anggotanya. Salah satu hal yang absen dalam sistem pengawasan BK DPR terdahulu adalah tiadanya akuntabilitas yang memadai kepada publik atas kinerja pengawasan itu. Karena itu, berbagai keputusan yang diambil BK DPR atas pelanggaran kode etik anggotanya tidak pernah disampaikan kepada masyarakat luas.

Padahal, mekanisme pertanggungjawaban kepada publik menjadi penting untuk menjaga independensi dan objektivitas BK DPR. Sebagaimana kita ketahui, komposisi anggota BK DPR adalah anggota partai politik yang lolos ke Senayan. Tentu saja, jika ruang lingkup pertanggungjawaban BK DPR hanya pada pimpinan DPR, peluang untuk menganulir atau memetieskan kasus-kasus pelanggaran kode etik anggotanya menjadi terbuka lebar.

BK DPR ke depan juga perlu mengembangkan sebuah mekanisme internal untuk bisa memberikan proteksi dan tempat yang aman bagi para anggotanya yang hendak melaporkan adanya praktik-praktik kecurangan yang terjadi.

Orang-orang seperti Muhfid barangkali akan leluasa membeberkan informasi yang berharga bagi BK DPR jika mekanisme perlindungan pelapor atau saksi itu tersedia. Memang, BK DPR selama ini tidak membocorkan identitas pelapor atau saksi dugaan pelanggaran kode etik kepada siapa pun. Tapi, hal itu tidak dilengkapi proteksi yang layak bagi mereka, terutama dari ancaman ditarik oleh partai politiknya dan berbagai ancaman lain yang kemungkinan mereka terima.

Ke depan, BK DPR perlu menjalin kerja sama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk memastikan pemberian perlindungan yang layak dan aman. Jika itu menjadi perhatian utama anggota DPR baru, mungkin pada masa mendatang kasus-kasus korupsi anggota DPR yang diproses di KPK bisa berkurang signifikan.

*) Adnan Topan Husodo , wakil koordinator ICW


Disalin dari Jawapos, 29 Agustus 2009

Monday, August 17, 2009

Politik Uang dan Pemilu

Uang (dana kampanye) selalu diidentikkan dengan kemenangan pemilu. Hipotesisnya, semakin banyak dana kampanye dikumpulkan, kian besar pula potensi untuk meraih kemenangan. Sebaliknya, jika anggaran untuk kampanye pemilu yang diperoleh hanya sedikit, kemungkinan untuk memang juga semakin tipis. Keyakinan umum atas hubungan kausalitas uang dan kemenangan pemilu telah memicu setiap peserta pemilu, baik kandidat maupun partai politik untuk berlomba-lomba memobilisasi dana kampanye. Harus diakui posisi uang dalam pemilu sangat penting, akan tetapi uang bukan satu-satunya faktor yang menentukan kemenangan pemilu.

Sayangnya untuk mendapatkan sumbangan dana kampanye yang besar, acapkali cara-cara yang tidak layak ditempuh oleh peserta pemilu. Baru-baru ini ICW telah melaporkan kepada Bawaslu dugaan penerimaan dana dari pihak asing oleh pasangan capres dan cawapres dalam pilpres 2009. Sebagaimana diketahui, pasal 103 ayat 1 huruf (a) UU Pilpres telah mengatur larangan yang tegas bagi pasangan calon untuk mencari atau menerima sumbangan dana kampanye dari pihak asing.

Selanjutnya pada ayat 2 disebutkan jika pasangan calon menerima dana dari pihak asing, dana tersebut tidak boleh digunakan dan wajib dilaporkan kepada KPU dan menyerahkan sumbangan tersebut ke kas negara paling lambat 14 hari setelah kampanye berakhir. Nampaknya, waktu dan kesempatan yang diberikan oleh UU sudah terlewati. Semestinya Bawaslu dapat membuktikan laporan tersebut sehingga langkah hukum dapat diambil.

Manipulasi Dana Kampanye


Mengacu pada hasil audit laporan dana kampanye untuk pemilu legislatif 2009 yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP), kecenderungan peserta pemilu melakukan kecurangan dalam penerimaan dan pengeluaran dana kampanye juga terjadi. Dari sisi penerimaan, KAP menemukan beberapa daftar penyumbang yang tidak dilengkapi identitas lengkap. Begitu pula, beberapa penyumbang tidak dapat dikonfirmasi, baik alamat, nomor telepon maupun kebenaran sumbangan.

Sebenarnya sejak tahun 2004, ICW sudah mendeteksi adanya upaya manipulasi laporan dana kampanye, terutama dengan mengaburkan identitas penyumbang yang sebenarnya. Modusnya dengan membuat identitas palsu, tidak memberikan identitas sama sekali, mengatasnamakan pihak atau orang lain sebagai penyumbang dan orang yang menyumbang tidak layak memberikan sumbangan dalam nilai tertentu dilihat dari sudut pandang kemampuan ekonomi. Pada akhirnya, tujuan dari semua indikasi manipulasi diatas adalah untuk menyamarkan atau mengaburkan identitas penyumbang sebenarnya.

Ditinjau dari sisi pengeluaran, dana kampanye yang didapatkan seharusnya hanya digunakan untuk kegiatan kampanye yang dikategorikan legal menurut UU. Jika dana tersebut dipakai untuk membiayai kegiatan kampanye, membuat umbul-umbul, mencetak kaos, pin, bendera, sewa artis, sewa kendaraan umum, sewa helikopter dan sebagainya, hal itu sesuatu yang tidak melanggar hukum.

Namun demikian, praktek tercela seperti politik uang masih menjadi ancaman serius bagi peningkatan integritas penyelenggaraan pemilu, khususnya pada pileg dan pilpres 2009. Dalam perspektif pengeluaran dana kampanye, politik uang adalah praktek penyimpangan atas penggunaan dana kampanye. Istilah serangan fajar masih kerap terjadi dan dikeluhkan banyak pihak.

Berdasarkan penjelasan diatas, masalah dana kampanye pada akhirnya bukan hanya dari sisi jumlahnya. Akan tetapi juga harus dilihat dari bagaimana cara memperolehnya, cara menggunakannya dan kejujuran atau kebenaran atas laporannya. Pada tiga wilayah ini, masalah dana kampanye di Indonesia masih banyak yang harus diperbaiki.

Besar Pasak Daripada Tiang


Dalam kasus pemilu legislatif 2009, data kuantitatif menunjukkan bahwa untuk beberapa partai politik, besarnya dana kampanye tidak berkorelasi positif dengan perolehan suara. Seperti contoh partai Gerindra, dari laporan akhir dana kampanye mereka ke KPU, total penerimaan dana kampanye partainya Prabowo ini sebesar Rp 308,7 miliar. Sementara hasil akhir perolehan suara Gerinda hanya sebesar 4,6 juta pemilih.

Jika dalam kegiatan kampanye, setiap ongkos yang dikeluarkan merupakan cerminan dari harga setiap suara yang diperoleh, maka harga satu suara untuk partai Gerindra mencapai Rp 66,4 ribu. Di urutan kedua adalah partai Demokrat dengan total penerimaan dana kampanye sebesar Rp 234,8 miliar, sementara perolehan suaranya sebesar 21,7 juta. Dengan demikian, harga satu suara untuk partai Demokrat adalah Rp 10,8 ribu. Terbesar ketiga adalah partai Golkar dengan total penerimaan dana kampanye senilai Rp 145,5 miliar dan perolehan suara akhir sebesar 15,03 juta. Ini artinya partai Golkar harus membayar harga satu suara senilai Rp 9,6 ribu.

Sementara itu untuk partai-partai lain nilainya relatif lebih kecil, seperti misalnya PPP dengan harga per suara hanya Rp 750, PKB Rp 701, sementara PAN Rp 2,8 ribu. PDI P termasuk yang mencengangkan karena harga per suaranya hanya Rp 2,6 ribu. Namun khusus untuk PDI P, data laporan dana kampanye mereka ke KPU senilai Rp 38 miliar dianggap meragukan karena berdasarkan estimasi belanja kampanye PDI P berdasarkan data AC Nielsen, mereka telah mengeluarkan dana kampanye hingga Rp 102 miliar. Artinya, apa yang dilaporkan secara resmi kepada KPU dengan apa yang faktual dikeluarkan jauh lebih kecil jumlahnya. Masalah otentisitas laporan dana kampanye yang meragukan juga mungkin berlaku pada partai politik lainnya.

Merujuk pada data kuantitatif diatas, dapat dikatakan bahwa korelasi positif antara besarnya jumlah dana kampanye dan perolehan suara mendapatkan bantahannya jika mengacu pada beberapa partai besar. Pesan yang dapat dipetik dari hal ini adalah bahwa uang bukan satu-satunya penentu kemenangan pemilu. Sikap menghambur-hamburkan uang pada batas tertentu tidak dapat mendongkrak perolehan suara peserta pemilu.

Sementara di sisi lain, partai politik non incumbent harus menghadapi kecurangan pada penyelenggaraan pemilu, baik pada tahap awal hingga pada perhitungan suara. Oleh karena itu, semestinya partai politik tidak hanya memikirkan dan mengalokasikan dana yang besar untuk kepentingan kampanye semata. Apalagi jika kemudian dana kampanye itu dipakai untuk kegiatan politik uang.

Perlu diingat bahwa peserta pemilu memiliki peran untuk mengawasi jalannya pemilu sehingga lebih menjamin kejujuran. Masalahnya, partai politik, khususnya yang baru berdiri dan tidak memiliki kekuasaan mayoritas baru memprotes hasil perhitungan suara setelah semuanya terlambat.

Partai politik lupa bahwa dana kampanye yang mereka miliki seharusnya juga digunakan untuk kepentingan pengawasan pemilu. Jika kekacauan Daftar Pemilih Tetap (DPT) sudah terendus sejak awal, langkah yang semestinya diambil oleh peserta pemilu adalah melakukan koalisi untuk mengawasi penyelenggaraan pemilu.

Asumsinya, jika peserta pemilu mengalokasikan dana kampanye untuk mengawasi paling tidak 50% dari total TPS yang ada, kemungkinan kecil pelanggaran yang kini sedang digugat di MK akan terjadi. Jikapun ada, peserta pemilu yang menggugat memiliki data yang sangat akurat.

Perlu dipahami bahwa politik uang bukan hanya menyuap pemilih, melainkan juga berhubungan dengan penyuapan kepada penyelenggara pemilu, dari tingkat TPS hingga ke pusat. Peringatan ini mungkin sudah terlambat, tapi akan ada ratusan pemilihan umum lokal pada tahun 2010 untuk memilih kepala daerah dan wakilnya yang harus dipikirkan oleh partai politik.

****

Oleh: Adnan Topan Husodo
Tulisan disalin di Koran Jakarta, Jumat, 14 Agustus 2009

Monday, August 10, 2009

Trisula Pembunuh KPK

LaporanAntasariAzhar (AA) kepada Mabes Polri tentang indikasi suap di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kian menyudutkan posisi lembaga penegak hukum ini.

Setelah sempat diperiksa Polda Metro Jaya dalam kasus dugaan penyadapan ilegal yang dituduhkan kepada Chandra M Hamzah (Wakil Ketua KPK), kini Muhammad Yasin,Wakil Ketua KPK yang lain, dituduh menerima uang dalam kaitannya dengan penanganan kasus korupsi PT Masaro.

Secara objektif, hukum harus tegak di mana pun.Oleh karena itu, KPK juga bukan lembaga yang tak tersentuh dewi keadilan.Tentu kita juga sangat paham jika AA,Ketua KPK non-aktif, kini ditahan oleh polisi karena disangka mengotaki pembunuhan terhadap Nasrudin.

Demikian halnya jika fakta hukum menjadi dasar untuk menjerat pimpinan KPK yang lain dalam kasus pidana korupsi, siapa pun tidak boleh ada yang menggugatnya. Titik tekan pada fakta hukum menjadi prasyarat dalam setiap proses projustisia. Penegak hukum yang melakukan proses hukum juga tidak bisa main-main karena melekat di dalamnya sumpah untuk menegakkan keadilan dan kebenaran.

Mereka pun bertindak atas nama Tuhan Yang Maha Kuasa. Pendek kata,wakil Tuhan di muka bumi adalah para pendekar penegak hukum. Persoalannya, hukum telah lama menjadi “mainan”. Hilangnya martabat dan keagungan hukum, termasuk penegak hukum,dikarenakan banyaknya berbagai kepentingan yang menunggangi hukum itu sendiri.

Hukum telah tercemar oleh korupsi, ambisi politik, keserakahan, suap, dan balas dendam. Dalam konteks hukum yang membusuk ini, isu mengenai suap di KPK relevan untuk dikaji lebih jauh. Pertanyaan utama yang layak diajukan kemudian,mengapa KPK setelah AA dinonaktifkan justru semakin mendapatkan tekanan?

Baik dalam bentuk tuduhan,sentilan dari Presiden,ancaman dari pejabat publik tertentu untuk menarik personelnya dari KPK hingga terkatung-katungnya nasib RUU Pengadilan Tipikor di parlemen. Tentu saja, sulit untuk kemudian tidak mengaitkan berbagai serangan terhadap KPK itu dengan sepak terjang KPK dalam menangani kasus korupsi, khususnya pascakepemimpinan AA.

Golden periodKPK telah direspons dengan perlawanan terhadapnya. Jika pada era AA KPK terkesan sangat berhati-hati untuk mengambil keputusan dalam mengangkat perkara korupsi,sumbatan itu seakanakan hilang seiring status AA sebagai tersangka. Dengan demikian, ancaman terhadap KPK dalam berbagai macam bentuknya tidak bisa dilepaskan dari tingginya tensi KPK dalam menangani perkara korupsi.

Testimoni AA: Fitnah atau Fakta?

Sesungguhnya, laporan AA belum dapat dikategorikan sebagai fakta hukum karena berbagai macam keterbatasannya. Dari tiga data yang dimiliki kepolisian, tidak ada satu pun data yang bisa dikategorikan sebagai fakta hukum. Pertama, otentisitas informasi dalam rekaman pembicaraan AA dengan Anggoro, Direktur PT Masaro yang juga tersangka korupsi dalam proyek sistem komunikasi radio terpadu (SKRT) Departemen Kehutanan yang kasusnya ditangani KPK.

Dalam rekaman tersebut Anggoro menyampaikan langsung kepada AA bahwa telah terjadi pemberian uang senilai Rp6 Miliar kepada M Yasin,Ade Rahardja selaku Deputi Penindakan KPK, Bambang W (Direktur Penyidikan KPK) beserta tim penyidik dan sopir. Jumlah yang disebut Anggoro mencapai 12 orang.

Masalahnya, yang langsung menyerahkan uang itu bukan Anggoro, tetapi orang lain. Anggoro hanya mendengar informasi dari orang yang disebut sebagai Toni.Namun,Toni pun bukan orang yang bertemu langsung dengan pihak yang diklaim sebagai petinggi KPK.Toni dalam rekaman itu mengirimkan orang kepercayaannya untuk mengatur kasus PT Masaro yang sedang ditangani KPK.

Singkatnya, AA menerima laporan dari Anggoro, sementara Anggoro sendiri mendapatkan informasi dari pihak lain. Mata rantai informasi yang panjang ini mengakibatkan pengakuan Anggoro sulit dipercayai kebenarannya. Sebenarnya untuk meyakinkan bahwa dugaan suap itu benarbenar terjadi, surat pencabutan cekal terhadap Anggoro oleh “KPK”sudah disampaikan kepada polisi.

Sayangnya, data kedua ini pun sulit diyakini kebenarannya. KPK telah membantah dan mengatakan bahwa surat pencabutan cekal itu palsu. Demikian halnya, Dirjen Imigrasi sendiri hingga saat ini belum pernah menerima permintaan cabut cekal atas diri Anggoro dari KPK.

Jika surat itu benar, tentu Dirjen Imigrasi sudah mencabut status cekal Anggoro semenjak permintaan resmi dari KPK diajukan. Karena dua data pendukung dugaan suap di KPK sebagaimana diuraikan di atas lemah, dapat dibilang testimoni AA sebenarnya tidak dibekali oleh fakta hukum yang memadai.

Oleh karena itu, jika polisi tetap bersemangat dan maju pantang mundur untuk mengusut laporan AA tanpa konstruksi kasus suap yang kuat,tidak menutup kemungkinan adanya dorongan lain di luar motto “demi kebenaran dan keadilan”.

Tiga Penguasa

Gangguan terhadap KPK tidak bisa dilepaskan dari kasus korupsi yang ditanganinya, kemungkinan besar yang ingin meredam upaya KPK dalam memproses hukum kasus korupsi adalah merekamereka yang telah dirugikan atau terancam posisinya. Mereka dapat dibagi dalam tiga kelompok penguasa yang semuanya merasa terganggu oleh sepak terjang KPK. Pertama,penguasa di parlemen.

Politikus Senayan sepertinya sudah sangat gerah dengan langkah KPK dalam memberantas korupsi. Pada saat bidang penegakan KPK tidak memasuki ranah legislatif,bisa dibilang hampir tidak pernah ada tekanan yang berarti dari parlemen. Akan tetapi situasi menjadi berbeda tatkala satu per satu anggota DPR diproses KPK karena melakukan korupsi.

Mengingat tipikal korupsi di parlemen merupakan korupsi bersama- sama, tentu saja perlawanan terhadap KPK juga lebih kuat karena kelompok anti-KPK berasal dari berbagai latar belakang partai dan fraksi. Kedua, penguasa yang tidak menghendaki KPK bertindak terlalu jauh adalah elite politik di lingkungan eksekutif.

Sebagaimana kita tahu,sebagian besar terpidana korupsi yang sudah dijebloskan KPK ke penjara berlatar belakang pejabat eksekutif.Adanya pertautan kepentingan dalam berbagai macam kebijakan publik yang berbau suap acap melibatkan kalangan parlemen dan eksekutif sebagai pelaku korupsi.Tidak aneh jika penguasa eksekutif juga alergi terhadap gebrakan KPK.

Penguasa terakhir adalah pemodal atau pebisnis kotor.Mereka kerap menyogok pejabat publik untuk mendapatkan keuntungan, baik berupa proyek, fasilitas, proteksi maupun konsesi. Dari berbagai macam kasus korupsi yang diproses KPK, ketiga penguasa, yakni anggota parlemen, pejabat eksekutif, dan penguasa kotor, sering berada pada kasus korupsi yang sama.

Konspirasi tingkat tinggi untuk mengegolkan sebuah kebijakan publik yang akan menguntungkan pebisnis kotor telah membentuk kekuatan korupsi yang sulit diberantas. Meskipun Indonesia tidak dianggap sebagai negara yang dikuasai mafia obat terlarang seperti Italia, bentuk-bentuk kejahatan korupsi menunjukkan gejala sebagai kejahatan mafia.

Tak aneh bila,tanpa KPK,banyak skandal korupsi yang macet ketika ditangani kejaksaan dan kepolisian. Sepak terjang KPK secara langsung maupun tidak langsung telah memasuki wilayah kejahatan korupsi baru yang selama ini tak tersentuh hukum. Dalam bahasa lain, KPK telah melanggar batas-batas toleransi dari operasi penegakan hukum korupsi.

Batas-batas itulah yang selama ini dijaga begitu disiplin oleh AA sehingga meskipun secara kuantitatif KPK banyak menangani korupsi, tidak ada gejolak yang cukup berarti sebagai dampaknya. Kasus Agus Condro barangkali telah menabrak batas toleransi, demikian pula kasus-kasus korupsi yang lain. Kini KPK tengah menghadapi musuh sebenarnya. Kuat atau tidaknya KPK sangat tergantung dari seberapa ketat KPK menjaga integritasnya secara konsisten.(*)

Adnan Topan Husodo
Wakil Koordinator
Indonesia Corruption Watch (ICW)


Tulisan disalin dari harian Seputar Indonesia, Selasa, 11 Agustus 2009

Sunday, August 09, 2009

Menguji Dugaan Suap di KPK

Pertemuan jajaran kejaksaan dengan kepolisian beberapa waktu lalu membahas satu masalah yang sangat serius, yakni dugaan suap di KPK. Lengkapnya, salah seorang pimpinan KPK diduga menerima suap dari PT Masaro senilai lebih dari Rp 6 miliar. Tujuannya tak lain adalah untuk menghentikan perkara dugaan korupsi yang melibatkan Anggoro, direktur PT Masaro, dalam proyek alat komunikasi (alkom) di Departemen Kehutanan (Dephut).

Kasus dugaan korupsi PT Masaro merupakan pengembangan dari kasus penyuapan dalam proyek alih fungsi hutan lindung di Banyuasin, Sumatera Selatan, yang melibatkan Yusuf Emir Faisal cs sebagai anggota DPR dari komisi IV. Dari pengakuan yang diterima KPK, dana yang mengalir ke Komisi IV DPR ternyata bukan hanya untuk proyek alih fungsi hutan lindung, melainkan juga dari PT Masaro.

Berdasar informasi itulah, KPK lantas menggeledah Dephut yang di kemudian hari banyak ditemukan data yang mendukung dugaan adanya korupsi dalam proyek pengadaan alat komunikasi di Dephut. PT Masaro merupakan rekanan Dephut yang sejak 1990-an menyuplai alkom.

Entah bagaimana prosesnya, melalui tender atau tidak, yang pasti PT Masaro kerap mendapatkan proyek untuk menyediakan kebutuhan alkom bagi Dephut. Sudah tentu, kasus PT Masaro yang kini ditangani KPK akan menyeret pejabat di Dephut, mengingat proyek alkom berlangsung sejak lama.

Mempertanyakan Motif

Kembali ke topik bahasan, dugaan suap di KPK ini informasinya dari mantan Ketua KPK Antasari Azhar (AA). Menurut versi kepolisian, berdasar pemeriksaan terhadap laptop AA, ditemukan berbagai informasi serta petunjuk mengenai indikasi penyuapan yang diduga dilakukan Anggoro, direktur PT Masaro, terhadap salah seorang pimpinan KPK. Disebut-sebut, pimpinan KPK itu adalah Muhammad Jasin.

Senada dengan informasi lain yang berkaitan dengan dugaan penyadapan ilegal oleh pimpinan KPK Chandra M. Hamzah yang kasusnya juga masih diperiksa kepolisian, sumber informasi atas kedua hal tersebut bisa jadi berasal dari orang yang sama, yakni AA.

Mengingat kronologi kejadian antara indikasi penyadapan ilegal dengan dugaan penyuapan berlangsung secara simultan, motif pengungkapan kasus-kasus tersebut menjadi patut dipertanyakan. Benarkah AA tidak ingin dirinya sendiri yang diseret dalam sebuah kasus, sehingga perlu ''mengajak'' pimpinan KPK yang lain?

Terkesan, pengungkapan dua kasus, yakni indikasi penyadapan ilegal dan dugaan penyuapan, sangat intens dilakukan kepolisian dengan berkoordinasi dengan kejaksaan tatkala KPK tengah gencar-gencarnya mengungkap berbagai kasus korupsi. Salah satu yang sebelumnya ditunggu publik luas adalah kasus dugaan penyuapan dalam pemilihan Miranda Goeltom.

Oleh KPK pasca ditinggal AA, status kasus tersebut ditingkatkan ke penyidikan. Karena yang mungkin terlibat dalam kasus Miranda Goeltom adalah elite politik di Senayan, pejabat BI, serta pihak-pihak tertentu yang sangat mungkin mendanai penyuapan tersebut, sangat mungkin proses hukum terhadap indikasi penyadapan ilegal dan dugaan penyuapan oleh salah seorang pimpinan KPK merupakan sebuah proses hukum yang sudah tidak steril. Kepentingannya sangat jelas. Yakni, ingin menghentikan proses hukum kasus korupsi oleh KPK.

Benarkah Ada Suap?

Mengingat indikasi suap di KPK masih dalam tingkat penyelidikan oleh kepolisian, tentu bukan pada tempatnya menyimpulkan bahwa suap itu merupakan kasus yang direkayasa. Tanpa bermaksud mencampuri proses hukum oleh kepolisian atas indikasi suap di KPK, penulis ingin mengungkapkan beberapa hal mendasar yang bisa mengungkap lebih jauh benar atau tidaknya suap tersebut.

Pertama, biasanya motif penyuapan dalam proses hukum dilakukan untuk menghentikan sebuah kasus yang sedang ditangani aparat penegak hukum. Istilah mafia peradilan merupakan hal yang tepat untuk menggambarkan praktik penyuapan dalam proses peradilan. Dengan berbagai cara, pihak yang sedang diproses hukum memiliki kepentingan untuk menghentikan kasusnya. Entah berujung pada SP3 atau penghentian penyelidikan. Demikian logikanya.

Masalahnya, dalam kaitan dengan kasus pengadaan alkom oleh PT Masaro, KPK bahkan meningkatkan status hukumnya ke tingkat penyidikan. Anggoro yang disebut-sebut merupakan pihak yang mengemukakan adanya suap tersebut sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Bahkan karena menyembunyikan diri, KPK telah menetapkan status buron terhadap diri Anggoro.

Dengan penetapan status hukum ke penyidikan dan penetapan status tersangka atas diri Anggoro oleh KPK, dugaan penyuapan terhadap salah seorang pimpinan KPK menjadi sulit dipercayai. Meski dapat diasumsikan bahwa penyuapan itu telah terjadi, pihak yang disuap tidak sanggup membendung keputusan di KPK. Tapi, hal itu juga perlu didukung oleh data dan fakta hukum yang memadai.

Pada aspek yang terakhir ini, kasus penyuapan di KPK menjadi sangat sumir. Data yang diperoleh ICW menunjukkan bahwa sumber informasi atas indikasi penyuapan berasal dari Anggoro. Namun, Anggoro tentu tidak bisa dijadikan saksi karena dua hal. Pertama, yang menyebutkan adanya suap tersebut hanya Anggoro seorang. Dalam logika hukum pidana, satu orang tidak bisa disebut sebagai saksi.

Kedua, adanya penyuapan yang diakui atau dikatakan oleh Anggoro ternyata tidak bersumber dari Anggoro sendiri. Maksudnya, Anggoro bukanlah pihak langsung yang menyuap orang KPK. Dia mendapatkan informasi adanya penyuapan itu dari pihak ketiga.

Tentu saja, jika informasi mengenai adanya penyuapan tersebut berasal dari pihak yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, kita dapat mengembangkan beberapa spekulasi. Bisa jadi, Anggoro telah ditipu oleh pihak-pihak tertentu yang selama ini terkesan ingin membantu dia menyelesaikan kasus dengan berperan sebagai penghubung ke pihak KPK.

Padahal, sangat mungkin uang yang sudah diberikan Anggoro untuk menyuap tidak pernah disampaikan ke pihak yang berkepentingan. Atau, ada pihak-pihak tertentu yang mengaku sebagai orang KPK dan memanfaatkan situasi kepanikan untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Dari penjelasan tersebut, kasus suap di KPK masih sulit diyakini kebenarannya. (*)

Adnan Topan Husodo

Tulisan disalin dari Harian Jawa Pos, Sabtu, 8 Agustus 2009