Monday, December 17, 2007

Makna Hari Antikorupsi Sedunia untuk Indonesia

United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) yang telah ditandatangi oleh sebagian besar anggota PBB menandai sebuah inisiatif global dalam melawan korupsi. Meskipun gerakan berbasis regional seperti OECD yang melarang secara tegas suap dalam praktek bisnis bagi para negara anggotanya telah muncul sebelumnya, UNCAC dipandang sebagai tonggak kesadaran internasional bahwa korupsi harus diperangi oleh semua pihak.

Hal ini berarti bahwa kejahatan korupsi tidak lagi dipandang sebagai kejahatan domestik belaka, akan tetapi telah menjadi kriminal transnasional. Tidak sulit memahami paradigma ini karena korupsi memang telah melahirkan keterpurukan bagi sebuah negara yang akan mengganggu kestabilan internasional, sekaligus bahwa hasil kejahatan korupsi bisa dengan mudah ditempatkan atau dipindahkan ke negara lain. Jika hal ini sudah terjadi, sulit bagi sebuah negara untuk dapat mengambil kembali hasil dari kejahatan korupsi tersebut. Oleh karena itu, tanpa kerjasama internasional, pemberantasan korupsi tidak akan berjalan maksimal.

Supaya kerjasama global dalam memerangi korupsi berjalan secara efektif, tentu saja perlu ada dukungan dari negara anggota, khususnya yang memiliki persoalan besar dalam korupsi seperti Indonesia. Dengan meratifikasi UNCAC, Indonesia sebenarnya telah dianggap sebagai negara yang kooperatif dalam memerangi korupsi, meskipun perlu ada langkah-langkah konkret lainnya yang musti diupayakan.

Satu hal yang relevan adalah bagaimana Indonesia melakukan usaha serius untuk menerapkan standar internasional dalam pemberantasan korupsi. Hal ini berarti bahwa Pemerintah dan parlemen harus melalukan harmonisasi atas berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan langsung dengan usaha pemberantasan korupsi, dengan standar internasional yang diatur dalam UNCAC.

Sebenarnya Indonesia sendiri telah memiliki infrastruktur yang memadai untuk memberantas korupsi. Namun seringkali tidak efektif karena adanya proses pemandulan terhadap fungsi pemberantasan korupsi yang luar biasa. Sebut saja misalnya kelahiran berbagai komisi seperti Komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial yang nyatanya tidak memiliki kewenangan besar untuk menjalankan fungsi kontrol atas pelaksanaan penegakan hukum.

Tidak berhasilnya berbagai lembaga antikorupsi dalam menjalankan tugasnya dikarenakan disain peraturan perundang-undangan yang tidak memadai. Bahkan lebih jauh dari itu, terkooptasi oleh kepentingan politik. Kontrol politik yang demikian ketat dalam berbagai rumusan peraturan perundang-undangan antikorupsi menyebabkan tidak berfungsinya lembaga-lembaga antikorupsi yang dibentuk, khususnya yang lahir paska reformasi. Pendek kata, usaha pemberantasan korupsi sebenarnya menghadapi resistensi yang luar biasa dari kelompok politik yang sedang berkuasa. Oleh karena itu, dalam situasi dimana politik tidak mendukung pemberantasan korupsi, inisiatif internasional akan menghadapi kendala yang besar.

Indonesia juga dikenal sebagai negara yang paling mengesankan dalam menghasilkan berbagai peraturan perundangan-undangan antikorupsi beserta perangkat kelembagaannya, namun memprihatinkan jika melihat dari dampak pemberantasan korupsi yang selama ini dirasakan. Bukan mustahil sebenarnya Indonesia tidak memiliki political will yang cukup, melainkan sebatas kepentingan untuk dipandang sebagai negara yang punya itikad serius dalam memberantas korupsi oleh komunitas internasional.

Usaha domestik dalam memberantas korupsi sesungguhnya menjadi kata kunci bagi berhasilnya dukungan internasional. Melalui berbagai saluran, PBB memfasilitasi berbagai usaha untuk meningkatkan kapasitas bagi penegak hukum, merumuskan berbagai aturan yang relevan dengan standar yang diakui internasional, sekaligus membantu ditariknya kembali aset korupsi yang telah dilarikan ke luar negeri.

Akan tetapi jika Indonesia tidak memanfaatkan peluang internasional yang telah disediakan, maka kita akan menghadapi situasi dimana dukungan politik dalam negeri sebenarnya tidak memadai untuk itu. Pada akhirnya, kita akan selalu mengalami kesulitan dan mendapatkan hasil yang minimal dalam melawan korupsi.

Asset Recovery

Satu hal yang menjadi perhatian utama komunitas internasional dalam usaha mereka membantu negara-negara anggotanya dalam memberantas korupsi adalah pengembalian aset (asset recovery). Hal ini dapat dipahami karena keterpurukan sosial ekonomi sebagaimana misalnya dialami Indonesia tidak dapat dipisahkan dari praktek korupsi yang menggurita.

Untuk mendorong usaha pemulihan kondisi sosial ekonomi itulah maka sangat penting bagi Indonesia untuk menarik kembali hasil korupsi yang telah dilarikan ke berbagai negara. Bahkan khusus untuk kasus Soeharto, PBB dan Bank Dunia telah menggagas lahirnya StAR sebagai upaya membantu, sekaligus menekan Indonesia untuk menuntaskan perkara Soeharto.

Oleh karena itu, sudah seharusnya inisiatif internasional disokong secara penuh oleh Pemerintah Indonesia melalui berbagai upaya pembuktian hukum bahwa korupsi memang telah terjadi. Langkah penghukuman terhadap pelaku korupsi yang telah merugikan negara hingga triliunan rupiah sebagaimana dalam kasus korupsi yang diduga melibatkan Soeharto, skandal BLBI, illegal logging, korupsi di sektor pertambangan dan lain sebagainya pada akhirnya akan menentukan apakah dukungan internasional telah dimanfaatkan secara maksimal oleh Indonesia.

Pertanyaannya kemudian, seberapa serius Pemerintah Indonesia merespon ulur tangan dari komunitas internasional untuk melawan korupsi? Momentum pemilihan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu agaknya menjadi ukuran yang sangat konkret.

KPK sebagai lembaga penegakan hukum yang independen adalah bagian tak terpisahkan dari beberapa konsepsi dasar UNCAC. Dan sesungguhnya kita telah membentuknya. Namun ketika parlemen menempatkan orang-orang yang bermasalah menjadi pimpinan KPK, maka sebenarnya kita telah membuang momentum bersejarah bahwa kita memiliki keseriusan dalam memberantas korupsi. Pada konteks ini, barangkali komunitas internasional hanya bisa menyaksikan, bahwa negara ini memang tidak menghendaki pemberantasan korupsi dilakukan. Lantas, apa makna tanggal 9 Desember yang diperingati sebagai hari antikorupsi sedunia? Mungkin tak lebih dari peringatan seremonial belaka. Sungguh menyedihkan.

Sunday, December 09, 2007

Politisasi Uji Kelayakan dan Kepatutan Calon Pejabat Publik

Proses seleksi pejabat publik melalui mekanisme uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) oleh DPR terlihat mulai diragukan efektivitasnya. Hal ini mencuat karena dipicu banyaknya kejadian buruk, khususnya praktik korupsi yang melibatkan pejabat publik hasil seleksi DPR. Sebagai contoh adalah anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jilid I yang sebagian besar telah dijebloskan ke penjara oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena dakwaan korupsi.

Demikian halnya peristiwa penangkapan Irawady Joenoes, anggota Komisi Yudisial (KY) yang diduga kuat menerima suap dalam proyek pengadaan tanah oleh KPK beberapa waktu lalu.

Seperti diketahui, anggota KY juga dipilih melalui fit and proper test oleh DPR. Dan yang teranyar, ditetapkannya Syamsul Bahri - tersangka kasus korupsi proyek KIMBUN di Malang - oleh Komisi II DPR RI sebagai anggota KPU periode 2007-2012. Beruntung Presiden kemudian tidak melantik yang bersangkutan mengingat statusnya sebagai tersangka korupsi.

Dari beberapa peristiwa yang telah dicontohkan di atas, muncul satu kesimpulan sementara yang terlintas bahwa ada yang tidak beres dari seleksi pejabat publik model DPR. Paling kurang hal ini ditunjukkan dari output hasil seleksi pejabat publik yang justru sepak-terjangnya mencoreng integritas lembaga negara semacam KPU dan KY. Padahal kedua lembaga tersebut, dengan komisi-komisi lain yang lahir secara beruntun, lahir karena mandat reformasi yang memiliki cita-cita besar untuk mendorong penerapan good governance sebagai dasar dalam praktik berbangsa dan bernegara.

Kemungkinan yang paling dekat, masalah fit and proper test oleh DPR selama ini dipandang terlalu politis sifatnya. Sebagai lembaga politik, ada kesan yang terus-menerus dibenarkan bahwa dalam melakukan seleksi, anggota DPR menggunakan insting kekuasaan belaka, sehingga unsur penolakan-dukungan begitu lekat. Sayangnya, dasar untuk memberikan penolakan atau dukungan sering kali diletakkan pada kepentingan politik semata.

Dalam konteks ini, siapa yang memiliki dukungan paling banyak, dialah yang akan dipilih sebagai pejabat publik. Dukungan tersebut tentunya diberikan bukan tanpa motif. Akibatnya, mekanisme fit and proper test tidak ubahnya merupakan mekanisme pertukaran kepentingan antara yang memilih dan yang dipilih.

Kebiasaan politisi semacam ini, selain tidak akan pernah bisa melahirkan sosok pejabat publik yang memiliki kualitas tinggi dan integritas yang mantap, juga akan semakin menenggelamkan mekanisme politik sebagai cara yang selalu kotor. Pandangan ini tidak akan bisa bergeser tanpa ada perubahan dari para politisi sendiri untuk dapat mengekang kepentingan kelompoknya, dan menempatkan kepentingan publik yang lebih luas sebagai hal yang mesti diperjuangkan.

Seharusnya dalam memilih calon pejabat publik, DPR menggunakan informasi yang cukup sebagai bahan pengambilan keputusan. Namun nyatanya, informasi yang disampaikan oleh masyarakat melalui berbagai saluran, seperti LSM mengenai calon pejabat publik yang akan dipilih kerap tidak terlalu didengar. Mestinya, informasi itu ditempatkan pada peranannya yang vital untuk menghindari praktik beli kucing dalam karung.

Rekam Jejak

Biasanya, dalam menghadapi proses seleksi pejabat publik, baik di panitia seleksi maupun DPR, kelompok masyarakat yang memiliki perhatian khusus pada agenda tersebut telah banyak berinisiatif untuk menyiapkan bahan-bahan informasi yang sangat dibutuhkan oleh pengambil keputusan.

Persoalannya, di samping tidak terlalu dianggap, seandainya pun informasi itu tersedia, kebenaran atas masukan tersebut sering kali dipatahkan dengan alasan tidak ada bukti formal yang mendukung. Hal ini tidak hanya dialami ketika proses pemilihan pejabat publik berada ditangan DPR, di panitia seleksi sendiri pun, sikap meragukan informasi yang disampaikan publik sangat terasa.

Tak dapat dipungkiri bahwa bukti-bukti pendukung yang secara formal dimiliki sebagai bagian tak terpisahkan dari sebuah informasi rekam jejak calon sebaiknya tersedia. Meski kadang kala jika ada, pilihan politik DPR bisa berkata lain. Ambil contoh adalah kasus Syamsul Bahri, yang oleh Kejaksaan Negeri Malang telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Meskipun ada data formal yang telah dikeluarkan Kejaksaan, Komisi II DPR tetap bersikukuh untuk menetapkan Syamsul Bahri sebagai anggota KPU.

Dalam konteks ini, mekanisme politik dalam seleksi pejabat publik oleh DPR terasa sangat abai terhadap kondisi objektif yang seharusnya ditolak. Sikap permisif yang keterlaluan dalam memilih calon pejabat publik oleh DPR kian menguatkan persepsi publik bahwa mekanisme politik sangat ditentukan oleh variabel kepentingan yang bermain di DPR.

Untuk menghindari politisasi secara terus-menerus dalam setiap proses seleksi pejabat publik di DPR, sekaligus memilih pejabat publik yang tepat sehingga tidak terjebak pada praktik korupsi yang berkelanjutan, mekanisme fit and proper test perlu diletakkan ulang pada koridor yang sebenarnya. Satu hal yang terlupakan sama sekali dari seleksi pejabat publik selama ini adalah tiadanya parameter objektif yang digunakan oleh DPR untuk menentukan pilihannya. Dalam bahasa yang lebih sederhana, karakter orang seperti apa yang dibutuhkan, kualifikasi profesional semacam apa yang harus ada, integritas seperti apa yang dicari, dan lain sebagainya, kerap tidak muncul ke permukaan.

Sepatutnya parameter penilaian calon pejabat publik oleh DPR disampaikan secara terbuka kepada masyarakat sehingga tingkat akuntabilitas dan transparansi proses seleksi bisa diukur. Demikian halnya konsistensi antara pilihan-pilihan yang telah ditetapkan dengan parameter yang telah dibuka akan dapat diketahui oleh publik secara lebih jernih.

Tak kalah pentingnya adalah adanya informasi yang memadai tentang calon pejabat publik yang akan dipilih DPR. Tanpa didukung oleh data dan masukan yang cukup tentang calon pejabat publik, pilihan-pilihan politik DPR akan membabi-buta. Oleh karenanya, sudah selayaknya DPR menggunakan informasi mengenai rekam jejak calon pejabat publik sebagai dasar dalam mengambil keputusan.

Sebagai catatan penting, informasi yang telah disampaikan masyarakat tidak seharusnya dinisbikan begitu saja seandainya tanpa didukung dengan bukti-bukti formal. Hal ini mengingat tidak semua informasi yang ada dapat diklarifikasi dengan bukti formal. Mengacu kepada kasus Syamsul Bahri, kebetulan saja jika dirinya adalah seorang pelaksana proyek yang dijadikan tersangka oleh Kejaksaan. Mungkin kondisinya bisa sangat berbeda jika Syamsul Bahri adalah pejabat teras di instansi penegak hukum misalnya. Barangkali tidak akan pernah ada catatan resmi bahwa Syamsul Bahri adalah seorang tersangka korupsi. Jika semua informasi yang disampaikan dengan mudah dipatahkan hanya karena tiadanya bukti formal, barangkali di balik kebenaran yang masih remang-remang itu, akan muncul kejahatan yang sudah pasti. Tak heran jika kemudian korupsi terjadi di lembaga, seperti KPU dan KY. Ke depan, bisa jadi hal ini terjadi di KPK jika Komisi III DPR keliru menentukan pilihannya.

Penulis adalah Anggota Badan Pekerja ICW

(Suara Pembaruan, Minggu, 8 Desember 2007)

Tuesday, October 02, 2007

SOS untuk KPK

Seleksi calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang sudah diselesaikan oleh Panitia Seleksi KPK, telah menghasilkan 10 nama. Panitia Seleksi sendiri sudah menyerahkan nama-nama tersebut kepada Presiden, sesuai dengan mekanisme pemilihan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Presiden kemudian akan menyerahkan 10 nama tersebut ke Dewan Perwakilan Rakyat, khususnya Komisi III, untuk dilakukan fit and proper test. Idealnya, Komisi III akan memilih 5 terbaik dari 10 nama yang disampaikan Presiden sebagai pemimpin KPK. Tapi apakah sedemikian mudah skenarionya?

Pada awalnya, ada harapan besar kepada Panitia Seleksi KPK untuk dapat menempatkan 10 kandidat terbaik. Terutama karena sifat akomodatif Panitia Seleksi terhadap masukan yang datang dari berbagai kelompok masyarakat. Sejak awal keinginan panitia untuk melibatkan masyarakat dalam memberikan masukan atas proses seleksi memberikan sebuah optimisme bahwa penyaringan pemimpin KPK jilid II akan lebih baik hasilnya jika dibandingkan komposisi pemimpin KPK jilid I.

Namun, nyatanya, proses yang baik tidak selamanya menghasilkan pilihan yang diharapkan. Di antara 10 nama pilihan Panitia Seleksi itu ternyata tersimpan bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak dan menghancurkan harapan publik bahwa pemberantasan korupsi akan semakin efektif.

Masalah ini dimulai dari sebuah persepsi yang sangat keliru, jika tidak dibilang abai, bahwa komposisi pemimpin KPK mengandaikan adanya kuota. Kuota atau dalam bahasa lain disebut politik afirmasi terutama kuat bercokol dalam benak beberapa anggota Panitia Seleksi yang berangkat dari penafsiran atas unsur pemerintah dan unsur masyarakat dalam penjelasan UU KPK. Adanya unsur pemerintah diperkuat oleh Pasal 21 ayat 4 UU dimaksud, yang mengatakan bahwa pemimpin KPK adalah penyidik dan penuntut umum yang kemudian ditafsirkan sebagai kejaksaan dan kepolisian.

Karena adanya kuota tersebut, dalam proses seleksi calon pemimpin KPK jilid II, di antara 10 nama kandidat harus ada yang berlatar belakang kepolisian dan kejaksaan. Persoalannya menjadi sangat kontradiktif mengingat pertimbangan dasar bagi Panitia Seleksi dalam memilih kandidat adalah pada track record atau rekam jejak.

Dengan adanya kuota, mau tidak mau Panitia Seleksi sebenarnya telah menempatkan catatan rekam jejak calon sebagai pertimbangan yang tidak terlalu penting. Pilihannya kemudian hanya sebatas, mana yang paling baik di antara satu jaksa dan jaksa yang lain, di antara satu polisi dan polisi yang lain.

Jika kesemuanya memiliki catatan buruk, Panitia Seleksi KPK harus mengambil yang terbaik di antara yang paling buruk. Proses seperti inilah yang kemudian menyisakan petaka bahwa ada beberapa kandidat yang memiliki catatan jejak rekam buruk tapi tetap dimajukan sebagai kandidat.

Sebenarnya, jika Panitia Seleksi konsisten dengan alat saring yang bernama rekam jejak, 10 nama terbaiklah yang muncul. Kondisi ideal ini akan menyulitkan Komisi III DPR RI, yang akan melakukan fit and proper test, untuk bermanuver. Namun, dengan hasil Panitia Seleksi saat ini, kemudian ada yang mempercayai bahwa Komisi III akan memilih yang paling baik di antara 10 nama yang disodorkan Panitia Seleksi, lebih baik segera bangun dari mimpi indahnya.

Selain persoalan kuota yang melahirkan kecemasan publik, tampaknya Panitia Seleksi juga tidak tuntas dalam melihat kebutuhan KPK ke depan. Hasil evaluasi terhadap kinerja KPK jilid I telah dengan gamblang menjelaskan bahwa tidak ada satu pun aparat penegak hukum yang kasusnya diproses oleh KPK selama kurun waktu penegakan hukum. Sulit untuk mengatakan bahwa hal itu bukan karena faktor adanya unsur jaksa dan polisi dalam komposisi pemimpin KPK.

Jika kita coba kembali merujuk pada semangat dasar lahirnya KPK, dari sana alasan lahir untuk menolak unsur jaksa dan polisi sebagai pemimpin KPK. Sebagaimana dijabarkan dalam penjelasan UU KPK, lahirnya KPK merupakan langkah progresif untuk menempatkan pemberantasan korupsi pada lembaga yang independen dan memiliki kewenangan extraordinary, mengingat pemberantasan korupsi yang dilakukan aparat penegak hukum lainnya tidak berjalan efektif. Bahkan lebih jauh pemberantasan korupsi oleh kejaksaan dan kepolisian telah melahirkan bentuk korupsi lainnya, yakni judicial corruption.

Karena itu, salah satu mandat utama KPK, sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat 1 UU KPK, adalah melakukan pemberantasan korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum. Hal ini menjadi suatu langkah yang paling penting jika dalam kurun waktu tertentu target yang harus dicapai oleh KPK adalah mengembalikan efektivitas penegakan hukum. Tapi, jika sampai berakhirnya tugas pemimpin KPK jilid I tidak ada upaya apa pun untuk membersihkan institusi penegak hukum lain, sebenarnya KPK dapat dianggap gagal dalam menjalankan misi besarnya.

Jikapun ada unsur dari kejaksaan dan kepolisian yang dianggap paling baik untuk menjadi pemimpin KPK, itu juga merupakan langkah yang salah. Untuk saat ini, orang-orang seperti itu justru sangat dibutuhkan oleh korpsnya sendiri dalam rangka membenahi kondisi internal kejaksaan dan kepolisian. Jika orang-orang terbaik dari kejaksaan dan kepolisian justru harus ditempatkan di KPK, hal itu sama artinya dengan memperpanjang masa bagi bercokolnya budaya koruptif di institusi mereka sendiri.

Apalagi kemudian jika yang dipilih adalah bukan orang terbaik dari mereka. KPK yang memiliki target besar untuk memberantas korupsi secara extra ordinary hanya akan kembali mengalami nasib sama, atau bahkan lebih buruk, ketimbang kinerja pemimpin KPK jilid I. Dalam konteks ini, pertanggungjawaban Panitia Seleksi KPK sebagai pihak yang dipercaya Presiden untuk menyaring kandidat adalah membuat KPK jilid II jauh lebih efektif dibandingkan dengan KPK jilid I.

Namun, tampaknya kini yang terjadi justru sebaliknya. Panitia Seleksi KPK telah memberikan bola liar kepada Komisi III DPR RI untuk memilih kandidat yang sesuai dengan selera politik mereka. Kita tidak menganggap bahwa semua anggota Komisi III memiliki agenda politik tertentu, tapi dalam fit and proper test nanti yang akan menang adalah yang paling kuat, bukan yang paling baik.

Jika yang terpilih nanti adalah kandidat dengan nilai integritas yang paling rendah, tampaknya masyarakat perlu meninjau ulang harapan bahwa KPK adalah institusi yang bisa diharapkan untuk memberantas korupsi secara lebih baik. Kita saat ini sedang berhitung atas apa yang sudah dimulai oleh Panitia Seleksi KPK, akankah kandidat yang memiliki cacat integritas kelak menjadi pemimpin KPK. Jika benar adanya, saat ini kita harus sudah mulai berteriak, SOS untuk KPK. Menyedihkan, bukan?

Adnan Topan Husodo, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch

(Tulisan dimuat pada Koran Tempo, Selasa, 2 Oktober 2007)

Monday, September 17, 2007

Mengakhiri Polemik Borang

Sepertinya, belum ada kasus korupsi yang sedemikian hebat seperti yang terjadi di PLN-Borang. Konflik yang terjadi melibatkan aparat Kepolisian dengan Kejaksaan, di mana orang-orang yang terlibat dari dua institusi negara ini saling tuding, saling bertahan pada posisi masing-masing untuk meyakinkan diri, dirinyalah yang paling benar. Kasus itu seakan-akan melupakan adanya mekanisme koordinasi antaraparat penegak hukum. Peristiwa Borang hampir tidak menyisakan ruang untuk saling bahu membahu, melengkapi berbagai kekurangan untuk menegaskan adanya komitmen kuat dalam memberantas korupsi.

Padahal suatu hal yang wajar jika Kepolisian dan Kejaksaan bekerja sama untuk menuntaskan sebuah perkara. Selain kedua lembaga penegak hukum itu memiliki tujuan yang sama, usaha kesepahaman sudah kerap dibangun. Tidak cukup dengan itu, MoU juga turut ditandatangani. Sayangnya, semua itu nyaris tidak terlihat. Sebaliknya, kesan konflik antaraparat penegak hukum menjadi kesimpulan yang tak bisa dihindari.

Ditilik dari empasan akibat yang ditimbulkan, kasus korupsi Borang tidak mungkin dapat dianggap sebagai kasus biasa. Aroma proteksinya terlalu kental. Barangkali pemakluman adalah kata yang tidak tepat, namun memang pilihannya terlalu sedikit untuk menggambarkan keadaannya.

Sebelum kasus Borang, PLN sudah pernah dibombardir oleh berbagai kasus korupsi. Mulai dari kasus Tantiem (bonus direksi), Pembangkit Muara Tawar, CIS-RISI dan lain sebagainya. Tapi tak satupun kasus itu yang dapat diproses hingga ke pengadilan. Barangkali PLN sebagai salah satu BUMN paling menggiurkan menyebabkan usaha para pihak yang berkepentingan dalam memberikan proteksi kian tinggi. Tak heran jika proses hukum sepertinya tak kuasa untuk menegaskan eksistensinya.


Politik sebagai Panglima

Menelaah kasus Borang dari aspek hukum nyatanya hanya berkutat pada soal belum ditemukannya unsur kerugian negara. Belakangan muncul alasan baru, tidak adanya unsur melawan hukum. Di luar soal itu, proses penyidikan berdalih bahwa beberapa saksi kunci belum dimintai keterangan. Setelah semuanya tuntas, tetap saja kasus ini tidak beranjak maju. Bahkan kemungkinan besar, sebagaimana dinyatakan secara implisit oleh Jaksa Agung, kasus Borang akan di SKP3.

Bangunan argumentasi hukum yang didesain Kejaksaan nampaknya sangat rapuh. Tidak ada maksud untuk membela polisi, akan tetapi usaha mereka mengungkap kasus ini nampaknya akan berbuah sia-sia. Contoh sederhana mengenai hasil audit yang digunakan Kejaksaan. Rujukannya adalah BPK, bukan BPKP.

Ditilik dari kebiasaan Kejaksaan dalam mencari kerugian negara, mitra kerja mereka adalah BPKP, bukan BPK. Memang BPK memiliki nilai yang lebih strategis karena posisi independensinya yang menjanjikan. Akan tetapi perlu diingat bahwa hasil audit BPK yang mengatakan tidak ditemukan unsur penyimpangan dalam proyek Borang adalah general audit. Sementara pendekatan BPKP adalah audit investigatif yang sejak awal memiliki tujuan-tujuan khusus, diantaranya menemukan ada tidaknya kerugian negara dari penyimpangan atas suatu pekerjaan. Ditambah, pekerjaan itu dilakukan atas permintaan khusus, dalam hal ini adalah Kejagung sendiri.

Hasil audit investigatif BPKP sudah disampaikan kepada yang bersangkutan dan menemukan adanya nilai kerugian negara. Lantas, setelah diminta untuk bekerja, mengapa kini hasilnya ditolak sendiri oleh Kejagung? Keanehan kian menjadi-jadi ketika unsur perbuatan melawan hukum dikatakan belum ditemukan.

Dari data-data dan dokumen yang ada, proyek Borang sudah dilakukan pengadaannya sebelum tender dilakukan secara formal. Artinya, para pihak yang bermain dalam proyek ini sudah memiliki rencana dan kesepakatan diluar ajang tender yang seharusnya menjadi penentu siapa yang layak melaksanakan proyek. Jika demikian, apakah ini bukan unsur perbuatan melawan hukum?

Rapuhnya alasan Kejaksaan dalam melihat kasus Borang menguatkan dugaan bahwa intervensi politik sangat kuat mengatur proses hukum. Jika hukum dijadikan sebagai alasan agar tidak meneruskan proses hukum, ini merupakan modus belaka untuk membebaskan para tersangka dari jerat hukum.

Kita tentu masih ingat bahwa saat ini PLN sedang melaksanakan proyek crash program 10 ribu megawatt. Gelontoran dana dalam proyek ini mencapai triliunan rupiah. Beberapa pihak telah memperoleh jatah, barangkali jaringan dari penguasa sekarang juga turut menikmati proyek ini. Kepentingannya macam ragam. Yang terbesar adalah mobilisasi dana politik. Meskipun analisis ini terkesan konspiratif, akan tetapi fakta hukum yang 'dilecehkan' tidak menyisakan ruang bagi dugaan lainnya. Pada titik ini, kita dapat tersadarkan bahwa proses hukum proyek Borang teramat kuat blokadenya.


KPK

Sebenarnya ada celah kecil yang dapat digunakan untuk meneruskan kasus Borang, yakni melalui pengambilalihan penanganan kasus oleh KPK. Hal ini mengingat KPK sejak konflik Kepolisian dan Kejaksaan memanas memainkan wewenangnya untuk mengkoordinasi. Beberapa kali gelar perkara yang telah dilakukan tentu memberikan kesimpulan sendiri bagi KPK.

Soal pengambilalihan, KPK memiliki wewenang dan peluang yang besar. Dalam UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK, pasal 8 dan 9 telah mengatur otoritas dan alasan pengambil-alihan. Salah satunya adalah penanganan kasus korupsi berlarut-larut dan tanpa alasan yang jelas, adanya hambatan dari unsur yudikatif, legislatif dan eksekutif serta karena keadaan lain yang membuat aparat penegak hukum sulit melaksanakan penanganan kasus dengan baik.

Dengan diambil-alihnya kasus Borang oleh KPK, ada beberapa keuntungan yang bisa dipetik.

Pertama, polemik yang tak berkesudahan antara Kepolisian dan Kejaksaan dalam menangani kasus Borang dapat diakhiri. Hal ini sekaligus untuk menghindari kesan buruk di mata publik bahwa antaraparat penegak hukum tidak ada kerja sama yang baik.

Kedua, jika sejak awal ada keengganan dari Kejaksaan Agung untuk menangani kasus ini, dikarenakan berbagai alasan di luar teknis hukum, tentunya independensi KPK akan membuat proses penanganan menjadi lebih mulus. Toh jikapun dipaksakan kasus ini ditangani oleh Kejaksaan, hasil kerjanya tidak akan maksimal dan dikhawatirkan berujung pada pembebasan para tersangkanya.

Ketiga, ketika kasus Borang ditangani KPK, nafas kita bisa menjadi lega karena kasusnya secara otomatis akan dilimpahkan ke pengadilan tindak pidana korupsi. Dalam catatan sejarahnya, belum ada satu pun kasus korupsi yang dibebaskan oleh pengadilan tipikor. Dengan demikian, kasus Borang juga memiliki prospek yang lebih baik, khususnya bagi kepentingan pemberantasan korupsi itu sendiri.


Penulis adalah Anggota Badan Pekerja ICW

Monday, July 30, 2007

Peran Strategis Komisi Pemberantasan Korupsi

Lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didasarkan pada perkembangan pemikiran di dunia hukum bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa. Label demikian dianggap tepat untuk disematkan dalam konteks Indonesia, mengingat daya rusak praktek korupsi telah mencapai level tinggi. Maka, tak mengherankan jika hingga hari ini Indonesia masih terjebak dalam suatu kondisi sosial-ekonomi dan politik yang memprihatinkan.

Indikasinya bisa dilihat dari deretan angka kemiskinan yang tinggi, besarnya tingkat pengangguran, rendahnya indeks sumber daya manusia Indonesia, serta rendahnya kualitas demokrasi. Secara langsung ataupun tidak, keadaan di atas disebabkan oleh korupsi yang sudah telanjur mewabah. Korupsi telah membuat lumpuh sebagian besar daya dan kekuatan yang dimiliki bangsa ini untuk bangkit dari keterpurukan.

Selama ini, program pemberantasan korupsi melalui pendekatan konvensional telah divonis gagal dalam mengurangi tingginya korupsi yang terjadi. Kegagalan demi kegagalan dalam memberantas korupsi menumbuhkan sebuah keyakinan bahwa, dalam sebuah sistem tempat korupsi telah menjadi endemik, mekanisme penegakan hukum yang biasa hanya akan menutupi pejabat negara yang korup.

Institusi penegak hukum konvensional yang bertindak menegakkan hukum semakin tidak berdaya dalam mendeteksi dan menuntut kasus-kasus korupsi yang kian kompleks. Bahkan institusi-institusi tersebut telah menjadi bagian dari mata rantai korupsi yang merajalela. Karena itu, kehadiran KPK seharusnya merupakan sebuah jawaban bagi deadlock-nya upaya melawan korupsi.

Akan tetapi, berdasarkan hasil evaluasi ICW terhadap kinerja institusi KPK selama kurun waktu 2003-2007 dalam memberantas korupsi, terdapat berbagai kelemahan yang ditemukan. Salah satu yang mendasar adalah tidak mencukupinya basis analisis untuk melihat akar dan problematika korupsi itu sendiri. Sehingga desain kebijakan dan program pemberantasan korupsi yang dikembangkan oleh KPK dirasa kurang efektif, efisien, relevan, dan berkelanjutan.

Dalam analisis berbagai pakar, Indonesia saat ini berada pada tipologi korupsi ketika state capture type of corruption telah mendominasi ruang-ruang kebijakan publik, sementara korupsi birokrasi juga berada pada tingkat yang mengkhawatirkan. Dua keadaan ini menyebabkan kita disandera oleh sistem yang teramat korup (UNDP, 2002). Atau, dengan kata lain, tidak dapat berbuat apa pun untuk membenahi persoalan korupsi yang sudah sedemikian pelik.

Sementara itu, di sisi yang lain, KPK masih berkutat pada penanganan korupsi yang bertipologi petty administrative corruption. Karena itu, proses hukum atas kasus-kasus korupsi yang ditangani KPK tidak memiliki dampak yang berarti, karena hilangnya nilai strategis dari sebuah kasus korupsi yang ditangani. Nilai strategis itu dilihat dalam dua pendekatan, yakni sumber korupsi yang selama ini menjerat bangsa Indonesia dalam keterpurukan ekonomi, sosial, dan politik, serta dampak langsung pemberantasan korupsi dalam bentuk pembenahan sistem yang rentan terhadap korupsi setelah penegakan hukum dilakukan.

State capture bisa dilihat pada aktor utama pelaku korupsinya, yakni pejabat politik, pejabat negara, dan kalangan swasta/pengusaha yang berkolusi menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaan negara/publik. Aktor inilah yang menciptakan sebuah kondisi negara yang terus-menerus tersandera oleh ketidakberdayaan sosial-ekonomi dan politik.

Di samping karena kerugian negara dan masyarakat yang dapat mencapai triliunan rupiah, state capture telah menciptakan monopoli dalam penguasaan dan alokasi sumber daya ekonomi publik. Melalui praktek komunikasi dan lobi secara informal, tertutup dengan contact person di level tinggi, state captors bekerja mempengaruhi kebijakan publik yang dapat menguntungkan aktor-aktornya. Pendek kata, dalam korupsi bertipologi state capture, kebijakan publik merupakan arena transaksi dan sumber akumulasi kekayaan.

Namun, sayangnya, hingga saat ini, pun setelah KPK lahir, aktor-aktor state capture masih tetap tidak tersentuh. KPK masih sebatas menangani kasus-kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah, pejabat eselon, dan pemimpin proyek--yang sebagian besar korupsinya terjadi di sektor pengadaan barang dan jasa. Barangkali sektor ini memang rawan terhadap korupsi. Tapi berbagai sektor lain, tempat sumber ekonomi publik yang demikian besar dikelola, seharusnya menjadi pilihan-pilihan yang strategis untuk dihantam.

Memang KPK tidak didesain untuk menegakkan hukum korupsi di semua lini. Karena itu, seharusnya pilihan dalam membidik sebuah kasus korupsi harus didasarkan pada pertimbangan strategisnya. Terutama pada titik di mana kejaksaan dan kepolisian memiliki hambatan politik untuk menanganinya. Jika KPK menangani perkara korupsi yang sederajat dengan kualitas perkara milik kejaksaan dan kepolisian, hal ini justru hanya akan menimbulkan naiknya ongkos dalam memberantas korupsi.

Supaya KPK dapat terfokus pada kasus-kasus korupsi yang memiliki spektrum politik besar, sekaligus memiliki dampak terhadap perbaikan ekonomi dan pelayanan publik, mekanisme supervisi dan koordinasi harus dioptimalkan. Mengingat banyak kasus korupsi birokratis yang ditangani kejaksaan dan kepolisian mengalami kemacetan, KPK harus mengawasi secara serius proses penegakan hukumnya. Dengan kewenangan itu, diharapkan penanganan kasus-kasus korupsi birokrasi, yang selama ini menjadi tanggung jawab kejaksaan dan kepolisian, menjadi lebih efisien dan tidak koruptif.

Selama ini tidak dapat dimungkiri bahwa terdapat penambahan jumlah kasus yang ditangani kejaksaan dan kepolisian setelah mekanisme supervisi dan koordinasi dilakukan KPK, tapi hal itu tidak mengurangi praktek korupsi dalam penanganan kasus korupsi. Karena itu, untuk mendorong proses penegakan hukum pada tingkat kejaksaan dan kepolisian, KPK seharusnya memulai upaya pemberantasan korupsi dengan melakukan pembersihan pada tubuh aparat penegak hukum. Upaya membersihkan kejaksaan dan kepolisian akan sangat membantu KPK dalam menangani perkara-perkara korupsi yang sedemikian banyak.

Namun, sayangnya, hingga menjelang berakhirnya masa tugas pemimpin KPK periode 2003-2007, belum ada satu pun aparat penegak hukum yang diproses, kecuali Suparman selaku penyidik KPK sendiri. Padahal mustahil mendorong program pemberantasan korupsi di tubuh kejaksaan dan kepolisian seandainya upaya-upaya pembersihan tidak segera dilakukan. Demikian juga halnya lingkup pengadilan, yang seharusnya menjadi prioritas mengingat semua proses hukum akan bermuara di tangan para hakim.

Karena itu, ke depan sudah seharusnya pemimpin KPK terpilih harus benar-benar memiliki perspektif yang kuat sehingga dapat melihat secara lebih tajam persoalan mendasar dari merajalelanya korupsi. Sudah seharusnya desain program dan kebijakan pemberantasan korupsi harus becermin pada tipologi korupsi yang mendominasi. Bukan sekadar menjalankan tugas dan kewajiban memberantas korupsi sebagaimana mandat undang-undang tapi tanpa bekal yang cukup memadai.

Disalin dari koran Tempo, Senin, 16 Juli 2007

Sunday, July 08, 2007

Sosok Pimpinan KPK ke Depan

Kekhawatiran banyak pihak bahwa dalam setiap proses rekrutmen pimpinan KPK akan ada intervensi politik untuk sementara dapat dipatahkan. Komposisi pansel pimpinan KPK saat ini boleh dikatakan sudah cukup mencerminkan tingkat integritas yang tinggi, keterwakilan dari berbagai latar belakang profesional, kepercayaan publik atas anggota pansel dan ketokohan yang diakui secara luas oleh masyarakat. Demikian pula sikap yang sangat terbuka dari pansel pimpinan KPK untuk meminta masukan, saran dan pengawasan penuh dari masyarakat merupakan nilai lebih yang perlu didukung semua pihak.

Di luar kekhawatiran di atas, yang sudah terjawab, muncul kekhawatiran baru, yakni sepinya minat anggota masyarakat untuk mendaftar sebagai calon pimpinan KPK. Tidak seperti pada proses seleksi pimpinan KPK yang pertama di mana pelamar mencapai angka 500, saat ini diperkirakan hingga akhir masa pendaftaran jumlah yang melamar hanya 200 hingga 250 orang. Sedikitnya para pelamar yang mengajukan diri ke pansel pimpinan KPK disebabkan oleh beberapa hal.

Pertama, pansel kurang mensosialisasikan telah dimulainya pendaftaran. Hal ini menyebabkan informasi yang diterima masyarakat tidak mencukupi. Dalam situasi seperti ini, pansel pimpinan KPK seharusnya melakukan langkah-langkah darurat, yakni proaktif mendorong para pihak yang dianggap kredibel dan layak menjadi pimpinan KPK untuk segera mendaftarkan diri. Hal ini mengingat masa pendaftaran yang semakin mendekati akhir. Sementara untuk melakukan perpanjangan pendaftaran akan sangat sulit karena UU membatasi hanya 14 hari masa kerja.

Dalam bayangan penulis, jika anggota pansel yang jumlahnya 15 orang, yang terdiri dari berbagai latar belakang pengetahuan, pendidikan serta keahlian, seandainya masing-masing dapat mengajak 5 anggota masyarakat untuk mendaftar, masalah jumlah pelamar yang sedikit dapat teratasi. Demikian halnya persoalan kualitas calon pimpinan KPK yang seandainya didorong oleh anggota pansel paling tidak dapat dimaksimalkan mengingat kualitas anggota pansel yang juga mumpuni.

Kedua, kekhawatiran banyak anggota masyarakat yang menurut penulis layak menjadi calon pimpinan KPK terletak pada mekanisme pemilihan yang sedikit banyak akan ditentukan oleh proses fit and proper test di DPR RI. Persoalan ini tidak dapat dianggap sederhana karena dalam pemilihan pimpinan KPK yang pertama, salah satu kandidat yang dikenal luas oleh masyarakat memiliki kemampuan luar biasa untuk memberantas korupsi justru tidak lolos dalam fit and proper test. Pertanyaannya kemudian, dalam melakukan fit and proper test, apa sebenarnya ukuran-ukuran objektif yang digunakan oleh DPR untuk menilai masing-masing calon?

Akan tetapi lebih dari itu adalah sosok dan komposisi pimpinan KPK yang memiliki visi luas, perspektif tajam, keberanian luar biasa, kemampuan dalam kerja sama dan mewakili berbagai latar belakang pengetahuan mengingat kian kompleksnya korupsi yang terjadi, di tengah-tengah produk hukum pemberantasan korupsi yang mengekang dan memiliki banyak celah-celah kelemahan.

Kelas Kakap

Dari hasil evaluasi ICW terhadap program dan kebijakan pemberantasan korupsi KPK 2004-2007, terdapat beberapa sisi kelemahan. Kelemahan itu terkait dengan beberapa isu, yakni penindakan, pencegahan, koordinasi dan supervisi serta asset recovery. Keempat hal itu merupakan item penilaian untuk melihat upaya-upaya yang telah dilakukan dan hasil pemberantasan korupsi yang sudah diperoleh.

Dari aspek penindakan, KPK belum dapat menunjukan kepada masyarakat bahwa kasus korupsi yang ditangani merupakan kasus berkategori kelas kakap. Tentu saja yang dimaksud kelas kakap adalah kasus korupsi yang terjadi pada sektor perbankan -termasuk BLBI-, kasus di istana negara, kasus korupsi yang melibatkan politisi, kasus korupsi di tubuh institusi militer dan jajaran aparat penegak hukum sendiri. Mendekati 4 tahun masa kerjanya, belum ada satupun anggota DPR yang diproses secara hukum karena melakukan korupsi. Demikian hanya belum ada satupun aparat penegak hukum yang diperiksa, kecuali penyidik KPK sendiri (Suparman).

Demikian pula nilai kerugian yang ditangani oleh KPK sebenarnya setara dengan apa yang telah dilakukan oleh Kejaksaan dan Kepolisian. Hitungan ICW menunjukan bahwa 51 persen kerugian negara yang diperiksa oleh KPK berada pada interval 1 hingga 20 miliar rupiah. Kasus-kasus tersebut sebagian besarnya adalah kasus korupsi pengadaan barang dan jasa. Dalam tipologi korupsi, pengadaan barang dan jasa adalah model yang paling konvensional. Pendek kata, kasus-kasus korupsi yang ditangani oleh KPK belum setara dengan kewenangan luar biasa yang dimilikinya, sekaligus setingkat dengan harapan masyarakat.

Pencegahan yang dilakukan oleh KPK dapat dievaluasi pada program besarnya, yakni Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN). Sepanjang periode pimpinan KPK sekarang, tidak banyak perubahan yang terjadi. Contohnya adalah program LHKPN, yang maksud awalnya untuk mengendalikan tingkat korupsi pejabat negara karena adanya daya paksa untuk transparan mengenai asal-usul kekayaan dan jumlah total kekayaan yang dimiliki.

Hingga saat ini KPK masih berkutat pada problem ketidakpatuhan pejabat negara untuk menyampaikan LHKPN. Angka peningkatannya pun tidak signifikan. Pada tahun 2001, tingkat kepatuhan pejabat negara yang menyampaikan laporan hanya mencapai 41, 57%. Hingga tahun 2006, pejabat negara yang melaporkan LHKPN hanya mencapai 56,11%. Ini artinya hampir setengahnya dari pejabat negara kita masih mengabaikan kewajiban itu setelah 5 tahun program LHKPN dilaksanakan. Di samping problem kepatuhan, yang lebih signifikan adalah masalah kebenaran laporan tersebut. Ke depan, yang perlu dipikirkan adalah bagaimana membuat program LHKPN menjadi lebih bertaji, sekaligus menimbulkan kekhawatiran pejabat negara untuk melakukan korupsi.

Dalam kalkulasi cost and benefit untuk memberantas korupsi, KPK juga masih merugi. Tingkat pengembalian kerugian negara yang telah disetorkan kepada kas negara selama 3 tahun masa penindakan hanya mencapai angka Rp 50,04 miliar. Dibandingkan dengan ongkos program pemberantasan korupsi yang mencapai Rp 247,68 miliar, jumlah asset recovery tersebut masih pada tingkat yang memprihatinkan.

Di luar kelemahan-kelemahan tersebut, masih ada dua kabar gembira. Pertama, sepanjang program penindakan kasus korupsi oleh KPK, seluruh perkara yang dilimpahkan ke pengadilan tindak pidana korupsi telah divonis bersalah. Kedua, sebagai penerapan mekanisme penindakan yang ketat, sejak dijadikan sebagai tersangka, tanpa pandang bulu, KPK langsung melakukan penahanan.

Penulis adalah Anggota Badan Pekerja ICW

Tulisan disalin dari harian Suara Pembaruan, Minggu, 8 Juli 2007

Tuesday, June 19, 2007

Menghapus Dana Nonbujeter

Banyak hal yang keliru dalam tata kelola keuangan negara kita, tapi sering kali diyakini sebagai sebuah kewajaran, bahkan kebenaran. Karena itu, kesalahan-kesalahan muncul berulang kali tanpa bisa dikendalikan. Padahal acuan yang dibuat untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas, sekaligus menekan tingkat kebocoran dan penyelewengan anggaran negara, sudah dibuat. Sebut saja, misalnya, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU Nomor 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

Ketiga peraturan perundang-undangan tersebut seharusnya sudah cukup mumpuni untuk mengekang beragam potensi pelanggaran. Namun, sepertinya seperangkat peraturan yang telah dilengkapi dengan sanksi di dalamnya itu tidak mampu mengendalikan nafsu kekuasaan yang cenderung korup. Salah satu faktornya adalah karena pelaksana undang-undang tidak cukup bernyali untuk menindak tegas berbagai bentuk penyimpangan anggaran. Tak pelak lagi pembiaran terhadap praktek pelanggaran peraturan kemudian menjadi pemandangan yang lumrah.

Mungkin jika praktek koruptif dalam pengelolaan anggaran negara bisa dideteksi dengan cepat melalui pelaksanaan peraturan yang konsisten, selain akan menyelamatkan uang negara, dapat memberikan terapi kejut bagi para pengelola anggaran negara.

Konsistensi itulah yang seharusnya ditunjukkan oleh Presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara, dengan mempercepat proses perbaikan sistem di sektor pengelolaan anggaran negara. Sehingga "improvisasi" masing-masing instansi teknis--baik departemen maupun nondepartemen--untuk menggali dan mengelola anggaran publik di luar garis-garis yang ditetapkan peraturan perundang-undangan dapat dicegah.

Kasus-kasus korupsi semacam Dana Abadi Umat (DAU) di Departemen Agama, yang melibatkan Said Agil Munawar, atau Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), yang telah menyeret Rokhmin Dahuri, menegaskan bahwa masih terdapat peluang yang besar bagi pemegang otoritas kebijakan di sebuah institusi pemerintahan untuk menyelewengkan dana, baik yang diperoleh melalui pungutan dari konsumen pelayanan publik maupun pemotongan proyek-proyek pemerintah.

Potensi penyelewengan anggaran yang besar juga dapat dilihat dari temuan Departemen Keuangan terakhir. Terdapat sekitar 5.000 rekening liar yang digunakan untuk menyimpan anggaran non-APBN atau nonbujeter.

Dikatakan rekening liar karena prosedur pembuatannya tanpa sepengetahuan dan izin dari Menteri Keuangan selaku bendahara umum negara, sebagaimana diatur dalam UU Perbendaharaan Negara. Ditambah lagi karena dana yang ditampung dalam rekening tersebut adalah dana-dana nonbujeter.

Merujuk pada UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, istilah nonbujeter sebenarnya tidak dikenal sama sekali. Konsepsi keuangan negara dalam undang-undang tersebut hanya meliputi wilayah APBN dan APBD, dan sama sekali tidak disinggung pengertian di luar kedua hal tersebut. Karena tidak diatur, sesungguhnya dana nonbujeter merupakan dana ilegal karena eksistensinya di luar jangkauan UU Keuangan Negara.

Meskipun demikian, mengingat tempat penyimpanannya pada rekening yang dibuat oleh otoritas pengelola keuangan negara, secara otomatis sebenarnya dana nonbujeter itu masuk dalam kategori keuangan negara. Maka amatlah tepat kebijakan Menteri Keuangan menertibkan rekening liar dan memasukkan pelbagai dana yang ada di dalamnya ke kas negara. Pendek kata, dari mana pun sumber dana nonbujeter yang selama ini disimpan dalam rekening liar instansi pemerintah, semuanya harus dimasukkan dalam APBN dan atau APBD.

Selama ini menjamurnya penyimpangan atas penggunaan dana nonbujeter sangat dipengaruhi oleh berbagai macam pemahaman yang keliru. Semuanya menjadi lebih mudah karena ada sebuah keyakinan kuat bahwa keberadaan dana nonbujeter merupakan sebuah terobosan untuk menyiasati minimnya anggaran resmi yang dialokasikan negara. Di sisi lain, berkembang pendapat bahwa operasionalisasi sebuah instansi pemerintah mustahil dapat berjalan seandainya hanya mengandalkan anggaran resmi negara saja. Khususnya pembiayaan untuk kegiatan-kegiatan yang mendesak dan tidak terprogram sama sekali.

Pada level tertentu, pandangan dan argumentasi di atas dapat dibenarkan. Namun, yang perlu diingat, kekeliruan mendasar yang menyebabkan munculnya berbagai dana nonbujeter terletak pada politik penganggaran kita. Selama ini proses penganggaran lebih didominasi oleh tarik-menarik kepentingan proyek besar yang melibatkan berbagai kelompok modal, politikus, dan birokrat di luar agenda pengembangan dan keberlanjutan pembangunan.

Akibatnya, anggaran yang tersedia tidak akan pernah cukup untuk membiayai berbagai kepentingan publik yang lebih besar. Dalam kasus DKP misalnya. Alasan utama munculnya pungutan pada setiap proyek yang dibiayai APBN di DKP adalah untuk membantu para nelayan pesisir yang tidak tersentuh oleh program pemerintah. Di luar alasan di atas, bagi politikus, dana nonbujeter adalah amunisi bagi pendanaan politik yang efektif. Sistem politik kita yang harus dibiayai dengan ongkos sangat mahal telah melahirkan berbagai macam bentuk anomali dalam tata kelola keuangan yang berujung pada praktek korupsi.

Masih merujuk pada fakta dalam kasus DKP, berdasarkan hasil penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ditemukan bahwa dana DKP nyatanya lebih banyak digunakan untuk kepentingan di luar nelayan. Politikus Dewan Perwakilan Rakyat justru mendapatkan perhatian yang lebih serius dibanding nasib nelayan. Karena itu, kekhawatiran terbesar jika dana nonbujeter tetap dipertahankan adalah mudahnya terjadi manipulasi kepentingan yang sulit dihindarkan. Alasan untuk keperluan operasional mendesak atau membiayai kelompok masyarakat yang tidak beruntung paling mungkin digunakan sebagai cadar untuk menutupi kepentingan tersembunyi yang sesungguhnya.

Demikian halnya sampai saat ini, hampir tidak ada formula yang efektif untuk membiarkan dana nonbujeter dikelola oleh instansi pemerintah, meskipun diikuti oleh perbaikan dalam sistem transparansi dan akuntabilitasnya. Hal ini karena dana nonbujeter sejak dalam struktur dasarnya sudah mengandung sifat-sifatnya yang tertutup dan tersembunyi. Maka dana nonbujeter hanya akan terus bertahan seandainya ruang gelap untuk tidak mempertanggungjawabkannya masih terpelihara subur. Lantas, akankah kita terus mendiamkannya?

Disalin dari Koran Tempo, 19 Juni 2007

BUMN dan BUMD Adalah Badan Publik

Perdebatan keras proses legislasi RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (KMIP) antara Panitia Kerja (Panja) Komisi I DPR RI dan pemerintah yang diwakili Departemen Informasi dan Komunikasi (Depkominfo) terfokus pada pendefinisian apa yang disebut sebagai badan publik. Kemudian, lembaga-lembaga semacam apa yang masuk dalam kategori badan publik.

Sofyan Djalil, Menkominfo saat itu, bersikeras bahwa BUMN bukanlah badan publik. Alasannya, BUMN sudah diatur tersendiri oleh rezim ekonomi melalui berbagai peraturan perundang-undangan yang ada, misalnya UU PT, UU Pasar Modal, dan UU Rahasia Dagang.

Di dalam berbagai peraturan tersebut juga sudah ada kewajiban bagi BUMN untuk membuka informasi kepada pemegang saham dan melaporkan kondisi keuangan hasil audit melalui media massa.

Dikhawatirkan, seandainya BUMN termasuk ke dalam badan publik, dalam pengertian bahwa publik dapat mengakses informasi seluas-luasnya, persaingan usaha menjadi tidak sehat.

Banyak hal rahasia dalam kalkulasi bisnis yang bisa diketahui pihak lain. Demikian kira-kira argumentasi Depkominfo sehingga BUMN harus dikeluarkan dari definisi badan publik.

Konsep
Untuk membongkar justifikasi-justifikasi tersebut, kita bisa mulai membedahnya dari konsep badan publik yang dianut RUU KMIP. Paling tidak, ada tiga kriteria dasar yang berlaku parsial sebuah institusi dapat dikategorikan sebagai badan publik. Pertama, menggunakan anggaran negara dan atau anggaran daerah.

Kedua, penyelenggara negara yang tugas pokok dan fungsinya berkaitan dengan penyelenggaraan negara.

Ketiga, pihak-pihak lain yang bukan penyelenggara negara, akan tetapi mendapatkan anggaran dari negara atau anggaran daerah maupun yang mendapatkan dana dari sumbangan masyarakat atau sumber luar negeri, termasuk LSM dan partai politik.

Merujuk pada konsep badan publik di atas, sejatinya BUMN dan BUMD masuk kategori badan publik karena menggunakan anggaran negara dan atau anggaran daerah. Meski orientasi yang dibangun BUMN dan BUMD adalah mengejar laba, dana yang digunakan untuk menjalankan aktivitas bisnisnya diperoleh dari anggaran negara.

Apa yang disebut sebagai anggaran negara atau keuangan negara sudah diatur tersendiri di dalam UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara. Dalam pasal 1 UU itu disebutkan bahwa keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu, baik berupa uang maupun barang, yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

Lebih lanjut, UU Keuangan Negara mengatur tentang ruang lingkup keuangan negara yang meliputi hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman. Serta, kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga, penerimaan negara, pengeluaran negara, penerimaan daerah, pengeluaran daerah, kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah, kekayaan pihak lain yang dikuasai pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum maupun kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.

Jelas
Dengan demikian, semakin jelaslah bahwa perusahaan negara atau daerah termasuk dalam definisi keuangan negara sebagaimana diatur dalam UU Keuangan Negara. Perusahaan negara juga menjadi bagian dari badan publik sebagaimana konsepsi dalam RUU KMIP itu sendiri.

Selain itu, BUMN/BUMD perlu dimasukkan sebagai badan publik karena fakta menunjukkan bahwa praktik bisnis di perusahaan negara dan daerah sarat dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sudah bukan rahasia umum selama ini perusahaan negara dijadikan sebagai sapi perah untuk kepentingan politik.

Dari catatan ICW, selama kurun waktu 2006, BUMN dan BUMD merupakan sektor yang tinggi angka korupsinya. Di luar kalangan eksekutif (69 kasus), BUMN dan BUMD menempati posisi kedua dengan jumlah kasus mencapai 49.

Tanpa diikuti kewajiban untuk membuka akses seluas-luasnya kepada publik untuk melakukan pengawasan, BUMN dan BUMD akan terus digerogoti korupsi. Tak ayal, berita mengenai BUMN dan BUMD yang terus merugi adalah ongkos mahal yang harus dibayar seandainya BUMN dan BUMD tidak diwajibkan membuka akses informasi kepada publik.

Langkah pemerintah untuk menerapkan Good Corporate Governance (GCG) saja tidak cukup. Sebab, GCG hanya akan dapat bekerja di saat lingkungan BUMN dan BUMD steril dari kepentingan di luar bisnis.

Sebaliknya, ketika pemilihan direksi BUMN dan BUMD masih ditentukan dan diintervensi kelompok politik tertentu dan saat kalangan profesional kehilangan kesempatan mengelola BUMN dan BUMD secara mandiri, GCG merupakan konsep di atas kertas yang menemui jalan buntu.

Karena itu, jika ada batas-batas atas akses publik nantinya, hal tersebut masih bisa diterima. Pertimbangannya tentu saja berkaitan dengan informasi mengenai desain bisnis, formulasi usaha, hak cipta, dan hal-hal lain yang bersentuhan langsung dengan persaingan usaha. Sebab, meski ada batas-batas yang kemudian dilanggar, mekanisme sengketa informasi telah disediakan melalui Komisi Informasi yang akan menilai laik tidaknya informasi itu diberikan.

Yang harus diingat, dalam bisnis BUMN dan BUMD, terdapat berbagai macam kegiatan yang berada di luar konteks persaingan usaha, namun potensi korupsinya tinggi. Sebut saja, misalnya, pengadaan barang dan jasa yang menjadi wilayah paling rawan untuk dikorupsi. Di luar itu, kegiatan semacam penjualan aset BUMN dan BUMD yang juga tidak luput dari praktik korupsi.

Kasus seperti penjualan saham yang merugikan Perusahaan Gas Negara (PGN) karena ditengarai penuh rekayasa untuk memperkaya beberapa gelintir pihak merupakan justifikasi faktual bahwa BUMD ataupun BUMD harus bisa diawasi publik.

Dengan demikian, kerugian yang timbul dari kegiatan usaha BUMN dan BUMD bisa dilihat apakah disebabkan kegiatan bisnis murni yang penuh dengan resiko. Atau, kerugian itu diakibatkan perbuatan direksi dan komisaris yang melanggar hukum sehingga dapat diproses melalui dugaan tindak pidana korupsi.

Terakhir, meski BUMN telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, hal itu hanya membatasi keterbukaan perusahaan negara pada pemiliknya, yakni pemegang saham. Sementara itu, RUU KMIP memperluas keterbukaan BUMN dan pertanggungjawabannya sampai ke ranah publik. Pada dasarnya, keuangan BUMN dan BUMD merupakan bagian dari keuangan negara yang tidak bisa lepas dari pertanggungjawaban publik.

Disalin dari Jawa Pos, Selasa, 19 Juni 2007

Monday, June 04, 2007

Kesetaraan Hukum Sipil-Militer

Setelah lebih kurang lima tahun kasus dugaan korupsi pembelian helikopter Mi-17 mandeg, Kejaksaan Agung RI mulai mengambil langkah lebih maju dengan menahan beberapa tersangka. Salah satu dari tersangka yang akhirnya turut ditahan setelah menuai kritik keras karena kesan diskriminasi yang kuat berasal dari kalangan militer.

Sulitnya mendorong penegakan hukum bagi pelaku korupsi yang memiliki latar belakang militer memang masih menjadi pekerjaan rumah yang jauh dari selesai. Terkesan selama ini militer merupakan wilayah yang kedap dari hingar bingar dan hiruk-pikuk kampanye pemberantasan korupsi, khususnya pada era Yudhoyono-Kalla.

Meskipun hal ini tidak berarti mengandung hubungan sebab-akibat, dalam pengertian bahwa, di institusi militer relatif sedikit tingkat korupsinya sehingga jarang sekali ada militer aktif diproses secara hukum. Justru sebaliknya, jika ditarik ke dalam sejarah Indonesia, militer merupakan institusi yang tingkat korupsinya relatif tinggi. Hal mana juga menjadi persoalan di beberapa negara dunia ketiga yang memiliki latar belakang sejarah sosial-politik otoriter.

Warisan kekuasaan otoriter yang mengendap kuat dalam jalinan struktur politik Indonesia membuat institusi militer memiliki posisi yang sangat diperhitungkan jika berhadapan dengan mekanisme hukum. Terlemparnya mereka dari kekuasaan politik formal dihilangkannya jatah perwakilan di DPR- tidak mengurangi sifat dan posisi militer yang sangat dianak- emaskan.

Faktornya bukan karena ketidakpatuhan atau pembangkangan atas mekanisme hukum yang berlaku, akan tetapi karena desain hukum yang diwariskan membuat institusi militer memiliki mekanisme tersendiri yang keluar dari tatanan hukum umum. Oleh sebab itu, jika terjadi dugaan tindak pidana korupsi di instansi militer atau dilakukan oleh militer aktif misalnya, kesulitan utama yang dihadapi aparat penegak hukum adalah sistem hukum diskriminatif yang masih berlaku hingga sekarang.

Dalam KUHAP dan UU Peradilan Militer telah diatur sebuah mekanisme koneksitas baik penyelidikan penyidikan maupun pengadilan untuk memproses secara hukum militer aktif yang melakukan tindak pidana. Hal mana keadaan ini selalu dijadikan sebagai tameng bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejagung RI untuk tidak menyeret pelaku korupsi dari militer aktif ke proses hukum pidana biasa, yang sekarang hanya berlaku bagi kalangan sipil.

Merujuk pada UUD 45 hasil amandemen, khususnya pasal 27 yang menjamin adanya kesamaan atau kesetaraan di depan hukum bagi setiap orang, mekanisme koneksitas adalah duri dalam daging untuk mewujudkan tiadanya diskriminasi dalam hukum. Pasalnya mewujudkan demokrasi dalam sebuah negara hukum memiliki prasyarat dasar, yakni ketika perangkat negara dan warga negara biasa diletakan sebagai subjek hukum yang setara.

Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah proses dan perangkat hukum yang akan menjamin bekerjanya hukum secara objektif dan adil dalam situasi dan keadaan apa pun. Dalam konteks inilah mekanisme koneksitas memiliki kesulitan mendasar untuk melahirkan tiadanya diskriminasi dalam hukum.

Kesimpulan itu bukan tanpa alasan. Terdapat beberapa argumentasi untuk menjelaskannya. Pertama, bahwa mekanisme koneksitas untuk memproses secara hukum para militer aktif yang telah melakukan tindak pidana kejahatan, termasuk korupsi, tidak memiliki cukup kekuatan untuk melahirkan putusan yang adil. Oditur militer sebagai pihak yang berperan besar untuk mendorong proses hukum para militer aktif merupakan bagian yang tak terpisahkan dari institusi militer itu sendiri.

Bukan berarti kemudian mencurigai bahwa mereka tidak bekerja dengan baik, akan tetapi beban berat untuk menegakkan citra yang baik institusi militer seringkali dilakukan dengan menutup-nutupi proses yang tengah dilakukan. Oleh karena itu, terkesan kuat yang muncul bukan semangat untuk memberantas kejahatan pidana para militer aktif, akan tetapi melindungi korps dari terpaan isu miring yang berkembang di luar.

Kedua, sifat komando di tubuh militer yang tidak memungkinkan penegakan hukum internal dilakukan secara adil. Meskipun para oditur militer dibekali dengan sejumlah kewenangan, namun sistem komando yang menjadi ciri khas institusi militer tak dapat menjangkau semua pelaku tindak kejahatan, seandainya sifat tindak pidana yang dilakukan adalah terorganisir, sebagaimana sering dijumpai dalam kasus-kasus korupsi.

Sifat hirarki yang kuat akan menimbulkan problem struktural bagi siapa pun yang ditempatkan sebagai oditur militer untuk dapat bekerja secara objektif. Persoalan ini dapat ditemukan dalam kasus dugaan korupsi dalam pembelian helikopter Mi-17 yang sudah disebutkan di awal tulisan.

Dokumen yang dimiliki ICW misalnya menjelaskan bahwa proses pembelian heli ini sebenarnya melibatkan beberapa perwira tinggi militer. Paling tidak dalam kapasitasnya sebagai penanggung jawab utama, khususnya bagi pihak-pihak yang telah memberikan ijin bagi dilakukannya penunjukan langsung dalam pembelian heli dan pembayaran uang muka tunai yang di kemudian hari menimbulkan masalah besar. Namun hingga saat ini, tidak ada satu pun dari mereka yang telah diperiksa, minimal diminta keterangan sebagai saksi.

Dengan berbagai argumentasi di atas, dapat disimpulkan bahwa mengembalikan posisi penegakan hukum, khususnya dalam kasus korupsi yang dilakukan oleh militer aktif ke dalam mekanisme hukum pidana sipil adalah langkah yang tidak dapat ditawar. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan pembaharuan pada aspek tata aturan yang selama ini menegaskan eksistensi penyelidikan penyidikan dan pengadilan koneksitas. Implikasi dari agenda ini adalah memaksa institusi militer untuk lebih transparan dan akuntabel dalam penggunaan anggaran.

Mengingat institusi militer memiliki kewenangan koersif dalam menjalankan peranannya sebagai alat pertahanan dan keamanan negara, maka justru yang harus diperkuat adalah dikenakannya pasal pemberatan bagi siapa pun militer aktif yang telah melakukan tindak pidana. Pemberatan ini merupakan konsekuensi logis dari adanya otoritas besar yang dipunyai institusi militer dibandingkan dengan warga sipil biasa.

Dengan demikian, penegakan hukum internal yang selama ini berlaku bagi mereka bukan bertujuan untuk menggantikan proses hukum umum yang berlaku bagi semua warga negara. Akan tetapi justru melengkapi proses hukum yang ada. Hal ini bertujuan untuk menegakkan disiplin dan tanggung jawab yang lebih besar bagi siapa pun yang menyandang profesi militer aktif sehingga tidak mudah jatuh dalam penyalahgunaan kekuasaan.

Adnan Topan Husodo, Anggota Badan Pekerja ICW

Tulisan ini diambil dari Suara Pembaruan, 3 Juni 2007

Tuesday, May 29, 2007

Lonceng Kematian Janin Transparansi

Semangat dasar dari lahirnya Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (KMIP) adalah prinsip keterbukaan yang lebih luas dari aparatur negara kepada masyarakat. Keterbukaan ini diharapkan menjadi landasan baru untuk mendesain ulang tata hubungan antara pemerintah dan masyarakat dalam koridor sistem sosial-politik yang lebih demokratis.

Pola hubungan yang kian terbuka dari pemerintah kepada masyarakatnya memiliki makna yang sangat berarti untuk mengembalikan posisi yang asimetris ke dalam sebuah relasi yang setara. Keterbukaan berarti meletakkan tata hubungan baru antara pemerintah dan masyarakat yang bukan lagi top-down, melainkan bottom-up. Menggeser karakter kekuasaan yang instruktif menjadi komunikatif.

Dalam konteks ini, masyarakat tidak lagi dianggap sebagai obyek kebijakan belaka, tapi telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari proses penyusunan dan perumusan kebijakan. Pendek kata, peran dan keterlibatan masyarakat sebagai salah satu pilar governance dalam mewarnai roda kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi sangat diperhitungkan di dalam orde yang semakin terbuka.

Karena itu, dengan semangat keterbukaan yang akan lahir melalui UU KMIP, diharapkan akan terbentuk sebuah sikap dan watak yang transparan dari pejabat publik kepada masyarakatnya, terutama dalam proses perumusan dan pengambilan kebijakan. Hal ini mengingat pengetahuan dan informasi yang mudah diakses oleh masyarakat akan dapat meminimalkan berbagai potensi penyimpangan dalam perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan.

Maka menjadi sangat ironis ketika Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah menyepakati rapat Panitia Kerja RUU KMIP yang dilakukan secara tertutup. Hal ini tidak sekadar menunjukkan sikap yang plinplan, tapi juga mencerminkan adanya pengingkaran atas semangat dasar yang menjadi roh RUU KMIP.

Keputusan yang menyebutkan bahwa rapat Panitia Kerja RUU KMIP dilakukan secara tertutup telah membawa pada kesimpulan bahwa proses pembahasan RUU KMIP antara DPR dan pemerintah tidak berada dalam makna keterbukaan yang sesungguhnya. Karena nyatanya masih ada ruang-ruang gelap yang dipertahankan sebagai sarana untuk keluar dari tuntutan akuntabilitas.

Gawatnya, ketertutupan yang telah disepakati itu berlindung pada alasan mandat peraturan. Memang benar bahwa tata tertib DPR RI mengatakan rapat panitia kerja dilakukan secara tertutup. Tapi terdapat aturan pengecualian ketika sebuah rapat dapat dilakukan secara terbuka jika disepakati bersama. Dengan kata lain, rapat panitia kerja yang dilakukan secara terbuka tidak akan membawa implikasi cacat hukum terhadap hasilnya, sebagaimana pihak pemerintah memberikan alasan mengapa harus tertutup.

Bagaimana mungkin sebuah pembahasan RUU KMIP, yang mengamanatkan adanya keterbukaan, dilakukan secara tertutup. Mustahil sebuah proses perumusan dan pengambilan kebijakan yang dilakukan secara tertutup akan menghasilkan kebijakan yang berkualitas, populis, dan bermanfaat bagi masyarakat luas. Alih-alih melahirkan pemerintahan yang transparan, ketertutupan justru mendominasi pembahasan RUU KMIP.

Perlu dipahami bahwa proses perumusan kebijakan yang dilakukan secara tertutup akan menimbulkan beberapa konsekuensi negatif. Pembahasan RUU KMIP yang tertutup akan membunuh semangat dasar RUU KMIP yang mengandaikan adanya keterbukaan. Dapat dikatakan, keputusan ironis untuk membahas secara tertutup RUU KMIP adalah lonceng kematian janin transparansi yang dibunyikan oleh rahimnya sendiri.

Ketertutupan atas pembahasan RUU tersebut dapat menggerogoti legitimasi hasil-hasilnya. Padahal legitimasi atas kebijakan yang diputuskan sangat penting untuk menjamin fungsi sebuah peraturan ketika telah disahkan. Yang sering kita lupa, begitu banyak peraturan yang telah dibuat, tapi gagal dalam implementasinya. Dikhawatirkan, ketika pembahasan rapat Panitia Kerja RUU KMIP dilakukan secara tertutup, undang-undang ini akan bernasib sama dengan berbagai peraturan yang lahir dalam keadaan tanpa daya.

Pembahasan RUU yang tertutup juga akan memupus ruang partisipasi masyarakat untuk melakukan pengawasan dan memberikan usul atau masukan atas berbagai isu yang akan dibahas dalam RUU KMIP. Padahal pengawasan masyarakat menjadi sesuatu yang penting, mengingat proses pembahasan peraturan perundang-undangan kerap kali diwarnai berbagai kepentingan yang dapat mengandaskan substansi adanya sebuah peraturan.

Tak aneh jika kemudian banyak peraturan yang telah ditetapkan, tapi kosong dalam pelaksanaannya. Hal ini wajar mengingat proses perumusan kebijakan kerap disandera oleh berbagai kepentingan yang mudah masuk ketika kontrol dari masyarakat tidak berjalan sama sekali.

Demikian pula seharusnya dalam menyusun sebuah kebijakan, DPR RI dan pemerintah bersedia menampung sebanyak mungkin pendapat dari semua pihak. Dengan usaha sungguh-sungguh untuk menjaring aspirasi yang berkembang di luar parlemen, postur UU KMIP dapat mencerminkan sikap yang akomodatif atas berbagai kepentingan. Yang harus dipahami, semakin kaya masukan yang diberikan, kelak akan semakin hidup sebuah peraturan itu ketika sudah berlaku di tengah-tengah masyarakat.

Namun, jika pembahasan RUU KMIP dilakukan secara tertutup, akan muncul berbagai kemungkinan, semisal benturan kepentingan dan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme. Tentunya kita masih ingat fakta bahwa beberapa undang-undang yang telah disahkan DPR ternyata didanai oleh kelompok kepentingan tertentu. Praktek cukong dalam pembahasan undang-undang merupakan bahaya besar karena proses penyusunannya kemudian akan mengikuti alur kepentingan pemberi dana, bukan mengabdi pada kehendak masyarakat.

Selain itu, rapat Panitia Kerja RUU KMIP yang tertutup dapat membawa preseden buruk bagi proses pengambilan kebijakan lainnya di DPR. Dalihnya, jika pembahasan undang-undang mengenai kebebasan memperoleh informasi saja dilakukan secara tertutup, apalagi undang-undang lain yang tidak menyentuh substansi transparansi. Karena itu, penting bagi DPR dan pemerintah untuk becermin dari pembahasan RUU Kewarganegaraan yang dilakukan secara terbuka.

Karena secara substansial RUU KMIP mengusung semangat keterbukaan, pembahasan RUU ini seharusnya bersifat terbuka sehingga dapat menjadi inspirasi yang positif bagi proses perumusan kebijakan pada isu dan sektor yang lain. Bukan sebaliknya, menjadi faktor pendorong berkembangnya sikap yang lebih tertutup bagi proses-proses perumusan dan penyusunan kebijakan publik lainnya.

Tulisan ini dimuat oleh Koran Tempo, 29 Mei 2007

Monday, May 21, 2007

Penegakan Etika Pejabat Bagi Pemberantasan Korupsi

Keberhasilan pemberantasan korupsi sangat ditentukan oleh ada-tidaknya dukungan politik penguasa.Adanya dukungan politik penguasa acap kali diwujudkan dalam berbagai bentuk kebijakan. Namun, pada intinya,dukungan politik itu adalah usaha memberikan ruang, keadaan,dan situasi yang mendukung program pemberantasan korupsi bekerja sangat efektif.

Sekaligus mendorong partisipasi yang lebih besar bagi masyarakat untuk bersama-sama memberantasnya. Karena itu,menempatkan posisi politik dalam program pemberantasan korupsi berarti melihat perilaku korupsi sebagai musuh besar,sekaligus berstatus luar biasa karena pelaku, dampak,dan kerugian yang ditimbulkannya sudah sedemikian mengkhawatirkan.

Dengan demikian, program pemberantasan korupsi menjadi benar-benar memiliki daya untuk menyelesaikan persoalannya. Memiliki elan yang kokoh untuk tidak kompromi dengan berbagai bentuk kepentingan yang dapat mengganggu program pemberantasan korupsi.

Satu hal yang patut diambil pelajaran adalah kasus Paul Wolfowitz, Presiden Bank Dunia, yang kini terancam kehilangan posisi karena telah mengistimewakan kekasihnya. Sebagai bos di Bank Dunia,dia menggunakan kewenangannya untuk menaikkan gaji Shaha Riza,staf Bank Dunia secara fantastis.

Sistem di Bank Dunia melihat bahwa kasus ini merupakan tindakan tidak terpuji, mengganggu integritas dan efektivitas Bank Dunia, serta telah menghancurkan kepercayaan atas kepemimpinannya.

Hikmah yang dapat kita petik dari kasus ini adalah kemampuan sistem di Bank Dunia untuk melihat sebuah kejadian ’’kecil’’ sebagai masalah besar. Dalam arti,sistem yang dibentuk bertujuan mencegah sekaligus tidak memberikan kesempatan untuk berkompromi dengan segala macam jenis skandal. Pendekatan seperti ini merupakan kunci bagi pemberantasan korupsi yang berhasil.

Sistem yang dibangun atas dasar etika politik yang mengatur perilaku pejabat dalam bertindak dan mengambil putusan merupakan dasar yang kuat untuk mengantisipasi segala macam perilaku menyimpang. Dengan demikian, memberantas korupsi tidak harus menunggu penegakan hukum dimulai. Memberikan hukuman dari sisi etik, sebagaimana yang dialami Paul Wolfowitz,merupakan langkah konkret bagi upaya yang sungguh-sungguh dalam menegakkan pemerintahan yang bersih (clean government).

Becermin dari kasus Paul Wolfowitz, miris rasanya jika kita menengok ke dalam (baca: Indonesia). Dari berbagai sendi pemerintahan yang merupakan pilar utama bagi pemberantasan korupsi,sedikit sekali pihak yang serius menginginkan korupsi diberantas. Penyikapan, komentar, dan pendekatan dalam melihat sebuah kejahatan korupsi menunjukkan rapuhnya dukungan bagi program pemberantasan korupsi.

Kita bisa memulai dengan melihat presiden dan wakil presiden sebagai contoh kasus di wilayah eksekutif. Meskipun pernyataan Presiden SBY kerap menegaskan kemauan yang kuat untuk memberantas korupsi, penilaian itu akan kembali pada sebuah pertanyaan, apa yang telah dilakukan? Sejak terbongkarnya skandal pencairan dana Tommy Soeharto senilai Rp90 miliar yang diduga keras mudah terjadi karena atas bantuan dari Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) dan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham),SBY tidak pernah menyampaikan sepatah kata pun, apalagi tindakan cepat dan konkret. Bahkan,meminta keterangan dan pertanggungjawaban atas penyalahgunaan kewenangan kedua pembantunya pun tak ada dalam catatan publik.Memang kemudian, mereka dicopot sebagai menteri.Akan tetapi,faktor pendorongnya bukan pada usaha untuk menegakkan etika pejabat,melainkan dorongan dan tekanan politik.

Coba bandingkan dengan penyikapan Bank Dunia atas kasus Paul Wolfowitz. Padahal,secara kasatmata, dua skandal itu berbeda kualitasnya. Akan tetapi,Bank Dunia melihat bahwa tindakan presidennya telah menumbuhkan bibit-bibit kerusakan yang dapat mencoreng integritas Bank Dunia.Karena itu,kejadian tersebut patut menjadi agenda besar dalam rangka mendesak adanya pergantian kepemimpinan. Memang benar bahwa secara legal formal,Paul Wolfowitz belum terbukti melakukan korupsi, kolusi,atau nepotisme (KKN). Namun, nilai-nilai etika yang berkembang dan menjadi pedoman perilaku pejabatnya telah bekerja dengan sendirinya. Di Indonesia,semua berkelit dan berlindung di balik proses hukum. Alasan yang kerap dikedepankan, selama proses hukum,belum membuktikan seseorang terlibat KKN. Maka,tidak pernah dapat diambil tindakan apa pun atas kesalahan yang dilakukannya.

Bahkan,yang lebih memprihatinkan, Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah dalam sebuah pernyataan yang disampaikannya kepada media,menyebut bahwa apa yang dilakukan Hamid Awaluddin,eks Menkumham adalah tindakan yang benar.Bukan kecaman apalagi punishment, tapi perlindungan yang diberikan. Padahal,berbagai pelanggaran atas berbagai undangundang nyata-nyata ditemukan dalam kasus itu.Akan tetapi,fakta politik bicara lain.Lantas,apa yang mau kita harapkan dari program pemberantasan korupsi Pemerintah?

Contoh lainnya adalah DPR sebagai lembaga legislatif.DPR yang seharusnya menjadi pilar kekuasaan di luar eksekutif yang dapat menyokong sekaligus mendukung secara politik agenda pemberantasan korupsi juga tidak luput dari skandal.

Kasus Rokhmin Dahuri yang kini ditangani Pengadilan Tipikor telah menyingkap fakta bahwa sebagian dana Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) mengalir kepada orang-orang di DPR.Tindakan yang dapat dikategorikan gratifikasi sebagaimana Undang-Undang (UU) No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tidak jelas penyelesaiannya hingga kini.

Secara internal,DPR melalui pimpinan telah meminta Sekretariat Jenderal DPR untuk mengklarifikasi perkembangan yang terjadi dalam pengadilan Rokhmin Dahuri.Akan tetapi,kesimpulan awal yang bisa diambil menyebutkan bahwa tidak ditemukan dalam catatan resmi Sekretariat Jenderal DPR bahwa ada anggota DPR telah menerima dana dari DKP. Badan Kehormatan (BK) DPR yang dibentuk untuk menegakkan dan menjaga etik para anggotanya juga, tampaknya,lebih nyaman menunggu laporan.

Padahal,dalam tata tertib DPR, BK tidak dilarang mengambil langkah proaktif untuk membentuk panel khusus dalam rangka memeriksa skandal itu. Lagi-lagi, tameng yang dipakai adalah proses hukum adanya dugaan gratifikasi belum rampung dikerjakan oleh KPK. Dari kedua contoh kasus di atas,kita dapat melihat bahwa proses hukum menjadi kata kunci untuk berlindung dari segala macam skandal yang terjadi. Benar atau tidaknya pejabat publik melakukan sesuatu hanya dapat diukur melalui legalitas hukum.

Barangkali karena mereka mengerti betul jika proses hukum merupakan mekanisme yang rumit,berbelit,susah,dan dapat muncul berbagai macam kemungkinan.

Kita barangkali memang terlalu banyak bicara soal pemberantasan korupsi,tapi tidak memberikan alternatif jalan untuk menyelesaikannya. Tanpa penegakan etika pejabat negara,proses hukum hanyalah ’’kambing hitam’’ yang di dalamnya penuh dengan aral merintang,batu terjal,dan kesulitankesulitan tertentu yang dapat membuat orang yang sebenarnya bersalah dalam kacamata sistem dan etika politik,akan tetapi bisa menjadi benar dalam kacamata hukum.

(*) ADNAN TOPAN HUSODO Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW)
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo Sore, 15 Mei 2007

Tuesday, May 08, 2007

S'pore extradition treaty and fight against corruption

Indonesia finally signed extradition and defense treaties with Singapore on April 27. Indonesia had previously signed similar extradition treaties with Hong Kong, Malaysia, the Philippines, Australia and Thailand. China and Canada are the next targets.

The new treaty reaffirms the public conviction that corruption is a transnational crime. It is undeniable that embezzlers have so far been free to carry the fruits of corruption out of Indonesia. They have even been able to launder that stolen money through various investments and businesses, which are -- to a certain extent -- very profitable for these people's host countries.

On one side, this kind of activity is very damaging to the country where the corruption originally takes place (locus delicti). Stolen state wealth can no longer be allocated for the social and economic needs of the population.

On the other side, that same money helps develop the economy of the country where corruption fugitives end up. As long as there is no international cooperation to combat corruption, imbalances and inequalities will remain between countries. This is what has happened between Singapore and Indonesia.

The extradition treaty between Indonesia and Singapore as a result needs to be looked at with the collective awareness that corruption can not only be eradicated in the country where the crimes take place. This is in line with the United Nations Convention Against Corruption (UNCAC, 2003), which emphasizes the importance of international cooperation in combating corruption. No less than 138 countries have ratified the convention.

Unfortunately, Singapore is not one of them.

However, Singapore's goodwill in signing the extradition treaty deserves our appreciation. The signing also shows Singapore's successful diplomacy and a more open attitude to solving problems related to transnational crime.

There are at least three important points of substance in the extradition treaty.

First is the list of economic crimes agreed to by Indonesia and Singapore.

Second is the 15-year retroactive period, which enables the government to hunt embezzlers from the Soeharto era, along with their assets.

The last is the agreement to return the assets to Indonesia. Because this is a reciprocal treaty, Singapore can also in theory get the same from Indonesia.

For the Indonesian government, there are some important things to take into account. The extradition treaty with Singapore will not automatically facilitate the legal processes to bring the corrupt to justice.

There are examples where Indonesia's extradition treaties have failed.

There is the example of banker Hendra Rahardja, an Indonesian tried in absentia for corruption while living in Australia. Hendra remained in Australia until his death because the Australian courts would not allow the banker to be deported to Indonesia out of mistrust of the integrity of Indonesian courts.

Each country has its own different legal mechanisms. This factor can influence the process by which extradition treaties are realized.

Indonesia needs to anticipate from the outset all possible technical and legal barriers to extradition. This is important because many Indonesians expect much from the government to bring these fugitives back to Indonesia.

This extradition treaty is a strategic bilateral mechanism to effectively combat corruption. There are a lot of mega-corruption cases out there, both from the past and the present day. In particular its worth remembering the Bank of Indonesia emergency liquidity funds scandal (BLBI), which inflicted huge financial losses on the government.

Most of the BLBI suspects have fled Indonesia. One of their safe havens is Singapore. According to Indonesian Corruption Watch's (ICW) records, 43 of them are now residing abroad, 13 in Singapore. Some of them have become permanent residents.

Although we have already signed the extradition treaty, it would be impossible to depend on Singapore's political will alone to eradicate corruption. The government needs to be much more serious about bringing the crooks to justice. There is widespread public suspicion that criminals have been easily able to run away from Indonesia with the help of government officials. This can happen because of poor coordination among state agencies, as well as bribery.

We hope the extradition treaty with Singapore will accelerate the process of legal reform in Indonesia. If we fail to do that, other countries will conclude that Indonesia is not serious about eradicating major corruption. If that is the truth, why should they help us?

The writer is member of the working committee of Indonesia Corruption Watch. He can be reached at topan@antikorupsi.org.

this article have been published by the jakarta post on May 8, 2007

Thursday, April 19, 2007

Komisi Pencegahan Korupsi

  • Usaha berbagai pihak untuk mengembalikan pemberantasan korupsi pada pola-pola lama yang konvensional masih gencar dilakukan. Mereka tak hanya berasal dari pelaku korupsi yang tidak senang dengan menguatnya upaya pemberantasan korupsi, tapi juga dari para pembela hukum koruptor sekaligus aparat penegak hukum yang merasa kekuasaannya perlahan-lahan digerogoti karena terjadinya pergeseran dan pembagian kewenangan. Upaya itu dapat dikatakan sistematis mengingat dilakukan secara bergelombang, terus menerus, dengan ritme, nada, dan pandangan yang hampir sama.

    Dipangkasnya eksistensi dan kewenangan luar biasa Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penindakan kasus-kasus korupsi melalui mekanisme judicial review ke Mahkamah Konstitusi adalah salah satu caranya. Hebatnya, yang mengajukan hal itu tak hanya para terdakwa yang diseret oleh KPK ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), tapi juga elemen lain yang sebenarnya tidak punya kaitan sama sekali dengan kasus korupsi yang ditangani oleh KPK. Bukan hanya KPK yang terus digembosi, juga Pengadilan Tipikor.

    Di samping memanfaatkan celah hukum lewat mekanisme judicial review, usaha lain yang by design ingin menghadang pemberantasan korupsi dilakukan melalui revisi terhadap Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Korupsi). Dari draf yang telah dirumuskan tim khusus bentukan pemerintah, pasal krusial yang nantinya akan melemahkan upaya pemberantasan korupsi adalah dihapuskannya eksistensi hakim ad hoc.

    Meskipun tidak secara eksplisit diusulkan pembubaran Pengadilan Tipikor, dengan ditiadakannya eksistensi hakim ad hoc korupsi, Pengadilan Tipikor akan bubar dengan sendirinya. Hal ini ditambah dengan kekhawatiran gagalnya DPR-pemerintah dalam membuat UU Pengadilan Tipikor sebagaimana mandat putusan MK.

    Sukar untuk tidak mengatakan bahwa gagasan di atas merupakan agenda besar pembusukan terhadap cara-cara luar biasa dalam memberantas korupsi. Harus diakui bahwa beberapa anggota Tim Perumus Revisi UU Korupsi merupakan pengacara kasus korupsi, sekaligus saksi ahli yang kerap meringankan pelaku korupsi di pengadilan. Hal ini tentu saja menimbulkan conflict of interest yang sangat kuat.

    Karena itu, akan lebih baik anggota tim yang saat ini sedang vakum dikocok ulang oleh pemerintah untuk mengembalikan semangat pemberantasan korupsi, sekaligus menghilangkan peluang yang teramat besar bagi terjadinya perselingkuhan kepentingan orang-orang yang terlibat dalam perumusan revisi UU Korupsi.

    Tidak hanya berhenti pada usaha-usaha di atas, nafsu untuk menggembosi pemberantasan korupsi juga dilakukan dengan membangun opini publik. Tidak tanggung-tanggung, delegitimasi atas cara-cara luar biasa dalam memberantas korupsi justru datang dari seorang pemimpin lembaga penegak hukum. Korupsi bukanlah kejahatan luar biasa, demikian kira-kira pendapatnya. Dari pernyataan ini, secara implisit dapat disimpulkan pengertian yang lain, yakni karena korupsi bukan kejahatan luar biasa, cara-cara luar biasa tidak diperlukan. Karena tidak diperlukan, KPK dan Pengadilan Tipikor layak dibubarkan. Jikapun tidak dibubarkan, cukup diberi kewenangan biasa selayaknya aparat penegak hukum lain. Dikaitkan dengan usaha melemahkan posisi KPK dan Pengadilan Tipikor sebagaimana telah dijelaskan mula-mula, pernyataan tersebut menemukan benang merahnya.

    Padahal dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK sudah dinyatakan dengan jelas, "... Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua, maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa...."

    Dikatakan luar biasa karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan telah menghambat pembangunan nasional. Selain itu, korupsi telah merusak tata nilai berbangsa dan bernegara, mengancam kemajuan pendidikan, merampas hak-hak masyarakat untuk dapat hidup sejahtera, merusak lingkungan hidup, dan melemahkan mental bangsa.

    Dengan kata lain, korupsi dalam konteks Indonesia telah masuk pada tingkat gawat darurat. Demikian halnya langkah-langkah pemberantasan korupsi yang dilakukan selama ini terbukti gagal karena menghadapi banyak hambatan. Karena itu, cara-cara luar biasa untuk memberantasnya sangat dibutuhkan.

    Cara-cara luar biasa itu yang kemudian menjelma dalam kewenangan yang dimiliki KPK dan Pengadilan Tipikor. Dengan mengembalikan pengertian kejahatan korupsi sebagai kejahatan biasa, tak dapat disangsikan jika hal ini merupakan ancaman serius bagi eksistensi KPK dan Pengadilan Tipikor. Paling tidak, akan lahir beberapa konsekuensi mendasar seandainya pemerintah berniat mengembalikan posisi kejahatan korupsi sebagai kejahatan yang sama kualitasnya seperti yang lain.

    Pertama, kewenangan KPK sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang KPK pasal 12, yang selama ini terbukti ampuh memberantas korupsi, akan dengan sendirinya dipangkas. KPK tidak akan dapat lagi menyadap dan merekam, memblokir rekening, meminta kepada atasan tersangka untuk memberhentikan jabatannya, meminta data kekayaan dan perpajakan dari instansi lain, menghentikan sementara waktu transaksi keuangan, memeriksa seorang pejabat tanpa izin dari atasannya, melakukan penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.

    Jika hal ini benar terjadi, KPK hanya akan memiliki fungsi pencegahan. Karena itu, KPK bukan lagi Komisi Pemberantasan Korupsi, melainkan akan menjadi Komisi Pencegahan Korupsi.

    Kedua, cara-cara biasa dalam memberantas korupsi dapat diartikan sebagai tidak diperlukannya Pengadilan Tipikor. Kaitan antara konsekuensi pertama dan kedua sangat jelas. Jika Pengadilan Tipikor tidak diperlukan, secara otomatis fungsi penindakan KPK juga akan hilang. Hal ini mengingat di dalam Pasal 53 UU KPK disebutkan, "Dengan undang-undang ini dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi."

    Seandainya desain besar untuk menghancurkan kewenangan luar biasa lembaga pemberantasan korupsi benar-benar berhasil, penegakan hukum kasus korupsi akan kembali ke titik nadir. Ke depan, sulit rasanya untuk dapat melihat seorang pejabat negara ditahan dan dijebloskan ke penjara atas tindakan korupsi yang dilakukannya.

    koran
  • Saturday, March 03, 2007

    Penunjukan Langsung Pasti (Tidak) Korupsi

    Polemik tak berkesudahan Yusril- Ruki kian mengkhawatirkan. Perseteruan kedua pejabat tinggi negara tersebut telah memasuki arena politik.

    Atau jika tidak,sudah membawa implikasi politik,sekaligus politisasi.Tuntutan reshuffle,persepsi yang terbangun bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan korupsi adalah sebagian daripadanya.Padahal,kasusnya berangkat dari proses penegakan hukum yang tengah dilakukan KPK.

    Untuk menyelesaikan masalah tersebut,tentu tidak bisa mengandalkan pendekatan politik, tetapi menjernihkannya melalui mekanisme hukum.Bagaimanapun, kedua masalah tersebut harus dilihat sebagai sesuatu yang tidak sederajat. Dalam arti,ada substansi hukum yang berbeda antara kasus dugaan korupsi di Depkumdang (kala itu) dan laporan penunjukan langsung KPK oleh Yusril.

    Jika pada awalnya persoalan itu berangkat dari praktik penunjukan langsung atau tanpa tender,tentu cara untuk mengurai persoalannya supaya menjadi terang adalah menjelaskan duduk perkara mekanisme itu.Dengan demikian,dapat diketahui,apakah suatu kebijakan atau keputusan dalam pengadaan itu melanggar hukum atau tidak. Perihal tata cara pengadaan barang dan jasa instansi

    Pemerintah sebenarnya telah diatur dalam Keputusan Presiden No 80 Tahun 2003.Di dalamnya dijelaskan secara spesifik keadaan atau syarat-syarat yang membuat penunjukan langsung dalam pengadaan barang/jasa dapat dilakukan. Paling tidak,alasan penunjukan langsung terbagi ke dalam tiga hal.

    Pertama,penunjukan langsung dapat dilakukan jika nilai proyek tidak melebihi Rp50 juta.Di atas batas itu, pengadaan barang/jasa harus dilakukan dengan tender terbuka.Klausul pada lampiran I poin C nomor 4 dalam Keppres ini sudah sangat jelas sehingga tidak mungkin muncul penafsiran ganda. Akan tetapi,bukan berarti syarat ini tidak bisa diakali.Nilai proyek di atas Rp50 juta tetap bisa dilakukan penunjukan langsung dengan memecah proyek itu ke dalam beberapa proyek kecil,yang nilainya tidak melebihi Rp50 juta.

    Atau jika nilai proyeknya tidak bisa dipecah,bisa menggunakan alasan lainnya mengingat dalam Keppres tersebut,syarat-syarat penunjukan langsung tidak berlaku kumulatif. Kedua,sesuai dengan Pasal 17 ayat (5) Keppres di atas,dalam keadaan khusus atau tertentu,penunjukan langsung dapat dilakukan.Sementara itu,dalam lampirannya dijelaskan bahwa yang dimaksud keadaan khusus atau tertentu adalah penanganan darurat seperti bencana alam, pekerjaan yang dirahasiakan karena menyangkut pertahanan dan keamanan negara yang ditetapkan Presiden.

    Mencakup keadaan khusus dan tertentu adalah proyek berskala kecil dengan nilai maksimum Rp 50 juta. Siklus anggaran juga sangat memengaruhi menguatnya praktik penunjukan langsung,khususnya mekanisme anggaran belanja tambahan (ABT) di tingkat pusat atau APBD perubahan (APBDP) di tingkat daerah,yang biasanya dibahas pada pertengahan tahun.

    Jika dikaji lebih jauh,item anggaran pada mekanisme ABT atau APBDP sering kali tidak berbeda dengan item anggaran dalam keadaan normal.Mekanisme itu kadang dimanfaatkan hanya untuk menciptakan keadaan khusus atau tertentu,waktu yang mendesak sehingga pada saat implementasi anggaran,ada pembenaran untuk penunjukan langsung.

    Rekayasa keadaan tertentu atau khusus akan kian menguat jika negara dirugikan dalam penunjukan langsung. Kerugian yang timbul itu akibat dari adanya unsur kesengajaan untuk menggelembungkan (mark-up) biaya proyek.Harga barang atau jasa yang seharusnya ditetapkan berdasarkan nilai wajar bisa tiba-tiba meroket hingga mencapai 100%–200%.

    Ketika praktik penunjukan langsung diikuti dengan tindakan menggelembungkan harga proyek, praktik pengadaan telah memasuki wilayah pelanggaran hukum (baca: korupsi).Dalam kasus pengadaan sistem identifikasi otomatis sidik jari di Dirjen Administrasi Hukum Umum Depkumham,penyidikan oleh KPK menemukan kerugian negara sebesar Rp6 miliar.

    Terlebih kemudian,KPK menyebut,ada indikasi penyuapan oleh rekanan kepada panitia lelang. Sebaliknya,dalam kasus pengadaan alat sadap KPK yang menggunakan mekanisme penunjukan langsung - paling tidak- sampai saat ini belum diperoleh bukti awal adanya unsur merugikan negara dan kickback (penyuapan).Lebih-lebih proyek tersebut telah melalui tahap audit oleh BPK.Meskipun jika ada permintaan khusus kepada BPK untuk melakukan audit lanjutan,hal itu tetap bisa dilakukan.

    Karena itu,BPK dapat menjadi pihak yang akan mengklarifikasi apakah dalam penunjukan langsung alat sadap KPK, negara telah dirugikan. Ketiga,penunjukan langsung dapat dilakukan pada pengadaan barang/jasa khusus.Khusus dalam pengertian ini adalah pekerjaan yang berdasarkan tarif resmi pemerintah,pekerjaan spesifik yang hanya dilaksanakan oleh satu penyedia atau pemegang hak paten,serta pekerjaan yang kompleks dan berteknologi tinggi.

    Alasan ketiga penunjukan langsung ini juga rawan dengan manipulasi. Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah menemukan sebuah kasus dugaan korupsi pengadaan di satu instansi pemerintah.Alasan penunjukan langsungnya karena rekanan tersebut memegang hak paten.Ketika dikaji lebih jauh,peraturan mengenai hak paten lebih bertujuan untuk menjaga sebuah produk agar tidak dipalsukan,ditiru,dan diproduksi secara ilegal sehingga dapat merugikan pemilik paten.Alasan perusahaan yang ditunjuk memegang hak paten menjadi tidak relevan sebab barang yang dibeli beredar luas di pasaran dengan spesifikasi,harga,dan merek yang bervariasi.

    Pendek kata,meskipun peraturan mengenai penunjukan langsung sudah didesain sedemikian rupa,upaya-upaya untuk memanipulasi pengertian itu akan selalu terjadi.Maka itu,supaya persoalan penunjukan langsung tidak menjadi perdebatan yang kontra-produktif, pendekatan hukum untuk melihat persoalan tersebut secara lebih dalam harus dijadikan acuan.

    Penunjukan langsung akan menjadi persoalan ketika diikuti oleh penggelembungan harga dan atau suap.Penunjukan langsung juga absah secara hukum ketika syarat-syarat untuk melakukannya terpenuhi.Oleh karena itu,pendekatan hukum untuk menyelesaikan polemik Yusril-Ruki akan menjadi jalan terbaik,ketimbang pendekatan politik yang justru menciptakan situasi menjadi lebih kisruh.(* ADNAN TOPAN HUSODO Anggota Badan Pekerja ICW)

    Disalin dari Koran Seputar Indonesia, 3 Maret 2007