Sepertinya, belum ada kasus korupsi yang sedemikian hebat seperti yang terjadi di PLN-Borang. Konflik yang terjadi melibatkan aparat Kepolisian dengan Kejaksaan, di mana orang-orang yang terlibat dari dua institusi negara ini saling tuding, saling bertahan pada posisi masing-masing untuk meyakinkan diri, dirinyalah yang paling benar. Kasus itu seakan-akan melupakan adanya mekanisme koordinasi antaraparat penegak hukum. Peristiwa Borang hampir tidak menyisakan ruang untuk saling bahu membahu, melengkapi berbagai kekurangan untuk menegaskan adanya komitmen kuat dalam memberantas korupsi.
Padahal suatu hal yang wajar jika Kepolisian dan Kejaksaan bekerja sama untuk menuntaskan sebuah perkara. Selain kedua lembaga penegak hukum itu memiliki tujuan yang sama, usaha kesepahaman sudah kerap dibangun. Tidak cukup dengan itu, MoU juga turut ditandatangani. Sayangnya, semua itu nyaris tidak terlihat. Sebaliknya, kesan konflik antaraparat penegak hukum menjadi kesimpulan yang tak bisa dihindari.
Ditilik dari empasan akibat yang ditimbulkan, kasus korupsi Borang tidak mungkin dapat dianggap sebagai kasus biasa. Aroma proteksinya terlalu kental. Barangkali pemakluman adalah kata yang tidak tepat, namun memang pilihannya terlalu sedikit untuk menggambarkan keadaannya.
Sebelum kasus Borang, PLN sudah pernah dibombardir oleh berbagai kasus korupsi. Mulai dari kasus Tantiem (bonus direksi), Pembangkit Muara Tawar, CIS-RISI dan lain sebagainya. Tapi tak satupun kasus itu yang dapat diproses hingga ke pengadilan. Barangkali PLN sebagai salah satu BUMN paling menggiurkan menyebabkan usaha para pihak yang berkepentingan dalam memberikan proteksi kian tinggi. Tak heran jika proses hukum sepertinya tak kuasa untuk menegaskan eksistensinya.
Politik sebagai Panglima
Menelaah kasus Borang dari aspek hukum nyatanya hanya berkutat pada soal belum ditemukannya unsur kerugian negara. Belakangan muncul alasan baru, tidak adanya unsur melawan hukum. Di luar soal itu, proses penyidikan berdalih bahwa beberapa saksi kunci belum dimintai keterangan. Setelah semuanya tuntas, tetap saja kasus ini tidak beranjak maju. Bahkan kemungkinan besar, sebagaimana dinyatakan secara implisit oleh Jaksa Agung, kasus Borang akan di SKP3.
Bangunan argumentasi hukum yang didesain Kejaksaan nampaknya sangat rapuh. Tidak ada maksud untuk membela polisi, akan tetapi usaha mereka mengungkap kasus ini nampaknya akan berbuah sia-sia. Contoh sederhana mengenai hasil audit yang digunakan Kejaksaan. Rujukannya adalah BPK, bukan BPKP.
Ditilik dari kebiasaan Kejaksaan dalam mencari kerugian negara, mitra kerja mereka adalah BPKP, bukan BPK. Memang BPK memiliki nilai yang lebih strategis karena posisi independensinya yang menjanjikan. Akan tetapi perlu diingat bahwa hasil audit BPK yang mengatakan tidak ditemukan unsur penyimpangan dalam proyek Borang adalah general audit. Sementara pendekatan BPKP adalah audit investigatif yang sejak awal memiliki tujuan-tujuan khusus, diantaranya menemukan ada tidaknya kerugian negara dari penyimpangan atas suatu pekerjaan. Ditambah, pekerjaan itu dilakukan atas permintaan khusus, dalam hal ini adalah Kejagung sendiri.
Hasil audit investigatif BPKP sudah disampaikan kepada yang bersangkutan dan menemukan adanya nilai kerugian negara. Lantas, setelah diminta untuk bekerja, mengapa kini hasilnya ditolak sendiri oleh Kejagung? Keanehan kian menjadi-jadi ketika unsur perbuatan melawan hukum dikatakan belum ditemukan.
Dari data-data dan dokumen yang ada, proyek Borang sudah dilakukan pengadaannya sebelum tender dilakukan secara formal. Artinya, para pihak yang bermain dalam proyek ini sudah memiliki rencana dan kesepakatan diluar ajang tender yang seharusnya menjadi penentu siapa yang layak melaksanakan proyek. Jika demikian, apakah ini bukan unsur perbuatan melawan hukum?
Rapuhnya alasan Kejaksaan dalam melihat kasus Borang menguatkan dugaan bahwa intervensi politik sangat kuat mengatur proses hukum. Jika hukum dijadikan sebagai alasan agar tidak meneruskan proses hukum, ini merupakan modus belaka untuk membebaskan para tersangka dari jerat hukum.
Kita tentu masih ingat bahwa saat ini PLN sedang melaksanakan proyek crash program 10 ribu megawatt. Gelontoran dana dalam proyek ini mencapai triliunan rupiah. Beberapa pihak telah memperoleh jatah, barangkali jaringan dari penguasa sekarang juga turut menikmati proyek ini. Kepentingannya macam ragam. Yang terbesar adalah mobilisasi dana politik. Meskipun analisis ini terkesan konspiratif, akan tetapi fakta hukum yang 'dilecehkan' tidak menyisakan ruang bagi dugaan lainnya. Pada titik ini, kita dapat tersadarkan bahwa proses hukum proyek Borang teramat kuat blokadenya.
KPK
Sebenarnya ada celah kecil yang dapat digunakan untuk meneruskan kasus Borang, yakni melalui pengambilalihan penanganan kasus oleh KPK. Hal ini mengingat KPK sejak konflik Kepolisian dan Kejaksaan memanas memainkan wewenangnya untuk mengkoordinasi. Beberapa kali gelar perkara yang telah dilakukan tentu memberikan kesimpulan sendiri bagi KPK.
Soal pengambilalihan, KPK memiliki wewenang dan peluang yang besar. Dalam UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK, pasal 8 dan 9 telah mengatur otoritas dan alasan pengambil-alihan. Salah satunya adalah penanganan kasus korupsi berlarut-larut dan tanpa alasan yang jelas, adanya hambatan dari unsur yudikatif, legislatif dan eksekutif serta karena keadaan lain yang membuat aparat penegak hukum sulit melaksanakan penanganan kasus dengan baik.
Dengan diambil-alihnya kasus Borang oleh KPK, ada beberapa keuntungan yang bisa dipetik.
Pertama, polemik yang tak berkesudahan antara Kepolisian dan Kejaksaan dalam menangani kasus Borang dapat diakhiri. Hal ini sekaligus untuk menghindari kesan buruk di mata publik bahwa antaraparat penegak hukum tidak ada kerja sama yang baik.
Kedua, jika sejak awal ada keengganan dari Kejaksaan Agung untuk menangani kasus ini, dikarenakan berbagai alasan di luar teknis hukum, tentunya independensi KPK akan membuat proses penanganan menjadi lebih mulus. Toh jikapun dipaksakan kasus ini ditangani oleh Kejaksaan, hasil kerjanya tidak akan maksimal dan dikhawatirkan berujung pada pembebasan para tersangkanya.
Ketiga, ketika kasus Borang ditangani KPK, nafas kita bisa menjadi lega karena kasusnya secara otomatis akan dilimpahkan ke pengadilan tindak pidana korupsi. Dalam catatan sejarahnya, belum ada satu pun kasus korupsi yang dibebaskan oleh pengadilan tipikor. Dengan demikian, kasus Borang juga memiliki prospek yang lebih baik, khususnya bagi kepentingan pemberantasan korupsi itu sendiri.
Penulis adalah Anggota Badan Pekerja ICW
No comments:
Post a Comment