Monday, December 17, 2007

Makna Hari Antikorupsi Sedunia untuk Indonesia

United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) yang telah ditandatangi oleh sebagian besar anggota PBB menandai sebuah inisiatif global dalam melawan korupsi. Meskipun gerakan berbasis regional seperti OECD yang melarang secara tegas suap dalam praktek bisnis bagi para negara anggotanya telah muncul sebelumnya, UNCAC dipandang sebagai tonggak kesadaran internasional bahwa korupsi harus diperangi oleh semua pihak.

Hal ini berarti bahwa kejahatan korupsi tidak lagi dipandang sebagai kejahatan domestik belaka, akan tetapi telah menjadi kriminal transnasional. Tidak sulit memahami paradigma ini karena korupsi memang telah melahirkan keterpurukan bagi sebuah negara yang akan mengganggu kestabilan internasional, sekaligus bahwa hasil kejahatan korupsi bisa dengan mudah ditempatkan atau dipindahkan ke negara lain. Jika hal ini sudah terjadi, sulit bagi sebuah negara untuk dapat mengambil kembali hasil dari kejahatan korupsi tersebut. Oleh karena itu, tanpa kerjasama internasional, pemberantasan korupsi tidak akan berjalan maksimal.

Supaya kerjasama global dalam memerangi korupsi berjalan secara efektif, tentu saja perlu ada dukungan dari negara anggota, khususnya yang memiliki persoalan besar dalam korupsi seperti Indonesia. Dengan meratifikasi UNCAC, Indonesia sebenarnya telah dianggap sebagai negara yang kooperatif dalam memerangi korupsi, meskipun perlu ada langkah-langkah konkret lainnya yang musti diupayakan.

Satu hal yang relevan adalah bagaimana Indonesia melakukan usaha serius untuk menerapkan standar internasional dalam pemberantasan korupsi. Hal ini berarti bahwa Pemerintah dan parlemen harus melalukan harmonisasi atas berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan langsung dengan usaha pemberantasan korupsi, dengan standar internasional yang diatur dalam UNCAC.

Sebenarnya Indonesia sendiri telah memiliki infrastruktur yang memadai untuk memberantas korupsi. Namun seringkali tidak efektif karena adanya proses pemandulan terhadap fungsi pemberantasan korupsi yang luar biasa. Sebut saja misalnya kelahiran berbagai komisi seperti Komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial yang nyatanya tidak memiliki kewenangan besar untuk menjalankan fungsi kontrol atas pelaksanaan penegakan hukum.

Tidak berhasilnya berbagai lembaga antikorupsi dalam menjalankan tugasnya dikarenakan disain peraturan perundang-undangan yang tidak memadai. Bahkan lebih jauh dari itu, terkooptasi oleh kepentingan politik. Kontrol politik yang demikian ketat dalam berbagai rumusan peraturan perundang-undangan antikorupsi menyebabkan tidak berfungsinya lembaga-lembaga antikorupsi yang dibentuk, khususnya yang lahir paska reformasi. Pendek kata, usaha pemberantasan korupsi sebenarnya menghadapi resistensi yang luar biasa dari kelompok politik yang sedang berkuasa. Oleh karena itu, dalam situasi dimana politik tidak mendukung pemberantasan korupsi, inisiatif internasional akan menghadapi kendala yang besar.

Indonesia juga dikenal sebagai negara yang paling mengesankan dalam menghasilkan berbagai peraturan perundangan-undangan antikorupsi beserta perangkat kelembagaannya, namun memprihatinkan jika melihat dari dampak pemberantasan korupsi yang selama ini dirasakan. Bukan mustahil sebenarnya Indonesia tidak memiliki political will yang cukup, melainkan sebatas kepentingan untuk dipandang sebagai negara yang punya itikad serius dalam memberantas korupsi oleh komunitas internasional.

Usaha domestik dalam memberantas korupsi sesungguhnya menjadi kata kunci bagi berhasilnya dukungan internasional. Melalui berbagai saluran, PBB memfasilitasi berbagai usaha untuk meningkatkan kapasitas bagi penegak hukum, merumuskan berbagai aturan yang relevan dengan standar yang diakui internasional, sekaligus membantu ditariknya kembali aset korupsi yang telah dilarikan ke luar negeri.

Akan tetapi jika Indonesia tidak memanfaatkan peluang internasional yang telah disediakan, maka kita akan menghadapi situasi dimana dukungan politik dalam negeri sebenarnya tidak memadai untuk itu. Pada akhirnya, kita akan selalu mengalami kesulitan dan mendapatkan hasil yang minimal dalam melawan korupsi.

Asset Recovery

Satu hal yang menjadi perhatian utama komunitas internasional dalam usaha mereka membantu negara-negara anggotanya dalam memberantas korupsi adalah pengembalian aset (asset recovery). Hal ini dapat dipahami karena keterpurukan sosial ekonomi sebagaimana misalnya dialami Indonesia tidak dapat dipisahkan dari praktek korupsi yang menggurita.

Untuk mendorong usaha pemulihan kondisi sosial ekonomi itulah maka sangat penting bagi Indonesia untuk menarik kembali hasil korupsi yang telah dilarikan ke berbagai negara. Bahkan khusus untuk kasus Soeharto, PBB dan Bank Dunia telah menggagas lahirnya StAR sebagai upaya membantu, sekaligus menekan Indonesia untuk menuntaskan perkara Soeharto.

Oleh karena itu, sudah seharusnya inisiatif internasional disokong secara penuh oleh Pemerintah Indonesia melalui berbagai upaya pembuktian hukum bahwa korupsi memang telah terjadi. Langkah penghukuman terhadap pelaku korupsi yang telah merugikan negara hingga triliunan rupiah sebagaimana dalam kasus korupsi yang diduga melibatkan Soeharto, skandal BLBI, illegal logging, korupsi di sektor pertambangan dan lain sebagainya pada akhirnya akan menentukan apakah dukungan internasional telah dimanfaatkan secara maksimal oleh Indonesia.

Pertanyaannya kemudian, seberapa serius Pemerintah Indonesia merespon ulur tangan dari komunitas internasional untuk melawan korupsi? Momentum pemilihan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu agaknya menjadi ukuran yang sangat konkret.

KPK sebagai lembaga penegakan hukum yang independen adalah bagian tak terpisahkan dari beberapa konsepsi dasar UNCAC. Dan sesungguhnya kita telah membentuknya. Namun ketika parlemen menempatkan orang-orang yang bermasalah menjadi pimpinan KPK, maka sebenarnya kita telah membuang momentum bersejarah bahwa kita memiliki keseriusan dalam memberantas korupsi. Pada konteks ini, barangkali komunitas internasional hanya bisa menyaksikan, bahwa negara ini memang tidak menghendaki pemberantasan korupsi dilakukan. Lantas, apa makna tanggal 9 Desember yang diperingati sebagai hari antikorupsi sedunia? Mungkin tak lebih dari peringatan seremonial belaka. Sungguh menyedihkan.

Sunday, December 09, 2007

Politisasi Uji Kelayakan dan Kepatutan Calon Pejabat Publik

Proses seleksi pejabat publik melalui mekanisme uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) oleh DPR terlihat mulai diragukan efektivitasnya. Hal ini mencuat karena dipicu banyaknya kejadian buruk, khususnya praktik korupsi yang melibatkan pejabat publik hasil seleksi DPR. Sebagai contoh adalah anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jilid I yang sebagian besar telah dijebloskan ke penjara oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena dakwaan korupsi.

Demikian halnya peristiwa penangkapan Irawady Joenoes, anggota Komisi Yudisial (KY) yang diduga kuat menerima suap dalam proyek pengadaan tanah oleh KPK beberapa waktu lalu.

Seperti diketahui, anggota KY juga dipilih melalui fit and proper test oleh DPR. Dan yang teranyar, ditetapkannya Syamsul Bahri - tersangka kasus korupsi proyek KIMBUN di Malang - oleh Komisi II DPR RI sebagai anggota KPU periode 2007-2012. Beruntung Presiden kemudian tidak melantik yang bersangkutan mengingat statusnya sebagai tersangka korupsi.

Dari beberapa peristiwa yang telah dicontohkan di atas, muncul satu kesimpulan sementara yang terlintas bahwa ada yang tidak beres dari seleksi pejabat publik model DPR. Paling kurang hal ini ditunjukkan dari output hasil seleksi pejabat publik yang justru sepak-terjangnya mencoreng integritas lembaga negara semacam KPU dan KY. Padahal kedua lembaga tersebut, dengan komisi-komisi lain yang lahir secara beruntun, lahir karena mandat reformasi yang memiliki cita-cita besar untuk mendorong penerapan good governance sebagai dasar dalam praktik berbangsa dan bernegara.

Kemungkinan yang paling dekat, masalah fit and proper test oleh DPR selama ini dipandang terlalu politis sifatnya. Sebagai lembaga politik, ada kesan yang terus-menerus dibenarkan bahwa dalam melakukan seleksi, anggota DPR menggunakan insting kekuasaan belaka, sehingga unsur penolakan-dukungan begitu lekat. Sayangnya, dasar untuk memberikan penolakan atau dukungan sering kali diletakkan pada kepentingan politik semata.

Dalam konteks ini, siapa yang memiliki dukungan paling banyak, dialah yang akan dipilih sebagai pejabat publik. Dukungan tersebut tentunya diberikan bukan tanpa motif. Akibatnya, mekanisme fit and proper test tidak ubahnya merupakan mekanisme pertukaran kepentingan antara yang memilih dan yang dipilih.

Kebiasaan politisi semacam ini, selain tidak akan pernah bisa melahirkan sosok pejabat publik yang memiliki kualitas tinggi dan integritas yang mantap, juga akan semakin menenggelamkan mekanisme politik sebagai cara yang selalu kotor. Pandangan ini tidak akan bisa bergeser tanpa ada perubahan dari para politisi sendiri untuk dapat mengekang kepentingan kelompoknya, dan menempatkan kepentingan publik yang lebih luas sebagai hal yang mesti diperjuangkan.

Seharusnya dalam memilih calon pejabat publik, DPR menggunakan informasi yang cukup sebagai bahan pengambilan keputusan. Namun nyatanya, informasi yang disampaikan oleh masyarakat melalui berbagai saluran, seperti LSM mengenai calon pejabat publik yang akan dipilih kerap tidak terlalu didengar. Mestinya, informasi itu ditempatkan pada peranannya yang vital untuk menghindari praktik beli kucing dalam karung.

Rekam Jejak

Biasanya, dalam menghadapi proses seleksi pejabat publik, baik di panitia seleksi maupun DPR, kelompok masyarakat yang memiliki perhatian khusus pada agenda tersebut telah banyak berinisiatif untuk menyiapkan bahan-bahan informasi yang sangat dibutuhkan oleh pengambil keputusan.

Persoalannya, di samping tidak terlalu dianggap, seandainya pun informasi itu tersedia, kebenaran atas masukan tersebut sering kali dipatahkan dengan alasan tidak ada bukti formal yang mendukung. Hal ini tidak hanya dialami ketika proses pemilihan pejabat publik berada ditangan DPR, di panitia seleksi sendiri pun, sikap meragukan informasi yang disampaikan publik sangat terasa.

Tak dapat dipungkiri bahwa bukti-bukti pendukung yang secara formal dimiliki sebagai bagian tak terpisahkan dari sebuah informasi rekam jejak calon sebaiknya tersedia. Meski kadang kala jika ada, pilihan politik DPR bisa berkata lain. Ambil contoh adalah kasus Syamsul Bahri, yang oleh Kejaksaan Negeri Malang telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Meskipun ada data formal yang telah dikeluarkan Kejaksaan, Komisi II DPR tetap bersikukuh untuk menetapkan Syamsul Bahri sebagai anggota KPU.

Dalam konteks ini, mekanisme politik dalam seleksi pejabat publik oleh DPR terasa sangat abai terhadap kondisi objektif yang seharusnya ditolak. Sikap permisif yang keterlaluan dalam memilih calon pejabat publik oleh DPR kian menguatkan persepsi publik bahwa mekanisme politik sangat ditentukan oleh variabel kepentingan yang bermain di DPR.

Untuk menghindari politisasi secara terus-menerus dalam setiap proses seleksi pejabat publik di DPR, sekaligus memilih pejabat publik yang tepat sehingga tidak terjebak pada praktik korupsi yang berkelanjutan, mekanisme fit and proper test perlu diletakkan ulang pada koridor yang sebenarnya. Satu hal yang terlupakan sama sekali dari seleksi pejabat publik selama ini adalah tiadanya parameter objektif yang digunakan oleh DPR untuk menentukan pilihannya. Dalam bahasa yang lebih sederhana, karakter orang seperti apa yang dibutuhkan, kualifikasi profesional semacam apa yang harus ada, integritas seperti apa yang dicari, dan lain sebagainya, kerap tidak muncul ke permukaan.

Sepatutnya parameter penilaian calon pejabat publik oleh DPR disampaikan secara terbuka kepada masyarakat sehingga tingkat akuntabilitas dan transparansi proses seleksi bisa diukur. Demikian halnya konsistensi antara pilihan-pilihan yang telah ditetapkan dengan parameter yang telah dibuka akan dapat diketahui oleh publik secara lebih jernih.

Tak kalah pentingnya adalah adanya informasi yang memadai tentang calon pejabat publik yang akan dipilih DPR. Tanpa didukung oleh data dan masukan yang cukup tentang calon pejabat publik, pilihan-pilihan politik DPR akan membabi-buta. Oleh karenanya, sudah selayaknya DPR menggunakan informasi mengenai rekam jejak calon pejabat publik sebagai dasar dalam mengambil keputusan.

Sebagai catatan penting, informasi yang telah disampaikan masyarakat tidak seharusnya dinisbikan begitu saja seandainya tanpa didukung dengan bukti-bukti formal. Hal ini mengingat tidak semua informasi yang ada dapat diklarifikasi dengan bukti formal. Mengacu kepada kasus Syamsul Bahri, kebetulan saja jika dirinya adalah seorang pelaksana proyek yang dijadikan tersangka oleh Kejaksaan. Mungkin kondisinya bisa sangat berbeda jika Syamsul Bahri adalah pejabat teras di instansi penegak hukum misalnya. Barangkali tidak akan pernah ada catatan resmi bahwa Syamsul Bahri adalah seorang tersangka korupsi. Jika semua informasi yang disampaikan dengan mudah dipatahkan hanya karena tiadanya bukti formal, barangkali di balik kebenaran yang masih remang-remang itu, akan muncul kejahatan yang sudah pasti. Tak heran jika kemudian korupsi terjadi di lembaga, seperti KPU dan KY. Ke depan, bisa jadi hal ini terjadi di KPK jika Komisi III DPR keliru menentukan pilihannya.

Penulis adalah Anggota Badan Pekerja ICW

(Suara Pembaruan, Minggu, 8 Desember 2007)