Demikian halnya peristiwa penangkapan Irawady Joenoes, anggota Komisi Yudisial (KY) yang diduga kuat menerima suap dalam proyek pengadaan tanah oleh KPK beberapa waktu lalu.
Seperti diketahui, anggota KY juga dipilih melalui fit and proper test oleh DPR. Dan yang teranyar, ditetapkannya Syamsul Bahri - tersangka kasus korupsi proyek KIMBUN di Malang - oleh Komisi II DPR RI sebagai anggota KPU periode 2007-2012. Beruntung Presiden kemudian tidak melantik yang bersangkutan mengingat statusnya sebagai tersangka korupsi.
Dari beberapa peristiwa yang telah dicontohkan di atas, muncul satu kesimpulan sementara yang terlintas bahwa ada yang tidak beres dari seleksi pejabat publik model DPR. Paling kurang hal ini ditunjukkan dari output hasil seleksi pejabat publik yang justru sepak-terjangnya mencoreng integritas lembaga negara semacam KPU dan KY. Padahal kedua lembaga tersebut, dengan komisi-komisi lain yang lahir secara beruntun, lahir karena mandat reformasi yang memiliki cita-cita besar untuk mendorong penerapan good governance sebagai dasar dalam praktik berbangsa dan bernegara.
Kemungkinan yang paling dekat, masalah fit and proper test oleh DPR selama ini dipandang terlalu politis sifatnya. Sebagai lembaga politik, ada kesan yang terus-menerus dibenarkan bahwa dalam melakukan seleksi, anggota DPR menggunakan insting kekuasaan belaka, sehingga unsur penolakan-dukungan begitu lekat. Sayangnya, dasar untuk memberikan penolakan atau dukungan sering kali diletakkan pada kepentingan politik semata.
Dalam konteks ini, siapa yang memiliki dukungan paling banyak, dialah yang akan dipilih sebagai pejabat publik. Dukungan tersebut tentunya diberikan bukan tanpa motif. Akibatnya, mekanisme fit and proper test tidak ubahnya merupakan mekanisme pertukaran kepentingan antara yang memilih dan yang dipilih.
Kebiasaan politisi semacam ini, selain tidak akan pernah bisa melahirkan sosok pejabat publik yang memiliki kualitas tinggi dan integritas yang mantap, juga akan semakin menenggelamkan mekanisme politik sebagai cara yang selalu kotor. Pandangan ini tidak akan bisa bergeser tanpa ada perubahan dari para politisi sendiri untuk dapat mengekang kepentingan kelompoknya, dan menempatkan kepentingan publik yang lebih luas sebagai hal yang mesti diperjuangkan.
Seharusnya dalam memilih calon pejabat publik, DPR menggunakan informasi yang cukup sebagai bahan pengambilan keputusan. Namun nyatanya, informasi yang disampaikan oleh masyarakat melalui berbagai saluran, seperti LSM mengenai calon pejabat publik yang akan dipilih kerap tidak terlalu didengar. Mestinya, informasi itu ditempatkan pada peranannya yang vital untuk menghindari praktik beli kucing dalam karung.
Rekam Jejak
Biasanya, dalam menghadapi proses seleksi pejabat publik, baik di panitia seleksi maupun DPR, kelompok masyarakat yang memiliki perhatian khusus pada agenda tersebut telah banyak berinisiatif untuk menyiapkan bahan-bahan informasi yang sangat dibutuhkan oleh pengambil keputusan.
Persoalannya, di samping tidak terlalu dianggap, seandainya pun informasi itu tersedia, kebenaran atas masukan tersebut sering kali dipatahkan dengan alasan tidak ada bukti formal yang mendukung. Hal ini tidak hanya dialami ketika proses pemilihan pejabat publik berada ditangan DPR, di panitia seleksi sendiri pun, sikap meragukan informasi yang disampaikan publik sangat terasa.
Tak dapat dipungkiri bahwa bukti-bukti pendukung yang secara formal dimiliki sebagai bagian tak terpisahkan dari sebuah informasi rekam jejak calon sebaiknya tersedia. Meski kadang kala jika ada, pilihan politik DPR bisa berkata lain. Ambil contoh adalah kasus Syamsul Bahri, yang oleh Kejaksaan Negeri Malang telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Meskipun ada data formal yang telah dikeluarkan Kejaksaan, Komisi II DPR tetap bersikukuh untuk menetapkan Syamsul Bahri sebagai anggota KPU.
Dalam konteks ini, mekanisme politik dalam seleksi pejabat publik oleh DPR terasa sangat abai terhadap kondisi objektif yang seharusnya ditolak. Sikap permisif yang keterlaluan dalam memilih calon pejabat publik oleh DPR kian menguatkan persepsi publik bahwa mekanisme politik sangat ditentukan oleh variabel kepentingan yang bermain di DPR.
Untuk menghindari politisasi secara terus-menerus dalam setiap proses seleksi pejabat publik di DPR, sekaligus memilih pejabat publik yang tepat sehingga tidak terjebak pada praktik korupsi yang berkelanjutan, mekanisme fit and proper test perlu diletakkan ulang pada koridor yang sebenarnya. Satu hal yang terlupakan sama sekali dari seleksi pejabat publik selama ini adalah tiadanya parameter objektif yang digunakan oleh DPR untuk menentukan pilihannya. Dalam bahasa yang lebih sederhana, karakter orang seperti apa yang dibutuhkan, kualifikasi profesional semacam apa yang harus ada, integritas seperti apa yang dicari, dan lain sebagainya, kerap tidak muncul ke permukaan.
Sepatutnya parameter penilaian calon pejabat publik oleh DPR disampaikan secara terbuka kepada masyarakat sehingga tingkat akuntabilitas dan transparansi proses seleksi bisa diukur. Demikian halnya konsistensi antara pilihan-pilihan yang telah ditetapkan dengan parameter yang telah dibuka akan dapat diketahui oleh publik secara lebih jernih.
Tak kalah pentingnya adalah adanya informasi yang memadai tentang calon pejabat publik yang akan dipilih DPR. Tanpa didukung oleh data dan masukan yang cukup tentang calon pejabat publik, pilihan-pilihan politik DPR akan membabi-buta. Oleh karenanya, sudah selayaknya DPR menggunakan informasi mengenai rekam jejak calon pejabat publik sebagai dasar dalam mengambil keputusan.
Sebagai catatan penting, informasi yang telah disampaikan masyarakat tidak seharusnya dinisbikan begitu saja seandainya tanpa didukung dengan bukti-bukti formal. Hal ini mengingat tidak semua informasi yang ada dapat diklarifikasi dengan bukti formal. Mengacu kepada kasus Syamsul Bahri, kebetulan saja jika dirinya adalah seorang pelaksana proyek yang dijadikan tersangka oleh Kejaksaan. Mungkin kondisinya bisa sangat berbeda jika Syamsul Bahri adalah pejabat teras di instansi penegak hukum misalnya. Barangkali tidak akan pernah ada catatan resmi bahwa Syamsul Bahri adalah seorang tersangka korupsi. Jika semua informasi yang disampaikan dengan mudah dipatahkan hanya karena tiadanya bukti formal, barangkali di balik kebenaran yang masih remang-remang itu, akan muncul kejahatan yang sudah pasti. Tak heran jika kemudian korupsi terjadi di lembaga, seperti KPU dan KY. Ke depan, bisa jadi hal ini terjadi di KPK jika Komisi III DPR keliru menentukan pilihannya.
Penulis adalah Anggota Badan Pekerja ICW
(Suara Pembaruan, Minggu, 8 Desember 2007)
No comments:
Post a Comment