Monday, December 22, 2008

Mengunci Kartu As KPK

Sepak terjang Komisi Pemberantasan Korupsi selama kurun waktu sejak kelahirannya telah membawa kerisauan dari berbagai pihak. Kegelisahan itu ditunjukkan dengan berbagai reaksi yang mengarah pada pemandulan hingga yang paling ekstrem: pembubaran eksistensi KPK. Tujuan dibentuknya KPK memang dimaksudkan untuk memberantas korupsi secara lebih efektif, efisien, dan independen, dengan melihat sejarah penegakan hukum oleh aparat konvensional yang identik dengan kegagalan. Harapannya, dengan menggunakan instrumen baru berupa lembaga pemberantas korupsi yang lebih kuat wewenangnya dan independen dari kekuatan politik mana pun, KPK dapat mengatasi hambatan hukum dan politik dalam pemberantasan korupsi.

Dengan ukuran yang paling sederhana, KPK perlahan telah menjawab tantangan di atas. Dari kasus-kasus korupsi yang ditangani KPK, tampak jauh lebih berbobot daripada kasus korupsi yang ditangani aparat penegak hukum lainnya. Satu per satu pejabat publik yang selama ini mustahil diproses secara hukum karena melakukan korupsi dapat diseret oleh KPK. Bahkan wilayah pemberantasan korupsi KPK sudah menjangkau sampai lingkaran Istana, paling tidak dapat dilihat saat Aulia Pohan sebagai besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap Bank Indonesia. Dinding kekuasaan politik seperti parlemen pun mulai dirambah oleh KPK. Beberapa anggota parlemen pusat telah ditetapkan sebagai tersangka maupun terdakwa dalam berbagai kasus korupsi (suap dan pemerasan).

Demikian halnya profesionalisme KPK dalam penindakan kasus korupsi telah meminimalisasi kemungkinan dibebaskannya para terdakwa korupsi di Pengadilan Tindak Pidana korupsi. Catatannya hingga saat ini dapat dikatakan sempurna karena belum ada satu pun kasus korupsi yang dilimpahkan KPK ke Pengadilan Tipikor divonis bebas oleh majelis hakim.

KPK juga dapat membentuk citra positif lembaga pemberantas korupsi, melalui penegakan integritas pegawai KPK yang cukup ketat. Penerapan kode etik pegawai KPK bahkan kadang dianggap oleh sebagian orang keterlaluan. Bayangkan, orang KPK memilih tidak minum atau makan hidangan yang disediakan panitia acara apabila diundang sebagai narasumber di suatu tempat. Meskipun terkesan berlebihan, yang harus kita hormati adalah semangat untuk menghindari konflik kepentingan dan berbagai praktek permisif lainnya yang dapat menjatuhkan seseorang dalam kubangan korupsi.

Karena bekal itu pulalah, berkaca pada berbagai kasus korupsi yang ditangani KPK, satu per satu kekuasaan politik, birokrasi, dan bisnis yang selama ini kedap dengan proses hukum harus menghadapi realitas penegakan hukum yang telah bergeser ke arah yang positif. Mereka inilah yang sekarang melakukan apa yang sering dikenal sebagai "corruptor fightback" (pukulan balik koruptor).

Gejala pukulan balik koruptor mulai kelihatan dalam berbagai manuver yang muncul, baik dalam skala sporadis maupun sistemik. Gerakan menentang balik penegakan hukum KPK dapat dilihat, misalnya, dari pernyataan anggota Dewan yang menginginkan KPK dibubarkan tanpa ada alasan yang bisa dipertanggungjawabkan. Demikian halnya wacana yang didorong oleh beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat untuk melakukan amendemen terhadap Undang-Undang KPK.

Upaya menghentikan laju pemberantasan korupsi KPK tidak hanya berhenti sampai di sini. Yang paling moderat adalah membatasi usia KPK dengan alasan bahwa KPK adalah lembaga ad hoc. Dalilnya, sepanjang aparat penegak hukum konvensional sudah mampu memulihkan kondisinya dari masa sakit karena korupsi yang panjang, maka menurut kelompok ini, KPK tidak lagi diperlukan. Demikian halnya upaya pengajuan judicial review untuk memangkas wewenang KPK kepada Mahkamah Konstitusi (MK) yang dilakukan oleh terdakwa korupsi. Sudah puluhan kali upaya menjegal KPK dilakukan dengan mengajukan judicial review ke MK. Akhir dari perjalanan judicial review UU KPK ke MK memang relatif menguntungkan KPK, sekaligus tragis.

Dengan dibatalkannya Pasal 53 UU KPK mengenai eksistensi Pengadilan Tipikor, berarti pemerintah bersama DPR harus membuat UU tersendiri mengenai pengadilan ini. Makna positifnya, sinisme banyak pihak, termasuk para pengacara koruptor bahwa Pengadilan Tipikor berada di bawah "kendali" KPK, dapat dihindari. Dengan demikian, kecurigaan bahwa penegakan hukum korupsi yang dilakukan oleh KPK dan Pengadilan Tipikor adalah satu paket bisa dihindari. Begitu pula putusan Pengadilan Tipikor atas berbagai kasus korupsi yang ditanganinya juga akan dianggap lebih independen dari pengaruh KPK.

Tapi hal tersebut juga bisa berakibat tragis tatkala UU Pengadilan Tipikor yang menjadi mandat putusan MK atas judicial review UU KPK harus dibentuk selambat-lambatnya pada 19 Desember 2009. Persoalannya, ketika menyangkut penyusunan UU, otoritas sepenuhnya ada di DPR, yang saat ini tengah disorot dengan ketat oleh publik karena berbagai kasus korupsi yang ditangani KPK. Tentu saja keadaan ini tidak menguntungkan KPK karena sangat mungkin DPR memiliki dendam kesumat karena berturut-turut kasus korupsi yang ditangani KPK terkait dengan kasus korupsi di DPR.

Dengan kondisi semacam ini, masa depan KPK menjadi sangat tidak menentu. Hitung-hitungannya sangat sederhana. Andai DPR mengabaikan putusan MK dengan tidak menetapkan UU Pengadilan Tipikor sesudah deadline yang telah ditetapkan, tamatlah riwayat penindakan KPK. Hal ini karena, di dalam UU KPK, penuntutan atas kasus korupsi yang ditangani KPK hanya dapat diajukan kepada Pengadilan Tipikor, bukan pengadilan umum.

Saat ini fenomena untuk membekukan KPK sudah mulai menampakkan wujudnya. Paling tidak, kita dapat mengukurnya dari respons DPR yang sangat lamban dalam membahas RUU Pengadilan Tipikor. Padahal pemerintah sudah beberapa waktu lalu telah menyerahkan draf RUU tersebut kepada Komisi III DPR. Alasan yang dikemukakan DPR bermacam-macam, dari alasan bahwa mereka sudah memiliki agenda legislasi yang padat, masa reses yang dihadapi anggota Dewan, hingga waktu penyusunan RUU Pengadilan Tipikor yang dipandang masih cukup.

Akan muncul dua kemungkinan atas upaya menetralisasi KPK. Pertama, Komisi III DPR benar-benar akan mendiamkan draf RUU Pengadilan Tipikor tanpa pembahasan sampai batas waktu putusan MK. Konsekuensi dari keadaan ini sangat jelas, yakni KPK akan kehilangan tempat untuk mengajukan penuntutan atas kasus-kasus korupsi yang ditanganinya.

Skenario pertama ini sangat mungkin karena masa tugas DPR periode 2004-2009 hanya tersisa tujuh bulan lamanya. Dari waktu yang sedikit itu, akan tersita banyak untuk menghadapi pelaksanaan kampanye Pemilihan Umum 2009, baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden dan wakil presiden. Konsentrasi wakil rakyat yang begitu besar pada kegiatan Pemilu 2009 akan membuyarkan optimisme bahwa, dengan masa yang tersisa, UU Pengadilan Tipikor dapat diwujudkan.

Kedua, penyusunan RUU Pengadilan Tipikor akan dikejar dengan menanggalkan kualitas legislasinya. Pengertiannya, Komisi III DPR tetap menjalankan perintah MK sesuai dengan jadwal, tapi menghiraukan isu substantif dalam UU tersebut. Perlu diketahui, keberhasilan KPK dalam menangani berbagai kasus korupsi juga sangat ditopang oleh putusan Pengadilan Tipikor. Jika rancang bangun Pengadilan Tipikor didasari oleh substansi UU Pengadilan Tipikor yang buruk, bisa jadi putusan para hakim di Pengadilan Tipikor kelak akan setali tiga uang dengan pengadilan umum.

Membinasakan KPK memang tidak harus langsung menusuk titik vitalnya, tapi bisa dengan menyandera fondasinya yang lain, yakni Pengadilan Tipikor. Apakah kita akan mengucapkan sayonara terhadap pemberantasan korupsi? Wallahualam.

Adnan Topan Husodo, Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch

Tulisan disalin dari Koran Tempo, 23 Desember 2008

Tuesday, December 02, 2008

Memerangi Konflik Kepentingan

Riuh-rendah suspensi saham Bumi Resources di BEJ berujung pada dugaan bahwa intervensi pemerintah merupakan biang keladinya. Ditengarai, ada perintah dari pusat kekuasaan terhadap otoritas bursa saham untuk menunda perdagangan saham Bumi yang melibatkan campur tangan pejabat negara. Jika kemudian salah satu pejabat yang disebut-sebut itu adalah Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Sofyan Djalil, hal itu tidaklah terlalu membingungkan.

Pasalnya, mantan Menteri Komunikasi dan Informatika ini menjadi salah satu pemegang saham Bumi Resources. Tentu saja, meskipun dalam kisaran yang kecil, kepemilikan saham di Bumi Resources sedari awal telah melahirkan potensi konflik kepentingan. Terutama karena keputusan atau tindakan yang diambil sebagai Menteri Negara BUMN sulit dipisahkan dari kepentingan pribadinya untuk menyelamatkan saham Bumi dari penurunan nilai. Di samping itu, ada perintah langsung dari Menteri Negara BUMN yang disampaikan kepada beberapa BUMN untuk membeli saham Bumi.

Meskipun Menteri Negara BUMN sudah membantah langsung melalui media massa bahwa dia tidak mencampuradukkan posisinya sebagai Menteri Negara BUMN dengan kedudukannya sebagai pemegang saham di Bumi yang mayoritas pemilikannya dikendalikan oleh Aburizal Bakrie, Menteri Kesejahteraan Rakyat, tetaplah sulit untuk mengambil keputusan yang obyektif atas Bumi Resources. Lahirnya konflik kepentingan itu semakin kuat karena terdapat aturan mengenai pasar modal yang terindikasi sudah dilanggar.

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Pasal 100 angka (4), diatur bahwa "Setiap pegawai Bapepam yang diberi tugas atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bapepam untuk melakukan pemeriksaan dilarang memanfaatkan untuk diri sendiri atau mengungkapkan informasi yang diperoleh berdasarkan undang-undang ini kepada pihak mana pun, selain dalam rangka upaya mencapai tujuan Bapepam atau jika diharuskan oleh undang-undang lainnya".

Dengan demikian, jika kita menggunakan aturan di atas sebagai acuan bagi pejabat negara untuk menjaga jarak atas keputusan yang diambil dengan konsekuensi keuntungan individu yang diperolehnya, pelanggaran itu sudah bisa dikatakan terjadi. Logika hukumnya sangat sederhana, jika Undang-Undang Pasar Modal telah mengatur secara jelas dan tegas bahwa pihak yang terkait dengan pihak lain yang ditunjuk saja sudah tidak boleh atau dilarang memanfaatkan informasi untuk dirinya sendiri, apalagi pihak tertentu yang posisinya adalah pejabat negara. Terlebih lagi, posisinya itu terkait langsung dengan otoritas dan wewenang yang diberikan undang-undang untuk mengelola saham milik rakyat di BUMN.

Kita bisa menggunakan analogi sederhana dengan menyatakan bahwa posisi Menteri Negara BUMN tak ubahnya seperti manajer investasi. Tetapi saham yang dikelolanya adalah saham rakyat Indonesia yang diproyeksikan kepada pemerintah melalui BUMN. Mengacu pada aturan main selanjutnya, UU Pasar Modal Pasal 35 huruf (a) telah menegaskan bahwa "Perusahaan efek atau penasihat investasi dilarang menggunakan pengaruh atau mengadakan tekanan yang bertentangan dengan kepentingan nasabah".

Karena nasabah dalam pengertian tulisan ini adalah rakyat, apa yang menjadi kepentingan nasabah dari BUMN itulah yang harus diperjuangkan oleh manajer investasi yang notabene adalah Menteri Negara BUMN. Dan kepentingan rakyat sebagai nasabah BUMN itu tidak lain adalah berharap mendapatkan dividen yang tinggi dari saham di BUMN, sehingga dana tersebut dapat menjadi stimulus fiskal di APBN yang penggunaannya kemudian dapat mengalir bagi kepentingan rakyat pula.

Pertanyaan prinsipiilnya: apakah dengan dibelinya saham Bumi oleh BUMN akan ada keuntungan dividen yang dapat disetor kepada negara? Perlu diperhatikan bahwa saat ini ekonomi dunia sedang dilanda kesulitan cash flow dan negara Indonesia bukan negara yang cukup kaya untuk bisa bertahan dari krisis global. Di samping itu, Bumi faktanya masih memiliki tunggakan royalti ke negara (sekitar US$ 201,6 juta). Royalti dan dividen adalah uang rakyat, sehingga seharusnya masuk ke APBN.

Mengingat konflik kepentingan adalah embrio korupsi politik, sudah seharusnya Indonesia mulai memikirkan secara lebih serius untuk mengatur hal ini. Isu konflik kepentingan bukan sekadar soal bagaimana mengatur etika pejabat publik, tetapi harus dilihat dampak dari chaos-nya hubungan pejabat publik dengan kepentingan pribadi yang diwakilinya secara terselubung maupun terbuka yang dapat menyebabkan negara dan kebijakan publik yang diambil hanya mengabdi pada kepentingan tertentu.

Fenomena state capture of corruption adalah bukti nyata menjamurnya konflik kepentingan, karena adanya pembiaran terhadap potensi itu. Ketika praktek itu terjadi, tidak ada suatu kekuatan pun yang dapat membendungnya karena, secara legal-formal, masalah itu tidak pernah dirumuskan dalam aturan. Meskipun keputusan pejabat publik yang dapat menguntungkan kalangan tertentu atau dirinya sendiri secara telanjang dapat kita saksikan, sulit untuk melakukan tindakan legal untuk melarangnya, apalagi memberikan sanksi.

Sebenarnya larangan adanya konflik kepentingan bagi pejabat publik/negara yang berdampak negatif pada keuangan/perekonomian negara merupakan suatu ketentuan yang diakui secara universal. Sebagaimana misalnya baru-baru ini kita saksikan di media massa, Yayasan Bill Clinton direncanakan akan diaudit sehubungan dengan akan dipilihnya Hillary Clinton sebagai Menteri Luar Negeri untuk periode pertama kepemimpinan Barack Obama.

Ketentuan konflik kepentingan diatur dalam Konvensi PBB Menentang Korupsi (UNCAC), khususnya Pasal 7 ayat 4 dan Pasal 8 ayat 5. Pemerintah Indonesia sendiri sebagai negara peserta konvensi telah meratifikasinya dengan UU No. 7 Tahun 2006. Pasal 7 ayat 4 UNCAC menyebutkan bahwa "Setiap negara peserta wajib, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar dari hukum nasionalnya, berusaha keras mengadopsi, memelihara, dan memperkuat sistem-sistem yang meningkatkan transparansi dan mencegah konflik-konflik kepentingan".

Selanjutnya, Pasal 8 ayat 5 UNCAC berbunyi "Setiap negara peserta wajib berusaha keras untuk di mana cocok dan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya, menetapkan tindakan-tindakan dan sistem yang mewajibkan pejabat-pejabat publik membuat pernyataan-pernyataan kepada otoritas-otoritas yang tepat mengenai antara lain kegiatan-kegiatan mereka di luar pekerjaan, investasi-investasi, aset-aset, dan hadiah-hadiah atau keuntungan-keuntungan yang berarti, yang dapat menimbulkan konflik kepentingan".

Sejauh pengamatan penulis, ketentuan atau prinsip di atas belum juga diadopsi oleh Undang-Undang Anti-Korupsi yang saat ini berlaku di Indonesia. Seharusnya, sebagai konsekuensi telah diratifikasinya UNCAC, kita memiliki kewajiban untuk memasukkan ketentuan tersebut dalam UU Anti-Korupsi sebagai prinsip dasar antikorupsi. Lambannya semangat mengadopsi ketentuan dasar Konvensi PBB Anti-Korupsi dapat dianggap sebagai minimnya komitmen pemerintah Indonesia dalam menerapkan standar internasional antikorupsi.

Karena itu, supaya pemerintah Indonesia tidak dianggap lalai dalam mendorong perbaikan legal framework antikorupsi yang berstandar internasional, perlu ada tindakan cepat dari pemegang otoritas, baik presiden, DPR, maupun para pembantunya, untuk menempatkan isu konflik kepentingan sebagai rumusan hukum nasional. Harus diingat bahwa, pada awal Januari 2009, PBB akan melakukan evaluasi tahunan terhadap tingkat kepatuhan negara peserta konvensi antikorupsi. Tentu kita tidak ingin pemerintah Indonesia dipandang rendah dalam mengimplementasikan komitmen Konvensi Anti-Korupsi PBB.

Menurut penulis, sembari menunggu terbitnya RUU Anti-Korupsi yang baru, pemerintah memiliki otoritas dalam lingkup yang lebih kecil untuk mengatur atau menyusun regulasi, semisal peraturan presiden mengenai larangan konflik kepentingan. Meskipun aturan itu pada akhirnya hanya mengikat sebagian dari pejabat negara, khususnya kalangan eksekutif, tindakan itu sekaligus menunjukkan adanya komitmen besar dari Presiden untuk meletakkan dasar-dasar yang lebih baik bagi sistem dan etika pejabat publik di Indonesia, sehingga dapat menghindarkan diri dari tindakan abuse of power. Bukankah memulai dari yang kecil tapi konkret adalah bagian dari strategi pemberantasan korupsi juga? *

Oleh: Adnan Topan Husodo

Tulisan ini disalin dari koran Tempo, Rabu, 3 Desember 2008

Tuesday, November 25, 2008

Ancaman terhadap Independensi KPK

Secara mengejutkan Markas Besar (Mabes) Polri pada 14 November 2008 menarik dua perwira polisi yang selama ini bertugas di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dasar penarikannya adalah telegram dari Kapolri Bambang Hendarso Danuri, Nomor TR/549/XI/2008, yang merujuk pada Surat Keputusan Kapolri Nomor SKEP/464/XI/2008 tentang pemberhentian dari dan pengangkatan dalam jabatan di lingkungan Polri.

Mereka yang diambil melalui SKEP di atas adalah Brigadir Jenderal (Pol) Bambang Widaryatmo dan Ajun Komisaris Besar Polisi Akhmad Wiyagus. Kedua perwira polisi di atas mendapatkan tugas baru di Polri.Bambang Widaryatmo yang sebelumnya menjabat Direktur Penyidikan KPK mendapatkan tugas baru sebagai kepala Biro Litbang Polri. Adapun Akhmad Wiyagus yang di KPK menjabat direktur Pengaduan Masyarakat ditempatkan di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat,sebagai kapolres.

Sebenarnya proses mutasi, pemindahan, atau promosi perwira di tubuh Polri adalah hal biasa. Rotasi jabatan merupakan bagian dari penyegaran sekaligus cara menempa calon pejabat Polri dengan berbagai pengalaman baru yang akan dihadapinya untuk memperkuat jiwa leadership.

Namun,karena ini berkaitan erat dengan tugas penindakan kasus korupsi di KPK yang tengah diemban oleh kedua perwira tersebut, kebijakan pencopotan dua ujung tombak KPK ini mengundang tanda tanya besar. Pasalnya jika ditelisik lebih dalam, proses pemindahan tersebut kental dengan berbagai kejanggalan di sana sini.

Tampaknya pada kasus mutasi Bambang dan Agus, alasan maupun pertimbangan pemindahan yang terkesan mendadak ini tidak jelas. Alasan mutasi di satu sisi dapat diterima jika dalam kondisi yang wajar. Akan tetapi, pada sisi yang lain mengandung makna penghukuman terhadap kedua orang tersebut.

Untuk memperjelas hal ini harus dipahami bahwa jabatan di KPK (sebagai direktur Pengaduan Masyarakat dan Direktur Penyidikan KPK) merupakan posisi yang strategis untuk mendongkrak karier seorang perwira polisi kelak. Biasanya, jika ada perwira polisi telah menjalani masa tugas di KPK, jabatannya di kepolisian akan melesat.Promosi atas orang-orang yang ditugaskan di KPK merupakan pola yang umum terjadi.

Masalahnya, keduanya ditarik ke posisi yang tidak strategis.Ada fakta sejarah yang bisa dirujuk, bahwa penyidik KPK yang berasal dari Polri umumnya mendapatkan promosi sebagai kapolres.Padahal penyidik KPK bukanlah jabatan struktural, beda dengan Direktur KPK yang merupakan jabatan struktural. Karena itu, patut dianggap bahwa keputusan Kapolri atas dua personelnya ini lebih tepat sebagai pembuangan, bukan promosi. ***

Pertanyaan selanjutnya, jika kedua orang ini telah dinilai memiliki sepak terjang yang bagus di KPK, mengapa justru mendapatkan demosi dari Kepolisian RI? Apakah yang melatarbelakangi keputusan tersebut sebenarnya? Kejanggalan lain yang bisa dilihat adalah keputusan di atas terkesan sangat terburu-buru.

Hal ini mengingat mereka sebenarnya belum lama menjabat direktur di KPK.Kecurigaan bahwa ada latar belakang tertentu yang menyebabkan keputusan mutasi cepat diputuskan juga dapat dicium dari tiadanya koordinasi dengan pimpinan KPK secara kolegial. Sistem pengambilan keputusan pimpinan KPK pada prinsipnya adalah kolegial.

Meskipun masingmasing pimpinan KPK mendapatkan tugas khusus berdasarkan kesepakatan bersama,tetapi untuk hal-hal yang strategis kepemimpinan kolektif seharusnya diterapkan. Jika kemudian penarikan itu telah ada persetujuan dari salah satu pimpinan KPK saja,tentu bisa ditebak pimpinan KPK dimaksud adalah pejabat yang membawahi bidang penindakan.

Keputusan strategis di KPK yang tidak diambil melalui mekanisme persetujuan kolektif sesungguhnya dapat menyebabkan lahirnya hak istimewa. Dalam posisi KPK yang memiliki wewenang besar dan acap harus berhadapan dengan kepentingan politik, hak istimewa itu akan sangat mudah disalahgunakan. Hal di atas akan menjadi ”preseden” buruk bagi KPK di masa datang.

Karena pihak di luar KPK, baik kepolisian, kejaksaan dan BPKP, dengan inisiatif sendiri atau usulan dari pihak lain dapat saja kemudian melakukan intervensi atau melumpuhkan posisi KPK pada sektor penindakan dengan modus menarik personel mereka di KPK secara mendadak. Sebagaimana diketahui, komposisi petugas penindakan KPK sebagian besar diisi oleh pegawai dari kepolisian,kejaksaan dan BPKP.

Bisa saja kemudian kita menduga bahwa penarikan ujung tombak penindakan KPK merupakan bagian dari skenario untuk menggagalkan penyelesaian berbagai kasus korupsi berkategori kakap. Dengan bahasa lain, mutasi kedua perwira Polri di KPK ini mungkin saja merupakan bagian dari skenario pihak-pihak tertentu untuk ”mengamankan” penanganan kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi eksekutif, legislatif,maupun pengusaha besar di Indonesia.

Jika benar keputusan menarik personel kepolisian di KPK bermotifkan kepentingan semacam ini, KPK sesungguhnya sedang diancam bahaya besar. ***

Masyarakat mungkin tidak terlalu mengetahui bahwa baik Bambang (selaku direktur Penyidikan) dan Wiyagus (baik sewaktu menjadi penyidik maupun setelah menjadi direktur Pengaduan Masyarakat) dianggap memiliki peran penting dalam pengungkapan kasus-kasus korupsi kelas kakap.

Keduanya sesungguhnya merupakan aktor yang tidak terpisahkan dari keberhasilan KPK selama ini. Mereka juga memiliki peran penting dalam pengungkapan sejumlah kasus korupsi seperti kasus suap aliran dana Bank Indonesia, kasus suap alih fungsi hutan yang diduga melibatkan anggota Dewan dan Menteri Kehutanan,kasus korupsi pengadaan kapal di Departemen Perhubungan, serta pemeriksaan sejumlah kepala daerah (aktif maupun mantan) yang dinilai punya dukungan yang kuat dari sejumlah partai politik.

Sebagaimana diketahui, dalam kapasitasnya sebagai direktur Pengaduan Masyarakat KPK, Akhmad Wiyagus tengah menangani kasus yang dilaporkan Agus Condro terkait suap dalam proses pemilihan deputi gubernur Bank Indonesia. Selain diduga melibatkan sebagian besar anggota partai politik tertentu sebagai penerima,kasus ini juga diduga melibatkan kalangan pengusaha kelas kakap sebagai penyandang dana dan tim sukses dalam proses pemilihan tersebut.

Proses mutasi ”dadakan”ini dapat dipastikan akan memengaruhi proses penuntasan kasus-kasus korupsi tersebut. Bukan mustahil prosesnya akan tersendat, atau hanya menjerat aktor lapangan saja atau bahkan menjurus pada penghentian kasus.

Karena itu, sudah semestinya pimpinan KPK secara keseluruhan segera mengambil tindakan cepat untuk menyelamatkan institusi KPK dari upaya ”pembusukan” dengan menciptakan sistem yang transparan dan objektif untuk mengatur sirkulasi jabatan sehingga tidak muncul kesewenang-wenangan dari segelintir pihak yang memiliki kekuasaan diskresional untuk menentukan nasib pegawai KPK di masa depan.(*)

Adnan Topan Husodo
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch

Disalin dari Koran Seputar Indonesia, Rabu, 26 November 2008

Tuesday, November 11, 2008

Sulitnya Mengaudit Dana Kampanye

Sebagaimana telah diberitakan berbagai media massa, komisioner Komisi Pemilihan Umum mulai angkat bicara tentang kendala audit dana kampanye Pemilu 2009. Bahkan terkesan KPU sudah sampai pada kesimpulan bahwa audit dana kampanye tidak dapat dilakukan sebagaimana mandat Undang-Undang Pemilu Nomor 10 Tahun 2008. Sejujurnya pernyataan di atas dapat dikatakan terlambat. Hal ini mengingat jauh-jauh masa sebelumnya, berbagai organisasi profesi, baik Ikatan Akuntansi Indonesia maupun Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI), telah menyampaikan gambaran akan potensi gagalnya pelaksanaan audit dana kampanye. Namun, respons yang ditunggu dari KPU tidak juga muncul. Saat pelaksanaan audit dana kampanye tinggal beberapa bulan lagi, tanggapan dari KPU baru kita dengar.

Terlepas dari masalah lambannya daya tangkap KPU untuk mendeteksi kemungkinan tahapan pemilu tidak berjalan dengan baik, pernyataan resmi KPU sudah seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah dan DPR, karena terdapat kemungkinan besar salah satu tahapan Pemilu 2009, yakni audit dana kampanye sulit dilaksanakan. Keseriusan dari KPU, pemerintah, dan DPR untuk mengambil langkah-langkah darurat akan sangat menentukan, apakah pelaksanaan audit dana kampanye akan berjalan sebagaimana aturan main atau gagal sama sekali.

Pertanyaannya, apa faktor yang memungkinkan pelaksanaan audit dana kampanye terganggu? Sejauh pengamatan penulis, terdapat dua masalah krusial yang sangat menghambat atau bahkan dapat menggagalkan kerja audit. Pertama, faktor yuridis-formal, di mana terdapat kewajiban dalam UU Pemilu yang sudah dapat dipastikan akan mempengaruhi kerja teknis audit dana kampanye. Secara umum, UU Pemilu menggariskan beberapa hal, yakni adanya kewajiban bagi partai politik peserta pemilu, baik di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota dan peserta pemilu perseorangan membuat dan menyerahkan laporan dana kampanye kepada kantor akuntan publik (KAP). Berikutnya, laporan dana kampanye tersebut wajib diaudit oleh KAP. Terakhir, KAP diberi alokasi waktu 30 hari oleh undang-undang untuk menyelesaikan audit terhadap seluruh laporan dana kampanye.

Mengacu pada aturan main di atas, secara teknis, pelaksanaan audit dana kampanye menjadi sulit dilakukan. penyebabnya, entitas laporan dana kampanye yang harus diaudit oleh KAP tidak sebanding dengan jumlah KAP yang tersedia. Menurut catatan kasar IAPI, berdasarkan mandat UU di atas, paling tidak terdapat 20 ribu entitas laporan keuangan dana kampanye yang harus diaudit oleh KAP berdasarkan pada jumlah partai politik peserta pemilu, mulai tingkat pusat, provinsi, hingga kabupaten/kota dan peserta perorangan (calon Dewan Perwakilan Daerah).

Di sisi lain, jumlah KAP yang tersedia tidaklah banyak. Jumlah KAP yang bernaung dalam payung IAPI saat ini hanya 400-an KAP. Sangat mustahil 400-an KAP akan mampu mengaudit laporan dana kampanye dengan jumlah yang sangat banyak dan tersebar di berbagai provinsi dan kabupaten/kota. Sementara itu, jumlah KAP yang sedikit itu diikuti oleh penyebarannya yang tidak merata karena di atas 50 persen berada di Jakarta.

Jika dilihat dari substansi peraturan, adanya kewajiban pelaporan dana kampanye pada masing-masing struktur partai politik peserta pemilu merupakan cara yang baik untuk mendorong hadirnya transparansi dan akuntabilitas peserta pemilu. Hal itu juga dapat dibaca sebagai upaya UU untuk mendorong desentralisasi dan penyebaran atas pengendalian dan pertanggungjawaban dana kampanye di masing-masing bagian dalam organisasi partai politik. Dengan adanya aturan ini, ada tuntutan kepada pengurus partai politik di masing-masing tingkatan untuk lebih profesional dalam mengelola organisasinya. Karena itu, menjadi sangat dilematis karena tujuan dari UU yang benar harus dikacaukan oleh keterbatasan jumlah KAP.

Lebih lanjut, UU Pemilu hanya menyebutkan bahwa yang berwenang melakukan audit dana kampanye adalah KAP, bukan auditor lain, semisal BPKP atau BPK RI. Pagar yang sudah sangat jelas ini membuat upaya untuk menyiasati keterbatasan KAP menjadi mustahil ditempuh. Pasalnya, jika KPU menggunakan tenaga auditor dari BPKP atau BPK, pasti akan melanggar aturan main karena mandat untuk melakukan audit hanya dimiliki oleh KAP.

Masalah pelaksanaan audit dana kampanye menjadi lebih rumit, karena UU hanya memberikan waktu yang sangat terbatas, yakni 30 hari kepada KAP untuk menyelesaikan audit dana kampanye. Mengacu pada standar yang wajar, pelaksanaan audit umum (general audit) membutuhkan waktu paling tidak hingga empat bulan. Rentang waktu yang semakin panjang akan memungkinkan pelaksanaan audit dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan, sekaligus menjawab esensi dari tujuan audit itu sendiri. Sedangkan waktu audit dana kampanye yang teramat pendek dapat dipastikan tidak akan menghasilkan laporan audit yang berkualitas, atau menemukan adanya pelanggaran terhadap aturan dana kampanye. Bisa dikatakan, audit dana kampanye yang demikian pada akhirnya untuk memenuhi aspek formalitas belaka.

Masalah di luar kendala yuridis-formal adalah infrastruktur audit dana kampanye yang tidak siap, terutama pada sisi KPU dan pengelola dana kampanye di tingkat peserta pemilu. Pelaksanaan audit dana kampanye akan menyulitkan jika KPU sebagai penyelenggara pemilu tidak mengatur beberapa pedoman teknis yang dibutuhkan. Paling tidak, ada dua pedoman yang seharusnya disiapkan oleh KPU, yakni pedoman audit dana kampanye dan pedoman pelaporan dana kampanye. Pedoman yang pertama akan menjadi pegangan bagi para auditor, sedangkan pedoman kedua menjadi panduan bagi peserta pemilu. Hingga saat ini, KPU belum juga menyusun pedoman yang dimaksud.

Pada sisi kesiapan pengelola dana kampanye peserta pemilu, hal yang paling mencemaskan adanya jika mereka tidak dapat mengelola dan mengadministrasikan secara jujur dan benar berbagai dokumen yang dibutuhkan untuk pelaksanaan audit dana kampanye. Belajar dari pengalaman Pemilu 2004 dan pilkada di banyak daerah, laporan dana kampanye peserta pemilu menyiratkan kebohongan atau penipuan. Temuan adanya penyumbang fiktif, jumlah sumbangan yang tidak sesuai, tidak dicatatnya sumbangan, dan ditemukannya berbagai laporan dana kampanye yang tidak didukung oleh bukti yang memadai sangat mungkin terulang pada Pemilu 2009.

Jalan keluar

Dengan berbagai kendala yang berpotensi mengancam pelaksanaan audit dana kampanye, KPU dapat melakukan beberapa hal darurat. Karena kendala audit lahir dari faktor yuridis-formal, KPU harus secepatnya mengupayakan adanya terobosan hukum. Ada dua jalan yang dapat ditempuh oleh KPU. KPU dapat mendorong DPR atau pemerintah melakukan amendemen UU Pemilu terhadap beberapa pasal yang menyulitkan pelaksanaan audit dana kampanye. Karena masalahnya ada pada jurang angka yang tinggi antara entitas laporan dana kampanye dan ketersediaan KAP, usulan amendemen diarahkan terutama untuk memberi ruang bagi sumber daya auditor lain, seperti BPK atau BPKP, untuk dapat terlibat dalam melakukan audit, sekaligus desakan untuk memperpanjang waktu pelaksanaan audit dana kampanye.

Memang langkah ini secara politik akan lebih sulit, mengingat DPR sebagai lembaga politik tentu saja memiliki kepentingan terhadap kondisi lapangan yang tidak memungkinkan pelaksanaan audit dilakukan dengan benar. Di luar amendemen, KPU bisa saja menempatkan situasi ini sebagai darurat, sehingga Presiden bisa didesak membuat perpu yang secara substansial memiliki kesamaan gagasan dengan agenda amendemen UU Pemilu.

Pekerjaan rumah KPU selanjutnya adalah mempercepat lahirnya pedoman pelaksanaan audit dana kampanye dan pelaporan dana kampanye. Harus diingat bahwa kegiatan kampanye sebenarnya sudah berlangsung sejak beberapa bulan yang lalu. Peserta pemilu, baik partai politik maupun perorangan, pastinya sudah mulai mencari sumber-sumber pendanaan kampanye sekaligus membelanjakan dana kampanye mereka.

Tanpa diikuti oleh pedoman yang pasti dari KPU, laporan dana kampanye peserta pemilu tidak akan memenuhi kaidah dan standar pelaporan yang benar, sehingga menyulitkan KAP untuk melakukan audit. Tidak hanya itu, laporan dana kampanye peserta pemilu pada akhirnya tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Dengan kata lain, ada kemungkinan laporan dana kampanye dimanipulasi oleh peserta pemilu. *

Tulisan disalin dari Harian Tempo, Rabu, 12 November 2008

Wacana Pembentukan KPK Perwakilan

Sekarang berkembang wacana bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan membentuk KPK perwakilan. Mengenai kapan dan di mana saja KPK perwakilan akan dibentuk, belum ada informasi yang menjelaskan.


Jika memang rencana ini sudah matang, tentu tidak ada halangan yuridis-formal karena Undang- Undang (UU) No 30/2002 tentang KPK memungkinkan hal itu terjadi. Pasal 19 ayat (2) UU KPK menyebut KPK dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi. Kabar ini tentu saja sangat menggembirakan, khususnya bagi masyarakat di berbagai belahan Indonesia yang selama ini menuntut dibentuknya KPK daerah.

Alasan utama yang paling sering disinggung adalah karena mereka tidak lagi dapat memercayai kepolisian dan kejaksaan untuk menangani kasus-kasus korupsi. Harapan satu-satunya untuk dapat melihat keadilan ditegakkan bagi masyarakat kebanyakan hanya ada di tangan KPK. Berdirinya KPK dalam waktu cepat telah menumbuhkan kepercayaan publik atas pemberantasan korupsi.

Sepak terjang KPK dalam menangani perkara-perkara korupsi yang melibatkan pejabat publik dianggap masyarakat mampu menghadirkan proses hukum yang sesungguhnya. Bukan penegakan hukum pura-pura, dagelan, apalagi proses hukum korupsi yang diselimuti oleh praktik korupsi. Kritik terhadap KPK memang tetap ada,namun hal itu lebih sebagai upaya publik mengawasi KPK supaya proses penegakan hukum tidak tebang pilih, diskriminatif, dan manipulatif.

Jika kabar KPK perwakilan mencerminkan besarnya harapan publik atas penegakan hukum di berbagai daerah, rencana itu sekaligus mencerminkan gagalnya aparat penegak hukum konvensional seperti kejaksaan dan kepolisian menempatkan agenda reformasi internal mereka sebagai aparat penegak hukum yang profesional, jujur, dan berintegritas. Masa menunggu KPK yang sudah cukup panjang ternyata tidak dijawab dengan pembenahan.

Pengambilalihan kasus oleh KPK dari aparat kejaksaan dan kepolisian belum cukup dijadikan pelajaran yang berguna.Bahkan usaha (jika memang ada dan sungguh-sungguh) untuk memperbaiki citra kejaksaan, misalnya, justru tercoreng oleh ulah beberapa jaksa nakal yang tertangkap basah melakukan ancaman dan pemerasan. Terakhir,Kepala Kejaksaan Negeri Tilamuta yang dicopot oleh Kejaksaan Agung karena beredar rekaman pembicaraannya yang mengancam, memeras, sekaligus menghina satuan penegak hukum lainnya.

Pengaruh Baik Adanya KPK Perwakilan

Dalam situasi aparat penegak hukum konvensional mengalami kemandekan dalam penanganan kasus korupsi, di sisi lain situasi politik menciptakan korupsi yang kian massif, tentu berharap agar kepolisian atau kejaksaan segera pulih adalah mimpi.

Desakan publik yang terus-menerus agar kejaksaan atau kepolisian menangani kasus korupsi secara serius diimbali dengan macetnya proses hukum. KPK perwakilan hadir untuk menjawab masalah di atas. Dengan modal integritas yang tinggi, profesionalisme yang bisa dipertanggungjawabkan kepada publik, kehadiran KPK perwakilan bisa jadi akan dapat mengerem hasrat korupsi yang lahir dari kekuasaan tanpa kontrol.

Sebagaimana kita tahu, berbagai modus korupsi yang muncul di berbagai daerah, kebanyakan diotaki oleh kepala daerah atau anggota legislatif,dengan cara yang kasar dan terang-terangan.Tapi tidak ada daya yang cukup untuk menghentikannya, karena mandulnya fungsi penegakan hukum dari kepolisian dan kejaksaan.

Sebagai jawaban, kehadiran KPK perwakilan akan menciptakan suasana yang lebih ”menakutkan”, sehingga pejabat publik tidak lagi dapat dengan mudah menggelapkan uang negara untuk kepentingan pribadinya. Dana negara kelak akan lebih dapat dikontrol, sehingga pengalokasian dan penggunaannya akan sesuai harapan publik.

Dampak Negatif

Di luar pengaruh positif yang dapat diberikan atas kehadiran KPK perwakilan, tampaknya kita juga harus memikirkan dampak negatifnya, atau paling tidak kemungkinan terburuk yang bisa muncul.Terutama jika dikaitkan dengan visi dan misi KPK yang strategis.

Sebagaimana kita tahu,posisi dan peran KPK sebenarnya adalah trigger mechanism. Artinya, KPK didesain untuk mendorong dan memicu lahirnya semangat dan tradisi baru dalam penegakan hukum, khususnya bagi aparat penegak hukum konvensional. Salah satu latar belakang berdirinya KPK adalah karena aparat penegak hukum konvensional telah gagal dalam mengemban amanat konstitusi, yakni melakukan pemberantasan korupsi.

Kehadiran KPK dimaksudkan untuk memberikan teladan, contoh, dan model penegak hukum yang memiliki integritas,profesionalitas, dan independensi yang tinggi. Dengan hadirnya KPK perwakilan, ada kesan yang muncul bahwa KPK akan menggantikan posisi kejaksaan dan kepolisian. Padahal, sejatinya KPK tidak dimaksudkan untuk sampai pada titik ini.

KPK lebih banyak diharapkan dapat memberantas korupsi yang melibatkan pejabat negara dan aparat penegak hukum yang selama ini tidak dapat disentuh oleh aparat penegak hukum konvensional. Pendek kata, tujuan KPK dilahirkan, salah satu yang strategis, adalah memberantas korupsi yang memiliki hambatan politik dan hukum besar. Bukan untuk menangani semua kasus korupsi. Apabila KPK disibukkan dengan berbagai penanganan kasus korupsi, KPK akan menjadi tidak fokus, sehingga melupakan hal-hal yang strategis.

Menghadirkan KPK perwakilan juga berarti pertaruhan integritas.Sebuah kondisi yang sulit dipertahankan dalam level yang paling tinggi saat rentang kendali kian jauh.Dalam ilmu manajemen standar, rentang kendali akan sangat memengaruhi efektivitas dari kontrol itu sendiri. Dengan demikian, tantangan KPK perwakilan adalah bagaimana mereka dapat memastikan bahwa integritas dari orang-orang yang kelak akan mengisi jabatan KPK perwakilan dapat dijaga dengan baik.

Kasus AKBP Suparman, seorang mantan penyidik di KPK yang melakukan pemerasan terhadap saksi di bawah ancaman telah membuka kewaspadaan semua pihak bahwa setiap saat,siapa pun yang ada di KPK,akan dapat tergelincir,menggunakan wewenang yang dimilikinya untuk korupsi.

Dengan posisi yang jauh dari kendali, pertanyaan mendasarnya, apakah integritas KPK perwakilan masih dapat dipertahankan sebagaimana orang-orang KPK yang saat ini ada? Memang salah satu formulasi untuk menyelesaikan masalah itu ada pada sistem seleksi di KPK. Sepanjang KPK masih terkungkung pada pemahaman bahwa penyidik KPK harus berasal dari unsur kepolisian dan kejaksaan, sulit bagi KPK untuk menemukan orang-orang yang memiliki integritas tinggi.

Pernyataan ini bukanlah dimaksud untuk menggeneralisasi bahwa semua aparat di kepolisian atau kejaksaan bermasalah.Akan tetapi, sistem dan kultur yang sudah dibangun di kedua lembaga penegak hukum tersebut telah menciptakan sebuah ancaman bagi eksistensi KPK ke depan. Kini,semua pertimbangan itu ada di tangan pimpinan KPK.

Jika memang mereka telah sepakat untuk membentuk KPK perwakilan, tentu beberapa pertimbangan di atas layak untuk diperhatikan. Jangan sampai kemudian pembentukan KPK perwakilan justru akan meruntuhkan citra KPK secara keseluruhan.(*)

Adnan Topan Husodo
Anggota Badan Pekerja ICW

Disalin dari harian Seputar Indonesia, Rabu, 12 November 2008

Friday, October 24, 2008

Pemilu 2009 di Tengah Oligarki Partai

Tahapan Pemilu 2009 kini memasuki proses uji publik atas daftar sementara calon legislator. Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara pemilu telah mengumumkan daftar sementara ini melalui berbagai media, baik cetak, elektronik, maupun website resmi KPU. Banyak kritik yang disampaikan atas metode pengumuman itu, terutama karena informasi mengenai calon legislator tidak terlalu detail sehingga menyulitkan publik untuk menilai dan menelusuri, sekaligus dianggap sekadar upaya menggugurkan kewajiban KPU belaka.

Padahal sejatinya tahapan ini merupakan tahapan krusial, ketika partisipasi publik seluas mungkin dapat dimaksimalkan untuk memotong para calon legislator bermasalah. Berharap KPU menyaring persyaratan administratif semua calon legislator yang didaftarkan oleh partai politik peserta pemilu hampir bisa dikatakan mustahil. Karena itu, peran masyarakat luas untuk menyampaikan data, informasi, dan masukan mengenai calon legislator bermasalah seharusnya diakomodasi seefektif mungkin oleh KPU.

Dari penelusuran mandiri yang dilakukan oleh LSM pemantau pemilu, paling tidak ada beberapa masalah calon legislator yang ditemukan. Masalah pertama adalah ditemukannya beberapa calon legislator yang terdaftar pada lebih dari satu partai. Praktek ini tak hanya melanggar persyaratan administratif sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 10 Tahun 2008, tapi juga mengisyaratkan adanya perilaku mengadu untung. Jika di satu partai dirinya tidak lolos, masih terbuka kemungkinan mendapatkan kursi di partai yang lain.

Masalah pelanggaran syarat administratif berikutnya adalah indikasi penggunaan ijazah palsu oleh calon legislator, sehingga dapat memenuhi syarat minimum sebagaimana UU Pemilu telah mengaturnya. Persoalan ini sebenarnya bisa dibawa ke ranah pidana umum, karena sudah masuk adanya unsur pemalsuan terhadap dokumen yang diterbitkan oleh negara.

Persoalan yang tidak kalah pelik adalah tetap lolosnya para calon legislator yang sedang menjalani proses hukum, baik yang menyandang status sebagai tersangka maupun terdakwa kasus korupsi. Ihwal yang terakhir ini cukup problematis bagi KPU, karena UU Pemilu Pasal 12 huruf (g) mengenai persyaratan DPD maupun Pasal 53 huruf (g) mengenai persyaratan DPR, DPRD provinsi/kabupaten/kota menyebutkan bahwa calon legislator akan gugur dengan sendirinya jika terbukti pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.

Dengan demikian, jika partai politik tetap mencalonkan kandidat DPR maupun DPRD padahal diketahui mereka masih tersangkut oleh kasus pidana yang belum dalam status berkekuatan hukum tetap, sangat sulit bagi KPU untuk menggugurkannya. Pagar yang secara eksplisit menyatakan demikian membuat KPU, seprogres apa pun mereka, tidak dapat berbuat lebih jauh, kecuali mengikuti aturan main yang telah dibuat.

Berbagai masalah calon legislator yang ditemukan oleh kelompok masyarakat sipil yang bergiat dalam pemantauan pemilu di atas mencerminkan masalah serius dalam tubuh partai politik. Kesan yang timbul adalah bahwa partai politik tidak memiliki mekanisme yang ketat dan sistem yang akuntabel serta transparan dalam melakukan perekrutan calon legislator.

Hal ini merupakan sebuah dilema dalam berdemokrasi di Indonesia. Partai politik sebagai lembaga demokrasi pada saat ini justru menunjukkan gejala antidemokrasi. Partai politik, yang seharusnya memupuk para kader pemimpin bangsa yang mumpuni, justru melahirkan para calon pemimpin yang kebanyakan bermasalah.

Jika kita coba lucuti lebih jauh perkaranya, kita dapat menunjuk bahwa persoalan terbesar partai politik di Indonesia adalah karena kuatnya rezim oligarki. Kekuatan segelintir orang yang menjadi “pemilik sah” partai politik berpadu dengan berbagai kepentingan dari kelompok hitam yang memiliki kekuatan uang, membuat korupsi dalam tubuh partai politik sendiri tidak dapat dihindari.

Fenomena maraknya seat buying dalam proses perekrutan calon legislator menunjukkan hal tersebut. Sehingga siapa pun mereka, dari mana pun asalnya, apa pun yang akan dikerjakan kelak ketika menjadi pejabat publik, memiliki peluang besar untuk menjadi calon legislator jika ditopang oleh kecukupan uang. Nomor kursi atau nomor urut calon legislator menjadi ajang yang menggiurkan bagi elite partai untuk mendapatkan biaya politik.

Tak dapat dimungkiri bahwa penilaian terhadap calon legislator di lingkup internal partai juga menyertakan isu senioritas, loyalitas, dan skema kaderisasi. Namun, unsur adanya transaksi jual-beli kursi adalah hal yang tidak dapat dilepaskan dari proses rekrutmen itu sendiri. Hal ini akan tampak nyata dari berbagai gejolak dan konflik internal partai manakala proses penentuan nomor urut memasuki tahap final.

Kekecewaan, sakit hati, dan marah dari para calon legislator dan pendukungnya sering kali bukan karena masalah yang dapat dinilai argumentasinya, melainkan lebih pada soal bahwa mereka telah mengeluarkan ongkos yang tidak sedikit tapi mendapatkan nomor urut calon legislator yang rawan kalah. Ketergantungan pada nomor urut sekaligus juga menandakan tiadanya kesiapan para calon legislator untuk bertarung head to head*dengan rival mereka dalam suasana yang demokratis, kecuali hanya berlindung dan berharap dari raupan suara partai politik itu sendiri.

Setting aturan pemilu yang dibuat oleh DPR juga menunjukkan fenomena kuatnya oligarki dalam tubuh partai politik. Siapa pun yang waras pasti akan tidak setuju jika dalam waktu yang bersamaan ada calon legislator menyandang status tersangka atau terdakwa kasus korupsi, meski belum dijatuhi hukuman yang memiliki kekuatan hukum tetap.

Persoalannya bukan pada asas praduga tak bersalah, melainkan dalam kompetisi politik yang menuntut ketatnya aspek moralitas dan kebersihan para pesertanya. Maka keterlibatan para calon legislator yang masih terkait dengan kasus hukum dengan sendirinya telah mengurangi esensi dari pemilihan pejabat publik itu sendiri (pemilu).

Bahwa kemudian partai politik tetap mempertahankan mereka yang dikategorikan bermasalah oleh publik, ini merupakan hal yang sangat mudah dijelaskan. Seperti kita tahu bahwa mereka yang saat ini diduga kuat terlibat dalam berbagai skandal suap merupakan bagian dari lapis atas di partai politik. Tentunya sangat mustahil jika elite partai menggusur dirinya sendiri karena masalah korupsi.

Karena itu, wajar jika bunyi atau aturan UU juga memberikan sedemikian rupa kemudahan dan ruang yang sangat longgar bagi calon legislator bermasalah untuk maju ke pertarungan pemilu. Berharap dari politikus itu sendiri pun sangat tidak mungkin. Sosok politikus elegan adalah hal yang sangat langka. Mundur dari pencalonan sebagai bentuk kesadaran bahwa dirinya tidak ingin mencemari pemilu merupakan sesuatu yang masih ajaib di Indonesia.

Dalam situasi yang demikian, mendobrak oligarki hanya dapat dilakukan oleh para pemilih yang kritis. Sepertinya harapan untuk mereformasi partai politik masih terbuka. Pemilu adalah ajang untuk mengevaluasi partai politik beserta calon legislatornya. Hancurnya suara dari para partai politik besar dalam berbagai pilkada sedikit banyak menunjukkan bahwa partai politik bermasalah akan kembali diberi pelajaran dalam Pemilu 2009. *

Adnan Topan Husodo
Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW

Tulisan disalin dari Koran Tempo, 22 Oktober 2008

Sunday, October 19, 2008

Menyelesaikan Agenda Reformasi Bisnis TNI

Sudah banyak tulisan atau penelitian yang secara khusus mengupas soal keterkaitan langsung antara peran ekonomi militer dengan berbagai tindak kejahatan, kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan yang berujung pada bentuk pelanggaran HAM. Hampir semua kesimpulan kajian tersebut sepakat bahwa peran ekonomi militer, yang secara lebih khusus didefinisikan sebagai bisnis militer harus dilepaskan dari peran kelembagaan militer untuk mendorong semakin profesionalnya militer dalam memposisikan dirinya sebagai alat negara, bukan aktor ekonomi.

Selama ini, alasan klasik yang memberikan justifikasi atas praktek bisnis militer adalah untuk memenuhi kesejahteraan prajurit. Hal ini dikarenakan anggaran negara (APBN) tidak dapat menopang secara keseluruhan kebutuhan itu.

Namun dalam perjalanannya, alasan tersebut ditunggangi oleh berbagai kepentingan individual perwira dan jenderal TNI yang sangat diuntungkan dengan berbagai fasilitas, pendanaan yang melimpah dan posisi yang prestis sehingga usaha untuk mendorong adanya reformasi bisnis militer terkendala oleh berbagai rintangan internal. Jurang kesejahteraan yang lebar antara perwira dengan prajurit kian menegaskan hal itu.

Catatan dari penelitian dan analisis terhadap beberapa dugaan kasus korupsi yang dilakukan ICW pada kurun 2003 dan 2004 juga menemukan berbagai bentuk penyimpangan dalam praktek bisnis militer. Mulai dari penggunaan yang semena-mena dana yayasan untuk kepentingan pribadi (korupsi) dan adanya fasilitas khusus yang diberikan oleh perusahaan kepada perwira TNI yang kesemuanya berujung pada usaha memupuk kekayaan pribadi. Tak heran jika para perwira TNI hidup dalam kemewahan.

Jika selama ini bentuk bisnis militer dibagi kedalam tiga jenis, yang saat ini menjadi konsenterasi pemerintah untuk diselesaikan adalah bisnis formal militer yang mewujudkan dirinya dalam bentuk yayasan.

Sementara untuk jenis kedua bentuk bisnis lainnya, yakni bisnis mantan perwira dan perwira TNI serta bisnis abu-abu TNI selama ini tidak menjadi objek yang telah dijangkau oleh UU No 34 tahun 2004 tentang TNI. Padahal kemungkinan besar, yang selama ini melahirkan berbagai bentuk pelanggaran HAM adalah ekses dari praktek bisnis militer yang abu-abu atau illegal.

Paling kurang ada empat implikasi buruk jika praktek bisnis illegal TNI tidak diperangi. Pertama, lahirnya privatisasi rasa aman terhadap siapapun yang tinggal di Indonesia. Ketika TNI, kesatuan TNI atau anggota TNI telah menjadikan rasa aman sebagai komoditas, maka akan sangat sulit bagi warga negara untuk mendapatkan rasa aman secara cuma-cuma dari negara. Padahal tanggungjawab kelembagaan TNI sebagai alat negara adalah memberikan perasaan aman kepada siapapun tanpa ada pungutan biaya.

Kita tentu masih ingat skandal Freeport yang telah memberikan sejumlah US$ 4,7 juta pada tahun 2001 dan US$ 5,6 juta pada tahun 2002 kepada pemerintah Indonesia cq TNI dan Polri untuk membayar jasa keamanan di Papua.

Yang mengkhawatirkan, uang itu dibayarkan kepada Jenderal Mahadi Simbolon secara teratur dan secara pribadi, bukan kepada perwakilan pemerintah Indonesia (Laporan Global Witness Tahun 2005). Pertanyaannya, sejak kapan dan atas dasar apa Jenderal Mahadi Simbolon mewakili Pemerintah Indonesia menerima 'bantuan' dari PT Freeport?

Kedua, jatuhnya TNI sebagai institusi yang melindungi praktek-praktek kejahatan seperti pelacuran, narkotika, pembalakan liar dan lain sebagainya. Secara lebih ekstrem, anggota TNI juga kemudian dapat terlibat secara langsung sebagai aktor kejahatan yang sempurna. Di satu sisi mereka memiliki legitimasi untuk menggunakan kekerasan, di sisi lain mereka memberikan proteksi terhadap pelaku kejahatan atau bekerjasama dengan pelaku kejahatan.

Ketiga, praktek illegal dalam bisnis TNI telah membuat kontrol publik atas kebijakan TNI sangat lemah. Jika sebuah negara yang demokratis memiliki asumsi kekuasaan sipil sebagai pemegang kekuasaan, maka dalam konteks negara demokrasi seperti Indonesia, representasi sipil dalam melakukan kontrol atas kebijakan TNI menjadi sangat minim karena TNI bisa mengupayakan sumber-sumber pembiayaan lain yang tidak dapat dijangkau oleh DPR lembaga politik maupun BPK sebagai auditor.

Keempat, terjadinya pergesekan yang termanifestasikan dalam bentuk konflik langsung antar aparat penegak hukum (TNI versus Polri). Eskalasi konflik dalam kurun waktu terakhir kian meningkat. Sebagian besar konflik itu dipicu oleh masalah yang ringan, akan tetapi jika kita gali lebih jauh, masalahnya adalah pada adanya klaim atas wilayah kekuasaan masing-masing satuan yang ujung-ujungnya adalah wilayah proteksi dan sumber setoran.

Bicara mengenai kontrol atas anggaran militer tidak semata-mata bicara mengenai berapa nilai atau jumlah yang bisa disediakan dan berapa yang digunakan. Akan tetapi juga berkaitan erat dengan output dan outcomes yang akan dicapai dari struktur pembiayaan yang ada. Dengan demikian, bicara mengenai kontrol anggaran TNI juga berarti berbicara mengenai bagaimana kekuasaan sipil dapat mengendalikan setiap kebijakan, strategi, arah dan operasi TNI secara kelembagaan.

Titik rawan bisnis militer justru ada pada wilayah abu-abu yang ilegal. Disamping telah meruntuhkan moralitas keprajuritan dan etika politik dalam pelaksanaan fungsi hankam TNI, praktek bisnis ilegal telah membuat eskalasi konflik yang kian meningkat antara TNI dan Polri. Meningkatnya tindak kejahatan dan berbagai konflik/ketakutan dapat dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dari dampak bisnis ilegal TNI selama ini.

Oleh karena itu, tidaklah cukup meletakan agenda reformasi bisnis TNI semata-mata pada wilayah bisnis formal sebagaimana perintah UU No 34 Tahun 2004. Menyelesaikan reformasi bisnis formal TNI adalah keharusan karena merupakan bagian dari mandat UU, akan tetapi jalan terjal menuju TNI yang profesional akan tetap dihadapi jika bisnis illegal TNI (yang sampai sekarang tidak pernah diakui oleh TNI secara kelembagaan) bukan menjadi agenda prioritas Pemerintah dan parlemen. Karena menghentikan praktek bisnis illegal TNI akan sangat strategis dalam mengembalikan supremasi otoritas sipil dalam mengendalikan sepak terjang TNI sebagai alat negara.

****

Oleh: Adnan Topan Husodo
Anggota Badan Pekerja ICW

Tulisan dimuat pada harian Seputar Indonesia, Sabtu, 18 Oktober 2008

Tuesday, October 07, 2008

Kekuasaan Parlemen yang Tergadai

Tercatat hingga kini puluhan anggota DPR RI dari berbagai komisi telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga terlibat korupsi. Beberapa di antaranya bahkan tertangkap tangan saat menerima suap dari pihak ketiga. Jumlah ini sangat mungkin akan bertambah mengingat kasus dugaan suap yang menimpa Komisi IX DPR terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior BI kian terkuak. Terlebih setelah PPATK menyampaikan informasi mengenai 400 cek pelawat yang telah dicairkan oleh 41 anggota DPR, baik dicairkan sendiri maupun melalui pihak lain.

Dugaan kasus demi kasus korupsi yang menerpa lembaga perwakilan rakyat ini kian menegaskan hasil survei Transparansi Internasional Indonesia (TII) yang dalam waktu dua tahun (2006-2007) telah menyimpulkan DPR sebagai lembaga negara terkorup. Pada awalnya, politisi Senayan gerah dengan peringkat korupsi yang disematkan TII. Namun, suara sinis dari para anggota Dewan terhadap hasil penelitian itu pada akhirnya tak terdengar sama sekali, karena sepak terjang KPK yang telah menetapkan beberapa anggota dewan sebagai tersangka korupsi.

Modus

Sejak jatuhnya Orde Baru, Indonesia berada pada rezim kekuasaan sipil yang terbelah. Otoritas sipil tidak lagi berada pada kekuasaan terpusat yang dipersonifikasi dalam diri Soeharto, tetapi menyebar ke berbagai partai politik yang mendapatkan kursi kekuasaan di Senayan.

Dalam struktur kekuasaan politik yang telah terfragmentasi, dalam pengertian menyebar ke berbagai pusat-pusat kekuasaan baru, maka perburuan proteksi, konsesi, dan keistimewaan dari berbagai kelompok kepentingan tidak lagi dilakukan dengan model penukaran loyalitas kepada kekuasaan tunggal. Hal itu hanya bisa diperoleh melalui transaksi atau deal dengan seluruh kelompok kekuasaan yang, dalam konteks DPR, berada di masing-masing fraksi sebagai representasi partai politik.

Hal inilah yang kita lihat dalam kasus skandal korupsi Bank Indonesia. Dalam pengakuan tersangka Hamka Yandhu, semua anggota DPR dari Komisi IX periode 1999-2004 mendapat cipratan dana haram BI. Tidak hanya itu, besarnya jumlah dana yang diterima oleh anggota Komisi IX juga bervariasi, mulai dari Rp 250 juta hingga Rp 1 miliar.

Demikian pula halnya dengan kasus dugaan suap dalam pengalihan hutan lindung di Bintan yang melibatkan Al Amin Nasution sebagai tersangka. Kasus sejenis yang tengah ditangani KPK juga telah menyeret Yusuf Emir Faisal, mantan Ketua Komisi IV DPR RI sebagai tersangka. Dalam pengakuan Azirwan, Sekda Bintan yang juga telah menjadi tersangka, uang suap sudah diberikan secara bertahap kepada DPR, dan bersumber dari calon investor.

Dari penjelasan singkat dua kasus tersebut, kita dapat menarik beberapa kesimpulan awal. Pertama, kasus dugaan suap yang tengah dibongkar KPK bukan hanya melibatkan pelaku yang sifatnya individual, tetapi sudah melibatkan komisi secara kelembagaan. Hal di atas sangat masuk akal, karena untuk mendapatkan keputusan, rekomendasi dan berbagai macam kebijakan yang dikeluarkan oleh suatu komisi di DPR, sangat mustahil dilakukan hanya dengan menyuap satu orang. Seorang Hamka Yandhu, misalnya, tidak akan pernah bisa mengeluarkan keputusan yang mewakili Komisi IX DPR RI jika tidak mendapatkan persetujuan dari sebagian besar atau semua anggota Komisi.

Kedua, ditetapkannya sebagian kecil anggota DPR sebagai tersangka oleh KPK memang membuat tanda tanya besar. Publik pastinya berharap jika semua anggota Dewan yang terlibat juga diproses secara hukum oleh KPK. Pertanyaannya, mengapa KPK, misalnya, baru menetapkan beberapa tersangka saja, padahal semua anggota Komisi memperoleh bagian suap?

Penjelasan tentang ini sebenarnya mudah. Dalam konteks korupsi di DPR selalu ada satu atau dua orang yang menjadi pelaku lapangan yang berinteraksi langsung dengan pihak ketiga yang memiliki kepentingan dengan komisi di DPR. Bisa dikatakan, Hamka Yandhu dan Anthony Zedra Abidin merupakan penghubung Komisi IX dengan BI, sementara Al Amin Nasution adalah penghubung Komisi IV dengan Pemda Bintan.

Karena interaksi langsung antara pelaku lapangan dan pihak ketiga, maka ketika sebuah skandal suap terungkap, yang pasti akan muncul pertama kali sebagai tersangka adalah mereka. Sementara yang lain lambat laun akan muncul, sebagaimana kita lihat dalam pengakuan Hamka Yandhu kemudian.

Ketiga, skandal suap DPR merupakan praktek kejahatan yang terorganisir. Di dalamnya terdapat struktur, hierarki, dan mekanime yang rapi sehingga akan selalu rumit untuk membongkarnya jika tidak menggunakan pendekatan sebagaimana dilakukan KPK, atau pengakuan dari orang dalam, sebagaimana Agus Condro Prayitno telah lakukan. Sebagaimana kejahatan mafia, dalam praktek korupsi DPR, terdapat pemimpin kejahatan yang perannya adalah mengkoordinasi, menentukan, memerintah dan membagi hasil kejahatan tersebut.

Dalam pengakuan Hamka Yanhu, uang suap dari BI telah dibagikan ke semua anggota Komisi IX DPR dengan jumlah variatif. Dengan demikian, dapat ditebak jika yang mendapatkan jatah paling besar adalah pemimpin rombongan atau aktor utamanya. Tampaknya KPK belum menjangkau sampai ke sana, tetapi dari gelagat yang ada, aktor utama kejahatan suap di DPR adalah incaran utama KPK.

Satu pertanyaan yang kini tersisa, apakah praktek semacam ini juga terjadi di semua komisi di DPR? Jawabannya sangat mungkin. Alasannya sederhana, semua komisi di DPR memiliki kekuasaan dan kewenangan yang sama. Perbedaannya hanya pada kapasitas atau kemampuan finansial mitra kerja mereka yang beragam, yang juga mempengaruhi besaran suap yang diterima masing-masing anggota Komisi. Jika memang faktanya demikian, lantas apa bedanya wakil rakyat dengan gerombolan perampok? *

Oleh: Adnan Topan Husodo
Disalin dari koran Tempo, 7 Oktober 2008

Thursday, September 18, 2008

Baiat Antikorupsi Versus Tabiat Korupsi

Hari-hari belakangan ini ramai diberitakan baiat antikorupsi calon legislatif (caleg) oleh beberapa partai politik (parpol) peserta pemilu.Ritual politik berupa ikrar antikorupsi caleg hendak menyampaikan pesan bahwa kader partai politik yang akan menjadi anggota legislatif disumpah dan bersumpah tidak akan melakukan praktek korupsi pada saat mereka menjabat.


Baiat antikorupsi semacam ini sepertinya menjadi lebih relevan dalam konteks banyaknya anggota legislatif yang diproses secara hukum oleh KPK, kejaksaan dan kepolisian karena diduga kuat terlibat korupsi. Atas berbagai inisiatif untuk mendorong agar tercipta sebuah keadaan yang bebas dari praktek korupsi, tentu siapa pun wajib mendukung secara penuh. Justru akan terasa aneh jika ada pihak yang tidak menerima baiat antikorupsi caleg sebagai tradisi baru yang harus ditumbuhkembangkan.

Walau demikian,tidak serta-merta baiat antikorupsi caleg dapat diterima sebagai sebuah jaminan bahwa kelak ketika para caleg itu terpilih sebagai anggota Dewan, mereka tidak melakukan korupsi. Apalagi baiat antikorupsi ini dilakukan pada saat menjelang pemilu. Dengan begitu, kesan kampanyenya menjadi lebih menonjol. Sulit untuk tidak menilai bahwa kontrak politik antikorupsi itu berkaitan langsung dengan praktik kampanye mengingat prasyarat untuk mewujudkannya tidak disiapkan dengan baik.

Prasyarat yang dimaksud adalah reformasi di internal parpol yang menjadi ”rumah” bagi para caleg. Bagaimana mungkin seorang caleg yang telah berikrar antikorupsi dapat kita percaya jika dalam memperoleh posisinya sebagai caleg jadi, dia harus menyetorkan sejumlah uang ke kas partai atau ke elite partai?

*** Relasi caleg dengan partai politik adalah relasi dominatif, dalam arti bahwa perangai atau kebiasaan caleg ketika menjabat sebagai politisi atau pejabat publik sangat ditentukan oleh kebijakan di tingkat internal partai politik.

Untuk menggambarkannya, coba kita longok sebentar kasus Agus Condro yang segera dipecat PDIP karena mengaku telah menerima cek perjalanan beberapa lama seusai pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Di satu sisi, pemecatan itu sepertinya ingin menciptakan sebuah persepsi di mata publik bahwa PDIP antipraktik suap; sehingga ketika Agus Condro sebagai kader PDIP mengaku telah menerima uang, langkah cepat yang diambil partai adalah memecatnya.

Barangkali hal ini akan terlihat sungguh-sungguh andaikata kader PDIP lain yang disebut-sebut oleh Agus juga menerima cek perjalanan diproses secara internal oleh partai. Akan tetapi,karena yang disebut oleh Agus Condro adalah para elite partai, sementara Agus adalah kader biasa, maka kebijakan partai atas para kader yang terlibat korupsi menjadi sangat tidak konsisten.

Walhasil Agus dipecat,sementara kader lain yang disebut Agus juga menerima cek perjalanan justru menjadi caleg jadi untuk Pemilu 2009. Gambaran di atas sekaligus menjelaskan bahwa dalam pengambilan keputusan, parpol masih sangat dikuasai oleh segelintir elite partai (oligarkis). Dominasi elite parpol dalam pengambilan keputusan juga dapat dilihat dari penentuan nomor jadi caleg.

Saat ini sudah muncul beberapa pengakuan dan berkembang konflik internal di tubuh parpol peserta pemilu karena isu adanya jual beli kursi dalam penentuan nomor urut caleg. Pertanyaannya kemudian, jika untuk mendapatkan nomor jadi,caleg harus menyetorkan sejumlah dana ke parpol,apakah saat mereka menjabat sebagai anggota legislatif, mereka masih ingat dengan baiat antikorupsi yang sudah diikrarkan pada saat pemilu? Baiat antikorupsi di tengah tabiat korupsi yang tumbuh subur di tubuh parpol menciptakan sebuah ironi.

Bahwa kontrak politik itu eksis, sebagai bentuk pengucapan atau penandatanganan ikrar adalah benar adanya.Akan tetapi secara bersamaan, parpol dan para kadernya banyak terlibat kasus korupsi adalah hal lain yang tidak bisa diabaikan. Karena itu, jika parpol ingin agar baiat antikorupsi itu dipercaya oleh publik sebagai langkah awal untuk tidak melakukan korupsi di masa depan, parpol juga harus menunjukkan perubahan fundamental di internal organisasinya.

Pasalnya, antara praktek korupsi anggota legislatif dengan masalah ideologi antikorupsi di parpol memiliki hubungan yang jelas.Dalam arti, jika parpol tidak memiliki platform antikorupsi yang kuat, sulit untuk meyakini bahwa para kadernya di legislatif akan memiliki semangat yang sama. Demikian sebaliknya, jika parpol sadar bahwa gerakan antikorupsi harus dimulai dari dalam parpol, maka secara otomatis hal itu akan dikembangkan oleh para kadernya, baik yang berada di parlemen maupun pada jabatan-jabatan publik lain. Singkatnya, barang yang busuk itu pasti lahir dari proses yang busuk dan barang yang baik akan lahir dari proses yang baik juga.

*** Lantas, bagaimana kita dapat mengukur bahwa parpol telah melakukan perubahan fundamental dalam dirinya,sehingga baiat antikorupsi tidak jatuh pada pencitraan semata? Ada dua ukuran sederhana yang bisa digunakan untuk menilai semangat antikorupsi di tubuh parpol. Pertama, apakah parpol peserta pemilu bersikap tegas untuk tidak mencalonkan sebagai caleg terhadap para politisi yang sedang terlibat dalam kasus korupsi.

Dalam perhitungan dan penelurusan ICW, masih banyak calon legislatif yang bermasalah atau diduga terlibat kasus korupsi pada saat menjabat sebagai anggota legislatif tapi justru bertengger di posisi nomor jadi. Kedua,komitmen parpol terhadap gerakan antikorupsi seharusnya ditunjukkan oleh peserta pemilu dengan membuka akses informasi terhadap laporan dana kampanye sebagai wujud adanya transparansi dan akuntabilitas dana kampanye para peserta pemilu.

Bagaimanapun, kita harus ingat bahwa korupsi yang dilakukan oleh kader tak luput dari tuntutan untuk memberikan setoran kepada parpol. Jika kedua hal di atas tidak menjadi bagian dari kebijakan internal parpol, maka sangat mungkin baiat antikorupsi akan digerus oleh tabiat korupsi para politikus.(*)

Adnan Topan Husodo
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch

Disalin dari Koran Seputar Indonesia, 19 September 2008

Thursday, September 04, 2008

Skandal DPR-Bank Indonesia Jilid II

Secara mengejutkan, salah satu mantan anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat RI periode 1999-2004, Agus Condro, mengaku telah menerima traveler’s cheque senilai Rp 500 juta. Menurut pengakuannya, uang itu diberikan berkaitan dengan pemilihan Deputi Gubernur Senior BI pada 2004.

Menurut dia lagi, tak hanya dia yang menerima “hadiah” itu, koleganya yang lain di PDI Perjuangan juga telah memperoleh hal yang sama. Secara blak-blakan Agus bahkan menyebut nama tujuh orang anggota DPR RI dari Fraksi PDIP, semisal Dudi Murod, Max Muin, Emir Moeis, dan lain-lain. Nama-nama ini juga yang disebut oleh Hamka Yandhu sebagai penerima dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) dalam kasus suap Bank Indonesia senilai Rp 100 miliar.

Pengakuan Agus Condro tak bisa dikatakan main-main. Sulit juga untuk tidak mempercayainya. Pasalnya, jika tidak benar, Agus bisa terkena pasal pencemaran nama baik, melakukan kebohongan kepada publik, dan reputasinya sebagai pejabat publik akan sangat tercoreng. Alasan lain, traveler’s cheque senilai Rp 500 juta itu menurut pengakuannya telah dicairkan, dan uang itu telah ia pakai membeli dua buah mobil.

Pada perkembangannya, bukan hanya Agus yang secara pribadi telah memberikan testimoni atas pemberian uang tersebut. Belakangan, Hakam Naja, salah satu anggota DPR RI dari Partai Amanat Nasional, juga mengakui dirinya pernah dihubungi oleh utusan Miranda Goeltom yang menawarinya uang yang sama. Adanya PAN di luar PDIP yang mengakui adanya upaya suap tersebut telah menandaskan bahwa pemberian traveler’s cheque sangat mungkin diterima oleh fraksi besar lain di Komisi IX. Sangat tidak mungkin seorang Deputi Gubernur Senior BI terpilih dengan suara mayoritas jika tidak didukung oleh fraksi dominan di Komisi IX.

Informasi awal
Apa yang telah disampaikan oleh Agus Condro dan Hakam Naja harus dijadikan sebagai informasi yang berharga bagi KPK untuk membongkar kemungkinan skandal suap Bank Indonesia jilid II. Sebagaimana kita tahu, skandal suap di DPR sangat sulit dibongkar oleh aparat penegak hukum jika tidak diungkap sendiri oleh orang dalam atau anggota DPR sendiri. Karena itu, KPK kerap menggunakan pelaporan gratifikasi dari anggota DPR untuk membongkar skandal suap di lembaga terhormat tersebut, sebagaimana dalam kasus suap pengalihan fungsi hutan lindung.

Jika pun kemudian Agus Condro dalam faktanya turut menerima dana itu, posisinya tidak bisa lagi disejajarkan dengan anggota DPR lainnya yang tidak mau mengakui telah menerima dana tersebut. Dalam bahasa lain, posisi Agus adalah pelaku minor, yakni pelaku tindak pidana korupsi yang telah membantu aparat penegak hukum dalam membongkar skandal suap secara lebih menyeluruh. Karena itu, kelak, jika pun Agus harus menghadapi proses hukum, aparat penegak hukum dapat memberikan tuntutan hukuman yang ringan, dan hakim bisa memberikan vonis yang lebih ringan dibandingkan dengan pelaku lain yang tidak mau mengaku telah menerima suap dalam kaitannya dengan pemilihan Deputi Gubernur Senior BI.

Komisi Pemberantasan Korupsi dapat memulai menyelidiki kasus ini dengan mengungkap sumber dana yang dipakai untuk melakukan penyuapan dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior BI. Dalam pengakuan Agus, traveler’s cheque yang diterimanya berasal dari salah satu perbankan swasta besar di Indonesia. Jika asumsinya seluruh anggota DPR yang menerima kertas berharga ini telah mencairkannya, KPK bisa bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan untuk mengungkap dokumen-dokumen yang terkait dengan proses pencairan itu. Identitas pihak yang mencairkan dana tersebut pastilah disimpan oleh pihak bank.

Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), dana yang diduga digunakan Miranda Goeltom untuk menyuap Komisi IX tidak bersumber dari dana Bank Indonesia di YPPI senilai Rp 100 miliar yang kini tengah menjadi kasus korupsi di KPK dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Karena itu, KPK bisa meminta BPK melakukan audit investigatif terhadap dana BI lainnya sebagai upaya proyustisia untuk membuktikan benar-tidaknya hal tersebut. KPK juga perlu mengembangkan kemungkinan adanya pihak ketiga yang telah mensponsori pemilihan Deputi Gubernur Senior BI. Artinya, dana yang digunakan untuk praktek suap di DPR yang terkait langsung dengan pemilihan Deputi Gubernur Senior BI sangat mungkin bersumber dari pihak di luar BI yang memiliki kepentingan langsung dengan kebijakan Deputi Gubernur Senior BI.

Siapa-siapa saja mereka, tentu ini dapat dilacak dari penerbit traveler’s cheque tersebut, siapa yang membeli traveler’s cheque, dan para utusan Miranda Goeltom yang telah menemui anggota Komisi IX.

Dugaan operasi ilegal yang dituduhkan kepada Miranda Goeltom untuk memenangi pemilihan Deputi Gubernur Senior BI memang kecil kemungkinan dilakukan sendiri. Tentunya ada pihak-pihak lain yang disebut oleh Hamka Naja sebagai utusan Miranda yang menjadi penghubung langsung antara kepentingan Miranda dan anggota Komisi IX DPR. Mereka inilah yang harus diungkap oleh KPK karena sumber-sumber inilah yang akan lebih banyak membeberkan kasus suap ini secara lebih gamblang.

Bagaimanapun, political buying dalam pemilihan pejabat publik di DPR menjadi lebih berbahaya jika dalam prakteknya ada pihak ketiga yang menjadi cukong atau sponsor. Pasalnya, pejabat yang terpilih oleh DPR tidak lagi dapat bertindak independen dalam mengambil kebijakan publik yang penting, melainkan akan mengabdi pada kepentingan para cukong yang telah memodali pemilihan itu.

Transaksi jasa ilegal ini tak hanya berdampak negatif terhadap BI sebagai bank sentral yang independen, tapi juga berdampak pada citra BI yang menjadi ujung tombak integritas moneter dan fiskal Indonesia di mata internasional. Jika dunia internasional tidak lagi mempercayai rezim bank sentral di Indonesia, yang seharusnya independen, niscaya kita akan kehilangan momentum untuk mendorong masuknya investasi internasional dan pertumbuhan ekonomi yang lebih menjanjikan.

Oleh: Adnan Topan Husodo
Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW

Disalin dari Koran Tempo, 5 September 2008

Friday, August 29, 2008

Akuntabilitas Pemilu Terancam

Belum lama kampanye pemilu secara resmi berjalan, sudah dapat dipastikan audit Pemilu 2009 yang rencananya dilaksanakan pada April 2009 tidak akan akuntabel.

Bagaimana tidak, Undang-Undang No 10/2008 tentang Pemilu mewajibkan audit laporan dana kampanye bagi seluruh peserta pemilu,baik partai politik (parpol) maupun calon anggota DPD. Lebih lanjut diatur, untuk parpol peserta pemilu audit wajib dilaksanakan pada masing-masing pengurus di tingkat kabupaten/kota, provinsi,dan pusat.

Jika dihitung secara makro, ini artinya terdapat kurang lebih 20.000 entitas laporan dana kampanye peserta pemilu yang harus diaudit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) hanya dalam waktu 30 hari. Hal ini sesuai mandat UU Pemilu, bahwa yang melaksanakan audit terhadap laporan dana kampanye peserta pemilu adalah KAP yang mendapatkan rekomendasi dari Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI).

Secara teknis, akan sangat sulit melakukan audit terhadap seluruh laporan dana kampanye peserta pemilu dengan melihat keterbatasan jumlah auditor dan KAP itu sendiri. Data dari Ikatan Akuntan Publik Indonesia (IAPI) menyebutkan jumlah KAP yang ada di Indonesia hanya sekitar 400 dan di dalamnya terdapat 800-an auditor. Persoalannya menjadi lebih rumit karena jumlah KAP yang terbatas itu tidak menyebar secara merata di seluruh Indonesia.Kurang lebih 60% KAP berdomisili di Pulau Jawa.

Kesenjangan sebaran ini sangat riskan mengingat mandat UU Pemilu menyebutkan bahwa yang harus diaudit adalah seluruh laporan dana kampanye di setiap jenjang kepengurusan parpol, yakni kabupaten/ kota,provinsi,dan pusat. Mau tidak mau, tenaga auditor di KAP yang melakukan audit laporan dana kampanye harus disebar ke berbagai wilayah Indonesia.Konsekuensinya tentu berat, karena biaya untuk melakukan audit menjadi kian bengkak.

Dalam perhitungan kasar IAPI, untuk melakukan audit terhadap 20 ribuan entitas laporan dana kampanye paling kurang dibutuhkan dana Rp1 triliun dari APBN. Di sisi lain, IAI/IAPI sendiri sudah menyatakan keberatannya dengan tugas audit terhadap laporan dana kampanye yang demikian banyak.

Jelas Tidak Mampu

Jika dihitung berdasarkan kemampuan audit terhadap keseluruhan entitas laporan dana kampanye yang akan diperiksa, dengan alokasi waktu hanya 30 hari sebagaimana UU sudah batasi, catatan terakhir IAPI menunjukkan bahwa kemungkinan besar hanya ada sekitar seribu laporan dana kampanye yang bisa dijangkau.

Ini berarti, 19.000 laporan dana kampanye lainnya terancam tidak akan bisa diaudit. Perhitungan di atas merujuk pada ketersediaan jumlah auditor dan KAP,dibagi dengan beban kerja yang harus mereka tunaikan untuk mengaudit laporan keuangan dari para klien lain,di luar laporan dana kampanye yang menjadi kewajiban undangundang.

Barangkali seribu laporan dana kampanye yang bisa diaudit akan menyusut jika pada saatnya nanti tidak semua KAP bersedia melakukan audit terhadap laporan dana kampanye peserta pemilu. Hal terakhir ini memang menjadi kekhawatiran sendiri mengingat KAP tidak memiliki kewajiban untuk melaksanakan audit laporan dana kampanye.

Dengan demikian, bisa jadi banyak KAP yang lantas menolak melakukan audit.Alasannya sederhana, KAP tidak mau dijadikan kambing hitam atas buruknya hasil audit terhadap laporan dana kampanye peserta pemilu. Belajar dari Pemilu 2004, ketika laporan audit dana kampanye para peserta pemilu tidak menemukan indikasi penyimpangan, pihak yang dituduh ”main-main” pertama kali adalah KAP.

Berkaca pada fakta tersebut, sangat mungkin akan muncul berbagai macam implikasi yang buruk dalam pelaksanaan Pemilu 2009,khususnya terkait dengan audit laporan dana kampanye. Pertama, Pemilu 2009 sudah dapat dipastikan catat hukum karena kemungkinan besar tidak semua laporan dana kampanye yang telah menjadi mandat UU Pemilu dapat diaudit oleh KAP.

Dalam situasi seperti ini, kekacauan dalam pelaksanaan pemilu dan hasilnya sangat mungkin akan terjadi. Kedua, tentu saja peserta pemilu tidak ingin ada cacat hukum dalam pelaksanaan Pemilu 2009. Sangat mungkin kemudian terjadi praktik rekayasa terhadap audit laporan dana kampanye. Rekayasa itu bisa dilakukan dengan memalsukan berbagai identitas KAP resmi atau menjamurnya KAP-KAP gadungan yang dapat memfasilitasi pelaksanaan audit laporan dana kampanye secara ilegal.

Ketiga, pelaksanaan audit laporan dana kampanye tidak akan maksimal. Secara minimal, untuk menghindari adanya klaim cacat hukum terhadap Pemilu 2009, audit dana kampanye dilakukan sebatas formalitas.Konsekuensinya, audit yang menjadi instrumen untuk menjamin adanya transparansi dan akuntabilitas terhadap dana kampanye menjadi hilang maknanya.

Indikasinya sudah terlihat saat IAI dan KPU lebih condong untuk mengaudit laporan dana kampanye dengan pendekatan prosedur yang disepakati. Untuk mendapatkan hasil audit yang baik dengan pendekatan prosedur yang disepakati, prasyarat utamanya sangat berat.Yakni adanya kejujuran dari seluruh peserta pemilu untuk melaporkan dan mencatat semua sumbangan dan penggunaan dana kampanye, baik dalam bentuk uang, barang, maupun jasa.

Hal itu karena KAP hanya akan melakukan audit terhadap laporan dana kampanye yang diserahkan oleh peserta pemilu.Karena itu,jika sumbangan atau pengeluaran dana kampanye tidak dicatat dan dilaporkan,maka KAP tidak akan bisa melakukan audit atas keseluruhan dana kampanye yang digunakan. Lebih mengkhawatirkan lagi jika kelemahan-kelemahan di atas akan dimanfaatkan oleh peserta pemilu untuk menggunakan dana kampanye ilegal secara lebih membabi-buta.

Melihat gelagat bahwa dana kampanye akan sulit diaudit secara sungguhsungguh oleh KAP dengan berbagai keterbatasan di atas, sangat mungkin pemilu 2009 dijadikan arena pesta pora bagi para pelaku korupsi, penjahat lingkungan,cukong judi,gembong narkotika, dan sebagainya untuk menggelontorkan uang panas yang mereka miliki untuk memenangi Pemilu 2009.(*)

Adnan Topan Husodo
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch

Tulisan disalin dari Koran Seputar Indonesia, 29 Agustus 2008

Thursday, August 07, 2008

Lawan Tangguh KPK

Secara mengejutkan, Hamka Yandhu, politikus Golkar yang menjadi tersangka kasus korupsi dana BI, memberikan informasi blak-blakan saat dihadirkan sebagai saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pengakuannya, seluruh anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat RI yang membidangi keuangan menerima dana BI dengan jumlah variatif. Dua di antara mereka kini menjadi menteri, yakni Paskah Suzetta, Kepala Bappenas; dan M.S. Kaban, Menteri Kehutanan (Koran Tempo, 29 Juli 2008).

Keterangan yang disampaikan Hamka Yandhu sebenarnya di luar skenario yang selama ini berkembang. Berdasarkan informasi yang saya peroleh dari beberapa sumber, yang awal-awal berencana akan membuka semua pihak yang terlibat dalam kasus BI adalah tersangka Antony Zeidra Abidin. Namun, kini justru Antony lebih banyak diam atau justru membantah beberapa keterangan tersangka lain. Mengenai sebabnya, pastinya hanya Antony sendiri yang tahu.

Pengakuan Hamka Yandhu tentu saja telah mengubah drama kasus dana BI yang tadinya sempat monoton menjadi lebih menarik. Saat ini seluruh fokus perhatian diarahkan pada dua politikus yang menjabat menteri. Tak pelak, tuntutan untuk mengundurkan diri, dinonaktifkan, dan lain sebagainya menjadi bagian terbesar dari wacana mutakhir yang dimunculkan oleh media massa.

Yang agak luput dari sorotan pers adalah bagaimana Hamka Yandhu kemudian dilindungi dari upaya pihak lain untuk membungkam dirinya. Barangkali KPK sudah dapat menjalin kerja sama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam menyiapkan sistem perlindungan yang cukup bagi Hamka supaya skandal kasus BI dapat dibongkar.

Menilik lebih jauh, dugaan kuat keterlibatan seluruh anggota Komisi XI DPR RI sebagaimana pengakuan Hamka Yandhu menyiratkan sebuah fakta bahwa praktek korupsi dana BI telah melibatkan institusi, bukan semata perilaku menyimpang dari satu atau dua anggota DPR. Dikatakan demikian karena latar belakang pemberian uang senilai Rp 31,5 miliar ke Komisi XI DPR periode 1999-2004 oleh pejabat BI terkait langsung dengan keputusan Komisi terhadap permasalahan BLBI yang dihadapi BI, sekaligus persetujuan Komisi atas usul amendemen Undang-Undang BI.

Dalam konteks ini, wewenang Komisi untuk mengeluarkan suatu kebijakan publik telah diperjualbelikan atas nama konstitusi. Merujuk pada kajian akademis mengenai tipologi korupsi, kondisi semacam ini sering disebut sebagai state capture. Dalam state capture (dengan terjemahan bebas penulis), hukum dan peraturan telah dirampas untuk tujuan mendapatkan keuntungan ekonomi dan kekuasaan dengan cara mempengaruhi langsung politikus dan pemerintah melalui suap. Hukum dan peraturan menjadi bertolak belakang dengan apa yang seharusnya. Kelihatannya hukum dan peraturan merupakan produk sah, akan tetapi dibuat untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dan kekuasaan yang bertentangan dengan kepentingan publik (Vesna Pesic, 2007).

Berkaca pada proses hukum kasus BI, ada dua tantangan besar yang menjadi ujian sesungguhnya bagi KPK. Pertama, fakta-fakta hukum di persidangan semakin membentuk gambaran bahwa pelaku suap BI ke Komisi XI DPR RI bukan hanya pihak-pihak yang kini ditetapkan sebagai tersangka, atau telah menjadi terdakwa di Pengadilan Tipikor. Apalagi jika kemudian proses hukum ini dikembangkan untuk mencari mastermind. Pasalnya, dalam setiap kejahatan berkelompok sebagaimana kita lihat dalam kasus BI, pasti ada pelaku utama dan pelaku yang turut bersama-sama melakukan.

Jika kita membaca keterangan Hamka Yandhu lebih lanjut, nilai pembagian uang BI yang jumlahnya tidak sama besar kian memperkuat dugaan adanya pelaku utama, yakni orang yang menyuruh melakukan, menentukan apa-apa saja yang harus dilakukan, sekaligus menentukan berapa rupiah yang diterima oleh masing-masing anggota.

Bukti hingga kini menunjukkan bahwa Paskah Suzetta, Ketua Bappenas, disebut-sebut menerima dengan jumlah paling besar, yakni Rp 1 miliar. Kembali ke analogi gerombolan penjahat, sang ketua gerombolan biasanya akan memperoleh bagian paling besar dari hasil tindak kejahatan mereka. Mengingat pelaku utama dari kasus korupsi dana BI ini kemungkinan besar juga memiliki tameng politik kuat untuk tidak terjerat hukum, KPK perlu melakukan proses hukum secara lebih transparan agar tak berkembang praduga bahwa KPK telah diatur.

Kedua, di luar pelaku korupsi dari kalangan DPR, KPK juga masih memiliki pekerjaan rumah untuk membongkar jaringan korupsi di BI, terutama untuk menemukan siapa yang menjadi aktor utamanya. Merujuk pada surat dakwaan Burhanuddin Abdullah beserta kesaksian dari berbagai pihak yang dihadirkan di Pengadilan Tipikor, kian jelaslah bahwa masih ada konseptor kasus dana BI yang hingga kini belum tersentuh. Sebut satu, misalnya, Aulia Pohan, mantan Dewan Gubernur BI sekaligus mantan Ketua Dewan Pengawas YPPI.

Kesan beratnya KPK melangkah ke penyidikan terhadap para konseptor kasus BI membuat dugaan diarahkan pada posisi pelaku yang merupakan kerabat dekat Istana. Karena itulah, KPK pada saat ini sedang menghadapi lawan tangguh yang ada kemungkinan bisa atau gagal diproses secara hukum karena faktor-faktor tertentu. Kekhawatiran ini ada landasannya. Sejarah pimpinan KPK periode pertama adalah sejarah politik tebang pilih dalam memberantas korupsi. Politik keterwakilan ternyata tak hanya ada dalam domain politik, tapi juga hadir dalam proses hukum korupsi.

Maksudnya, jika pelaku korupsi adalah jamak dan berasal dari satu institusi yang sama, salah satu dari mereka sajalah yang diproses hukum. Pendek kata, asalkan sudah ada pelaku yang diseret ke pengadilan, meskipun tidak semuanya, paling tidak proses hukum telah dilaksanakan. Inilah yang disebut politik keterwakilan. Siapa “korban”-nya? Biasanya mereka yang tidak memiliki handicap politik. Pada akhirnya mereka sulit diposisikan hanya sebagai pelaku, tapi tepat juga disebut sebagai tumbal proses hukum.

Kita tentu tidak ingin hal ini terulang dalam kepemimpinan KPK periode kedua. Upaya KPK memberantas korupsi saat ini bisa dikatakan sangat baik. Sehingga amat disayangkan jika usaha yang telah ditunjukkan harus tercemar karena tidak tuntasnya proses hukum kasus BI. Saya yakin tekanan politik itu pasti ada. Tapi, jika model pengambilan keputusan di KPK adalah melibatkan semua pemimpin KPK, tidak ada hak veto dari orang per orang, kasus dana BI akan bermuara pada diprosesnya para pelaku utama kasus ini.

Di luar masalah di atas, sering muncul pertanyaan, jika 52 anggota Komisi XI DPR RI diproses hukum, apakah tidak akan menyulitkan KPK sendiri? Pada prinsipnya para pelaku korupsi, baik yang menjadi aktor utama maupun yang turut serta melakukan, harus diproses secara hukum tanpa kecuali. Apalagi yang terlibat adalah anggota DPR, bukan pegawai negeri kecil yang bermotif ingin mendapatkan tambahan uang dapur. Ini adalah fenomena state capture yang dampaknya jauh lebih berbahaya daripada korupsi pegawai.

Konsekuensi state capture bukan sekadar menggejalanya rivalitas antarelite yang keji, tapi juga menyebabkan erosi terhadap prospek penegakan hukum dan berkembangnya praktek perampasan hak sosial, karena kesejahteraan hanya bergerak di antara politikus, pengusaha, dan pejabat negara. State capture of corruption juga akan menyebabkan kredibilitas lembaga negara runtuh dan publik tidak akan percaya lagi terhadap usaha setiap lembaga negara untuk turut serta memberantas korupsi. Jika publik sudah tidak percaya terhadap partai politik dan parlemen seperti gejala saat ini, bukankah ini ancaman bagi demokratisasi yang paling nyata?

Karena itu, KPK memang dalam posisi sebagai institusi yang paling diharapkan dapat menggerakkan energi positif bangsa ini. Ketika semua wilayah negara tak luput dari praktek korupsi, KPK dengan wewenang dan independensinya dapat mengambil bagian untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap kerja institusi negara. Dengan menyeret dalang kasus korupsi BI hingga tuntas, KPK disadari atau tidak sedang bertempur dengan lawan (koruptor) sebenarnya. Sanggupkah KPK memenangi pertempuran? Kita semua berharap demikian. *

Adnan Topan Husodo
Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW

Tulisan disalin dari Koran Tempo, Jumat, 8 Agustus 2008

Reformasi Rekrutmen Politik

Hamka Yandhu, tersangka kasus korupsi dana Bank Indonesia (BI), secara mengejutkan memberikan kesaksian berani di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.


Menurutnya, seluruh anggota Komisi XI DPR RI periode 1999-2004 telah menerima dana BI dalam jumlah yang beragam. Dua di antaranya kini menjadi anggota kabinet SBY,yakni Menteri Kehutanan MS Kaban dan Ketua Bappenas Paskah Suzetta. Pengakuan ini dengan sendirinya telah membantah pendapat bahwa pelaku korupsi di DPR adalah oknum.

Nyatanya,dalam proses hukum kasus korupsi dana BI, kian terkuak fakta bahwa permintaan uang kepada mitra kerja DPR merupakan kesepakatan kolegial di komisi, bukan inisiatif orang per orang.Soal yang beroperasi di lapangan adalah satu atau dua orang, posisinya tetap saja mewakili kelompok,bukan dirinya sendiri.

Modus semacam ini juga sama dengan kasus suap alih fungsi hutan lindung Bintan yang melibatkan Yusuf Emir Faishal dan kawan-kawan. Dalam pengakuan Bupati Bintan dan Sekretaris Daerah Bintan di Pengadilan Tipikor, prakarsa dan permintaan uang sebesar Rp 4,5 miliar datang dari Ketua Komisi IV DPR RI.Ancamannya, jika uang tersebut tidak diberikan, alih fungsi hutan lindung akan mengalami hambatan.

Pada akhirnya setelah kasus terungkap, yang diproses secara hukum terlebih dahulu adalah Al Amin Nur Nasution yang diduga kuat adalah operator dari praktik suap. Baru kemudian belakangan diketahui Ketua Komisi IV DPR RI juga sangat berperan dalam kasus ini.

Jika perilaku anggota DPR secara umum tecermin dari kasus korupsi di atas, rasanya publik sulit berharap banyak kepada mereka.Wakil rakyat pada akhirnya sekadar label, tetapi sejatinya mereka adalah perampok berdasi. Senjatanya bukan pistol dan granat sebagaimana pada film laga, tetapi kekuasaan politik yang nyaris absolut.

Tanpa adanya kontrol dan pertanggungjawaban, wewenang mengelola sumber daya publik dengan mudahnya diselewengkan, apalagi di tangan orang-orang yang keliru. Tak mengherankan jika korupsi di DPR menjadi perbuatan yang jamak. Karena itu, memilih wakil rakyat adalah pekerjaan tidak mudah.Pemilih harus benar-benar selektif untuk menentukan siapa yang dapat mewakili aspirasinya di DPR.

Jika kita keliru menentukan pilihan, akan dapat dipastikan selama lima tahun kita hanya dapat mengecam dan memaki wakil rakyat.

Reformasi Sistem

Memilih wakil rakyat adalah ujung pangkalnya. Akan tetapi muaranya ada pada proses rekrutmen calon anggota legislatif (caleg) di lingkup internal partai politik yang sedang berlangsung.

Merujuk pada tahapan pelaksanaan pemilu Komisi Pemilihan Umum (KPU), dijadwalkan pada 14–19 Agustus 2008 KPU akan membuka pendaftaran caleg sementara dari partai politik peserta pemilu. Ini berarti sekarang partai politik peserta pemilu sedang melakukan penjaringan caleg untuk kemudian didaftarkan kepada KPU.

Untuk menghindari tampilnya caleg yang korup,partai politik harus melakukan beberapa perubahan fundamental dalam mekanisme rekrutmen politiknya. Jika sedari awal pemilih sudah dilibatkan dalam menyeleksi caleg yang demikian beragam, kemungkinan lolosnya caleg bermasalah dapat dihindari. Oleh sebab itu,partai politik peserta pemilu perlu mengembangkan mekanisme demokrasi internal mereka.

Caleg, baik pusat maupun daerah, yang saat ini mendaftar melalui partai politik,baik yang berasal dari kader maupun kalangan luar partai,seharusnya diseleksi melalui pendekatan yang lebih transparan,akuntabel,dan demokratis. Ini berarti, siapa yang akan mewakili partai politik sebagai caleg bukan semata-mata ditentukan elite partai dan bukan semata-mata calon yang memiliki dana berlebih.

Elite partai seharusnya juga mendistribusikan kekuasaan tersebut kepada anggota partainya. Pendekatan ini bukan hanya akan mampu mendeteksi caleg bermasalah, tetapi meningkatkan akuntabilitas dan transparansi partai politik terhadap para anggotanya. Dalam konteks ini, anggota partai politik tidak lagi ditempatkan sebatas voters yang pasif,tetapi ikut aktif mendinamisasi pengambilan keputusan internal partai politik.

Di samping itu, partai politik juga dapat meningkatkan early warning systemdengan memublikasikan daftar caleg sementara (DCS) kepada masyarakat luas.Apa yang disebut sebagai uji publik seharusnya menjadi bagian dari proses perekrutan caleg di internal partai politik.Menyediakan kesempatan kepada masyarakat luas untuk memberikan masukan mengenai rekam jejak caleg akan sangat positif dampaknya bagi citra partai politik itu sendiri.

Terakhir, partai politik perlu mengembangkan nilai-nilai etis dalam berpolitik sehingga berbagai dugaan pelanggaran, baik kode etik maupun pidana dapat diputuskan secepatnya. Hal ini terkait dengan ke-mungkinan partai politik masih memberikan peluang bagi para anggota DPR yang tengah menghadapi masalah hukum (korupsi).

Jika partai politik menempatkan asas praduga tak bersalah sebagai dasar mengambil keputusan di mana putusan hukum tetap (incracht) adalah basisnya, sulit mengharapkan adanya perubahan yang lebih progresif. Harus disadari bahwa menegakkan nilai etik dalam politik tidak harus menunggu proses hukum selesai. Penegakan nilai-nilai etik politik memiliki ruang dan dimensi yang berbeda dengan perkara pidana yang sedang melilit kadernya.

Mengembangkan sanksi politik terhadap kadernya yang bermasalah merupakan wilayah otonom partai politik. Jadi,tanpa harus menunggu putusan hukum yang tetap, partai politik seharusnya sudah dapat melakukan penegakan nilai etika politik.(*)

Adnan Topan Husodo
Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW

Tulisan disalin dari Koran Seputar Indonesia, Jumat, 8 Agustus 2008

Tuesday, July 29, 2008

Dana Kampanye di Sarang Penyamun

Cara-cara ilegal untuk memobilisasi dana kampanye menjadi fakta yang tidak dapat dihindari. Melalui korupsi, pemerasan terhadap kalangan pengusaha, meminta kepada BUMN/BUMD, hingga menggunakan dana dari perjudian, narkotika, sampai pembalakan liar, peserta pemilu menggali sumber keuangan politik.

Tetapi, menjerat mereka yang melanggar itu sulit karena minimnya perangkat hukum yang tersedia. Jika pun ada, inisiatif untuk menggunakannya amat sedikit. Akibatnya miris karena pemenang pemilu tidak steril dari penggunaan dana-dana haram.

Persoalannya, menyulap perolehan sumbangan haram menjadi laporan resmi adalah hal yang mudah. Apalagi audit terhadap dana kampanye menggunakan pendekatan prosedur yang disepakati, bukan investigatif audit. Prosedur yang disepakati telah membuat Kantor Akuntan Publik (KAP) pada akhirnya terbentur pada keterbatasan akses dan dokumen.

Hal itu mengingat dalam pendekatan prosedur yang disepakati, KAP hanya dapat melakukan audit terhadap informasi dan data yang disediakan para peserta pemilu. KAP tidak dapat melampaui dari batasan itu.

Di sisi lain, penting bagi KPU untuk menyelamatkan pemilu sehingga tidak cacat hukum. Dengan begitu, audit dana kampanye kerap dilakukan sebatas memenuhi kewajiban formal UU saja.

Modus Kecurangan

***Saat ini kampanye pemilu telah dimulai. Dapat dipastikan, peserta pemilu mulai mengumpulkan dan membelanjakan sumber pendanaan kampanyenya. Pertanyaannya, apakah aktivitas memobilisasi dana kampanye sekaligus kegiatan membelanjakannya dapat dibuat lebih transparan dan akuntabel sehingga sistem yang tersedia dapat mendeteksi adanya pelanggaran terhadap aturan dana kampanye?

Mungkin, kita dapat merujuk kepada beberapa temuan yang diperoleh Indonesia Corruption Watch pada pelaksanaan pemantauan dana kampanye Pemilu 2004. Dari penelurusan ICW pada pelaporan dana kampanye Pemilu 2004, ditemukan beberapa modus operandi pelanggaran dana kampanye, yang pada intinya membuat laporan dana kampanye seolah-olah sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Modus pertama dengan memecah-mecah dana dari satu penyumbang, baik individu maupun badan hukum/swasta, ke berbagai ''joki'' penyumbang untuk menghindari batasan maksimal sumbangan.

Untuk aturan dana kampanye Pemilu 2009, pembatasan jumlah maksimal sumbangan bagi perorangan dan badan hukum/swasta mengalami peningkatan dibandingkan pada Pemilu 2004. Sesuai dengan pasal 134 UU No 10/2008 tentang Pemilu, batas maksimal sumbangan individu adalah Rp 1 miliar, sedangkan bagi badan hukum/swasta mencapai Rp 5 miliar.

Dengan kondisi bahwa partai politik dan kandidat peserta pemilu masih dikuasai segelintir pihak yang memiliki akses pendanaan luas, modus di atas masih mungkin terjadi.

Modus lainnya adalah memecah dana dari satu penyumbang ke berbagai nama penyumbang fiktif untuk menghindari kewajiban pencatatan identitas penyumbang. UU Pemilu 2004 mewajibkan adanya pencatatan terhadap identitas penyumbang yang nilai sumbangannya di atas Rp 5 juta. Dengan mendistribusikan jumlah tertentu sumbangan ke berbagai penyumbang fiktif, maka kewajiban pencatatan identitas penyumbang dapat dihindari.

Untuk Pemilu 2009, meskipun aturan baru telah mewajibkan adanya pencatatan identitas penyumbang tanpa terkecuali, sangat mungkin daftar laporan penyumbang dengan identitas fiktif masih akan banyak ditemukan.

Hal itu mengingat sejak awal para penyumbang dana kampanye tidak ingin diketahui identitasnya. Tujuannya jelas, yakni untuk menghindari kemungkinan diketahuinya sumber bantuan dana kampanye yang sejatinya berasal dari sumber yang dilarang UU.

Modus berikutnya menggunakan rekening liar sebagai penampungan dana kampanye. Meskipun ada kewajiban bagi peserta pemilu untuk memiliki rekening khusus dana kampanye, pada praktiknya mereka dapat membuka rekening liar yang tidak dilaporkan kepada KPU. Teknik ini sulit dideteksi karena pengelola rekening liar adalah tim bayangan yang juga tidak terdaftar secara resmi sebagai tim kampanye di KPU.

Tantangan ke depan yang harus dijawab adalah pemberian sanksi terhadap berbagai pelanggaran terkait dengan aturan dana kampanye bisa ditegakkan. Dengan begitu peserta pemilu yang kedapatan melakukan kecurangan dapat didiskualifikasi sebagai peserta pemilu dan pemenang, terlebih dipidana.

Tiga Pendekatan

Jika dibagi berdasar jenisnya, ada tiga kategori pelanggaran dana kampanye. Pertama, pelanggaran administratif dan pidana pemilu itu sendiri, yakni pelanggaran terhadap ketentuan yang berlaku dalam UU No 10/2008 tentang Pemilu, khususnya yang terkait langsung dengan dana kampanye.

Terhadap peserta pemilu yang melanggar aturan main dana kampanye, pidana pemilu dapat memberikan sanksi cukup berat berupa diskualifikasi sebagai peserta pemilu atau sebagai pemenang.

Pendekatan itu bisa sangat efektif jika Bawaslu dan KPU memiliki kemauan kuat untuk menertibkan dana kampanye liar. Masalah ke depan yang mungkin muncul ialah pada masa kedaluwarsa temuan laporan pelanggaran aturan dana kampanye yang sangat singkat sehingga memperkecil peluang untuk dapat ditindaklanjuti oleh Bawaslu.

Jenis pelanggaran kedua ialah pelanggaran yang ketentuannya di luar UU Pemilu. Yakni pidana pencucian uang. Banyak pihak yang menengarai pemilu merupakan ajang yang tak luput dari pencucian uang. Apalagi peserta pemilu dapat membuka rekening liar yang tidak dilaporkan ke KPU. Kerja sama yang baik KPU dengan PPATK sangat memungkinkan pidana pencucian uang ditemukan dalam penyelenggaraan pemilu.

Terakhir adalah pidana korupsi. Kasus mengalirnya dana DKP ke berbagai tim sukses pasangan capres-cawapres pada Pemilu 2004 mewakili bentuk pidana ini. Sayang, KPK tidak melanjutkan proses hukum terhadap temuan itu sehingga tidak menjadi preseden bagi pemilu selanjutnya.

Ketika ada aliran dana dari sumber-sumber yang dilarang, apalagi dari APBN/APBD atau BUMN/BUMD, maka sebenarnya KPK atau kejaksaan dapat mulai mengusut indikasi tindak pidana korupsinya. Bukan justru mengalihkan isu pidana korupsi kepada masa kedaluwarsa pelanggaran pidana pemilu sehingga seolah-olah terjadi kekosongan hukum.***

Adnan Topan Husodo , koordinator Divisi Korupsi Politik pada Indonesia Corruption Watch (ICW) di Jakarta

Disalin dari Jawapos, 30 Juli 2008

paradoks Asas Keterbukaan Parlemen


Secara mengejutkan, dua momen penting rapat dengar pendapat (RDP) Komisi III DPR RI dengan KPK dan Kejaksaan Agung RI yang terakhir dilakukan secara tertutup. Padahal kedua lembaga mitra kerja Komisi III DPR RI ini sedang memiliki pekerjaan rumah besar. KPK sedang menangani perkara suap yang melibatkan berbagai anggota DPR, sementara Kejaksaan Agung RI setelah kasus suap Ayin-jaksa UTG harus segera melakukan percepatan reformasi internalnya. Bukan hanya itu, karena dari hasil sadapan KPK, diketahui kasus suap ini tidak hanya melibatkan UTG semata, akan tetapi sudah menyeret beberapa nama Jaksa Agung Muda, yang kemudian harus disingkirkan oleh Jaksa Agung, Hendarman Supandji atas desakan publik.

Dengan dua hajatan besar tersebut, seharusnya pertemuan antara Komisi III DPR RI dengan aparat penegak hukum dilakukan secara terbuka. Supaya publik mengetahui sejauh mana perkembangan penanganan perkara suap di parlemen itu diselesaikan KPK, sekaligus seserius apa Kejaksaan Agung telah melakukan langkah-langkah darurat untuk membenahi citranya.

Tak dapat dihindari jika kemudian pertemuan tertutup itu memunculkan banyak spekulasi. Salah satu yang paling mencuat adalah isu intervensi politik DPR terhadap KPK. Kebenaran akan hal ini masih perlu dikonfirmasi, akan tetapi motif Komisi III DPR RI untuk melakukan pertemuan tertutup juga tidak dapat diterima nalar sehat.

Secara teoritis, DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat harus mengembangkan prinsip-prinsip good governance dalam setiap pelaksanaan fungsi dan kewenangannya. Hal ini berarti, DPR harus menerapkan paling tidak tiga hal, yakni prinsip transparansi, prinsip akuntabilitas dan prinsip partisipasi. Ketiga prinsip ini penting untuk diterapkan sebagai mekanisme kontrol publik atas kerja parlemen. Apalagi di satu sisi, DPR baru saja mengesahkan UU Kebebasan Informasi Publik (KIP). Oleh karenanya, menjadi sangat lucu jika pertemuan Komisi III DPR RI dengan aparat penegak hukum justru dilakukan secara tertutup. Bukankah ketertutupan itu adalah awal terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme?

Ketertutupan Komisi III DPR dalam membahas perkembangan pemberantasan korupsi dengan KPK dan Kejaksaan Agung RI menandakan bahwa DPR tidak memiliki respon yang baik terhadap tuntutan transparansi. Seharusnya dalam kondisi dimana DPR sedang babak belur karena mencuatnya berbagai kasus suap yang melibatkan anggotanya, DPR mengambil inisiatif untuk memperbaiki citranya.

Ada beberapa hal yang perlu dicermati dari Rapat Dengar Pendapat antara Komisi III dan KPK yang dilakukan secara tertutup:

Pertama, Komisi III DPR dapat dianggap melakukan perbuatan melawan hukum. Pasal 3 UU 30 Tahun 2002 tentang KPK: "Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun"

Pasal ini menegaskan sifat kewenangan KPK yang independen dan tidak dapat diintervensi pihak manapun, termasuk DPR. Persoalan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan merupakan bagian terpenting dari kewenangan KPK. Artinya, jika Komisi III DPR masuk pada persoalan substansi dan teknis penyidikan, baik pengembangan tersangka atau sejenisnya, maka Komisi III telah melakukan perbuatan yang melanggar independensi KPK. Atau dalam bahasa lain, DPR telah melakukan intervensi. Lain halnya jika KPK mengharapkan adanya dukungan politik dari DPR untuk memberantas korupsi, khususnya yang melibatkan anggota dewan itu sendiri.

Pasal 20 ayat (1) UU KPK menyebutkan: " Komisi Pemberantasan Korupsi bertanggung jawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan."

Pasal ini mengatur secara jelas, pertanggungjawaban KPK hanya dapat dilakukan secara terbuka. Selain dapat dianggap melanggar pasal 3 UU KPK, tindakan Komisi III DPR juga dinilai bertentangan dengan Pasal 20 ayat (1) UU KPK.

Berdasarkan UU KPK tersebut secara jelas dinyatakan bahwa pertanggungjawaban KPK adalah menyampaikan laporannya kepada publik secara terbuka dan bukan semata segelintir anggota Komisi III DPR RI, dalam hal ini adalah Komisi III DPR RI. Karena bagaimanapun, anggota Komisi III DPR tidak dapat disebut sebagai perwakilan rakyat dalam pengertian sesungguhnya. Anggota Komisi III DPR adalah entitas politik yang memiliki kepentingan dan agenda tersendiri yang bisa atau bahkan sering keluar dari konteks kepentingan publik.

Kedua, Tindakan Komisi III DPR bertentangan dengan semangat UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Padahal UU baru saja dihasilkan oleh DPR itu sendiri. UU ini menyebutkan pada prinsipnya setiap informasi bisa diakses publik, kecuali yang bersifat sangat rahasia, seperti: data intelijen, data yang membahayakan keamanan negara, kebijakan moneter, nama dan identias pelapor yang wajib dilindungi, dan data teknis penyelidikan. Jika DPR beralasan bahwa rapat tertutup itu sesuai dengan Tata Tertib DPR, ada kelemahan mendasar dalam nomenklatur ini, yakni tiadanya syarat pengecualian yang secara rinci disebutkan sehingga tidak menimbulkan multitafsir.

Ketiga, alasan mengapa pertemuan dilakukan secara tertutup seperti untuk memahami kinerja lembaga itu lebih mendalam- merupakan alasan yang terkesan dicari-cari dan justru merusak citra DPR dimata publik. Diluar kasus korupsi yang tengah melilit para anggota dewan, Komisi III justru memperkeruh keadaan dengan mengadakan rapat tertutup dengan KPK.

Ada kesan yang timbul bahwa DPR melakukan intervensi terhadap proses penanganan kasus korupsi yang dilakukan oleh KPK. Apalagi KPK sedang aktif menangkap dan memproses beberapa anggota DPR. Hal ini juga dapat menimbulkan kecurigaan dari masyarakat bahwa ada 'main mata' atau 'kongkalingkong' antara KPK dan Komisi III DPR dan dapat menjadi preseden buruk serta mengancam independensi KPK.

Di luar kasus Bulyan Royan, DPR juga menyoroti kasus aliran dana BI yang proses hukumnya belum selesai. Sejak awal tampak bahwa persoalan aktor/pelaku menjadi perhitungan sendiri dalam mengusut sebuah kasus korupsi. Dalam kasus aliran dana BI/YPPI, KPK masih sebatas menjerat lima orang, yakni Burhanudin Abdullah, Oey dan Rusli S dari kalangan BI, serta Hamka Yamdu dan Anthony dari DPR.

Padahal dokumen dan bukti yang ada, serta berbagai fakta yang berkembang dalam pemeriksaan para tersangka menunjukan masih ada aktor lain yang seharusnya ikut diseret KPK. Jika proses hukum tidak beranjak maju, ada kekhawatiran bahwa KPK telah terjebak pada penghukuman terbatas pada aktor-aktor yang tidak memiliki proteksi politik. Padahal konsep penegakan hukum hanya mengenal prinsip imparsialitas.

Oleh karena itu, kedepan pembahasan kebijakan publik yang melibatkan DPR dengan mitra kerjanya harus dilakukan secara terbuka. Parlemen sebagai penyusun UU KPK juga perlu menghormati independensi KPK sebagai lembaga penegak hukum. Sebaliknya, DPR sudah semestinya merubah paradigma dengan mengubah beberapa pasal dalam tata tertib DPR yang mengekang prinsip transparansi dan akuntabilitas publik. Hanya dengan cara-cara diatas DPR dapat dianggap memiliki kemauan politik dalam memberantas korupsi, sekaligus menyokong secara politik agenda pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Bukan justru mengekangnya.

****

Adnan Topan Husodo

Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW