Thursday, September 18, 2008

Baiat Antikorupsi Versus Tabiat Korupsi

Hari-hari belakangan ini ramai diberitakan baiat antikorupsi calon legislatif (caleg) oleh beberapa partai politik (parpol) peserta pemilu.Ritual politik berupa ikrar antikorupsi caleg hendak menyampaikan pesan bahwa kader partai politik yang akan menjadi anggota legislatif disumpah dan bersumpah tidak akan melakukan praktek korupsi pada saat mereka menjabat.


Baiat antikorupsi semacam ini sepertinya menjadi lebih relevan dalam konteks banyaknya anggota legislatif yang diproses secara hukum oleh KPK, kejaksaan dan kepolisian karena diduga kuat terlibat korupsi. Atas berbagai inisiatif untuk mendorong agar tercipta sebuah keadaan yang bebas dari praktek korupsi, tentu siapa pun wajib mendukung secara penuh. Justru akan terasa aneh jika ada pihak yang tidak menerima baiat antikorupsi caleg sebagai tradisi baru yang harus ditumbuhkembangkan.

Walau demikian,tidak serta-merta baiat antikorupsi caleg dapat diterima sebagai sebuah jaminan bahwa kelak ketika para caleg itu terpilih sebagai anggota Dewan, mereka tidak melakukan korupsi. Apalagi baiat antikorupsi ini dilakukan pada saat menjelang pemilu. Dengan begitu, kesan kampanyenya menjadi lebih menonjol. Sulit untuk tidak menilai bahwa kontrak politik antikorupsi itu berkaitan langsung dengan praktik kampanye mengingat prasyarat untuk mewujudkannya tidak disiapkan dengan baik.

Prasyarat yang dimaksud adalah reformasi di internal parpol yang menjadi ”rumah” bagi para caleg. Bagaimana mungkin seorang caleg yang telah berikrar antikorupsi dapat kita percaya jika dalam memperoleh posisinya sebagai caleg jadi, dia harus menyetorkan sejumlah uang ke kas partai atau ke elite partai?

*** Relasi caleg dengan partai politik adalah relasi dominatif, dalam arti bahwa perangai atau kebiasaan caleg ketika menjabat sebagai politisi atau pejabat publik sangat ditentukan oleh kebijakan di tingkat internal partai politik.

Untuk menggambarkannya, coba kita longok sebentar kasus Agus Condro yang segera dipecat PDIP karena mengaku telah menerima cek perjalanan beberapa lama seusai pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Di satu sisi, pemecatan itu sepertinya ingin menciptakan sebuah persepsi di mata publik bahwa PDIP antipraktik suap; sehingga ketika Agus Condro sebagai kader PDIP mengaku telah menerima uang, langkah cepat yang diambil partai adalah memecatnya.

Barangkali hal ini akan terlihat sungguh-sungguh andaikata kader PDIP lain yang disebut-sebut oleh Agus juga menerima cek perjalanan diproses secara internal oleh partai. Akan tetapi,karena yang disebut oleh Agus Condro adalah para elite partai, sementara Agus adalah kader biasa, maka kebijakan partai atas para kader yang terlibat korupsi menjadi sangat tidak konsisten.

Walhasil Agus dipecat,sementara kader lain yang disebut Agus juga menerima cek perjalanan justru menjadi caleg jadi untuk Pemilu 2009. Gambaran di atas sekaligus menjelaskan bahwa dalam pengambilan keputusan, parpol masih sangat dikuasai oleh segelintir elite partai (oligarkis). Dominasi elite parpol dalam pengambilan keputusan juga dapat dilihat dari penentuan nomor jadi caleg.

Saat ini sudah muncul beberapa pengakuan dan berkembang konflik internal di tubuh parpol peserta pemilu karena isu adanya jual beli kursi dalam penentuan nomor urut caleg. Pertanyaannya kemudian, jika untuk mendapatkan nomor jadi,caleg harus menyetorkan sejumlah dana ke parpol,apakah saat mereka menjabat sebagai anggota legislatif, mereka masih ingat dengan baiat antikorupsi yang sudah diikrarkan pada saat pemilu? Baiat antikorupsi di tengah tabiat korupsi yang tumbuh subur di tubuh parpol menciptakan sebuah ironi.

Bahwa kontrak politik itu eksis, sebagai bentuk pengucapan atau penandatanganan ikrar adalah benar adanya.Akan tetapi secara bersamaan, parpol dan para kadernya banyak terlibat kasus korupsi adalah hal lain yang tidak bisa diabaikan. Karena itu, jika parpol ingin agar baiat antikorupsi itu dipercaya oleh publik sebagai langkah awal untuk tidak melakukan korupsi di masa depan, parpol juga harus menunjukkan perubahan fundamental di internal organisasinya.

Pasalnya, antara praktek korupsi anggota legislatif dengan masalah ideologi antikorupsi di parpol memiliki hubungan yang jelas.Dalam arti, jika parpol tidak memiliki platform antikorupsi yang kuat, sulit untuk meyakini bahwa para kadernya di legislatif akan memiliki semangat yang sama. Demikian sebaliknya, jika parpol sadar bahwa gerakan antikorupsi harus dimulai dari dalam parpol, maka secara otomatis hal itu akan dikembangkan oleh para kadernya, baik yang berada di parlemen maupun pada jabatan-jabatan publik lain. Singkatnya, barang yang busuk itu pasti lahir dari proses yang busuk dan barang yang baik akan lahir dari proses yang baik juga.

*** Lantas, bagaimana kita dapat mengukur bahwa parpol telah melakukan perubahan fundamental dalam dirinya,sehingga baiat antikorupsi tidak jatuh pada pencitraan semata? Ada dua ukuran sederhana yang bisa digunakan untuk menilai semangat antikorupsi di tubuh parpol. Pertama, apakah parpol peserta pemilu bersikap tegas untuk tidak mencalonkan sebagai caleg terhadap para politisi yang sedang terlibat dalam kasus korupsi.

Dalam perhitungan dan penelurusan ICW, masih banyak calon legislatif yang bermasalah atau diduga terlibat kasus korupsi pada saat menjabat sebagai anggota legislatif tapi justru bertengger di posisi nomor jadi. Kedua,komitmen parpol terhadap gerakan antikorupsi seharusnya ditunjukkan oleh peserta pemilu dengan membuka akses informasi terhadap laporan dana kampanye sebagai wujud adanya transparansi dan akuntabilitas dana kampanye para peserta pemilu.

Bagaimanapun, kita harus ingat bahwa korupsi yang dilakukan oleh kader tak luput dari tuntutan untuk memberikan setoran kepada parpol. Jika kedua hal di atas tidak menjadi bagian dari kebijakan internal parpol, maka sangat mungkin baiat antikorupsi akan digerus oleh tabiat korupsi para politikus.(*)

Adnan Topan Husodo
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch

Disalin dari Koran Seputar Indonesia, 19 September 2008

Thursday, September 04, 2008

Skandal DPR-Bank Indonesia Jilid II

Secara mengejutkan, salah satu mantan anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat RI periode 1999-2004, Agus Condro, mengaku telah menerima traveler’s cheque senilai Rp 500 juta. Menurut pengakuannya, uang itu diberikan berkaitan dengan pemilihan Deputi Gubernur Senior BI pada 2004.

Menurut dia lagi, tak hanya dia yang menerima “hadiah” itu, koleganya yang lain di PDI Perjuangan juga telah memperoleh hal yang sama. Secara blak-blakan Agus bahkan menyebut nama tujuh orang anggota DPR RI dari Fraksi PDIP, semisal Dudi Murod, Max Muin, Emir Moeis, dan lain-lain. Nama-nama ini juga yang disebut oleh Hamka Yandhu sebagai penerima dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) dalam kasus suap Bank Indonesia senilai Rp 100 miliar.

Pengakuan Agus Condro tak bisa dikatakan main-main. Sulit juga untuk tidak mempercayainya. Pasalnya, jika tidak benar, Agus bisa terkena pasal pencemaran nama baik, melakukan kebohongan kepada publik, dan reputasinya sebagai pejabat publik akan sangat tercoreng. Alasan lain, traveler’s cheque senilai Rp 500 juta itu menurut pengakuannya telah dicairkan, dan uang itu telah ia pakai membeli dua buah mobil.

Pada perkembangannya, bukan hanya Agus yang secara pribadi telah memberikan testimoni atas pemberian uang tersebut. Belakangan, Hakam Naja, salah satu anggota DPR RI dari Partai Amanat Nasional, juga mengakui dirinya pernah dihubungi oleh utusan Miranda Goeltom yang menawarinya uang yang sama. Adanya PAN di luar PDIP yang mengakui adanya upaya suap tersebut telah menandaskan bahwa pemberian traveler’s cheque sangat mungkin diterima oleh fraksi besar lain di Komisi IX. Sangat tidak mungkin seorang Deputi Gubernur Senior BI terpilih dengan suara mayoritas jika tidak didukung oleh fraksi dominan di Komisi IX.

Informasi awal
Apa yang telah disampaikan oleh Agus Condro dan Hakam Naja harus dijadikan sebagai informasi yang berharga bagi KPK untuk membongkar kemungkinan skandal suap Bank Indonesia jilid II. Sebagaimana kita tahu, skandal suap di DPR sangat sulit dibongkar oleh aparat penegak hukum jika tidak diungkap sendiri oleh orang dalam atau anggota DPR sendiri. Karena itu, KPK kerap menggunakan pelaporan gratifikasi dari anggota DPR untuk membongkar skandal suap di lembaga terhormat tersebut, sebagaimana dalam kasus suap pengalihan fungsi hutan lindung.

Jika pun kemudian Agus Condro dalam faktanya turut menerima dana itu, posisinya tidak bisa lagi disejajarkan dengan anggota DPR lainnya yang tidak mau mengakui telah menerima dana tersebut. Dalam bahasa lain, posisi Agus adalah pelaku minor, yakni pelaku tindak pidana korupsi yang telah membantu aparat penegak hukum dalam membongkar skandal suap secara lebih menyeluruh. Karena itu, kelak, jika pun Agus harus menghadapi proses hukum, aparat penegak hukum dapat memberikan tuntutan hukuman yang ringan, dan hakim bisa memberikan vonis yang lebih ringan dibandingkan dengan pelaku lain yang tidak mau mengaku telah menerima suap dalam kaitannya dengan pemilihan Deputi Gubernur Senior BI.

Komisi Pemberantasan Korupsi dapat memulai menyelidiki kasus ini dengan mengungkap sumber dana yang dipakai untuk melakukan penyuapan dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior BI. Dalam pengakuan Agus, traveler’s cheque yang diterimanya berasal dari salah satu perbankan swasta besar di Indonesia. Jika asumsinya seluruh anggota DPR yang menerima kertas berharga ini telah mencairkannya, KPK bisa bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan untuk mengungkap dokumen-dokumen yang terkait dengan proses pencairan itu. Identitas pihak yang mencairkan dana tersebut pastilah disimpan oleh pihak bank.

Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), dana yang diduga digunakan Miranda Goeltom untuk menyuap Komisi IX tidak bersumber dari dana Bank Indonesia di YPPI senilai Rp 100 miliar yang kini tengah menjadi kasus korupsi di KPK dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Karena itu, KPK bisa meminta BPK melakukan audit investigatif terhadap dana BI lainnya sebagai upaya proyustisia untuk membuktikan benar-tidaknya hal tersebut. KPK juga perlu mengembangkan kemungkinan adanya pihak ketiga yang telah mensponsori pemilihan Deputi Gubernur Senior BI. Artinya, dana yang digunakan untuk praktek suap di DPR yang terkait langsung dengan pemilihan Deputi Gubernur Senior BI sangat mungkin bersumber dari pihak di luar BI yang memiliki kepentingan langsung dengan kebijakan Deputi Gubernur Senior BI.

Siapa-siapa saja mereka, tentu ini dapat dilacak dari penerbit traveler’s cheque tersebut, siapa yang membeli traveler’s cheque, dan para utusan Miranda Goeltom yang telah menemui anggota Komisi IX.

Dugaan operasi ilegal yang dituduhkan kepada Miranda Goeltom untuk memenangi pemilihan Deputi Gubernur Senior BI memang kecil kemungkinan dilakukan sendiri. Tentunya ada pihak-pihak lain yang disebut oleh Hamka Naja sebagai utusan Miranda yang menjadi penghubung langsung antara kepentingan Miranda dan anggota Komisi IX DPR. Mereka inilah yang harus diungkap oleh KPK karena sumber-sumber inilah yang akan lebih banyak membeberkan kasus suap ini secara lebih gamblang.

Bagaimanapun, political buying dalam pemilihan pejabat publik di DPR menjadi lebih berbahaya jika dalam prakteknya ada pihak ketiga yang menjadi cukong atau sponsor. Pasalnya, pejabat yang terpilih oleh DPR tidak lagi dapat bertindak independen dalam mengambil kebijakan publik yang penting, melainkan akan mengabdi pada kepentingan para cukong yang telah memodali pemilihan itu.

Transaksi jasa ilegal ini tak hanya berdampak negatif terhadap BI sebagai bank sentral yang independen, tapi juga berdampak pada citra BI yang menjadi ujung tombak integritas moneter dan fiskal Indonesia di mata internasional. Jika dunia internasional tidak lagi mempercayai rezim bank sentral di Indonesia, yang seharusnya independen, niscaya kita akan kehilangan momentum untuk mendorong masuknya investasi internasional dan pertumbuhan ekonomi yang lebih menjanjikan.

Oleh: Adnan Topan Husodo
Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW

Disalin dari Koran Tempo, 5 September 2008