Tuesday, August 24, 2010

Penegak Hukum Lebay

Dalam kamus online (www.kamusgaul.com), istilah lebay diartikan sebagai ekspresi akan sesuatu yang berlebihan namun dalam konotasi yang negatif. Kata ini sepertinya tepat digunakan untuk membicarakan kasus rekaman Ari Muladi-Ade Rahardja yang sempat disampaikan secara berapi-api oleh Jaksa Agung RI, Hendarman Supandji dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR RI.

Setali tiga uang dengan Hendarman, Kapolri, Bambang Hendarso Danuri (BHD) pun beberapa kali mengutip keberadaan rekaman Ari Muladi-Ade Rahardja sebagai bukti kuat untuk menjerat dua Pimpinan KPK, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah dalam kasus dugaan pemerasan atas Anggodo Widjoyo, adik Anggoro yang telah menjadi DPO KPK dalam kasus pengadaan SKRT Departemen Kehutanan.

Namun tatkala kebenaran rekaman Ari Muladi-Ade Rahardja hendak diuji dalam sidang Anggodo di Pengadilan Tipikor, Mabes Polri menjadi tak segarang ketika berdiskusi dengan Komisi III DPR. Beberapa kali Kapolri teguh pada pendiriannya bahwa rekaman itu ada, meskipun belakangan kita baru mengetahui bahwa yang bisa diserahkan Mabes Polri hanya CDR, bukan rekaman pembicaraan.

Yang lebih tak masuk akal, Jaksa Agung RI menyampaikan adanya bukti rekaman pembicaraan Ari Muladi-Ade Rahardja kepada publik hanya berdasarkan 'katanya'. Pantas jika rekaman itu tak jua muncul meskipun sudah dua kali Jaksa KPK dan majelis hakim Pengadilan Tipikor meminta kepada Mabes Polri untuk menyerahkan 'benda penting' tersebut supaya dapat diputar dalam persidangan Anggodo.

Hitam Pekat Penegakan Hukum

Perubahan alat bukti dari rekaman pembicaraan menjadi CDR bukanlah masalah yang sepele. Rekaman pembicaraan dan CDR adalah dua alat bukti yang berbeda. Jika rekaman pembicaraan, validitas orang yang sedang bercakap-cakap bisa diuji kebenarannya melalui serangkaian tes dengan alat atau teknologi canggih, sementara CDR hanyalah print-out pembicaraan dua pihak yang sangat mungkin tidak relevan materi pembicaraannya dengan kasus yang sedang disidangkan.

Demikian pula, bisa jadi nomor HP dan keterangan percakapan yang muncul dalam print-out bukanlah nomor dari dua orang yang selalu disinggung, yakni Ari Muladi dan Ade Rahardja. Sangat mungkin, materi pembicaraan dalam CDR juga hasil rekayasa lanjutan mengingat mudah mendapatkan, mendaftarkan dan menggunakan nomor HP baru dengan identitas palsu.

Dari sisi pihak yang sudah dijadikan tersangka, yakni Bibit dan Chandra, keberadaan alat bukti fiktif yang digunakan untuk menjerat mereka semakin memperkuat adanya rekayasa atau kriminalisasi oleh Mabes Polri. Ditinjau dari nilai kerugian yang telah diderita secara pribadi maupun kelembagaan KPK, tentu sudah tidak bisa dihitung berapa jumlahnya. Publik secara luas juga terkena dampak langsung karena merosotnya kinerja KPK dalam upaya memberantas korupsi pada periode 2009-2010 diakibatkan oleh pincangnya pengambil keputusan tertinggi KPK karena penetapan status tersangka atas diri Bibit dan Chandra.

Rekaman Ari Muladi-Ade Rahardja yang wujudnya tak pernah ada (fiktif), akan tetapi dijadikan sebagai dasar untuk menjerat pejabat negara yang sedang bertugas memberantas korupsi adalah sejarah paling kelam dalam penegakan hukum di Indonesia di era reformasi. Kredibilitas penegak hukum telah jatuh pada titik yang paling rendah karena rekayasa atau kriminalisasi justru dilakukan oleh pucuk pimpinan lembaga ini. Kapolri dan Jaksa Agung RI tentunya dua pejabat tinggi yang paling bertanggungjawab atas kehancuran integritas institusi mereka. Pernyataan mereka di depan publik maupun di depan anggota DPR adalah sebentuk kebohongan publik sekaligus bentuk konspirasi jahat untuk menghancurkan krebilitas KPK.

Dua Pelanggaran Berat

Tiadanya rekaman pembicaraan Ari Muladi-Ade Rahardja yang kini kian terang benderang telah membuka tabir proses penegakan hukum di Mabes Polri yang sarat rekayasa. Tampaknya Presiden SBY tidak bisa tinggal diam melihat situasi semacam ini. Pasalnya, dua pejabat tinggi yang diangkat langsung olehnya untuk membawahi langsung agenda penegakan hukum di Indonesia telah melakukan dua hal yang bisa dikategorikan sebagai pelanggaran sangat berat.

Pertama, praktek sim salabim dalam penegakan hukum adalah abuse of power yang tidak bisa diberikan ruang toleransi sama sekali. Bukan hanya melanggar sumpah jabatan yang termaktub dalam UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI dan UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, tapi indikasi bahwa pemberian keterangan palsu dalam perkara pidana yang berujung pada kerugian bagi tersangka merupakan bentuk pidana yang dengan jelas diatur dalam KUHP, khususnya pasal 242.

Pertanyaan yang kemudian bisa diajukan, andai dalam kasus besar yang terkait dengan pejabat negara seperti dalam kasus dua Pimpinan KPK, para penyidik Mabes Polri sudah berani menggunakan informasi dan alat bukti yang keliru, bagaimana praktek penegakan hukum dalam kasus-kasus pidana yang melibatkan orang biasa? Tentu potensi kesewenang-wenangan kian terbuka karena yang dihadapi adalah sekelompok pihak yang powerless. Tak heran jika data yang dilansir Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) tahun 2010 ini menunjukkan 72% dari seribu laporan pengaduan masyarakat yang masuk terkait penyalahgunaan wewenang bagian reserse Polri.

Kedua, keengganan pihak Kepolisian dalam memberikan keterangan mengenai ada atau tidaknya rekaman pembicaraan antara Ari Muladi-Ade Rahardja kepada majelis hakim Pengadilan Tipikor, sementara di sisi lain justru muncul dengan data berupa CDR dapat dinilai sebagai perbuatan yang merintangi, mecegah atau menggagalkan, baik secara langsung maupun tidak langsung proses pemeriksaan terhadap terdakwa Anggodo di persidangan.

Dalam UU 31 tahun 1999 tentang TPK, dijelaskan dalam pasal 21 bahwa upaya menghalangi, merintangi, mencegah atau menggagalkan proses penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan di persidangan sebagai tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Sebagaimana diketahui, Anggodo adalah terdakwa kasus percobaan penyuapan terhadap Pimpinan KPK yang sampai saat ini masih diproses secara hukum di Pengadilan Tipikor.

Dari berbagai argumentasi diatas, nampaknya tidak ada cara lain untuk menyelesaikan persoalan ini kecuali Presiden SBY mengambil langkah tegas dengan melepaskan jabatan yang kini masih disematkan kepada Jaksa Agung dan Kapolri. Sebenarnya, mencopot jabatan pihak yang secara nyata melakukan pelanggaran kode etik dan lebih-lebih terindikasi melakukan pidana adalah penyelesaian yang paling ringan. Namun jika Presiden SBY tidak mengambil langkah apapun atas skandal besar ini, akan tetapi justru lebih senang untuk menyampaikan keluh kesahnya kepada publik, rakyat Indonesia pantas menyesal karena presiden kitapun ternyata lebay. ***

Tulisan ini disalin dari harian Koran Tempo, 24 Agustus 2010

Adnan Topan Husodo,Wakil Koordinator ICW

Sunday, August 08, 2010

Pemberantasan Korupsi Termehek-Mehek

STUDI ICW pada semester I 2010 soal penanganan kasus korupsi di berbagai daerah menunjukkan kecenderungan yang justru mengkhawatirkan. Paling tidak, ditemukan 176 kasus korupsi di berbagai daerah yang sudah masuk dalam tahap penyidikan. Dari seluruh kasus tersebut telah ditetapkan 441 tersangka. Sementara sisi potensi kerugian negara yang timbul telah menembus angka Rp 2,1 triliun.

Naiknya angka kasus korupsi yang ditangani aparat penegak hukum, dibandingkan semester 1 tahun sebelumnya (86 kasus), mencerminkan dua hal yang kontradiktif. Di satu sisi ada potensi membaiknya kinerja aparat penegak hukum. Di sisi lain, tergambar adanya tingkat toleransi yang kian tinggi terhadapnya. Pendek kata, penindakan skandal korupsi yang dilakukan aparat penegak hukum tidak ampuh dalam menghasilkan efek jera.

Kian Menggila

Kecenderungan menarik lain yang dapat diamati dari data kuantitatif hasil studi ICW adalah ditemukannya modus yang kian transparan dalam melakukan korupsi. Jika pada tahun-tahun sebelumnya modus korupsi masih berkisar pada manipulasi tender proyek pemerintah, pada 2010 ditemukan lima kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah dengan cara membobol kas daerah yang masih tersimpan dalam bank.

Kasus tersebut terjadi di Kabupaten Indragiri Hulu yang merugikan negara Rp 116 miliar, Pasuruan Rp 74 miliar, Kabupaten Boven Digoel Rp 49 miliar, Kabupaten Lampung Timur Rp 128 miliar dan Aceh Utara Rp 220 miliar.

Praktik korupsi yang kian telanjang dan berani merefleksikan minimnya dampak pemberantasan korupsi yang dirancang pemerintah maupun KPK. Bisa jadi pemahaman yang sekarang ini berkembang, jika ada pejabat publik yang terjerat kasus korupsi, itu hanya sebuah kesialan belaka. Sementara yang belum tertangkap aparat penegak hukum terus melakukannya dengan lebih berani dan kian nekat.

Apalagi struktur kekuasaan di daerah tidak membuka kesempatan bagi kontrol publik yang kuat, sementara DPRD sebagai lembaga kontrol formal justru menjadi bagian dari sindikat korupsi politik lokal. Parahnya, instrumen audit yang dilakukan BPK maupun BPKP tak berdaya dan gagal mendeteksi potensi penyimpangan yang terjadi. Hasil audit mereka lebih banyak berkutat pada isu administratif sehingga jalur penyelesaiannya juga menjadi wilayah administrasi, bukan ranah pidana korupsi.

Selain sektor keuangan daerah (APBD) yang menjadi sasaran empuk korupsi, sektor pertambangan, energi/listrik, dan monopoli perizinan turut memberikan kontribusi yang paling besar pada kerugian negara.

Pergeseran Aktor

Dari sisi aktor korupsi, tidak banyak perubahan yang terjadi. Kalangan eksekutif, baik kepala daerah maupun pejabat di bawahnya, masih menjadi pelaku utama. Sebab, dari total 441 tersangka korupsi, 40 persen di antaranya adalah mereka, diikuti 52 tersangka dari anggota DPRD. Barangkali pergeseran yang paling signifikan adalah meningkatnya aktor korupsi dari kalangan swasta. Pada semester I 2010 ini, aparat penegak hukum telah menetapkan 61 orang berlatar belakang direksi atau komisaris perusahaan swasta.

Fakta ini sebenarnya memiliki benang merah dengan kecenderungan korupsi yang masih didominasi manipulasi tender proyek pemerintah. Ada dua hipotesis mengapa angka pelaku korupsi dari kalangan swasta meningkat. Pertama, tingkat oportunitas untuk melakukan persekongkolan proyek APBD kian tinggi, mengingat iklim kompetisi bisnis yang tidak sehat. Dalam sebuah kepemimpinan daerah yang dihasilkan dari sebuah proses politik koruptif, sulit menegakkan aturan main tender proyek yang sehat.

Kedua, adanya situasi ketidakberdayaan untuk menghadapi kekuasaan yang hampir absolut dari penguasa lokal. Acapkali kalangan swasta yang ingin mendapatkan bagian proyek pemerintah harus mengikuti "regulasi" kepala daerah. Keharusan memberikan kontribusi 10 hingga 30 persen dari nilai proyek yang didapat kepada pejabat daerah adalah sebuah fenomena yang terjadi hampir merata di semua tempat. Yang tidak bersedia memberikan kontribusi, nama perusahaan dan dirinya akan dicoret dari daftar rekanan pemerintah.

Jebakan Teori Malthus

Teori Malthus yang tersohor mengatakan bahwa pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur, sementara ketersediaan pangan mengikuti deret hitung, sehingga pada masa depan manusia akan menghadapi masalah pangan yang luar biasa. Teori di atas dapat kita gunakan untuk mengamati program pemberantasan korupsi yang dilakukan aparat penegak hukum.

Dari data semester I 2010 yang dikumpulkan ICW, dapat disimpulkan bahwa penanganan kasus korupsi yang dilakukan aparat penegak hukum mengikuti deret hitung, sementara kasus korupsi yang secara faktual terjadi mengikuti deret ukur. Untuk 179 kasus korupsi pada semester I, pada 2010 yang sedang ditangani aparat penegak hukum, 58 kasus adalah korupsi yang terjadi pada 2008, 32 kasus korupsi yang dilakukan pada 2007, 19 kasus korupsi merupakan kasus korupsi yang terjadi pada 2006, dan 15 kasus korupsi yang terjadi pada 2005. Sementara kasus yang terjadi pada 2009 adalah 26 kasus. Dengan demikian, aparat penegak hukum belum menangani satu kasus korupsi pun yang terjadi pada semester I 2010.

Dengan demikian, tidak heran jika dari tahun ke tahun kasus korupsi yang muncul kian meningkat. Barangkali sebagaimana ramalan Malthus terhadap masa depan manusia di bumi, pada suatu ketika aparat penegak hukum tak akan kuasa membendung tindak pidana korupsi yang terus berkembang. Jadi, jangan heran jika pemberantasan korupsi di Indonesia justru kian termehek-mehek. (*)

*) Adnan Topan Husodo, wakil koordinator ICW

Disalin dari Jawapos, 9 Agustus 2010