STUDI ICW pada semester I 2010 soal penanganan kasus korupsi di berbagai daerah menunjukkan kecenderungan yang justru mengkhawatirkan. Paling tidak, ditemukan 176 kasus korupsi di berbagai daerah yang sudah masuk dalam tahap penyidikan. Dari seluruh kasus tersebut telah ditetapkan 441 tersangka. Sementara sisi potensi kerugian negara yang timbul telah menembus angka Rp 2,1 triliun.
Naiknya angka kasus korupsi yang ditangani aparat penegak hukum, dibandingkan semester 1 tahun sebelumnya (86 kasus), mencerminkan dua hal yang kontradiktif. Di satu sisi ada potensi membaiknya kinerja aparat penegak hukum. Di sisi lain, tergambar adanya tingkat toleransi yang kian tinggi terhadapnya. Pendek kata, penindakan skandal korupsi yang dilakukan aparat penegak hukum tidak ampuh dalam menghasilkan efek jera.
Kian Menggila
Kecenderungan menarik lain yang dapat diamati dari data kuantitatif hasil studi ICW adalah ditemukannya modus yang kian transparan dalam melakukan korupsi. Jika pada tahun-tahun sebelumnya modus korupsi masih berkisar pada manipulasi tender proyek pemerintah, pada 2010 ditemukan lima kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah dengan cara membobol kas daerah yang masih tersimpan dalam bank.
Kasus tersebut terjadi di Kabupaten Indragiri Hulu yang merugikan negara Rp 116 miliar, Pasuruan Rp 74 miliar, Kabupaten Boven Digoel Rp 49 miliar, Kabupaten Lampung Timur Rp 128 miliar dan Aceh Utara Rp 220 miliar.
Praktik korupsi yang kian telanjang dan berani merefleksikan minimnya dampak pemberantasan korupsi yang dirancang pemerintah maupun KPK. Bisa jadi pemahaman yang sekarang ini berkembang, jika ada pejabat publik yang terjerat kasus korupsi, itu hanya sebuah kesialan belaka. Sementara yang belum tertangkap aparat penegak hukum terus melakukannya dengan lebih berani dan kian nekat.
Apalagi struktur kekuasaan di daerah tidak membuka kesempatan bagi kontrol publik yang kuat, sementara DPRD sebagai lembaga kontrol formal justru menjadi bagian dari sindikat korupsi politik lokal. Parahnya, instrumen audit yang dilakukan BPK maupun BPKP tak berdaya dan gagal mendeteksi potensi penyimpangan yang terjadi. Hasil audit mereka lebih banyak berkutat pada isu administratif sehingga jalur penyelesaiannya juga menjadi wilayah administrasi, bukan ranah pidana korupsi.
Selain sektor keuangan daerah (APBD) yang menjadi sasaran empuk korupsi, sektor pertambangan, energi/listrik, dan monopoli perizinan turut memberikan kontribusi yang paling besar pada kerugian negara.
Pergeseran Aktor
Dari sisi aktor korupsi, tidak banyak perubahan yang terjadi. Kalangan eksekutif, baik kepala daerah maupun pejabat di bawahnya, masih menjadi pelaku utama. Sebab, dari total 441 tersangka korupsi, 40 persen di antaranya adalah mereka, diikuti 52 tersangka dari anggota DPRD. Barangkali pergeseran yang paling signifikan adalah meningkatnya aktor korupsi dari kalangan swasta. Pada semester I 2010 ini, aparat penegak hukum telah menetapkan 61 orang berlatar belakang direksi atau komisaris perusahaan swasta.
Fakta ini sebenarnya memiliki benang merah dengan kecenderungan korupsi yang masih didominasi manipulasi tender proyek pemerintah. Ada dua hipotesis mengapa angka pelaku korupsi dari kalangan swasta meningkat. Pertama, tingkat oportunitas untuk melakukan persekongkolan proyek APBD kian tinggi, mengingat iklim kompetisi bisnis yang tidak sehat. Dalam sebuah kepemimpinan daerah yang dihasilkan dari sebuah proses politik koruptif, sulit menegakkan aturan main tender proyek yang sehat.
Kedua, adanya situasi ketidakberdayaan untuk menghadapi kekuasaan yang hampir absolut dari penguasa lokal. Acapkali kalangan swasta yang ingin mendapatkan bagian proyek pemerintah harus mengikuti "regulasi" kepala daerah. Keharusan memberikan kontribusi 10 hingga 30 persen dari nilai proyek yang didapat kepada pejabat daerah adalah sebuah fenomena yang terjadi hampir merata di semua tempat. Yang tidak bersedia memberikan kontribusi, nama perusahaan dan dirinya akan dicoret dari daftar rekanan pemerintah.
Jebakan Teori Malthus
Teori Malthus yang tersohor mengatakan bahwa pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur, sementara ketersediaan pangan mengikuti deret hitung, sehingga pada masa depan manusia akan menghadapi masalah pangan yang luar biasa. Teori di atas dapat kita gunakan untuk mengamati program pemberantasan korupsi yang dilakukan aparat penegak hukum.
Dari data semester I 2010 yang dikumpulkan ICW, dapat disimpulkan bahwa penanganan kasus korupsi yang dilakukan aparat penegak hukum mengikuti deret hitung, sementara kasus korupsi yang secara faktual terjadi mengikuti deret ukur. Untuk 179 kasus korupsi pada semester I, pada 2010 yang sedang ditangani aparat penegak hukum, 58 kasus adalah korupsi yang terjadi pada 2008, 32 kasus korupsi yang dilakukan pada 2007, 19 kasus korupsi merupakan kasus korupsi yang terjadi pada 2006, dan 15 kasus korupsi yang terjadi pada 2005. Sementara kasus yang terjadi pada 2009 adalah 26 kasus. Dengan demikian, aparat penegak hukum belum menangani satu kasus korupsi pun yang terjadi pada semester I 2010.
Dengan demikian, tidak heran jika dari tahun ke tahun kasus korupsi yang muncul kian meningkat. Barangkali sebagaimana ramalan Malthus terhadap masa depan manusia di bumi, pada suatu ketika aparat penegak hukum tak akan kuasa membendung tindak pidana korupsi yang terus berkembang. Jadi, jangan heran jika pemberantasan korupsi di Indonesia justru kian termehek-mehek. (*)
*) Adnan Topan Husodo, wakil koordinator ICW
Disalin dari Jawapos, 9 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment