Friday, May 29, 2009

Politik Memandulkan KPK

Sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia penuh dengan ironi. Lembaga negara yang seharusnya terlibat aktif dan memberikan dukungan penuh pada upaya melawan korupsi justru berbuat sebaliknya. Tak heran jika pukulan demi pukulan dihadapi oleh KPK, baik sejak lembaga ini memulai menangani kasus korupsi untuk pertama kalinya, hingga sekarang setelah Ketua KPK, Antasari Azhar dinonaktifkan karena kasus pembunuhan terhadap Nasrudin, Direktur PT Banjaran Putra Rajawali, anak perusahaan PT Rajawali Nusantara Indonesia.

Kita tentu masih ingat bagaimana para pengacara terdakwa korupsi menggugat landasan hukum KPK dengan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Semua pasal yang digugat adalah pasal mengenai wewenang KPK dalam menangani kasus korupsi, bukan pasal yang berkaitan dengan otoritas pencegahan. Dalam catatan ICW, UU KPK No 30 Tahun 2002 adalah UU yang paling sering digugat, yakni mencapai depalan (8) kali.

Ulah Parlemen

Judicial review terhadap UU KPK adalah permulaan, setelahnya suara-suara miring terhadap KPK kian keras tatkala KPK tengah mendapatkan dukungan luas dari publik untuk memberantas korupsi. Lebih disayangkan lagi, suara itu muncul dari parlemen, lembaga wakil rakyat yang seharusnya berada di belakang KPK. Tuntutan pembubaran KPK dan mereduksi wewenang besar KPK adalah wacana yang pernah muncul di rapat para wakil rakyat. Meskipun kemudian hal itu gagal diwujudkan karena reaksi publik yang menentang ide tersebut.

Redupnya tuntutan itu ternyata tidak berarti berhenti, akan tetapi hanya diam sementara waktu. Intensitas KPK periode menangkap beberapa anggota DPR yang terlibat suap kembali menaikkan suhu di parlemen menjadi sangat panas.

Puncaknya ketika Polda Metro Jaya menetapkan Ketua KPK sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan Nasrudin. Secara reaktif, Komisi III DPR sebagai mitra kerja KPK memanggil 4 pimpinan KPK dalam rapat dengar pendapat dadakan. Kesimpulan rapat kembali menyentak kesadaran publik karena ternyata bukan dukungan terhadap KPK yang muncul dari mulut Komisi III DPR, akan tetapi justru tuntutan untuk tidak menangani kasus-kasus korupsi sebelum Ketua KPK baru terpilih.

Demikian vulgarnya tuntutan Komisi III kepada KPK telah menguatkan sebuah kekhawatiran yang semakin nyata. Tentu saja hal ini dapat dihubungkan dengan berbagai kasus korupsi di KPK yang diduga melibatkan anggota dewan. Begitu pentingnya posisi Ketua KPK selama ini bagi Komisi III sekaligus mengokohkan asumsi bahwa dalam seleksi calon pimpinan KPK pada 2007 lalu, telah terjadi barter kepentingan politik antara yang memilih dan yang dipilih.

Argumentasi Kekuasaan Korup

Dasar berpijak atas tuntutan itu sebenarnya sangat rapuh. Akan tetapi dorongan politik yang begitu kuat telah membutakan nalar sehat. Ketua Pansus RUU Pengadilan Tipikor, Dewi Asmara, yang juga merupakan anggota Komisi III DPR dari fraksi Golkar memang mengatakan bahwa keinginan Komisi III DPR agar KPK tidak menangani kasus korupsi sebelum terpilih Ketua KPK yang baru lebih dikarenakan masalah kekosongan hukum. Komisi III khawatir, jika KPK mengambil tindakan strategis sepeninggal AA, akan ada potensi kasus yang dibawa KPK dianggap tidak sah.

Alasan itu memang kesannya membela KPK, akan tetapi jika digali lebih jauh, justru ingin memandulkan KPK. Terlalu mudah usaha mengecoh publik itu diketahui karena hukum tidak hanya dikuasai oleh mereka yang ada di DPR. Komisi III beranggapan bahwa pimpinan KPK itu adalah lima (5) orang dan pengambilan keputusannya dilakukan secara kolektif (pasal 21 ayat 1 dan ayat 5 UU KPK), sehingga dipahami sebagai satu paket. Jika paket itu hilang satu, maka keputusan yang diambil oleh empat orang pimpinan KPK secara hukum dianggap tidak sah.

Komisi III barangkali lupa bahwa kekosongan hukum yang dimaksud juga dihadapi oleh kekosongan hukum yang lain, yakni tiadanya aturan yang menyebutkan sah atau tidaknya putusan pimpinan KPK minus satu orang. Entah itu karena Ketua KPK tidak berhalangan, atau absennya Wakil Ketua KPK sekalipun. Komisi III juga tidak belajar dari pengalaman bahwa KPK kerap mengambil keputusan strategis meskipun salah satu diantara mereka tidak terlibat karena faktor teknis, misalnya sakit, cuti, dinas di luar negeri dan sebagainya.

Demikian juga ada hukum yang berbunyi, jika dalam sebuah keadaan dimana terjadi kekosongan hukum karena tiadanya aturan tertulis yang mengikat, maka kelaziman atau kebiasaan umum yang berlaku bisa diterapkan. Anehnya, dalam soal ini, logika Komisi III adalah teknis-yuridis, sebuah logika yang jarang sekali digunakan oleh para politisi.

Komisi III juga tidak dalam posisi untuk menentukan atau menafsirkan, bahwa keputusan KPK minus Ketua KPK dikategorikan tidak sah secara hukum sehingga mereka bisa seenaknya meminta KPK untuk menghentikan semua proses pengambilan keputusan yang strategis. Seharusnya sah atau tidaknya proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan kasus korupsi oleh KPK ditentukan oleh pengadilan. Pada titik ini, Komisi III sudah sangat kebablasan. Komunikasi yang dimainkan bukan lagi bagian dari upaya membangun KPK yang lebih baik, akan tetapi logika kekuasaan koruptif yang tujuannya jelas, untuk memandulkan KPK.

Seleksi Ketua KPK Baru, Pentingkah?

KPK akan berhenti bekerja paling tidak satu (1) tahun jika tuntutan Komisi III dipenuhi. Pasalnya, untuk memiliki pimpinan KPK yang baru, UU KPK menyebutkan mekanisme itu harus dilalui sebagaimana tata cara pemilihan pimpinan KPK yang sudah ada. Ini artinya, butuh waktu paling tidak 6 (enam) bulan untuk mempersiapkan Panitia Seleksi yang akan ditunjuk oleh Presiden hingga penyerahan daftar calon pimpinan KPK kepada Komisi III untuk diuji dalam fit and proper test.

Komisi III sendiri sebenarnya tidak etis mendorong adanya pergantian Ketua KPK mengingat sampai saat ini, status AA masih sebagai tersangka. Seuai dengan UU KPK, status tersangka hanya diberhentikan sementara oleh Presiden. Lain halnya jika AA sudah menjadi terdakwa, maka ia secara otomatis dihentikan selamanya sebagai Ketua KPK. Menunggu peningkatan status dari tersangka menjadi terdakwa sendiri membutuhkan waktu.

Sejatinya, dalam UU KPK disebutkan bahwa pergantian pimpinan KPK dilakukan apabila terjadi kekosongan pimpinan KPK (pasal 33 ayat 1). Masalahnya, apa yang dimaksud sebagai kekosongan pimpinan KPK kemudian? Jika pengertian kosong secara harfiah adalah apabila tidak terdapat sesuatu apapun dalam tempat, wadah ataupun ruang. Saat ini, meskipun Ketua KPK diberhentikan sementara oleh Presiden, namun masih ada empat pimpinan KPK yang lain. Jika ini dimaksud sebagai kekosongan pimpinan KPK sebagaimana pendapat Komisi III, maka sejatinya mereka telah meniadakan pimpinan KPK diluar Ketua KPK.

Oleh karena itu, pergantian Ketua KPK tidaklah prioritas. Lebih penting bagi kita untuk memberikan kesempatan bagi KPK untuk mengelola kebijakan internal mereka dengan efektif dan efisien dengan komposisi yang sekarang. Daripada mengakali publik dengan argumentasi telah terjadi kekosongan hukum dan kekosongan pimpinan KPK, Komisi III seharusnya bisa lebih fokus pada percepatan penyelesaian RUU Pengadilan Tipikor yang sebentar lagi akan menyentuh garis deadline. Barangkali tidak menyelesaikan RUU Pengadilan Tipikor pada tahun ini merupakan strategi lain parlemen untuk mengerem KPK?

Sudah semestinya kita beri waktu bagi empat pimpinan KPK untuk menunjukkan kemampuan mereka dalam memberantas korupsi. Jangan-jangan sebagaimana dugaan selama ini, tanpa AA, KPK justru jauh lebih mumpuni. Seleksi Ketua KPK untuk mencari pengganti AA barangkali hanya kedok untuk menyambung kembali putusnya tali kepentingan yang bertaut di KPK selama ini.

*****

Oleh: Adnan Topan Husodo
Wakil Koordinator ICW

Tulisan disalin dari harian Seputar Indonesia, 29 Mei 2009

Manipulasi Laporan Dana Kampanye

Manipulasi Laporan Dana Kampanye
Oleh: Adnan Topan Husodo

Pada 24 Mei 2009 Kantor Akuntan Publik (KAP) seharusnya sudah merampungkan audit terhadap laporan dana kampanye partai politik dan calon anggota DPD untuk Pemilu Legislatif (Pileg) 2009. Sebagaimana pasal 135 ayat 3,4 dan 5 UU No 10 Tahun 2008 tentang Pileg, tahap selanjutnya setelah audit oleh KAP adalah penyerahan laporan hasil audit kepada KPU di masing-masing tingkat. Setelah itu, KPU dan KPUD berkewajiban memberitahukan hasil audit kepada peserta pemilu dan publik melalui pengumuman hasil pemeriksaan dana kampanye.

Audit dana kampanye merupakan tahap krusial Pileg 2009 karena menguji transparansi dan akuntabilitas penerimaan dan pengeluaran dana kampanye yang dikelola peserta pemilu. Lewat audit, KAP sudah semestinya bisa menemukan berbagai kejanggalan dan berbagai bentuk penyimpangan laporan dana kampanye peserta pemilu. Semakin tinggi angka temuan pelanggaran, berarti semakin rendah akuntabilitas pemilu secara keseluruhan.

Administrasi Pelaporan Buruk

Meski hasil audit laporan dana kampanye belum dipublikasikan KPU/KPUD, hasil monitoring ICW terhadap kepatuhan peserta pemilu (partai politik) dalam menaati aturan dana kampanye menunjukkan gambaran yang memprihatinkan. Masih banyak peserta pemilu yang abai terhadap pemenuhan formal laporan dana kampanye, yakni aspek-aspek administrasi laporan dana kampanye.

Terdapat empat syarat administrasi laporan dana kampanye sebagaimana UU Pileg dan peraturan KPU No 1 Tahun 2009. Yakni, pelaporan dana kampanye partai politik yang mencakup laporan setiap wilayah/tingkat, catatan transaksi penerimaan dan pengeluaran dana kampanye selama periode kampanye, pernyataan tertulis dari penanggung jawab laporan dana kampanye, dan berkas-berkas laporan dana kampanye yang utuh.

Berdasar pemantauan ICW terhadap pelaksanaan penyerahan laporan dana kampanye peserta pemilu kepada KAP melalui KPU, ditemukan 10 partai politik, baik kecil maupun besar, yang tidak memenuhi standar pelaporan dana kampanye yang lengkap.

Tidak terpenuhinya syarat administrasi laporan dana kampanye partai politik kepada KAP menggambarkan kepatuhan yang rendah terhadap peraturan sekaligus mencerminkan rendahnya semangat untuk transparan dan akuntabel. Tiadanya beberapa bukti penting bagi laporan dana kampanye yang baik mengindikasikan penyusunan laporan dana kampanye asal-asalan dan cenderung manipulatif.

Manipulasi Belanja Kampanye

Selain buruknya kualitas pelaporan dana kampanye partai politik, ICW menemukan indikasi penyimpangan yang cukup signifikan, terutama jika dilihat dari sisi pengeluaran dana kampanye. Sebagaimana disebutkan di atas, laporan dana kampanye partai politik terdiri atas penerimaan dan pengeluaran dana kampanye.

Dalam konteks pengawasan publik, sisi yang paling mungkin dipantau adalah pengeluaran dana kampanye. Sebab, pengeluaran dana kampanye bisa diuji dengan membandingkan jumlah pengeluaran dana kampanye yang secara resmi dilaporkan partai politik kepada KAP dengan jumlah pengeluaran dana kampanye yang dihitung berdasar estimasi dari sumber sekunder.

Salah satu bentuk pengeluaran dana kampanye adalah belanja iklan di media televisi. Sudah banyak kalangan pebisnis yang merekapitulasi seluruh iklan kampanye di seluruh media televisi seperti yang dilakukan AGB Nielsen.

Berdasar perhitungan ICW terhadap laporan dana kampanye delapan partai besar, terdapat selisih jumlah pengeluaran dana kampanye yang cukup mencengangkan. Partai Golkar misalnya, laporan belanja iklan mereka secara resmi kepada KAP hanya Rp 142 miliar. Akan tetapi, dari perhitungan ICW terhadap iklan Golkar di televisi berdasar data AGB Nielsen, setidaknya pengeluaran belanja iklan televisi Golkar mencapai Rp 277 miliar. Itu berarti, terdapat selisih Rp 135 miliar yang sangat mungkin tidak dilaporkan Golkar sebagai pengeluaran.

Laporan pengeluaran dana kampanye partai besar lain, seperti PDI Perjuangan dan PPP, juga termasuk yang mencurigakan. PDI Perjuangan sebagai contoh hanya melaporkan Rp 7 miliar untuk belanja iklan. Akan tetapi, dari data AGB Nielsen, total pengeluaran belanja iklan televisi PDI Perjuangan mencapai Rp 102 miliar. Dengan demikian, selisih laporan resmi dengan estimasi perhitungan ICW mencapai Rp 95 miliar.

Satu partai lagi yang mencolok adalah PPP karena selisihnya Rp 36,4 miliar. Laporan pengeluaran resmi mereka kepada KAP hanya Rp 3,6 miliar, namun total pengeluaran berdasar estimasi ICW mencapai Rp 40 miliar. Partai selanjutnya yang juga terindikasi bermasalah dalam laporan pengeluaran dana kampanye adalah PKS, Partai Hanura, dan PAN meskipun dengan selisih yang lebih kecil.

Berkaca pada penjelasan di atas, bisa dikatakan bahwa laporan dana kampanye partai politik sejak Pemilu 2004 hingga Pemilu 2009 tidak beranjak membaik. Bahkan, bisa dikatakan saat ini kualitas transparansi dan akuntabilitasnya jauh lebih menurun mengingat KPU juga sangat lamban dan kompromistis dalam merespons berbagai dugaan pelanggaran laporan dana kampanye.

Jika partai politik yang terindikasi tidak jujur melaporkan dana kampanye berkuasa, sangat mungkin ketidakjujuran itu berlanjut ketika mereka mengelola negara. (*)

*) Adnan Topan Husodo, wakil koordinator ICW

tulisan disalin dari Jawa Pos, 29 Mei 2009

Thursday, May 14, 2009

KPK dan Antasari Azhar

Sepak terjang Komisi Pemberantasan Korupsi dalam memberantas korupsi telah menumbuhkan dukungan publik yang besar. Gebrakan KPK, yang ditunjukkan dengan menangkap jaksa, anggota DPR, kepala daerah, dan aktor korupsi lainnya, berhasil menimbulkan decak kagum, baik di kalangan masyarakat domestik maupun internasional. Hal ini ditandai dengan meningkatnya Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2008 yang cukup signifikan, yakni dari 2,3 pada tahun sebelumnya menjadi 2,6.

Perasaan senang yang bisa disebut berlebihan ini sangat wajar, karena kita sebelumnya tidak pernah melihat langsung aksi penegakan hukum yang cukup keras terhadap para pelaku korupsi yang telanjur diyakini kebal hukum. KPK sedikit-banyak telah berhasil menaikkan tingkat kepercayaan publik terhadap keseriusan upaya memberantas korupsi di Indonesia.

Salah satu teman saya yang mengagumi KPK bahkan menyamakan Ketua KPK Antasari Azhar dengan Komisioner Polisi Jim Gordon di Gotham City, kota khayalan dalam film Batman, yang berperan aktif dalam membongkar kasus korupsi dan kejahatan yang sudah menggurita di sana. Barangkali publik secara luas juga memberikan penilaian yang hampir sama terhadap sosok Antasari Azhar. Sehingga, begitu mendengar kabar Antasari ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan pembunuhan Nasrudin, ada perasaan tidak percaya sama sekali.

Ketidakpercayaan itu melahirkan banyak kesimpulan yang condong spekulatif. Di banyak media online, komentar pembaca terhadap kasus yang diduga melibatkan Antasari Azhar mengarah pada satu pendapat, yakni ada konspirasi besar untuk menghancurkan KPK. Opini lantas dihubungkan dengan agenda KPK yang telah banyak menyeret para politikus ke penjara, ataupun usaha KPK yang tengah menyelidiki pengadaan alat teknologi informasi KPU.

Salah kaprah yang lahir dalam memandang kinerja KPK adalah personifikasi KPK dalam diri Ketua KPK Antasari Azhar. Seakan-akan peran pemimpin KPK lainnya, yakni Chandra M. Hamzah, Bibit Samad Riyanto, M. Yasin, dan Haryono, dikesampingkan. Belum lagi kalau kita menghitung kerja keras para penyidik, penyelidik, dan investigator KPK yang selama ini telah mendedikasikan hidupnya demi kredibilitas KPK.

Pertanyaannya, akan seperti apa kesan yang timbul di masyarakat jika faktor determinan di KPK selain sosok Antasari Azhar tidak memberikan kontribusi penting dalam membangun KPK sebagai lembaga yang disegani. Tentu, menurut hemat penulis, tingkat kepercayaan yang sangat tinggi terhadap (Ketua) KPK tidak akan seperti sekarang.

Adanya penyempitan pandangan publik terhadap prestasi KPK sebagai prestasi Ketua KPK tentu tidak tepat. Posisi seorang pemimpin dalam organisasi memang penting. Akan tetapi, dalam konsep leadership di KPK, mekanismenya menggunakan pendekatan kolektif-kolegial. Artinya, semua keputusan yang diambil oleh KPK adalah keputusan seluruh pimpinan KPK.

Personifikasi KPK pada diri Antasari Azhar sebagaimana diyakini publik sesungguhnya akan menimbulkan masalah besar, terutama dalam situasi seperti sekarang. Bagaimanapun, KPK membutuhkan dukungan besar dari masyarakat luas untuk tetap memberantas korupsi pasca-Antasari. Supaya tetap eksis, KPK juga sangat bergantung pada kepercayaan publik terhadapnya. Sebab, tanpa kepercayaan dan dukungan publik, mudah bagi kelompok kontra-pemberantasan korupsi untuk menggilas KPK.

Penulis teringat kepada pesan salah satu deputi KPK di sebuah seminar beberapa waktu yang lalu. Ia berujar, jangan pernah berpikir jika kinerja KPK buruk kita menuntut pembubaran KPK. Menurut dia, KPK sudah dibangun dengan demikian sulit. Sumber daya yang dialokasikan untuk meningkatkan arti KPK dalam konteks pemberantasan korupsi sudah cukup besar. Capaian yang ditunjukkan KPK dalam memainkan peran utama sebagai lembaga antikorupsi mulai dirasakan masyarakat luas. Karena itu, jika suatu saat kinerja KPK menurun, cukuplah pimpinannya diganti.

Sekarang mungkin sekali publik tengah berhadapan dengan kebimbangan, terutama menilai KPK pasca-Antasari. Akan seberapa kuat KPK tanpa Antasari, akan seberapa kencang KPK berlari membongkar kasus-kasus korupsi besar, dan akan seberapa baik kinerja KPK setelah Antasari tersandung oleh masalah pembunuhan. Rasa gamang inilah yang perlu direspons oleh KPK sebagai institusi untuk menunjukkan kepada publik bahwa eksistensi KPK masih berlanjut, dan bahkan mungkin jauh lebih cemerlang.

Kawan atau lawan
Lahirnya personifikasi KPK pada diri Ketua KPK Antasari Azhar bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Di samping posisinya sebagai ketua, dominasi atas proses komunikasi KPK dengan masyarakat luas selama ini begitu kentara. Kesan positif yang paling mudah ditangkap dan disimpan dalam-dalam pada benak banyak orang adalah ketika KPK berbicara mengenai kasus korupsi yang ditangani.

Pada konteks di atas, siapa yang berbicara atas nama KPK akan segera mendapat simpati publik. Bisa dipahami jika kesan mendalam atas diri Ketua KPK telah mengakar. Pasalnya, pada mekanisme kepemimpinan KPK, ada pembagian tugas yang jelas.

Ketua KPK didukung oleh Wakil Ketua KPK (Chandra M. Hamzah) langsung membidangi kerja-kerja penegakan hukum. Sedangkan dua Wakil Ketua KPK, M. Yasin dan Haryono, menangani fungsi pencegahan. Bibit Samad Riyanto kebagian tugas menangani manajemen internal KPK. Masuk akal jika yang paling banyak tampil di media massa dalam kaitannya dengan penanganan kasus-kasus korupsi di KPK adalah Ketua KPK.

Sekarang Ketua KPK Antasari Azhar tengah menghadapi proses hukum atas dugaan kriminal, perbuatan pembunuhan berencana yang dapat dihukum mati. Sudah mulai banyak yang mencoba mengaitkan pembunuhan itu dengan masalah lain yang lebih besar. Kita boleh tidak percaya terhadap kasus yang menimpa Antasari Azhar. Kelak, di pengadilan, nasib dan kesan Antasari akan sampai pada kesimpulan, benarkah ia seperti Komisioner Polisi Gordon di Gotham City, atau justru sebaliknya, dia adalah musuh besar Batman dan kawan-kawan.

Tulisan disalin dari Koran Tempo, 14 Mei 2009

Thursday, May 07, 2009

KPK Setelah Antasari

Ketua KPK, Antasari Azhar (AA) telah resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian Daerah Metro Jaya dalam kasus dugaan pembunuhan Nasudin, Direktur PT Putra Rajawali Banjaran (PRB). Setelah sebelumnya sempat menjadi kontroversial karena pengumuman status tersangka justru muncul dari Gedung Bundar, sekarang sudah dipastikan bahwa ada dugaan keterlibatan AA sebagaimana kesimpulan sementara penyidikan Polda Metro Jaya. Lebih jauh, AA bukan hanya disangka menjadi bagian dari pelaku, namun otak dari semua rencana pembunuhan itu.

Tentu saja sedikit banyak kasus ini telah menimbulkan banyak reaksi, khususnya yang tidak percaya bahwa AA bisa melakukan tindakan pembunuhan. Pasalnya, KPK sudah telanjur dicintai oleh publik luas. Boleh dibilang, harapan publik terhadap pemberantasan korupsi saat ini satu-satunya hanya di pundak KPK. Tanpa menafikan institusi penegak hukum yang lain, kepercayaan publik terhadap Kejaksaan atau Kepolisian berbanding terbalik dengan KPK.

Ekses Negatif

Masalahnya, di tengah membumbungnya harapan publik terhadap pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK, kasus yang menimpa AA tentu saja secara telak telah memukul KPK yang sejatinya memiliki citra positif di mata masyarakat luas, baik domestik maupun internasional.

Meskipun kasus yang menimpa AA bukanlah dugaan tindak pidana korupsi, melainkan perbuatan kriminal biasa, tetap saja kasus di atas akan menimbulkan gangguan dan guncangan pada institusi KPK, khususnya bagi para pihak yang selama ini sudah mencurahkan energi dan pikirannya untuk membangun institusi KPK menjadi lembaga yang disegani banyak pihak.

Di sisi lain, masalah yang menimpa AA bisa jadi akan ditunggangi oleh berbagai kelompok yang selama ini tidak menginginkan KPK. Mereka mungkin saja akan mendelegitimasi KPK dengan berbagai cara dan upaya. Salah satunya adalah dengan memperburuk citra KPK sebagai lembaga penegak hukum.

Langkah Darurat

Agar ekses yang timbul dari kasus yang menimpa Ketua KPK tidak sampai mengangggu kinerja KPK secara kelembagaan, ada beberapa langkah darurat yang harus diambil oleh keempat Pimpinan KPK lainnya.

Pertama, publik barangkali sudah kadung percaya bahwa AA adalah KPK, demikian sebaliknya KPK adalah AA. Pandangan ini tentu saja sangat menyesatkan karena mekanisme pengambilan keputusan di jajaran Pimpinan KPK tidak ditentukan oleh satu orang, yakni Ketua KPK. Akan tetapi diambil dengan cara kolektif-kolegial, berdasarkan pertimbangan dari masing-masing Pimpinan KPK.

Oleh karena itu, penting bagi keempat Pimpinan KPK minus AA untuk menunjukkan kepada publik bahwa proses pengambilan keputusan di KPK tetap bisa dilakukan dengan efektif, meski Ketua KPK tengah menghadapi masalah serius. Pendek kata, KPK harus bisa memainkan peran yang strategis dalam pemberantasan korupsi melalui proses pengambilan putusan kolektif-kolegial yang cepat sehingga perlahan lahan tapi pasti, persepsi publik bahwa KPK hanyalah AA bisa dikikis.

Kedua, KPK secara kelembagaan harus diselamatkan dari pengaruh negatif yang berkepanjangan akibat dari penetapan tersangka AA. Sepertinya, tidak ada cara lain yang bisa dilakukan oleh Pimpinan KPK saat kecuali memberikan bukti kepada publik bahwa pemberantasan korupsi akan terus berjalan, bahkan dengan target yang lebih tinggi dibandingkan sebelumnya.

Kasus-kasus korupsi berskala besar yang saat ini tengah mengantre di KPK harus segera diproses secara hukum sebagai bagian dari strategi pemulihan kepercayaan publik. Pasalnya, merosotnya harapan publik sama artinya dengan malapetaka bagi pemberantasan korupsi.

Ketiga, ada sebuah blunder besar yang dilakukan AA ketika menerima -dengan terpaksa atau tidak- pinangan para pengacara untuk membelanya secara hukum dalam kasus pembunuhan Nasrudin. Secara yuridis, AA berhak untuk mendapatkan pembelaan hukum, akan tetapi menjadi sangat ironis ketika pada akhirnya yang memberikan bantuan hukum adalah para pengacara terkenal yang selama ini dikenal luas aktif membela terdakwa korupsi, baik yang kasusnya ditangani oleh Kejaksaan maupun KPK sendiri.

Dengan adanya dukungan hukum diatas, implikasi terhadap KPK sebagai lembaga sangatlah berat. Jika kelak AA misalkan dibebaskan oleh pengadilan, yang tersisa adalah utang budi. Sulit untuk menempatkan independensi KPK dalam situasi dimana salah satu Pimpinan KPK pernah mendapatkan pembelaan hukum dari pengacara kasus korupsi. Tak dapat dihindari benturan kepentingan akan sangat terasa.

Demi agenda pemberantasan korupsi itu sendiri, sudah semestinya AA meletakkan jabatannya secara ikhlas supaya KPK tidak terseret-seret oleh masalah yang menimpa dirinya. Sekarang kita tinggal berharap KPK dapat melewati masa-masa sulit ini dengan cerdas sehingga tidak akan menganggu upaya pemberantasan korupsi yang masih menjadi pekerjaan rumah bangsa ini.

Oleh: Adnan Topan Husodo

Tulisan disalin di Jurnal Nasional, 8 Mei 2009

Sunday, May 03, 2009

Antivirus Korupsi Buat DPR Baru

KPK berencana memberikan kuliah kepada anggota DPR baru supaya mereka dapat terhindar atau menghindar dari praktik korupsi,kolusi,dan nepotisme yang sudah menjadi penyakit parah di lingkungan legislatif.


Bentuk perkuliahan sebagaimana dikabarkan banyak media massa adalah dengan orientasi dan siraman pengetahuan mengenai tindak pidana korupsi kepada anggota Dewan hasil Pemilu Legislatif 2009. Pertama kali membaca usulan KPK itu,saya agak bingung dan kemudian bertanya-tanya.Salah satu yang muncul dalam benak pikiran adalah, apakah KPK sudah kehilangan cara untuk memberantas korupsi sehingga pendekatan yang diambil lagi-lagi dengan ceramah? Terus terang kepercayaan saya terhadap rencana ini sangatlah tipis.

Setali uang dengan pesimisme saya terhadap keberhasilan agenda deklarasi antikorupsi oleh seluruh partai politik peserta Pemilu 2009 yang telah diinisiasi KPK beberapa waktu lalu. Faktanya memang demikian. Tak lama setelah deklarasi,Abdul Hadi Djamal, anggota DPR yang juga caleg DPR dari Partai Amanat Nasional (PAN),dicokok KPK karena dugaan menerima suap dana stimulus. Buntutnya pun makin panjang karena pengakuannya dalam pemeriksaan KPK telah menyeret nama anggota DPR lain,sebut saja Rama Pratama (PKS) dan Jhonny Allen Marbun (Demokrat).

Terakhir, KPK juga memeriksa Enggartiasto Lukito (Golkar) dan Emir Moeis (PDI Perjuangan) sebagai saksi. Metode yang mengasumsikan ketidakpahaman sebagai faktor utama korupsi sudah lama menuai kritik, apalagi jika diharapkan dapat mengerem laju korupsi di DPR yang masuk dalam ranah state capture of corruption.

Hasil penelitian Anwar Shah dan Jeff Huther atas program antikorupsi dengan pendekatan cost-benefit analysis menunjukkan adanya fakta empiris bahwa kegiatan yang berkaitan dengan seminar untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran antikorupsi bagi kalangan pejabat negara/ birokrasi tidak memberikan banyak pengaruh. Alasannya sederhana bahwa pejabat negara pada dasarnya sudah memahami hakikat dari tindak pidana korupsi.

Masalahnya dalam situasi di mana keadaan governance sebuah negara sangat buruk,kemauan dan kemampuan untuk memberantas korupsi menjadi hilang (World Bank,2000). Saya khawatir pendekatan KPK yang serbaapa adanya ini merefleksikan dua hal. Pertama, rasa frustrasi kalangan internal KPK dengan berbagai macam program antikorupsi yang masih membuka peluang besar bagi terjadinya korupsi di berbagai level dan tempat. Kedua, tiadanya landasan berpikir yang cukup kuat untuk mendesain sebuah agenda dan strategi dalam pemberantasan korupsi.

Sudah dapat diterka kegagalan demi kegagalan akan kita temui setiap kali agenda pemberantasan korupsi hanya menyentuh wilayah permukaan, bukan pada jantung persoalannya.Apalagi jika hanya ingin mengisi kegiatan pemberantasan korupsi dengan agenda seremonial belaka. Sebenarnya dari sisi output, sepak terjang KPK telah memetik hasil meski tidak terlalu mengubah posisi Indonesia secara global,yakni naiknya indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia pada 2008 menjadi 2,6 poin dari tahun sebelumnya 2,3.

Namun perlu diingat bahwa yang dinilai sebagai keberhasilan pemberantasan korupsi oleh KPK adalah penegakan hukumnya, bukan yang lain-lain,apalagi yang terkesan basa-basi seperti deklarasi, komitmen antikorupsi pejabat publik, seminar antikorupsi, ceramah antikorupsi. Ini berarti pendekatan penegakan hukum perlu dipertahankan dan ditingkatkan, terutama pada sisi profesionalitas para penyidik KPK,sehingga mereka dapat membongkar dan menginvestigasi berbagai macam kasus korupsi yang kian rumit dan canggih.

Karena tipologi korupsi di DPR bukanlah disebabkan miskinnya pengetahuan (baca: kebodohan), tetapi dipengaruhi faktor-faktor yang lebih kompleks, pemberantasan korupsi di DPR tidak dapat dilakukan dengan memberikan pengetahuan. Malah gagasan ini sangat kontradiktif jika dikaitkan dengan korupsi sebagai kejahatan white collar crime(kejahatan kerah putih). Korupsi anggota parlemen yang bak cendawan di musim hujan merupakan bagian dari persoalan relasi kuasa,baik antara kelompok bisnis dan politik-birokrasi maupun masyarakat.

Ketidakseimbangan antarberbagai aktor tersebut (lack of checks and balances) telah melahirkan budaya politik yang penuh dengan suap.Kebutuhan akan biaya politik yang tinggi dan hasrat untuk mempertahankan kekuasaan kian mendorong terjadinya perselingkuhan yang keji antara kelompok bisnis dan politik- birokrasi. Proteksi bisnis, kebijakan publik yang menguntungkan secara sepihak, dan alokasi sumber daya publik yang diarahkan untuk menciptakan hubungan simbiosis mutualisme antaraktor bisnis dan politik-birokrasi semakin menjadijadi tatkala aturan mengenai pengawasan internal anggota DPR sebagai perumus kebijakan publik, kode etik, dan konflik kepentingan tidak ditata dengan baik.

Demikian halnya jika sebuah sistem pemilu tidak ditunjang oleh mekanisme transparansi dan pertanggungjawaban dana politik (kampanye) yang kokoh.Situasi ini sangat tidak menguntungkan masyarakat sipil dan media karena sebagai aktor governance yang memiliki peran melakukan kontrol atas jalannya kekuasaan,dukungan politik untuk memperkuat posisi mereka menjadi lemah. Kita jangan lengah dengan melihat korupsi sebagai masalah utamanya.

Penyakit korupsi hanyalah gejala atau bayangan dari gagalnya sistem politik-birokrasi yang akuntabel dan transparan.Tanpa memperbaiki semua silang sengkarut dalam tata hubungan antarberbagai aktor governance, korupsi merupakan masalah bagi sistem politik mana pun. Tak aneh jika banyak studi yang menjelaskan bahwa sistem politik yang menganut asas demokrasi bukan formula baku untuk menghapuskan korupsi.Bahkan sebaliknya korupsi bisa menjadi lebih parah.

Hal itu sudah kita alami sendiri pascaotonomi daerah di mana banyak kepala daerah dan anggota DPRD, termasuk pejabat birokrasi, terjerat kasus korupsi. Oleh karena itu, antibodi korupsi bagi DPR baru bukanlah dengan ceramah antikorupsi kepada mereka.Dengan modal hasrat berkuasa yang sangat tinggi––caleg gagal banyak yang depresi karena kehilangan banyak uang––, pembiayaan kampanye yang fantastis minus transparansi dan akuntabilitas, sebagian besar niat untuk terpilih anggota DPR adalah supaya menjadi kaya.

Artinya, kita harus sadar sejak awal bahwa begitu mereka dilantik menjadi anggota DPR,pada saat itu juga potensi korupsinya muncul. Cara menghalanginya menurut saya bisa terbagi ke dalam tiga hal. Pertama, reformasi internal DPR dengan mendorong keterbukaan dan pertanggungjawaban dalam berbagai pengambilan keputusan sehingga tidak ada kongkalikong atau politik dagang sapi.

Merumuskan ulang kode etik anggota DPR yang dapat memberikan sabuk pengaman bagi kemungkinan lahirnya potensi korupsi dan konflik kepentingan serta memperkuat posisi pengawas internal DPR. Gagasan ini harus dikawal KPK dan kalangan antikorupsi sehingga bangunan sistem internal DPR ke depan bisa lebih menjamin akuntabilitas dan transparansi. Kedua, memperkokoh posisi kontrol masyarakat dan konstituen untuk mengendalikan perilaku anggota Dewan.

Jika saat ini aturan main masih menempatkan partai politik sebagai pemegang otoritas untuk mengganti anggota DPR sewaktu- waktu,ke depan hak publik untuk mengusulkan pergantian anggota DPR harus diakomodasi. Dengan demikian, anggota Dewan memiliki ikatan yang lebih jelas terhadap konstituen yang memilihnya. Ketiga, KPK harus lebih memperkuat agenda pengawasan di lembaga parlemen dengan meningkatkan operasi penegakan hukum, terutama bagi kalangan elite DPR.

Masalahnya saat ini, yang ditangkap KPK adalah anggota DPR biasa,bukan pemegang kendali utama kekuasaan. Jika mereka yang sangat berpengaruh terjerat, efek jera akan melanda DPR.(*)

Adnan Topan Husodo
Wakil Koordinator ICW

Disalin dari Koran Seputar Indonesia, 4 Mei 2009