Friday, May 29, 2009

Politik Memandulkan KPK

Sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia penuh dengan ironi. Lembaga negara yang seharusnya terlibat aktif dan memberikan dukungan penuh pada upaya melawan korupsi justru berbuat sebaliknya. Tak heran jika pukulan demi pukulan dihadapi oleh KPK, baik sejak lembaga ini memulai menangani kasus korupsi untuk pertama kalinya, hingga sekarang setelah Ketua KPK, Antasari Azhar dinonaktifkan karena kasus pembunuhan terhadap Nasrudin, Direktur PT Banjaran Putra Rajawali, anak perusahaan PT Rajawali Nusantara Indonesia.

Kita tentu masih ingat bagaimana para pengacara terdakwa korupsi menggugat landasan hukum KPK dengan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Semua pasal yang digugat adalah pasal mengenai wewenang KPK dalam menangani kasus korupsi, bukan pasal yang berkaitan dengan otoritas pencegahan. Dalam catatan ICW, UU KPK No 30 Tahun 2002 adalah UU yang paling sering digugat, yakni mencapai depalan (8) kali.

Ulah Parlemen

Judicial review terhadap UU KPK adalah permulaan, setelahnya suara-suara miring terhadap KPK kian keras tatkala KPK tengah mendapatkan dukungan luas dari publik untuk memberantas korupsi. Lebih disayangkan lagi, suara itu muncul dari parlemen, lembaga wakil rakyat yang seharusnya berada di belakang KPK. Tuntutan pembubaran KPK dan mereduksi wewenang besar KPK adalah wacana yang pernah muncul di rapat para wakil rakyat. Meskipun kemudian hal itu gagal diwujudkan karena reaksi publik yang menentang ide tersebut.

Redupnya tuntutan itu ternyata tidak berarti berhenti, akan tetapi hanya diam sementara waktu. Intensitas KPK periode menangkap beberapa anggota DPR yang terlibat suap kembali menaikkan suhu di parlemen menjadi sangat panas.

Puncaknya ketika Polda Metro Jaya menetapkan Ketua KPK sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan Nasrudin. Secara reaktif, Komisi III DPR sebagai mitra kerja KPK memanggil 4 pimpinan KPK dalam rapat dengar pendapat dadakan. Kesimpulan rapat kembali menyentak kesadaran publik karena ternyata bukan dukungan terhadap KPK yang muncul dari mulut Komisi III DPR, akan tetapi justru tuntutan untuk tidak menangani kasus-kasus korupsi sebelum Ketua KPK baru terpilih.

Demikian vulgarnya tuntutan Komisi III kepada KPK telah menguatkan sebuah kekhawatiran yang semakin nyata. Tentu saja hal ini dapat dihubungkan dengan berbagai kasus korupsi di KPK yang diduga melibatkan anggota dewan. Begitu pentingnya posisi Ketua KPK selama ini bagi Komisi III sekaligus mengokohkan asumsi bahwa dalam seleksi calon pimpinan KPK pada 2007 lalu, telah terjadi barter kepentingan politik antara yang memilih dan yang dipilih.

Argumentasi Kekuasaan Korup

Dasar berpijak atas tuntutan itu sebenarnya sangat rapuh. Akan tetapi dorongan politik yang begitu kuat telah membutakan nalar sehat. Ketua Pansus RUU Pengadilan Tipikor, Dewi Asmara, yang juga merupakan anggota Komisi III DPR dari fraksi Golkar memang mengatakan bahwa keinginan Komisi III DPR agar KPK tidak menangani kasus korupsi sebelum terpilih Ketua KPK yang baru lebih dikarenakan masalah kekosongan hukum. Komisi III khawatir, jika KPK mengambil tindakan strategis sepeninggal AA, akan ada potensi kasus yang dibawa KPK dianggap tidak sah.

Alasan itu memang kesannya membela KPK, akan tetapi jika digali lebih jauh, justru ingin memandulkan KPK. Terlalu mudah usaha mengecoh publik itu diketahui karena hukum tidak hanya dikuasai oleh mereka yang ada di DPR. Komisi III beranggapan bahwa pimpinan KPK itu adalah lima (5) orang dan pengambilan keputusannya dilakukan secara kolektif (pasal 21 ayat 1 dan ayat 5 UU KPK), sehingga dipahami sebagai satu paket. Jika paket itu hilang satu, maka keputusan yang diambil oleh empat orang pimpinan KPK secara hukum dianggap tidak sah.

Komisi III barangkali lupa bahwa kekosongan hukum yang dimaksud juga dihadapi oleh kekosongan hukum yang lain, yakni tiadanya aturan yang menyebutkan sah atau tidaknya putusan pimpinan KPK minus satu orang. Entah itu karena Ketua KPK tidak berhalangan, atau absennya Wakil Ketua KPK sekalipun. Komisi III juga tidak belajar dari pengalaman bahwa KPK kerap mengambil keputusan strategis meskipun salah satu diantara mereka tidak terlibat karena faktor teknis, misalnya sakit, cuti, dinas di luar negeri dan sebagainya.

Demikian juga ada hukum yang berbunyi, jika dalam sebuah keadaan dimana terjadi kekosongan hukum karena tiadanya aturan tertulis yang mengikat, maka kelaziman atau kebiasaan umum yang berlaku bisa diterapkan. Anehnya, dalam soal ini, logika Komisi III adalah teknis-yuridis, sebuah logika yang jarang sekali digunakan oleh para politisi.

Komisi III juga tidak dalam posisi untuk menentukan atau menafsirkan, bahwa keputusan KPK minus Ketua KPK dikategorikan tidak sah secara hukum sehingga mereka bisa seenaknya meminta KPK untuk menghentikan semua proses pengambilan keputusan yang strategis. Seharusnya sah atau tidaknya proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan kasus korupsi oleh KPK ditentukan oleh pengadilan. Pada titik ini, Komisi III sudah sangat kebablasan. Komunikasi yang dimainkan bukan lagi bagian dari upaya membangun KPK yang lebih baik, akan tetapi logika kekuasaan koruptif yang tujuannya jelas, untuk memandulkan KPK.

Seleksi Ketua KPK Baru, Pentingkah?

KPK akan berhenti bekerja paling tidak satu (1) tahun jika tuntutan Komisi III dipenuhi. Pasalnya, untuk memiliki pimpinan KPK yang baru, UU KPK menyebutkan mekanisme itu harus dilalui sebagaimana tata cara pemilihan pimpinan KPK yang sudah ada. Ini artinya, butuh waktu paling tidak 6 (enam) bulan untuk mempersiapkan Panitia Seleksi yang akan ditunjuk oleh Presiden hingga penyerahan daftar calon pimpinan KPK kepada Komisi III untuk diuji dalam fit and proper test.

Komisi III sendiri sebenarnya tidak etis mendorong adanya pergantian Ketua KPK mengingat sampai saat ini, status AA masih sebagai tersangka. Seuai dengan UU KPK, status tersangka hanya diberhentikan sementara oleh Presiden. Lain halnya jika AA sudah menjadi terdakwa, maka ia secara otomatis dihentikan selamanya sebagai Ketua KPK. Menunggu peningkatan status dari tersangka menjadi terdakwa sendiri membutuhkan waktu.

Sejatinya, dalam UU KPK disebutkan bahwa pergantian pimpinan KPK dilakukan apabila terjadi kekosongan pimpinan KPK (pasal 33 ayat 1). Masalahnya, apa yang dimaksud sebagai kekosongan pimpinan KPK kemudian? Jika pengertian kosong secara harfiah adalah apabila tidak terdapat sesuatu apapun dalam tempat, wadah ataupun ruang. Saat ini, meskipun Ketua KPK diberhentikan sementara oleh Presiden, namun masih ada empat pimpinan KPK yang lain. Jika ini dimaksud sebagai kekosongan pimpinan KPK sebagaimana pendapat Komisi III, maka sejatinya mereka telah meniadakan pimpinan KPK diluar Ketua KPK.

Oleh karena itu, pergantian Ketua KPK tidaklah prioritas. Lebih penting bagi kita untuk memberikan kesempatan bagi KPK untuk mengelola kebijakan internal mereka dengan efektif dan efisien dengan komposisi yang sekarang. Daripada mengakali publik dengan argumentasi telah terjadi kekosongan hukum dan kekosongan pimpinan KPK, Komisi III seharusnya bisa lebih fokus pada percepatan penyelesaian RUU Pengadilan Tipikor yang sebentar lagi akan menyentuh garis deadline. Barangkali tidak menyelesaikan RUU Pengadilan Tipikor pada tahun ini merupakan strategi lain parlemen untuk mengerem KPK?

Sudah semestinya kita beri waktu bagi empat pimpinan KPK untuk menunjukkan kemampuan mereka dalam memberantas korupsi. Jangan-jangan sebagaimana dugaan selama ini, tanpa AA, KPK justru jauh lebih mumpuni. Seleksi Ketua KPK untuk mencari pengganti AA barangkali hanya kedok untuk menyambung kembali putusnya tali kepentingan yang bertaut di KPK selama ini.

*****

Oleh: Adnan Topan Husodo
Wakil Koordinator ICW

Tulisan disalin dari harian Seputar Indonesia, 29 Mei 2009

No comments: