Tuesday, June 19, 2007

Menghapus Dana Nonbujeter

Banyak hal yang keliru dalam tata kelola keuangan negara kita, tapi sering kali diyakini sebagai sebuah kewajaran, bahkan kebenaran. Karena itu, kesalahan-kesalahan muncul berulang kali tanpa bisa dikendalikan. Padahal acuan yang dibuat untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas, sekaligus menekan tingkat kebocoran dan penyelewengan anggaran negara, sudah dibuat. Sebut saja, misalnya, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU Nomor 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

Ketiga peraturan perundang-undangan tersebut seharusnya sudah cukup mumpuni untuk mengekang beragam potensi pelanggaran. Namun, sepertinya seperangkat peraturan yang telah dilengkapi dengan sanksi di dalamnya itu tidak mampu mengendalikan nafsu kekuasaan yang cenderung korup. Salah satu faktornya adalah karena pelaksana undang-undang tidak cukup bernyali untuk menindak tegas berbagai bentuk penyimpangan anggaran. Tak pelak lagi pembiaran terhadap praktek pelanggaran peraturan kemudian menjadi pemandangan yang lumrah.

Mungkin jika praktek koruptif dalam pengelolaan anggaran negara bisa dideteksi dengan cepat melalui pelaksanaan peraturan yang konsisten, selain akan menyelamatkan uang negara, dapat memberikan terapi kejut bagi para pengelola anggaran negara.

Konsistensi itulah yang seharusnya ditunjukkan oleh Presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara, dengan mempercepat proses perbaikan sistem di sektor pengelolaan anggaran negara. Sehingga "improvisasi" masing-masing instansi teknis--baik departemen maupun nondepartemen--untuk menggali dan mengelola anggaran publik di luar garis-garis yang ditetapkan peraturan perundang-undangan dapat dicegah.

Kasus-kasus korupsi semacam Dana Abadi Umat (DAU) di Departemen Agama, yang melibatkan Said Agil Munawar, atau Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), yang telah menyeret Rokhmin Dahuri, menegaskan bahwa masih terdapat peluang yang besar bagi pemegang otoritas kebijakan di sebuah institusi pemerintahan untuk menyelewengkan dana, baik yang diperoleh melalui pungutan dari konsumen pelayanan publik maupun pemotongan proyek-proyek pemerintah.

Potensi penyelewengan anggaran yang besar juga dapat dilihat dari temuan Departemen Keuangan terakhir. Terdapat sekitar 5.000 rekening liar yang digunakan untuk menyimpan anggaran non-APBN atau nonbujeter.

Dikatakan rekening liar karena prosedur pembuatannya tanpa sepengetahuan dan izin dari Menteri Keuangan selaku bendahara umum negara, sebagaimana diatur dalam UU Perbendaharaan Negara. Ditambah lagi karena dana yang ditampung dalam rekening tersebut adalah dana-dana nonbujeter.

Merujuk pada UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, istilah nonbujeter sebenarnya tidak dikenal sama sekali. Konsepsi keuangan negara dalam undang-undang tersebut hanya meliputi wilayah APBN dan APBD, dan sama sekali tidak disinggung pengertian di luar kedua hal tersebut. Karena tidak diatur, sesungguhnya dana nonbujeter merupakan dana ilegal karena eksistensinya di luar jangkauan UU Keuangan Negara.

Meskipun demikian, mengingat tempat penyimpanannya pada rekening yang dibuat oleh otoritas pengelola keuangan negara, secara otomatis sebenarnya dana nonbujeter itu masuk dalam kategori keuangan negara. Maka amatlah tepat kebijakan Menteri Keuangan menertibkan rekening liar dan memasukkan pelbagai dana yang ada di dalamnya ke kas negara. Pendek kata, dari mana pun sumber dana nonbujeter yang selama ini disimpan dalam rekening liar instansi pemerintah, semuanya harus dimasukkan dalam APBN dan atau APBD.

Selama ini menjamurnya penyimpangan atas penggunaan dana nonbujeter sangat dipengaruhi oleh berbagai macam pemahaman yang keliru. Semuanya menjadi lebih mudah karena ada sebuah keyakinan kuat bahwa keberadaan dana nonbujeter merupakan sebuah terobosan untuk menyiasati minimnya anggaran resmi yang dialokasikan negara. Di sisi lain, berkembang pendapat bahwa operasionalisasi sebuah instansi pemerintah mustahil dapat berjalan seandainya hanya mengandalkan anggaran resmi negara saja. Khususnya pembiayaan untuk kegiatan-kegiatan yang mendesak dan tidak terprogram sama sekali.

Pada level tertentu, pandangan dan argumentasi di atas dapat dibenarkan. Namun, yang perlu diingat, kekeliruan mendasar yang menyebabkan munculnya berbagai dana nonbujeter terletak pada politik penganggaran kita. Selama ini proses penganggaran lebih didominasi oleh tarik-menarik kepentingan proyek besar yang melibatkan berbagai kelompok modal, politikus, dan birokrat di luar agenda pengembangan dan keberlanjutan pembangunan.

Akibatnya, anggaran yang tersedia tidak akan pernah cukup untuk membiayai berbagai kepentingan publik yang lebih besar. Dalam kasus DKP misalnya. Alasan utama munculnya pungutan pada setiap proyek yang dibiayai APBN di DKP adalah untuk membantu para nelayan pesisir yang tidak tersentuh oleh program pemerintah. Di luar alasan di atas, bagi politikus, dana nonbujeter adalah amunisi bagi pendanaan politik yang efektif. Sistem politik kita yang harus dibiayai dengan ongkos sangat mahal telah melahirkan berbagai macam bentuk anomali dalam tata kelola keuangan yang berujung pada praktek korupsi.

Masih merujuk pada fakta dalam kasus DKP, berdasarkan hasil penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ditemukan bahwa dana DKP nyatanya lebih banyak digunakan untuk kepentingan di luar nelayan. Politikus Dewan Perwakilan Rakyat justru mendapatkan perhatian yang lebih serius dibanding nasib nelayan. Karena itu, kekhawatiran terbesar jika dana nonbujeter tetap dipertahankan adalah mudahnya terjadi manipulasi kepentingan yang sulit dihindarkan. Alasan untuk keperluan operasional mendesak atau membiayai kelompok masyarakat yang tidak beruntung paling mungkin digunakan sebagai cadar untuk menutupi kepentingan tersembunyi yang sesungguhnya.

Demikian halnya sampai saat ini, hampir tidak ada formula yang efektif untuk membiarkan dana nonbujeter dikelola oleh instansi pemerintah, meskipun diikuti oleh perbaikan dalam sistem transparansi dan akuntabilitasnya. Hal ini karena dana nonbujeter sejak dalam struktur dasarnya sudah mengandung sifat-sifatnya yang tertutup dan tersembunyi. Maka dana nonbujeter hanya akan terus bertahan seandainya ruang gelap untuk tidak mempertanggungjawabkannya masih terpelihara subur. Lantas, akankah kita terus mendiamkannya?

Disalin dari Koran Tempo, 19 Juni 2007

BUMN dan BUMD Adalah Badan Publik

Perdebatan keras proses legislasi RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (KMIP) antara Panitia Kerja (Panja) Komisi I DPR RI dan pemerintah yang diwakili Departemen Informasi dan Komunikasi (Depkominfo) terfokus pada pendefinisian apa yang disebut sebagai badan publik. Kemudian, lembaga-lembaga semacam apa yang masuk dalam kategori badan publik.

Sofyan Djalil, Menkominfo saat itu, bersikeras bahwa BUMN bukanlah badan publik. Alasannya, BUMN sudah diatur tersendiri oleh rezim ekonomi melalui berbagai peraturan perundang-undangan yang ada, misalnya UU PT, UU Pasar Modal, dan UU Rahasia Dagang.

Di dalam berbagai peraturan tersebut juga sudah ada kewajiban bagi BUMN untuk membuka informasi kepada pemegang saham dan melaporkan kondisi keuangan hasil audit melalui media massa.

Dikhawatirkan, seandainya BUMN termasuk ke dalam badan publik, dalam pengertian bahwa publik dapat mengakses informasi seluas-luasnya, persaingan usaha menjadi tidak sehat.

Banyak hal rahasia dalam kalkulasi bisnis yang bisa diketahui pihak lain. Demikian kira-kira argumentasi Depkominfo sehingga BUMN harus dikeluarkan dari definisi badan publik.

Konsep
Untuk membongkar justifikasi-justifikasi tersebut, kita bisa mulai membedahnya dari konsep badan publik yang dianut RUU KMIP. Paling tidak, ada tiga kriteria dasar yang berlaku parsial sebuah institusi dapat dikategorikan sebagai badan publik. Pertama, menggunakan anggaran negara dan atau anggaran daerah.

Kedua, penyelenggara negara yang tugas pokok dan fungsinya berkaitan dengan penyelenggaraan negara.

Ketiga, pihak-pihak lain yang bukan penyelenggara negara, akan tetapi mendapatkan anggaran dari negara atau anggaran daerah maupun yang mendapatkan dana dari sumbangan masyarakat atau sumber luar negeri, termasuk LSM dan partai politik.

Merujuk pada konsep badan publik di atas, sejatinya BUMN dan BUMD masuk kategori badan publik karena menggunakan anggaran negara dan atau anggaran daerah. Meski orientasi yang dibangun BUMN dan BUMD adalah mengejar laba, dana yang digunakan untuk menjalankan aktivitas bisnisnya diperoleh dari anggaran negara.

Apa yang disebut sebagai anggaran negara atau keuangan negara sudah diatur tersendiri di dalam UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara. Dalam pasal 1 UU itu disebutkan bahwa keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu, baik berupa uang maupun barang, yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

Lebih lanjut, UU Keuangan Negara mengatur tentang ruang lingkup keuangan negara yang meliputi hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman. Serta, kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga, penerimaan negara, pengeluaran negara, penerimaan daerah, pengeluaran daerah, kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah, kekayaan pihak lain yang dikuasai pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum maupun kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.

Jelas
Dengan demikian, semakin jelaslah bahwa perusahaan negara atau daerah termasuk dalam definisi keuangan negara sebagaimana diatur dalam UU Keuangan Negara. Perusahaan negara juga menjadi bagian dari badan publik sebagaimana konsepsi dalam RUU KMIP itu sendiri.

Selain itu, BUMN/BUMD perlu dimasukkan sebagai badan publik karena fakta menunjukkan bahwa praktik bisnis di perusahaan negara dan daerah sarat dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sudah bukan rahasia umum selama ini perusahaan negara dijadikan sebagai sapi perah untuk kepentingan politik.

Dari catatan ICW, selama kurun waktu 2006, BUMN dan BUMD merupakan sektor yang tinggi angka korupsinya. Di luar kalangan eksekutif (69 kasus), BUMN dan BUMD menempati posisi kedua dengan jumlah kasus mencapai 49.

Tanpa diikuti kewajiban untuk membuka akses seluas-luasnya kepada publik untuk melakukan pengawasan, BUMN dan BUMD akan terus digerogoti korupsi. Tak ayal, berita mengenai BUMN dan BUMD yang terus merugi adalah ongkos mahal yang harus dibayar seandainya BUMN dan BUMD tidak diwajibkan membuka akses informasi kepada publik.

Langkah pemerintah untuk menerapkan Good Corporate Governance (GCG) saja tidak cukup. Sebab, GCG hanya akan dapat bekerja di saat lingkungan BUMN dan BUMD steril dari kepentingan di luar bisnis.

Sebaliknya, ketika pemilihan direksi BUMN dan BUMD masih ditentukan dan diintervensi kelompok politik tertentu dan saat kalangan profesional kehilangan kesempatan mengelola BUMN dan BUMD secara mandiri, GCG merupakan konsep di atas kertas yang menemui jalan buntu.

Karena itu, jika ada batas-batas atas akses publik nantinya, hal tersebut masih bisa diterima. Pertimbangannya tentu saja berkaitan dengan informasi mengenai desain bisnis, formulasi usaha, hak cipta, dan hal-hal lain yang bersentuhan langsung dengan persaingan usaha. Sebab, meski ada batas-batas yang kemudian dilanggar, mekanisme sengketa informasi telah disediakan melalui Komisi Informasi yang akan menilai laik tidaknya informasi itu diberikan.

Yang harus diingat, dalam bisnis BUMN dan BUMD, terdapat berbagai macam kegiatan yang berada di luar konteks persaingan usaha, namun potensi korupsinya tinggi. Sebut saja, misalnya, pengadaan barang dan jasa yang menjadi wilayah paling rawan untuk dikorupsi. Di luar itu, kegiatan semacam penjualan aset BUMN dan BUMD yang juga tidak luput dari praktik korupsi.

Kasus seperti penjualan saham yang merugikan Perusahaan Gas Negara (PGN) karena ditengarai penuh rekayasa untuk memperkaya beberapa gelintir pihak merupakan justifikasi faktual bahwa BUMD ataupun BUMD harus bisa diawasi publik.

Dengan demikian, kerugian yang timbul dari kegiatan usaha BUMN dan BUMD bisa dilihat apakah disebabkan kegiatan bisnis murni yang penuh dengan resiko. Atau, kerugian itu diakibatkan perbuatan direksi dan komisaris yang melanggar hukum sehingga dapat diproses melalui dugaan tindak pidana korupsi.

Terakhir, meski BUMN telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, hal itu hanya membatasi keterbukaan perusahaan negara pada pemiliknya, yakni pemegang saham. Sementara itu, RUU KMIP memperluas keterbukaan BUMN dan pertanggungjawabannya sampai ke ranah publik. Pada dasarnya, keuangan BUMN dan BUMD merupakan bagian dari keuangan negara yang tidak bisa lepas dari pertanggungjawaban publik.

Disalin dari Jawa Pos, Selasa, 19 Juni 2007

Monday, June 04, 2007

Kesetaraan Hukum Sipil-Militer

Setelah lebih kurang lima tahun kasus dugaan korupsi pembelian helikopter Mi-17 mandeg, Kejaksaan Agung RI mulai mengambil langkah lebih maju dengan menahan beberapa tersangka. Salah satu dari tersangka yang akhirnya turut ditahan setelah menuai kritik keras karena kesan diskriminasi yang kuat berasal dari kalangan militer.

Sulitnya mendorong penegakan hukum bagi pelaku korupsi yang memiliki latar belakang militer memang masih menjadi pekerjaan rumah yang jauh dari selesai. Terkesan selama ini militer merupakan wilayah yang kedap dari hingar bingar dan hiruk-pikuk kampanye pemberantasan korupsi, khususnya pada era Yudhoyono-Kalla.

Meskipun hal ini tidak berarti mengandung hubungan sebab-akibat, dalam pengertian bahwa, di institusi militer relatif sedikit tingkat korupsinya sehingga jarang sekali ada militer aktif diproses secara hukum. Justru sebaliknya, jika ditarik ke dalam sejarah Indonesia, militer merupakan institusi yang tingkat korupsinya relatif tinggi. Hal mana juga menjadi persoalan di beberapa negara dunia ketiga yang memiliki latar belakang sejarah sosial-politik otoriter.

Warisan kekuasaan otoriter yang mengendap kuat dalam jalinan struktur politik Indonesia membuat institusi militer memiliki posisi yang sangat diperhitungkan jika berhadapan dengan mekanisme hukum. Terlemparnya mereka dari kekuasaan politik formal dihilangkannya jatah perwakilan di DPR- tidak mengurangi sifat dan posisi militer yang sangat dianak- emaskan.

Faktornya bukan karena ketidakpatuhan atau pembangkangan atas mekanisme hukum yang berlaku, akan tetapi karena desain hukum yang diwariskan membuat institusi militer memiliki mekanisme tersendiri yang keluar dari tatanan hukum umum. Oleh sebab itu, jika terjadi dugaan tindak pidana korupsi di instansi militer atau dilakukan oleh militer aktif misalnya, kesulitan utama yang dihadapi aparat penegak hukum adalah sistem hukum diskriminatif yang masih berlaku hingga sekarang.

Dalam KUHAP dan UU Peradilan Militer telah diatur sebuah mekanisme koneksitas baik penyelidikan penyidikan maupun pengadilan untuk memproses secara hukum militer aktif yang melakukan tindak pidana. Hal mana keadaan ini selalu dijadikan sebagai tameng bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejagung RI untuk tidak menyeret pelaku korupsi dari militer aktif ke proses hukum pidana biasa, yang sekarang hanya berlaku bagi kalangan sipil.

Merujuk pada UUD 45 hasil amandemen, khususnya pasal 27 yang menjamin adanya kesamaan atau kesetaraan di depan hukum bagi setiap orang, mekanisme koneksitas adalah duri dalam daging untuk mewujudkan tiadanya diskriminasi dalam hukum. Pasalnya mewujudkan demokrasi dalam sebuah negara hukum memiliki prasyarat dasar, yakni ketika perangkat negara dan warga negara biasa diletakan sebagai subjek hukum yang setara.

Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah proses dan perangkat hukum yang akan menjamin bekerjanya hukum secara objektif dan adil dalam situasi dan keadaan apa pun. Dalam konteks inilah mekanisme koneksitas memiliki kesulitan mendasar untuk melahirkan tiadanya diskriminasi dalam hukum.

Kesimpulan itu bukan tanpa alasan. Terdapat beberapa argumentasi untuk menjelaskannya. Pertama, bahwa mekanisme koneksitas untuk memproses secara hukum para militer aktif yang telah melakukan tindak pidana kejahatan, termasuk korupsi, tidak memiliki cukup kekuatan untuk melahirkan putusan yang adil. Oditur militer sebagai pihak yang berperan besar untuk mendorong proses hukum para militer aktif merupakan bagian yang tak terpisahkan dari institusi militer itu sendiri.

Bukan berarti kemudian mencurigai bahwa mereka tidak bekerja dengan baik, akan tetapi beban berat untuk menegakkan citra yang baik institusi militer seringkali dilakukan dengan menutup-nutupi proses yang tengah dilakukan. Oleh karena itu, terkesan kuat yang muncul bukan semangat untuk memberantas kejahatan pidana para militer aktif, akan tetapi melindungi korps dari terpaan isu miring yang berkembang di luar.

Kedua, sifat komando di tubuh militer yang tidak memungkinkan penegakan hukum internal dilakukan secara adil. Meskipun para oditur militer dibekali dengan sejumlah kewenangan, namun sistem komando yang menjadi ciri khas institusi militer tak dapat menjangkau semua pelaku tindak kejahatan, seandainya sifat tindak pidana yang dilakukan adalah terorganisir, sebagaimana sering dijumpai dalam kasus-kasus korupsi.

Sifat hirarki yang kuat akan menimbulkan problem struktural bagi siapa pun yang ditempatkan sebagai oditur militer untuk dapat bekerja secara objektif. Persoalan ini dapat ditemukan dalam kasus dugaan korupsi dalam pembelian helikopter Mi-17 yang sudah disebutkan di awal tulisan.

Dokumen yang dimiliki ICW misalnya menjelaskan bahwa proses pembelian heli ini sebenarnya melibatkan beberapa perwira tinggi militer. Paling tidak dalam kapasitasnya sebagai penanggung jawab utama, khususnya bagi pihak-pihak yang telah memberikan ijin bagi dilakukannya penunjukan langsung dalam pembelian heli dan pembayaran uang muka tunai yang di kemudian hari menimbulkan masalah besar. Namun hingga saat ini, tidak ada satu pun dari mereka yang telah diperiksa, minimal diminta keterangan sebagai saksi.

Dengan berbagai argumentasi di atas, dapat disimpulkan bahwa mengembalikan posisi penegakan hukum, khususnya dalam kasus korupsi yang dilakukan oleh militer aktif ke dalam mekanisme hukum pidana sipil adalah langkah yang tidak dapat ditawar. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan pembaharuan pada aspek tata aturan yang selama ini menegaskan eksistensi penyelidikan penyidikan dan pengadilan koneksitas. Implikasi dari agenda ini adalah memaksa institusi militer untuk lebih transparan dan akuntabel dalam penggunaan anggaran.

Mengingat institusi militer memiliki kewenangan koersif dalam menjalankan peranannya sebagai alat pertahanan dan keamanan negara, maka justru yang harus diperkuat adalah dikenakannya pasal pemberatan bagi siapa pun militer aktif yang telah melakukan tindak pidana. Pemberatan ini merupakan konsekuensi logis dari adanya otoritas besar yang dipunyai institusi militer dibandingkan dengan warga sipil biasa.

Dengan demikian, penegakan hukum internal yang selama ini berlaku bagi mereka bukan bertujuan untuk menggantikan proses hukum umum yang berlaku bagi semua warga negara. Akan tetapi justru melengkapi proses hukum yang ada. Hal ini bertujuan untuk menegakkan disiplin dan tanggung jawab yang lebih besar bagi siapa pun yang menyandang profesi militer aktif sehingga tidak mudah jatuh dalam penyalahgunaan kekuasaan.

Adnan Topan Husodo, Anggota Badan Pekerja ICW

Tulisan ini diambil dari Suara Pembaruan, 3 Juni 2007