Banyak hal yang keliru dalam tata kelola keuangan negara kita, tapi sering kali diyakini sebagai sebuah kewajaran, bahkan kebenaran. Karena itu, kesalahan-kesalahan muncul berulang kali tanpa bisa dikendalikan. Padahal acuan yang dibuat untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas, sekaligus menekan tingkat kebocoran dan penyelewengan anggaran negara, sudah dibuat. Sebut saja, misalnya, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU Nomor 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Ketiga peraturan perundang-undangan tersebut seharusnya sudah cukup mumpuni untuk mengekang beragam potensi pelanggaran. Namun, sepertinya seperangkat peraturan yang telah dilengkapi dengan sanksi di dalamnya itu tidak mampu mengendalikan nafsu kekuasaan yang cenderung korup. Salah satu faktornya adalah karena pelaksana undang-undang tidak cukup bernyali untuk menindak tegas berbagai bentuk penyimpangan anggaran. Tak pelak lagi pembiaran terhadap praktek pelanggaran peraturan kemudian menjadi pemandangan yang lumrah.
Mungkin jika praktek koruptif dalam pengelolaan anggaran negara bisa dideteksi dengan cepat melalui pelaksanaan peraturan yang konsisten, selain akan menyelamatkan uang negara, dapat memberikan terapi kejut bagi para pengelola anggaran negara.
Konsistensi itulah yang seharusnya ditunjukkan oleh Presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara, dengan mempercepat proses perbaikan sistem di sektor pengelolaan anggaran negara. Sehingga "improvisasi" masing-masing instansi teknis--baik departemen maupun nondepartemen--untuk menggali dan mengelola anggaran publik di luar garis-garis yang ditetapkan peraturan perundang-undangan dapat dicegah.
Kasus-kasus korupsi semacam Dana Abadi Umat (DAU) di Departemen Agama, yang melibatkan Said Agil Munawar, atau Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), yang telah menyeret Rokhmin Dahuri, menegaskan bahwa masih terdapat peluang yang besar bagi pemegang otoritas kebijakan di sebuah institusi pemerintahan untuk menyelewengkan dana, baik yang diperoleh melalui pungutan dari konsumen pelayanan publik maupun pemotongan proyek-proyek pemerintah.
Potensi penyelewengan anggaran yang besar juga dapat dilihat dari temuan Departemen Keuangan terakhir. Terdapat sekitar 5.000 rekening liar yang digunakan untuk menyimpan anggaran non-APBN atau nonbujeter.
Dikatakan rekening liar karena prosedur pembuatannya tanpa sepengetahuan dan izin dari Menteri Keuangan selaku bendahara umum negara, sebagaimana diatur dalam UU Perbendaharaan Negara. Ditambah lagi karena dana yang ditampung dalam rekening tersebut adalah dana-dana nonbujeter.
Merujuk pada UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, istilah nonbujeter sebenarnya tidak dikenal sama sekali. Konsepsi keuangan negara dalam undang-undang tersebut hanya meliputi wilayah APBN dan APBD, dan sama sekali tidak disinggung pengertian di luar kedua hal tersebut. Karena tidak diatur, sesungguhnya dana nonbujeter merupakan dana ilegal karena eksistensinya di luar jangkauan UU Keuangan Negara.
Meskipun demikian, mengingat tempat penyimpanannya pada rekening yang dibuat oleh otoritas pengelola keuangan negara, secara otomatis sebenarnya dana nonbujeter itu masuk dalam kategori keuangan negara. Maka amatlah tepat kebijakan Menteri Keuangan menertibkan rekening liar dan memasukkan pelbagai dana yang ada di dalamnya ke kas negara. Pendek kata, dari mana pun sumber dana nonbujeter yang selama ini disimpan dalam rekening liar instansi pemerintah, semuanya harus dimasukkan dalam APBN dan atau APBD.
Selama ini menjamurnya penyimpangan atas penggunaan dana nonbujeter sangat dipengaruhi oleh berbagai macam pemahaman yang keliru. Semuanya menjadi lebih mudah karena ada sebuah keyakinan kuat bahwa keberadaan dana nonbujeter merupakan sebuah terobosan untuk menyiasati minimnya anggaran resmi yang dialokasikan negara. Di sisi lain, berkembang pendapat bahwa operasionalisasi sebuah instansi pemerintah mustahil dapat berjalan seandainya hanya mengandalkan anggaran resmi negara saja. Khususnya pembiayaan untuk kegiatan-kegiatan yang mendesak dan tidak terprogram sama sekali.
Pada level tertentu, pandangan dan argumentasi di atas dapat dibenarkan. Namun, yang perlu diingat, kekeliruan mendasar yang menyebabkan munculnya berbagai dana nonbujeter terletak pada politik penganggaran kita. Selama ini proses penganggaran lebih didominasi oleh tarik-menarik kepentingan proyek besar yang melibatkan berbagai kelompok modal, politikus, dan birokrat di luar agenda pengembangan dan keberlanjutan pembangunan.
Akibatnya, anggaran yang tersedia tidak akan pernah cukup untuk membiayai berbagai kepentingan publik yang lebih besar. Dalam kasus DKP misalnya. Alasan utama munculnya pungutan pada setiap proyek yang dibiayai APBN di DKP adalah untuk membantu para nelayan pesisir yang tidak tersentuh oleh program pemerintah. Di luar alasan di atas, bagi politikus, dana nonbujeter adalah amunisi bagi pendanaan politik yang efektif. Sistem politik kita yang harus dibiayai dengan ongkos sangat mahal telah melahirkan berbagai macam bentuk anomali dalam tata kelola keuangan yang berujung pada praktek korupsi.
Masih merujuk pada fakta dalam kasus DKP, berdasarkan hasil penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ditemukan bahwa dana DKP nyatanya lebih banyak digunakan untuk kepentingan di luar nelayan. Politikus Dewan Perwakilan Rakyat justru mendapatkan perhatian yang lebih serius dibanding nasib nelayan. Karena itu, kekhawatiran terbesar jika dana nonbujeter tetap dipertahankan adalah mudahnya terjadi manipulasi kepentingan yang sulit dihindarkan. Alasan untuk keperluan operasional mendesak atau membiayai kelompok masyarakat yang tidak beruntung paling mungkin digunakan sebagai cadar untuk menutupi kepentingan tersembunyi yang sesungguhnya.
Demikian halnya sampai saat ini, hampir tidak ada formula yang efektif untuk membiarkan dana nonbujeter dikelola oleh instansi pemerintah, meskipun diikuti oleh perbaikan dalam sistem transparansi dan akuntabilitasnya. Hal ini karena dana nonbujeter sejak dalam struktur dasarnya sudah mengandung sifat-sifatnya yang tertutup dan tersembunyi. Maka dana nonbujeter hanya akan terus bertahan seandainya ruang gelap untuk tidak mempertanggungjawabkannya masih terpelihara subur. Lantas, akankah kita terus mendiamkannya?
Disalin dari Koran Tempo, 19 Juni 2007
No comments:
Post a Comment