Di luar kekhawatiran di atas, yang sudah terjawab, muncul kekhawatiran baru, yakni sepinya minat anggota masyarakat untuk mendaftar sebagai calon pimpinan KPK. Tidak seperti pada proses seleksi pimpinan KPK yang pertama di mana pelamar mencapai angka 500, saat ini diperkirakan hingga akhir masa pendaftaran jumlah yang melamar hanya 200 hingga 250 orang. Sedikitnya para pelamar yang mengajukan diri ke pansel pimpinan KPK disebabkan oleh beberapa hal.
Pertama, pansel kurang mensosialisasikan telah dimulainya pendaftaran. Hal ini menyebabkan informasi yang diterima masyarakat tidak mencukupi. Dalam situasi seperti ini, pansel pimpinan KPK seharusnya melakukan langkah-langkah darurat, yakni proaktif mendorong para pihak yang dianggap kredibel dan layak menjadi pimpinan KPK untuk segera mendaftarkan diri. Hal ini mengingat masa pendaftaran yang semakin mendekati akhir. Sementara untuk melakukan perpanjangan pendaftaran akan sangat sulit karena UU membatasi hanya 14 hari masa kerja.
Dalam bayangan penulis, jika anggota pansel yang jumlahnya 15 orang, yang terdiri dari berbagai latar belakang pengetahuan, pendidikan serta keahlian, seandainya masing-masing dapat mengajak 5 anggota masyarakat untuk mendaftar, masalah jumlah pelamar yang sedikit dapat teratasi. Demikian halnya persoalan kualitas calon pimpinan KPK yang seandainya didorong oleh anggota pansel paling tidak dapat dimaksimalkan mengingat kualitas anggota pansel yang juga mumpuni.
Kedua, kekhawatiran banyak anggota masyarakat yang menurut penulis layak menjadi calon pimpinan KPK terletak pada mekanisme pemilihan yang sedikit banyak akan ditentukan oleh proses fit and proper test di DPR RI. Persoalan ini tidak dapat dianggap sederhana karena dalam pemilihan pimpinan KPK yang pertama, salah satu kandidat yang dikenal luas oleh masyarakat memiliki kemampuan luar biasa untuk memberantas korupsi justru tidak lolos dalam fit and proper test. Pertanyaannya kemudian, dalam melakukan fit and proper test, apa sebenarnya ukuran-ukuran objektif yang digunakan oleh DPR untuk menilai masing-masing calon?
Akan tetapi lebih dari itu adalah sosok dan komposisi pimpinan KPK yang memiliki visi luas, perspektif tajam, keberanian luar biasa, kemampuan dalam kerja sama dan mewakili berbagai latar belakang pengetahuan mengingat kian kompleksnya korupsi yang terjadi, di tengah-tengah produk hukum pemberantasan korupsi yang mengekang dan memiliki banyak celah-celah kelemahan.
Kelas Kakap
Dari hasil evaluasi ICW terhadap program dan kebijakan pemberantasan korupsi KPK 2004-2007, terdapat beberapa sisi kelemahan. Kelemahan itu terkait dengan beberapa isu, yakni penindakan, pencegahan, koordinasi dan supervisi serta asset recovery. Keempat hal itu merupakan item penilaian untuk melihat upaya-upaya yang telah dilakukan dan hasil pemberantasan korupsi yang sudah diperoleh.
Dari aspek penindakan, KPK belum dapat menunjukan kepada masyarakat bahwa kasus korupsi yang ditangani merupakan kasus berkategori kelas kakap. Tentu saja yang dimaksud kelas kakap adalah kasus korupsi yang terjadi pada sektor perbankan -termasuk BLBI-, kasus di istana negara, kasus korupsi yang melibatkan politisi, kasus korupsi di tubuh institusi militer dan jajaran aparat penegak hukum sendiri. Mendekati 4 tahun masa kerjanya, belum ada satupun anggota DPR yang diproses secara hukum karena melakukan korupsi. Demikian hanya belum ada satupun aparat penegak hukum yang diperiksa, kecuali penyidik KPK sendiri (Suparman).
Demikian pula nilai kerugian yang ditangani oleh KPK sebenarnya setara dengan apa yang telah dilakukan oleh Kejaksaan dan Kepolisian. Hitungan ICW menunjukan bahwa 51 persen kerugian negara yang diperiksa oleh KPK berada pada interval 1 hingga 20 miliar rupiah. Kasus-kasus tersebut sebagian besarnya adalah kasus korupsi pengadaan barang dan jasa. Dalam tipologi korupsi, pengadaan barang dan jasa adalah model yang paling konvensional. Pendek kata, kasus-kasus korupsi yang ditangani oleh KPK belum setara dengan kewenangan luar biasa yang dimilikinya, sekaligus setingkat dengan harapan masyarakat.
Pencegahan yang dilakukan oleh KPK dapat dievaluasi pada program besarnya, yakni Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN). Sepanjang periode pimpinan KPK sekarang, tidak banyak perubahan yang terjadi. Contohnya adalah program LHKPN, yang maksud awalnya untuk mengendalikan tingkat korupsi pejabat negara karena adanya daya paksa untuk transparan mengenai asal-usul kekayaan dan jumlah total kekayaan yang dimiliki.
Hingga saat ini KPK masih berkutat pada problem ketidakpatuhan pejabat negara untuk menyampaikan LHKPN. Angka peningkatannya pun tidak signifikan. Pada tahun 2001, tingkat kepatuhan pejabat negara yang menyampaikan laporan hanya mencapai 41, 57%. Hingga tahun 2006, pejabat negara yang melaporkan LHKPN hanya mencapai 56,11%. Ini artinya hampir setengahnya dari pejabat negara kita masih mengabaikan kewajiban itu setelah 5 tahun program LHKPN dilaksanakan. Di samping problem kepatuhan, yang lebih signifikan adalah masalah kebenaran laporan tersebut. Ke depan, yang perlu dipikirkan adalah bagaimana membuat program LHKPN menjadi lebih bertaji, sekaligus menimbulkan kekhawatiran pejabat negara untuk melakukan korupsi.
Dalam kalkulasi cost and benefit untuk memberantas korupsi, KPK juga masih merugi. Tingkat pengembalian kerugian negara yang telah disetorkan kepada kas negara selama 3 tahun masa penindakan hanya mencapai angka Rp 50,04 miliar. Dibandingkan dengan ongkos program pemberantasan korupsi yang mencapai Rp 247,68 miliar, jumlah asset recovery tersebut masih pada tingkat yang memprihatinkan.
Di luar kelemahan-kelemahan tersebut, masih ada dua kabar gembira. Pertama, sepanjang program penindakan kasus korupsi oleh KPK, seluruh perkara yang dilimpahkan ke pengadilan tindak pidana korupsi telah divonis bersalah. Kedua, sebagai penerapan mekanisme penindakan yang ketat, sejak dijadikan sebagai tersangka, tanpa pandang bulu, KPK langsung melakukan penahanan.
Penulis adalah Anggota Badan Pekerja ICW
Tulisan disalin dari harian Suara Pembaruan, Minggu, 8 Juli 2007
No comments:
Post a Comment