Thursday, December 29, 2005

Peran Strategis Masyarakat dalam Memberantas Korupsi

Tesis yang menyebutkan bahwa aktor utama korupsi adalah pemerintah dan pengusaha, sementara masyarakat adalah korbannya hingga saat ini belum dapat terbantahkan. Landasan faktualnya memberikan legitimasi bahwa kolaborasi antara pemerintah dengan pengusaha bukanlah sesuatu yang direkayasa, tapi nyata dan selalu tetap hidup dalam ruang yang bernama kekuasaan.

Hampir sebagian besar -jika tidak semua- kasus korupsi yang terungkap selalu menempatkan dua aktor itu sebagai biang keladi yang saling berkaitan. Entah relasinya berwujud simbiosis mutualisme ataupun parasit mutualisme. Yang terakhir ini perlu dipahami dalam konteks korupsi yang dimensinya adalah pemerasan, seperti yang sudah terungkap dalam kasus Probosutedjo.

Jikapun masyarakat kemudian terseret dalam arus kehidupan koruptif, hal itu semata-mata karena upaya terpaksa yang dilakukan untuk bisa memperoleh hak-haknya. Kebiasan untuk membayar lebih dari harga yang ditetapkan peraturan kepada petugas dalam pengurusan ijin seperti SIM, KTP, STNK dan lain sebagainya merupakan wujud dari ketidakberdayaan masyarakat untuk melawan sistem yang korup.

Untuk memperoleh Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebesar Rp 100 ribu/bulan, masyarakat yang sudah miskin terpaksa tunduk pada mekanisme penyunatan/pemotongan. Karena jika mereka tidak mengikuti, jangan berharap mereka dimasukan sebagai kelompok masyarakat miskin yang nantinya berhak memperoleh BLT. Celakanya, ketidakberdayaan masyarakat untuk melawan sistem koruptif itu harus dibayar mahal, yakni berkembang-biaknya sistem korupsi dalam kehidupan birokrasi (baca: pelayanan publik).

Dengan demikian, salah satu upaya yang sangat stategis untuk memberdayakan masyarakat dalam melawan korupsi adalah dengan memberikan mereka senjata untuk melawannya. Bahkan pada tingkat yang lebih maju, masyarakat tidak hanya dapat bertindak defensif dalam menghadapi sistem yang korup, tapi bisa secara ofensif berperan untuk memberantas korupsi.

Oleh karena itu, tidak seharusnya Pemerintah hanya mengandalkan aparat penegak hukum dalam melakukan pemberantasan korupsi. Memberikan arena dan peran masyarakat yang lebih luas dalam memberantas korupsi sama artinya dengan meringankan beban pekerjaan berat yang dipanggul aparat penegak hukum. Karena nyatanya seringkali semangat, komitmen dan upaya yang serius dalam memberantas korupsi justru hanya muncul dari masyarakat sendiri.

Namun sayangnya berbagai kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan strategi pemberantasan korupsi belum mendukung adanya peran serta masyarakat yang lebih strategis. Padalah, paling tidak selama ini masyarakat –tanpa didukung dengan kebijakan Pemerintah yang menguntungkan- telah memainkan perannya dalam pemberantasan korupsi di berbagai gradasi.

Pertama, peran sebagai feeder atau penyuplai informasi. Tidak sulit untuk mengatakan bahwa selama ini masyarakat telah mengambil inisiatif untuk melaporkan, membeberkan dan memberikan informasi kepada aparat penegak hukum terhadap kemungkinan terjadinya praktek korupsi. Meskipun juga tidak tepat untuk mengatakan bahwa BPK, BPKP, Inspektorat maupun aparat penegak hukum tidak punya kontribusi sama sekali dalam menyuplai atau mencari informasi atau data yang berhubungan dengan dugaan korupsi.

Data terakhir di KPK menyebutkan kurang lebih telah masuk sembilan ribu pengaduan masyarakat di seluruh Indonesia ke KPK. Meskipun setelah diteliti hanya sekitar seribuan kasus saja yang bisa dikategorikan korupsi, namun angka itu sudah cukup untuk dijadikan ukuran betapa harapan masyarakat terhadap pemberantasan korupsi sangat tinggi.

Dalam situasi dimana masyarakat tidak memiliki peluang besar untuk mengakses informasi secara bebas di lembaga publik (pemerintah), laporan-laporan terjadinya kasus korupsi terus mengalir. Ini menandakan bahwa potensi masyarakat untuk menjadi aktor strategis dalam memberantas korupsi sangat besar. Dengan demikian mudah ditebak ketika kebebasan memperoleh informasi telah menjadi produk kebijakan yang memaksa semua pejabat publik untuk membuka akses informasinya kepada masyarakat, praktek korupsi pastinya akan dapat diminimalisir.

Kedua, peran sebagai trigger atau pemicu. Rendahnya inisiatif aparat penegak hukum dalam membongkar kasus-kasus korupsi telah melahirkan kekecewaan panjang dari masyarakat. Kebekuan ini kadangkala diterobos dengan memberikan informasi adanya dugaan korupsi kepada media massa supaya diketahui masyarakat luas. Strategi ini menjadi sangat penting untuk membentuk opini atau persepsi masyarakat bahwa di satu tempat diduga kuat terjadi praktek korupsi. Situasi ini diharapkan akan dapat memaksa aparat penegak hukum untuk melakukan tindakan-tindakan yang konkret. Meskipun diakui strategi tersebut mengandung resiko besar, misalnya dituntut dengan pencemaran nama baik, namun upaya itu tetap tidak bisa ditinggalkan.

Ketiga, peran sebagai controller (pengawas). Sudah bukan rahasia umum lagi jika laporan masyarakat tentang terjadinya kasus korupsi sering tidak ditanggapi dengan baik oleh aparat penegak hukum. Keluhan masyarakat bahwa informasi atau data yang mereka sampaikan hanya dijadikan sebagai alat oleh aparat penegak hukum untuk memeras juga tidak sedikit jumlahnya. Istilah di 86-kan kemudian menjadi populer sebagai bahan untuk menyindir aparat karena lamban atau setengah hati dalam mengusut sebuah laporan.

Dengan segala keterbatasan, masyarakat nyatanya tetap memiliki energi yang luar biasa untuk mengawal proses pengusutan kasus korupsi (case tracking) yang sedang dilakukan oleh aparat. Kegiatan unjuk rasa, dengar pendapat, diskusi publik, audiensi dan lain sebagainya merupakan sarana yang kerap digunakan kelompok masyarakat untuk mendorong percepatan penanganan korupsi. Memastikan bahwa pemberantasan korupsi berjalan sesuai dengan harapan merupakan langkah yang tidak mungkin diabaikan ditengah-tengah situasi aparat penegak hukum yang belum banyak berubah.

Apa yang dilakukan Kejati Nusa Tenggara Barat, Mohammad Ismail dengan mengajak kelompok masyarakat dalam setiap gelar perkara, khususnya kasus korupsi merupakan langkah maju yang seharusnya menjadi kebijakan penting di institusi Kejaksaan Agung. Apalagi, Kejati NTB telah memerintahkan semua Kejari di NTB untuk melaksanakan kebijakan yang sama (Koran Tempo, 21/12/05).

Pengakuan bahwa masyarakat dijadikan sebagai pihak dalam membongkar terjadinya praktek korupsi akan memberikan kontribusi yang signifikan untuk mempercepat proses penanganannya. Selain itu, peran masyarakat dalam mengawasi kinerja aparat penegak hukum juga telah diakomodasi, meskipun baru sebatas wilayah NTB saja. Oleh karenanya, kebijakan ini seharusnya menjadi bagian utuh dari komitmen Pemerintah dalam memberantas korupsi secara nasional.

Dialog Kertas Dalam Botol

Dear Chaterine,
Engkau dan cinta masa lalu adalah mimpi….
Kenangan manis, kesempurnaan dan sebentuk kemurnian cinta yang dimitoskan…
Melalui segenggam cerita yang mengalir pada pori-pori waktu…
Dibingkai dalam keabadian, disimpan pada ingatan….
Engkau seolah tak tergantikan…Meski oleh kemurnian cinta yang setara

Dear Chaterine,
Engkau dan cinta masa lalu adalah cermin….
Melukiskan perasaan yang tinggal bayangan…
Bergerak mengikuti irama jiwa, Memantulkan cahaya kasih yang murni…
Tapi engkau tidak bisa diraba…. tidak bisa disentuh….dan engkau tidak bisa digenggam
Karena cermin hadir untuk dirimu sendiri…

Dear Theresa,
Jangan paksa aku untuk menghapus ingatan…
Kenanganku tidak boleh mati…
Tapi jiwaku juga harus tetap hidup…
Memang waktu telah memastikan…
Berlalunya kenangan

Dear Blake,
Biarlah kenangan bercengkrama dengan masa lalu…
Jangan biarkan masa lalu mencumbui masa kini….
Karena masa lalu adalah pengalaman….
Dan masa kini adalah kesempatan….

Masa tidak bisa diulang
Waktu tidak bisa berhenti
Dan masa lalu tidak akan melewati hari ini
Biarkan cinta itu lahir kembali…
Jangan relakan hatimu dikuasai masa lalu….
Jangan biarkan jiwamu mati separuh…
Ijinkan aku untuk menyalakan lilin hatimu yang hampir padam….

Dear Theresa,
Aku takut melepas kenangan…
Aku ingin hidup bersamanya…
Kuakui, dirimu adalah bara bagi cinta yang menghangatkan
Tapi aku takut menyimpannya di dalam hati
Hingga kepergianmu menyentak relung batinku…
Kesadaranku berbisik terlambat….
Cintaku tidak berani…

Kalibata, 27 Desember 2005

Pentingnya Ratifikasi Konvensi Antikorupsi

Beberapa waktu lalu, tepatnya tanggal 9 Desember 2005 seluruh dunia memperingati Hari Pemberantasan Korupsi. Tanggal tersebut dipilih karena pada tanggal 9 Desember 2003 atau dua tahun yang lalu tepatnya di Merida, Meksiko, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengesahkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Korupsi (United Nation Convenstion Against Coruption) atau disingkat dengan Konvensi Antikorupsi. Kurang lebih 137 negara turut ambil bagian untuk menandatangani konvensi tersebut, termasuk Indonesia.

Kehadiran konvensi antikorupsi menandai sebuah momentum penting diakuinya praktek korupsi sebagai kejahatan global (transnasional). Oleh karenanya, cara memberantas dan mencegah korupsi membutuhkan dukungan yang saling menguntungkan antara satu negara dengan negara yang lain. Kejahatan korupsi bukan lagi urusan domestik negara yang bersangkutan, akan tetapi menjadi persoalan global yang harus ditangani dalam semangat kebersamaan.

Tanpa adanya sikap saling mempercayai dan memberikan dukungan dalam memberantas korupsi, kejahatan yang telah merusak sendi-sendi ekonomi, sosial dan politik ini akan selalu menghantui hubungan antar negara, baik dalam konteks politik maupun ekonomi. Ketidakpercayaan para pebisnis asing terhadap iklim usaha di Indonesia yang dinilai sarat ekonomi biaya tinggi misalnya cukup memberikan bukti bahwa korupsi berdampak pada hubungan ekonomi yang merugikan.

Keengganan Singapura untuk memberikan informasi terhadap para koruptor Indonesia yang kabur ke negara tersebut telah memanaskan hubungan diplomasi yang selama ini terbangun dengan baik. Pendek kata, pemberantasan korupsi tidak akan efektif jika tidak ada dukungan internasional untuk memberantasnya. Para koruptor bisa menyimpan hasil jarahannya di negara lain, secara fisik koruptor juga dapat hidup nyaman di negara lain. Oleh karenanya, konvensi anti korupsi lahir sebagai bentuk keperdulian global terhadap dampak korupsi yang kian mengkhawatirkan.

Semangat global untuk memerangi korupsi sejatinya sudah muncul sebelum lahirnya konvensi antikorupsi PBB. Pada 29 Maret 1996, konvensi antikorupsi antarnegara Amerika (The Organization of American States) atau disingkat OAS ditandatangani di Caracas, Venezuela. Konvensi ini ditandatangani 23 dari 35 negara anggota OAS. Kini, konvensi ini pun diberlakukan di Bolivia, Costa Rica, Ecuador, Mexico, Paraguay, Peru, dan Venezuela yang kemudian ikut meratifikasinya.

Di samping menandatangani konvensi, pada pertemuan di Lima, Peru, Juni 1997, Majelis Umum OAS pun telah mengesahkan Plan Against Corruption. Dengan rencana ini, OAS memberikan dukungan pada negara-negara anggotanya. OAS pun bekerjasama dengan penduduk setempat dan organisasi internasional lainnya --termasuk Bank Dunia, Inter-American Development Bank, dan OECD-- dalam mencegah dan mengontrol korupsi.
Butir-butir semangat pemberantasan korupsi sebagaimana tercantum dalam Konvensi Antikorupsi PBB pada prinsipnya mengatur beberapa hal penting yang harus dipatuhi para peserta. Pertama, para peserta konvensi harus menerapkan peraturan nasional mendasar tentang pencegahan korupsi dengan membangun, menerapkan, memelihara efektifitas, dan mengkoordinasikan kebijakan antikorupsi yang melibatkan partisipasi masyarakat, dan peraturan nasional yang mampu menjamin penegakkan hukum, pengelolaan urusan dan sarana publik yang baik, ditegakkannya integritas, transparansi dan akuntabilitas di sektor publik. Kedua, membangun badan independen yang bertugas menjalankan dan mengawasi kebijakan antikorupsi yang diadopsi oleh Konvensi Antikorupsi.

Ketiga, melakukan perbaikan dalam sistim birokrasi dan pemerintahan masing-masing yang menjamin terbangunnya sistim birokrasi dan pemerintahan yang bersih dari korupsi. Keempat, setiap peserta wajib meningkatkan integritas, kejujuran dan tanggung jawab para pejabat publiknya, termasuk menerapkan suatu standar perilaku yang mengutamakan fungsi publik yang lurus, terhormat, dan berkinerja baik. Kelima, membentuk sistim pengadaan barang dan jasa pemerintah, manajemen keuangan publik, dan sistim pelaporan untuk tujuan transparansi, peran peradilan yang bersih dalam pemberantasan korupsi. Keenam, melakukan pencegahan korupsi di sektor swasta yang mengedepankan transparansi, sistim akunting dan pelaporan. Ketujuh, melaksanakan pelibatan masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Selanjutnya, negara peserta Konvensi Antikorupsi juga harus melakukan usaha pencegahan pencucian uang, menerapkan kriminalisasi dan penindakan korupsi termasuk pembekuan dan penyitaan harta hasil korupsi, memberikan perlindungan saksi, ahli dan korban, menerapkan sistim ganti rugi bagi korban korupsi, melaksanakan pembangunan kerja sama pemberantasan korupsi, termasuk dengan institusi-institusi keuangan, menerapkan sistim kerahasiaan bank yang tidak menghambat pemberantasan korupsi, mengatur yurisdiksi dalam penanganan perkara korupsi, melaksanakan kerja sama internasional memberantas korupsi termasuk hal-hal yang terkait dengan pemberian bantuan hukum dan teknis, ekstradisi, pengembalian aset (asset recovery), dan sebagainya.

Yang patut disayangkan, meskipun Indonesia sudah menandatangani Konvensi Antikorupsi PBB pada 18 Desember 2003, hingga kini Indonesia belum meratifikasi konvensi tersebut. Seharusnya sebagai negara yang paling parah dalam perihal korupsinya, Indonesia tidak perlu berpikir dua kali untuk tidak atau meratifikasinya. Karena dengan meratifikasi konvensi tersebut, ada beberapa keuntungan yang bisa didapatkan.

Pertama, Indonesia telah menunjukan komitmen dan keseriusan yang tinggi kepada masyarakat Internasional dalam memberantas korupsi. Sebagaimana kita ketahui, masyarakat Internasional (studi PERC 2005 dan TI 2005) selama ini masih menganggap Indonesia adalah negara terkorup sehingga tidak aman untuk dijadikan tempat berinvestasi yang menguntungkan.

Kedua, dengan meratifikasi konvensi tersebut, Indonesia dapat menerapkan standar internasional dalam memberantas korupsi, baik menyangkut legal framework dan strateginya. Jikapun ada usaha-usaha untuk memperdayai agenda pemberantasan korupsi dengan melumpuhkan berbagai peraturan antikorupsi, dunia Internasional dapat mendesak Indonesia untuk mengamandemennya sebagaimana pernah dilakukan pada UU Pencucian Uang.

Ketiga, Indonesia dapat mendesak dunia Internasional untuk melakukan kerjasama pemberantasan korupsi menyangkut isu-isu yang berkaitan dengan upaya ekstradisi koruptor, penerapan mutual legal assistance, asset recovery dan sebagainya. Meskipun ada usaha dari pemerintah melalui mekanisme komunikasi government to government sebagaimana sedang dilakukan kepada Singapura, Swiss, Cina dan Hongkong untuk mengembalikan harta negara yang dilarikan ke luar negeri, namun usaha tersebut tidak dalam kerangka payung hukum internasional sehingga efektifitasnya menjadi tidak bisa diandalkan. Dengan demikian, sesusungguhnya tidak ada alasan bagi Pemerintah Indonesia untuk tidak meratifikasi konvensi antikorupsi.

Tuesday, December 20, 2005

Dilema Whistle Blower

Ironis. Khairiansyah, mantan auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menjadi tokoh sentral atas terbongkarnya dugaan skandal suap di KPU saat ini menghadapi masalah pelik. Peranan vitalnya dalam memberikan informasi bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berujung pada penangkapan beberapa anggota KPU tidak pararel dengan nasib dirinya. Kini ia menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi Dana Abadi Umat (DAU).

Memang dalam prinsip hukum, semua orang harus diperlakukan sama. Suatu kesalahan atau kejahatan tidak akan serta merta terhapus karena jasa yang pernah dilakukan pada masa atau peristiwa yang lain. Sanksi hukum berlaku pada setiap perbuatan yang masuk kategori pidana tanpa terkecuali. Namun prinsip tidak pandang bulu juga mensyaratkan penerapan pada semua kondisi.

Ketika pada tindak kejahatan yang sama ada perlakuan hukum yang berbeda terhadap para pelakunya, sulit untuk tidak mengatakan adanya diskriminasi hukum. Dalam kasus DAU, Khariansyah dapat dikatakan mendapat perlakuan diskriminatif oleh aparat penegak hukum. Pasalnya, beberapa orang yang berlatar politisi maupun tokoh masyarakat yang telah menerima DAU hingga kini tidak dijadikan tersangka oleh kejaksaan.

Seharusnya dalam situasi dimana pemberantasan korupsi sangat mengandalkan adanya kemauan dari para saksi/pelapor untuk memberikan informasi dan keterangan yang memudahkan terbongkarnya sebuah perkara, prioritas penanganan kasus tidak diarahkan pada para pelapor atau saksi yang kebetulan menjadi pelaku tindak pidana korupsi. Melainkan kepada aktor-aktor kunci yang biasanya menduduki pos-pos penting dalam jabatan publik. Karena by nature, korupsi merupakan praktek penyimpangan kekuasaan yang terjadi dilevel atas dan merembes ke tingkat bawah. Korupsi tidak bisa terjadi sebaliknya, dari tingkat bawah ke level atas.

Namun nyatanya cerita tentang Khairiansyah adalah drama klasik yang juga pernah diperankan oleh Endin Wahyudin, Romo Frans Amanue, Hidayat Monoarfa, Hidayatullah, Sainah, Leonita dan sederet nama lainnya dengan cerita penutup masing-masing -yang sebagian besarnya tragis. Diluar Khairiansyah, keenam nama terakhir itu merupakan bagian dari saksi dan pelapor yang harus menghadapi proses hukum karena laporan dan kesaksian mereka. Endin Wahyudin berujung pada vonis bersalah telah melakukan pencemaran nama baik. Romo Frans Amanue lebih beruntung karena berkas putusan pengadilan yang menghukumnya atas pencemaran nama baik musnah terbakar saat kantor Pengadilan Negeri Larantuka, Kabupaten Flores Timur dibakar massa.

Sementara itu, Hidayat Monoarfa harus menghadapi masa-masa koma karena pemukulan orang tak dikenal saat akan menjadi saksi korupsi DPRD di Sulawesi Tengah. Hidayatullah, salah seorang pelapor dugaan korupsi Kepala Daerah di Kabupaten Muna dan Propinsi Sulawesi Tenggara harus menerima kenyataan rumahnya dibom oleh orang tak dikenal sebanyak dua kali.

Tragisnya, cerita diatas terjadi pada saat rezim korup Orde Baru sudah tumbang. Rentang peristiwa antara satu kasus yang dihadapi saksi pelapor dengan kasus lainnya justru terjadi pada periode Orde Reformasi, dimana harapan dan cita-cita pemberantasan korupsi itu diletakan. Lantas, apa sebenarnya yang membedakan antara Orde Baru yang sudah lama dengan Orde Baru yang reformis? Seharusnya ada batas dan garis yang tegas diantara keduanya. Penumbangan sebuah rezim seharusnya pararel dengan penumbangan struktur, budaya dan cara berpikir yang kolot, otoriter dan korup.

Melawan Teror

Satu hal pasti yang diharapkan dari teror terhadap saksi/pelapor adalah ketakutan dan kematian atas kejujuran dan hati nurani mereka. Oleh karena itu, pihak yang berkepentingan akan selalu menyebarkan rasa ketakutan melalui berbagai cara. Baik melalui tuntutan hukum, kekerasan fisik, teror psikis maupun teror yang tak kalah gawatnya, dengan uang. Saksi pelapor yang bungkam merupakan hasil yang diharapkan. Sebaliknya, saksi pelapor yang mau bicara adalah petaka bagi mereka. Karena saksi pelapor yang bicara sama artinya dengan terbongkarnya setengah kebenaran dari adanya peristiwa, skandal atau kasus.

Untuk menghadapi teror semacam itu, barangkali kita harus belajar dari Sainah. Ia adalah saksi utama kasus Tommy Soeharto yang atas keberanian dan kejujurannya, anak mantan orang nomor satu di Indonesia itu harus terbang ke Nusakambangan untuk menjalani hukuman pidana karena kepemilikan senjata api tanpa ijin. Padahal dalam persidangan, Tommy Soeharto sempat menyebar ancaman.

Sainah bukanlah siapa-siapa. Ia hanyalah pembantu rumah tangga yang sehari-hari bekerja untuk Hetty, pemilik Apartemen Cemara tempat dimana Tommy sering singgah. Barangkali Sainah secara material tidak memiliki kekayaan yang berlimpah. Namun ia adalah sedikit orang yang memiliki kekayaan yang sesungguhnya, yakni kejujuran dan keberanian. Tanpa dibekali oleh pengetahuan yang cukup atas hukum dan perlindungan yang pasti dari negara, Sainah dengan lugas mengungkap semua apa yang dilihat dan diketahuinya di pengadilan.

Sesungguhnya, masih banyak Sainah-Sainah yang lain. Akan tetapi terlalu sedikit orang yang seberani dirinya. Kita tentu tidak menyalahkan mereka. Para saksi dan pelapor tetap memiliki hak untuk hidup aman dan nyaman. Setiap orang tidak akan mau melewati hidup sehari-hari dengan ketidakpastian, ancaman dan intimidasi karena melaporkan atau menjadi saksi atas sebuah perkara pidana. Sungguh sebuah periode yang mengherankan dimana orang yang ingin berbuat jujur dan mau mengungkapkan peristiwa kejahatan harus menghadapi saat-saat tersulit dalam hidup mereka.

Oleh karena itu, tidak mungkin tidak untuk membongkar sebuah skandal kejahatan, kita membutuhkan payung hukum bagi mereka yang menjadi saksi, pelapor maupun korban. Kita harus sadar dan yakin bahwa setiap informasi dan keterangan dari orang yang menyaksikan, melihat dan mengetahui secara langsung sebuah peristiwa kejahatan sangatlah dibutuhkan untuk mengungkapkan peristiwa sebenarnya.

Akan tetapi, kita juga harus menjamin bahwa apa yang disampaikan saksi pelapor tidak akan berimplikasi buruk atas masa depan dan nasib mereka. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban dari negara untuk memberikan perlindungan hukum atas mereka melalui UU Perlindungan Saksi Pelapor. Lahirnya UU perlindungan Saksi Pelapor merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi agar kejahatan yang sistematis, terorganisir, melibatkan orang kuat yang selama ini menjadi hambatan bagi perubahan di berbagai sektor dapat dibongkar.

Jika memang Pemerintah SBY dan DPR memiliki komitmen politik yang kuat untuk melindungi dan menjamin peran serta warga masyarakat dalam memberantas kejahatan (korupsi), tidak ada lagi cara lain kecuali dengan memberikan perlindungan hukum atas mereka yang menjadi saksi dan pelapor. Percayalah, lahirnya UU Perlindungan Saksi Pelapor akan mempercepat dan memudahkan pembongkaran sebuah skandal kejahatan yang seringkali ditutup-tutupi karena melibatkan orang kuat dibelakangnya.

****

Tuesday, December 13, 2005

Turbulensi Agenda Pemberantasan Korupsi

Setelah melewati masa satu tahun pemerintahan baru, arah pemberantasan korupsi menjadi kian tidak jelas. Harapan bahwa agenda pemberantasan korupsi berada pada arah yang semakin terang justu mengalami pemburaman. Paling kurang, apa yang terjadi pada beberapa penanganan kasus korupsi terakhir dapat dijadikan sebagai landasan asumsinya.

Yang pertama, kasus Khairiansyah. Dimata KPK, Khairiansyah adalah sosok whistle blower yang menjadi tokoh penting atas terbongkarnya kasus penyuapan di tubuh KPU. Tanpa peran dirinya, hampir bisa dipastikan KPK mengalami banyak kesulitan dalam mengungkap kasus korupsi di KPU. Bahkan atas peranannya tersebut, Transparency International (TI) telah menganugerahkan Transparency Award –meskipun beberapa waktu kemudian award itu dikembalikan lagi-.

Akan tetapi Khairiansyah nyatanya bukanlah satu kemungkinan. Karena disaat yang lain, Timtas Tipikor, melalui Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat telah menetapkan dirinya sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi Dana Abadi Umat (DAU). Penetapan dirinya sebagai tersangka tidak dapat dikatakan sebagai bentuk kesewenang-wenangan aparat penegak hukum jika didasarkan pada bukti hukum yang cukup.

Yang sulit dipahami, beberapa nama besar lain yang muncul terlebih dulu sebagai penerima dana DAU hingga saat ini belum juga disentuh oleh aparat kejaksaan. Alasan kejaksaan, mereka belum ditetapkan sebagai tersangka karena belum ada bukti yang memadai. Sampai disini, ada kesulitan untuk dapat mencerna langkah aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi.

Bagaimana tidak, kasus DAU adalah perkara yang menjadi sorotan publik karena dua hal. Pertama, Kejaksaan Agung di tangan Abdul Rahman Saleh melalui Timtas Tipikor memulai gebrakan pemberantasan korupsi dengan membongkar kasus korupsi DAU –selain kasus Bank Mandiri-. Ini berarti tuntas atau tidaknya penanganan kasus korupsi DAU akan menjadi tolok ukur bagi masyarakat untuk menilai tingkat keseriusan Jaksa Agung dalam mendorong agenda pemberantasan korupsi. Yang perlu ditekankan, penetapan Khairiansyah sebagai tersangka haruslah dianggap sebagai bagian kecil dari peta besar aktor-aktor lain yang terlibat dalam korupsi dana DAU.

Kedua, terkait dengan poin pertama,  penerima DAU terdiri dari berbagai tokoh dan politisi besar yang sangat dikenal oleh masyarakat luas. Dalam konteks merehabilitasi citra aparat penegak hukum yang selama ini dikenal diskriminatif, mengintensifkan sekaligus memprioritaskan pemeriksaan pada aktor-aktor besar lain yang terlibat merupakan langkah yang tidak bisa diabaikan. Semakin kecil kapasitas aktor korupsi dana DAU yang terjaring, semakin tinggi tingkat ketidakpercayaan masyarakat terhadap prinsip imparsialitas aparat penegak hukum.

Dengan demikian, keseriusan dan penerapan prinsip tidak pandang bulu dalam menangani kasus korupsi dana DAU akan sangat bergantung dari seberapa cepat proses pengungkapan kasus itu dapat diselesaikan. Disamping seberapa jauh jangkauan aparat penegak hukum untuk dapat menyeret sebanyak mungkin aktor-aktor yang terlibat di dalamnya.

Diluar persoalan diatas, cara pandang yang sangat kontras antara KPK dengan Kejaksaan dalam menyikapi agenda pemberantasan korupsi –yang diwakili dalam kasus Khairiansyah- juga menjadi bagian yang tidak kalah pentingnya untuk dipertanyakan. Dengan pendekatan barunya, pembongkaran korupsi yang diprakarsai KPK meletakan whistle blower pada posisi yang sangat penting. Tanpa ada informasi, dukungan dan kemauan whistle blower untuk bekerjasama dengan KPK, akan sangat sulit membongkar kasus-kasus penyuapan. Tidak hanya dalam kasus KPU, pada kasus mafia peradilan yang pernah dibongkar KPK, peranan whistle blower juga sangat vital.

Sebaliknya dimata Kejaksaan, Khairiansyah bukanlah whistle blower melainkan salah satu pelaku korupsi dana DAU sehingga layak dijadikan tersangka. Tidak mengistimewakan perlakuan hukum terhadap salah satu pihak karena pernah berjasa pada peristiwa yang lain adalah benar. Karena pada prinsipnya semua orang sama kedudukannya di mata hukum.

Namun disamping prinsip diatas, masih ada pertimbangan lain dalam memberantas korupsi, yakni skala prioritas. Memberantas mafia peradilan barangkali prioritas KPK, menangani korupsi DAU dan Bank Mandiri juga prioritas bagi Kejaksaan. Masalahnya jika antara prioritas KPK dan Kejaksaan justru mengalami perbenturan, maka yang terkesan kemudian adalah adanya persoalan serius dalam hubungan antara KPK dengan Kejaksaan. Sekurang-kurangnya persoalan itu barangkali sangat berkaitan dengan koordinasi.

Minimnya koordinasi, atau bahkan tiadanya agenda bersama pemberantasan korupsi antara KPK dan Kejaksaan justru hanya menyeret kedua lembaga tersebut pada praktek saling menegasikan. Yang lebih menonjol kemudian adalah upaya menjatuhkan salah satu pihak dan mendeligitimasi keberhasilan pihak lain melalui pembongkaran kasus-kasus korupsi yang berkaitan dengannya. Tanpa disadari, kasus Khairiansyah telah membuka mata publik bahwa seolah-olah sedang terjadi persaingan yang tidak sehat antar aparat penegak hukum.

Kasus kedua adalah perkara Probosutedjo. Cepatnya eksekusi terhadap diri Probo oleh Kejaksaan paska keluarnya putusan majelis kasasi di MA merupakan catatan baik dalam agenda pemberantasan korupsi. Selama ini, gerak cepat aparat penegak hukum untuk menangani kasus-kasus yang melibatkan ‘orang besar’ masih sebatas harapan. Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh MA dan Kejaksaan dalam menuntaskan penanganan kasus korupsi yang melibatkan Probo bisa dikatakan preseden yang baik bagi masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Akan tetapi, garansi bahwa aparat penegak hukum telah berubah harus tetap diberikan. MA dan Kejaksaan harus menjaga konsistensi sikap dalam memproses secara hukum semua kasus-kasus korupsi. Artinya, tidak hanya dalam kasus Probo proses penegakan hukumnya berjalan cepat, melainkan dalam kasus korupsi lainnya, sikap konsisten itu harus ditunjukan. Pertanyaannya kemudian, mengapa dalam kasus penolakan kasasi kasus korupsi 43 mantan anggota DPRD Sumbar oleh MA, hingga saat ini eksekusi atas putusan MA tidak dapat dilakukan?

Sampai disini, kita dihadapkan pada situasi yang tidak pasti. Perlakuan yang berbeda, sikap diskriminasi, tebang pilih penanganan perkara dan sikap yang tidak konsisten aparat penegak hukum akhirnya menjadi satu kesimpulan yang pahit untuk diterima. Jika benar bahwa motif ‘balas dendam’ yang melatarbelakangi cepatnya proses penanganan kasus korupsi Probo, maka awan mendung pemberantasan korupsi akan segera meneteskan kegagalannya.

******

    

Thursday, October 27, 2005

Pemberantasan Korupsi, Quo Vadis?


Pemberantasan korupsi yang dicanangkan pemerintah SBY-Kalla akan memasuki masa satu tahun. Tercatat setidaknya 6 produk kebijakan khusus yang telah dikeluarkan untuk mendukung agenda tersebut. Satu diataranya adalah Inpres No. 5 tahun 2004 tentang percepatan pemberantasan korupsi. Lainnya yakni Keppres No 11 Tahun 2005 tentang Timtas Tipikor.

Ditilik dari substansi kebijakan, presiden SBY nampaknya menekankan agenda pemberantasan korupsi pada penegakan hukum. Ini artinya, penanganan kasus-kasus korupsi, baik yang dilaporkan oleh masyarakat, maupun karena hasil temuan aparat penegak hukum menjadi prioritas untuk diselesaikan.

Dengan demikian, berapa jumlah koruptor yang diadili, ringan atau berat dan bebas atau bersalah vonis terhadap mereka diberikan, berapa nilai kerugian negara yang dapat diselamatkan, siapa koruptor yang diadili, kelas kakap atau kelas teri koruptor yang ditangani, cepat atau lambat penanganan kasusnya diselesaikan menjadi standar penilaian kinerja pemberantasan korupsi SBY-JK.

Pilihan untuk memprioritaskan aksi pemberantasan korupsi pada aspek penegakan hukum memiliki maksud jelas, yakni SBY hendak mengirimkan pesan kepada pelaku korupsi untuk tidak memulai, apalagi mengulangi perbuatan korupsi karena hukum akan ditegakan. Disini, efek jera sebagai dampak dari penegakan hukum menjadi sesuatu yang sangat diharapkan muncul.

Namun agaknya strategi itu melesat dari target yang hendak diharapkan. Hingga menjelang satu tahun usia pemerintah SB, perubahan yang berarti dalam pemberantasan korupsi belum nampak, kecuali satu dua kasus korupsi yang berhasil diungkap. Itupun dengan catatan kritis bahwa kasus tersebut tersendat proses hukumnya, entah karena faktor internal lembaga penegak hukum, maupun faktor eksternal yang sarat dengan kalkulasi politis.

Contoh yang paling konkret adalah kasus dana tantiem PLN dan dugaan korupsi di Sekretariat Negara. Benar bahwa Timtas Tipikor telah menyelesaikan kasus korupsi Dana Abadi Umat (DAU) di Departemen Agama dan Bank Mandiri yang kini kasusnya sudah dalam proses persidangan. Barangkali ini sebuah prestasi yang bisa dicatat. Selebihnya masyarakat masih menunggu, kasus besar apa yang akan dijadikan prioritas untuk ditangani.

Sebenarnya jika pemberantasan korupsi diorientasikan pada penegakan hukum, prasyarat utamanya mutlak dipenuhi, yakni adanya penegak hukum yang kredibel, serius, profesional dan bebas dari penyakit yang akan diberantasnya. Sehingga kendala-kendala teknis maupun non-teknis dalam penanganan kasus dapat sedini mungkin dihindari. Belajar dari komisi independent pemberantasan korupsi (ICAC) di Hongkong, mereka memulai pemberantasan korupsi dari pembersihan terhadap aparat penegak hukum terlebih dulu.

Kendala penegakan hukum yang justru bersumber dari aparat penegak hukum sendiri dapat dilihat juga pada penanganan kasus korupsi di daerah yang melibatkan pejabat tinggi. Dalam catatan ICW, hingga Oktober 2005, sudah ada 51 ijin pemeriksaan yang dikeluarkan oleh SBY terhadap beberapa kepala daerah di Indonesia yang terdiri dari 4 orang Gubernur, 6 orang Walikota dan 32 orang Bupati, 1 orang wakil walikota, dan 8 orang wakil bupati.

Akan tetapi betapa pun kemauan kuat telah diperlihatkan SBY, penanganan kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi Negara di sebagian besar daerah masih tergolong lamban. Cepatnya ijin pemeriksaan terhadap kepala daerah tidak diikuti dengan cepatnya penanganan perkara korupsinya.

Dari 51 orang kepala daerah (gubernur, walikota, bupati, wakil walikota dan wakil bupati) yang telah mendapatkan ijin pemeriksaan dari Presiden, hasilnya seorang divonis bebas ditingkat pertama, yakni Chalik Effendi (walikota Bengkulu). Sementara tiga orang masih dalam proses di pengadilan, yakni Djoko Munandar (Gubernur Banten), Imam Muhadi (Bupati Blitar) dan Totok Ary Prabowo (Bupati Temanggung). Perkembangan terakhir, Djoko Munandar oleh SBY di nonaktifkan sebagai Gubernur Banten karena berstatus terdakwa.

Selebihnya atau 48 kepala daerah lainnya masih dalam pemeriksaan (penyelidikan/penyidikan). Lambatnya penanganan perkara korupsi khususnya yang melibatkan kepala daerah, menunjukkan bahwa komitmen SBY dalam pemberantasan korupsi ternyata belum didukung oleh jajaran dibawahnya.

Demikian halnya niat Kejaksaan Agung RI untuk membuka kembali beberapa perkara besar yang telah di SP3 –termasuk SP3 terhadap Ginandjar Kartasasmita- merupakan sinyal positif bagi penegakan hukum. Khusus untuk kasus Ginandjar, tim hukum Kejaksaan Agung bahkan telah merampungkan tugasnya dalam melakukan kajian terhadap keluarnya SP3 kepada Ginandjar, sekaligus rekomendasi kepada Jaksa Agung mengenai langkah-langkah yang harus diambil. Sayangnya sampai saat ini hasil kajian tersebut belum jua disampaikan kepada masyarakat sehingga berpotensi menimbulkan spekulasi dan persepsi negatif terhadap keseriusan Jaksa Agung.

Sebenarnya dengan titik tekan pemberantasan korupsi pada penegakan hukum, tidak mungkin masalah korupsi bisa diselesaikan. Lahirnya Timtas Tipikor, Tim Pemburu Koruptor, Inpres Percepatan Pemberantasan Korupsi hanyalah perangkat yang mendukung agenda penegakan hukum. Apalagi dengan realitas bahwa aparat penegak hukum justru selama ini menjadi bagian tak terpisahkan dari perluasan dan perkembangan praktek korupsi itu sendiri, korupsi akan sulit untuk diberantas.

Yang harus diyakini oleh SBY bahwa korupsi akan selalu tumbuh jika tiga kondisi yang merusak tidak diperbaiki secara simultan, yakni pertama, peluang atau kesempatan untuk melakukan korupsi tetap tinggi, kedua, kemungkinan koruptor tertangkap kecil dan kemungkinan lepasnya tinggi dan ketiga, hasil dari melakukan korupsi jauh lebih tinggi daripada resiko yang akan diterima koruptor.

Sayangnya, Presiden sendiri walaupun ada keinginan kuat untuk melakukan pemberantasan korupsi, namun pendekatan yang ditempuh tidak fokus, kurang sistematis dan parsial. Menempatkan agenda pemberantasan korupsi pada wilayah yang terpisahkan dari agenda perbaikan di sektor lainnya telah menghilangkan kesempatan untuk menciptakan peluang yang lebih baik dalam memperbaiki secara terpadu masalah-masalah di sektor ekonomi, pelayanan publik dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Padahal tiga hal tersebut yang selama ini menjadi agenda prioritas pemerintahan SBY-Kalla.

*******

Tuesday, October 11, 2005

Mimpi Buruk Keadilan

Kembali peristiwa hukum mencoreng wajah peradilan kita. KPK beberapa waktu lalu menangkap Harini Wiyoso, mantan hakim tinggi PT Jogjakarta, yang menjadi kuasa hukum Probosutedjo beserta 5 staf Mahkamah Agung. Dalam penangkapan itu, KPK berhasil menyita uang senilai USD 400 ribu (sekitar Rp 4 miliar) dan Rp 800 juta. Menurut pengakuan salah satu tersangka, uang itu akan digunakan untuk menyuap Ketua MA. Penangkapan itu tak berselang lama setelah Popon, kuasa hukum Abdullah Puteh juga dicokok KPK. Kejadian tersebut telah memberikan sinyal kuat kepada kita bahwa mafia peradilan masih bercokol. Hal itu sekaligus menandaskan bahwa reformasi peradilan menjadi kebutuhan mendesak untuk segera dilakukan.

Hakim dalam sosoknya yang paling ideal adalah pemberi rasa keadilan yang paripurna. Ia bisa menyatakan terdakwa bebas atau dihukum melalui ketukan palunya. Dengan intuisinya sebagai pemberi keadilan, hakim dapat menangkap sinyal-sinyal keadilan yang lemah sekalipun. Tapi melalui kekuasaannya, fakta hukum juga bisa disulap menjadi kekeliruan dan kepalsuan bisa dirubah menjadi kebenaran. Oleh karena itu posisi seorang hakim setiap saat akan selalu berhadapan dengan godaan penyuapan. Hanya itu semua terpulang kepada hakim, mau membuka pintu bagi pembeli keadilan atau menutup serapat-rapatnya demi diri dan keadilan itu sendiri.

Jika hakim telah berani membuka pintu bagi para pembeli keadilan, pada detik itu pula keadilan telah menjadi barang dagangan. Tidak seperti alat putar video, tape recorder, pakaian atau buku di supermal yang telah diberi harga pasti, mendagangkan keadilan selalu dilakukan sembunyi-sembunyi, di pasar gelap dengan mekanisme lelang. Siapa yang berani membayar dengan harga tertinggi, bisa dipastikan dialah pemenangnya. Bagi orang-orang berkantong cekak, keadilan tidak pernah mungkin bisa diraihnya dan harus selalu bersiap-siap untuk menerima kekalahan.  

Dalam pasar gelap keadilan, panitera dan pengacara adalah perantara. Mereka menjadi penghubung antara pembeli keadilan dengan penjualnya. Tertangkapnya salah satu pengacara Abdullah Puteh dan Wakil Ketua Panitera PT DKI Jakarta oleh KPK telah memberikan penegasan bahwa transaksi keadilan bukanlah penampakan atau berada di dunia lain. Tapi ia adalah reality show.

Jaksa dan polisi menjadi pihak lain yang memberikan kemudahan bagi berlangsungnya transaksi itu. Melalui tuntutan yang kabur, bukti-bukti yang sumir dan saksi-saksi yang meringankan, dagelan di pengadilan bisa disetting menjadi lebih sempurna, seolah-olah benar adanya. Setelah ketukan palu hakim, semua bisa bernapas lega. Pengacara tersenyum, hakim girang karena pundit-pundinya bertambah, sang pembeli keadilan ‘menangis’, bersujud syukur kemudian mengepalkan tangan dan berteriak “ternyata masih ada keadilan!!!”.

Yang harus diyakini, membersihkan aparat penegak hukum dari praktek mafia peradilan bukanlah sesuatu yang mustahil. Hanya dibutuhkan keberanian dan keseriusan untuk menggunakan beberapa formula yang mungkin akan membentur tembok aturan legalistik-formal. Tapi tak mengapa, menurut salah satu murid Satjipto Rahardjo dalam sebuah diskusi di Pontianak, peraturan itu selalu memiliki penyakit cacat bawaan.Yakni ketidaksempurnaannya karena pembuat peraturan adalah orang-orang yang berkuasa. Ibarat membuat pagar yang akan memagari dirinya sendiri. Dalam kaitannya dengan pemberantasan mafia peradilan, setidaknya ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk menghentikan praktek perdagangan keadilan.

Berhubung praktek mafia peradilan identik dengan transaksi jual-beli narkotik atau senjata illegal. Maka cara yang efektif untuk memberantasnya adalah dengan menggunakan metoda penjebakan, penyadapan dan penangkapan langsung pada saat transaksi dilakukan untuk menangkap basah para pelaku. Artinya para pemberantas mafia peradilan seperti KPK misalnya harus secara aktif menyebarkan ranjau-ranjau penjebakan, penyadapan dan menanam orang-orang di seluruh lembaga peradilan yang dapat dijadikan informan kunci untuk memberitahukan dimana akan dan sedang terjadi transaksi. Terbukti dengan cara tersebut KPK telah menunjukan beberapa keberhasilan.

Karena muara dari mafia peradilan itu adalah uang, KPK juga memiliki peranan sentral dalam mendorong tertibnya aparatur penegak hukum, khususnya para hakim. Laporan kekayaaan hakim yang telah diserahkan kepada KPK dapat dijadikan sebagai petunjuk awal untuk mengidentifikasi sekaligus melakukan penelusuran atas kebenaran dari laporan itu. Untuk menyembunyikan uang dari hasil penjualan putusan, bisa dengan ditabung atau didepositokan, menempatkannya dalam surat berharga, membeli kemewahan seperti rumah, mobil, perhiasan atau menginvestasikannya dalam sebuah kegiatan usaha. Oleh karena itu, kerjasama dengan pihak lain seperti PPATK menjadi amat penting. Sebagai catatan, diantara para pejabat publik yang wajib menyerahkan laporan kekayaan ke KPK, hanya hakim yang sampai sekarang tidak banyak merespon. Hal ini bisa dijadikan alasan untuk mengembangkan kecurigaan-kecurigaan yang diarahkan pada banyaknya sumber-sumber kekayaan illegal.

Masyarakat juga dapat berperan aktif dalam mendorong terciptanya lembaga peradilan yang bersih dari mafia peradilan. Biasanya pola dan aktor yang berlaku di dunia mafia peradilan melibatkan orang dan kelompok yang sama sebagaimana halnya sebuah sidikasi kejahatan. Sindikasi mafia peradilan tidak spontan terbentuk, tapi terorganisir dan sistematis. Metoda interpretative investigation, yakni memetakan wilayah kejadian, aktor yang bermain dan hasil-hasil putusan pengadilan akan memberikan gambaran sekaligus informasi yang kuat mengenai praktek mafia peradilan yang terjadi. Pola yang terorganisir itu misalnya jika hakimnya si A, maka paniteranya si B, jaksanya si C dan pengacaranya si D. Dari hubungan A-B-C-D itu, putusannya akan dapat diprediksi bersifat konstan, yakni A, A, A dan A. Informasi yang diperoleh dari pemetaan ini sangat berguna bagi KPK misalnya untuk melakukan kegiatan pemantauan, penjebakan ataupun penyadapan.

Secara tidak langsung, masyarakat juga dapat mengontrol lembaga peradilan dengan melakukan pengujian independen terhadap hasil putusan majelis hakim dalam suatu perkara. Istilah populernya adalah eksaminasi publik. Metoda eksaminasi publik memang tidak akan dapat menemukan bukti-bukti bahwa telah terjadi traksaksi jual-beli perkara. Namun setiap tindak kejahatan itu selalu meninggalkan bekas. Bekas-bekas itulah yang seringkali hinggap di dalam putusan. Dengan melakukan eksaminasi publik, setiap putusan hakim dapat dinilai kembali apakah sudah memenuhi tahap-tahap prosedur dan substansi hukum yang benar atau tidak. MA atau Komisi Judicial yang telah terbentuk beberapa waktu lalu dapat menjadikan hasil eksaminasi publik sebagai acuan untuk menilai dan sekaligus memberikan tindakan tegas bagi para hakim yang menyimpang dari aturan main.

Calo Berdasi

Biasanya menjelang hari raya besar umat beragama di Indonesia, aparat penegak hukum kerap mengadakan razia calo tiket di terminal, stasiun dan bandara. Tidak hanya aparat penegak hukum, instansi teknis yang bertanggungjawab atas kelancaran pelayanan transportasi pun menggelar berbagai macam spanduk, yang isinya menghimbau masyarakat untuk tidak membeli tiket kepada calo. Maksudnya jelas, agar segala urusan pembelian tiket lancar dan murah sehingga masyarakat diuntungkan.

Persoalannya kemudian, bagaimana jika petugas tiket itu justru merangkap sebagai calo? Apakah membuat persoalan tidak semakin runyam? Tentunya jika kedapatan ada petugas tiket mencari tambahan uang dari usaha menjadi calo, dapat diduga hukumannya tidak sama dengan calo biasa. Sudah pasti akan lebih berat. Karena petugas yang merangkap sebagai calo telah menggadaikan tanggung-jawabnya demi memperoleh keuntungan pribadi, dengan mengorbankan kepentingan banyak orang.

Praktek percaloan nyatanya bukan monopoli di terminal, stasiun atau bandara. Baru-baru ini di DPR RI, tempat dimana wakil rakyat telah disumpah untuk selalu setia pada kepentingan rakyat, terendus bau tak sedap. Disinyalir kuat beberapa anggota DPR RI telah mendagangkan kewenangannya dengan menjadi ‘juru selamat’ untuk daerah-daerah yang ingin mendapatkan anggaran bencana alam. Memang tidak ada makan siang yang gratis. Bagi daerah, khususnya yang minus dan memiliki potensi rawan terjadinya bencana, sangat berkepentingan untuk mendapatkan anggaran itu. Dalam kondisi terjepit, apapun bisa dilakukan, diantaranya dengan membayar ‘utang budi’ kepada para juru selamat.

Walau terasa miris, praktek percaloan di DPR bukanlah berita baru, meskipun juga bukan berita yang baik. Barangkali jika para kepala daerah mau berterus terang, pastinya akan banyak informasi tentang percaloan di DPR periode sebelumnya yang bisa diangkat. Merekalah yang menjadi saksi bisu sekaligus pihak yang paling mengetahui praktek kejahatan itu.

Sebagaimana diketahui, lahirnya konsep perimbangan keuangan pusat-daerah sebagai konsekuensi adanya otonomi daerah dirumuskan dalam bentuk pengucuran Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU). Di satu sisi, mekanisme penentuan alokasi DAK dan DAU sangat didominasi oleh pengaruh DPR. Karena itulah, praktek pemerasan di DPR yang sering dibahasakan sebagai percaloan itu tidak dapat dihindari.

Bagi kepala daerah yang ingin mendapatkan porsi DAU atau DAK lebih besar, maka loby ke DPR harus lebih intens. Selain daripada itu, perlu ada timbal balik yang seimbang sehingga sama-sama menguntungkan kedua belah pihak. Jika sejumlah dana tertentu yang diusulkan berhasil digolkan, maka kewajiban bagi daerah untuk memberikan presentase keberhasilan (baca:fee) itu kepada anggota DPR yang memperjuangkannya  

Hanya saja, berita yang memalukan itu baru muncul pada periode sekarang. Pada masa-masa sebelumnya, hal itu tidak pernah mencuat ke permukaan, apalagi mengharapkan adanya tindakan konkret dari Badan Kehormatan DPR. Padahal dari beberapa informasi, masalah percaloan di DPR sudah menjadi praktek yang wajar. Sebut saja misalnya FORMAPPI, sebuah LSM di Jakarta yang memiliki perhatian khusus pada pengawasan kinerja DPR dalam laporan di majalah Awasi Parlemen pada tahun 2003 sudah menyebutkan adanya indikasi praktek percaloan oleh anggota DPR.

Merebaknya praktek percaloan di DPR tidak bisa dilepaskan dari beberapa faktor. Pertama, menguatnya posisi tawar DPR tidak diimbangi dengan adanya kewajiban untuk terbuka (transparan) dalam segala aktivitas yang menjadi tugas dan tanggung-jawabnya. Tidak dapat dipahami mengapa dalam rapat-rapat DPR, ada beberapa pertemuan khusus yang sifatnya tertutup, yang tidak dapat diikuti atau dihadiri oleh siapapun, termasuk pers. Padahal keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan di DPR RI akan sangat menentukan berjalan atau tidaknya mekanisme kontrol dari publik.

Ini artinya, prinsip keterbukaan di lingkungan parlemen sangat berperan dalam mengendalikan kecenderungan terjadinya abuse of power dan abuse of authority, khususnya yang berhubungan dengan libido untuk memperoleh kekayaan material secara instant. Barangkali jika pertemuan di Komisi V DPR RI itu dilakukan secara terbuka, dalam artian semua anggota masyarakat diberi hak dan akses yang luas untuk terlibat ataupun mengontrol setiap proses pengambilan keputusan, kecil kemungkinan terjadinya kemufakatan jahat yang menjadi sumber maraknya korupsi.

Kedua, semakin pudarnya kekuatan single majority yang ditandai dengan hadirnya beberapa partai baru yang menempatkan para wakilnya di parlemen tidak secara otomatis membuat mekanisme checks and balances bekerja dengan baik. Adanya kantong-kantong kekuatan baru di parlemen yang diwakili oleh Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera dan beberapa partai baru lainnya belum dimanfaatkan untuk menghidupkan budaya oposisi yang bervisi anti-korupsi. Ini bukan berarti partai terdahulu tidak memiliki peluang yang sama untuk memperjuangkan gerakan anti-korupsi di parlemen, akan tetapi partai baru agaknya lebih memiliki legitimasi moral untuk memulainya.

Namun sayangnya, gagasan untuk membentuk kaukus anti-korupsi di parlemen ternyata belum direspon secara proporsional oleh anggota DPR. Bahkan hingga saat ini, gagasan itu masih belum dapat diimplementasikan. Sehingga seolah-olah, tidak ada perubahan berarti di DPR kecuali hanya sebatas perubahan pada para anggotanya. Padahal gagasan lahirnya kaukus anti-korupsi di DPR sekaligus bertujuan untuk mengidentifikasi sekaligus penegasan apakah kebiasaan, cara berpikir dan perilaku para politisi di DPR sudah mengalami perubahan.  

Yang sulit dipahami, mengapa Partai Keadilan Sejahtera misalnya, belum mampu menunjukkan pengaruhnya yang signifikan dalam kerangka mewujudkan lembaga politik yang lebih sehat dan bersih, kecuali beberapa manuver personelnya saja yang menonjol. Padahal yang harus dipahami, dalam realitas politik, kesalehan individu untuk menolak segala macam bentuk korupsi saja tidak cukup. Karena perspektif anti-korupsi dalam kehidupan di parlemen bukanlah untuk dirinya sendiri, melainkan harus diperjuangkan sebagai sebuah kebijakan konkret yang akhirnya akan dipatuhi oleh semua anggota DPR. Ini mengandung makna bahwa blok oposisi yang berorientasi pada gerakan anti-korupsi tidak hanya sekedar sebagai gerakan moral belaka, melainkan harus mengarah pada gerakan politik itu sendiri. Dengan demikian, gerakan anti-korupsi di DPR bukan sekedar himbauan yang mengandalkan pada kesadaran seseorang, melainkan lebih mengarah pada perbaikan sistem yang lebih transparan dan akuntabel, sehingga dapat memaksa setiap anggota dewan untuk mematuhinya.

****

Thursday, September 15, 2005

Aceh Menatap Masa Depan



Meletihkan, tapi juga menyenangkan. Menempuh perjalanan darat dari Banda Aceh ke Pidie, dilanjutkan ke Lhok Seumawe melewati Bireun dan terakhir ke Medan adalah pengalaman mengasyikkan yang sulit dilupakan. Memang tidak dilewati dalam masa satu hari. Kronologisnya, satu hari di Banda Aceh, satu hari di Pidie, satu hari di Lhok seumawe dan satu hari di Medan. Tidak ada kecemasan, mungkin karena informasi mengenai MoU GAM-TNI sudah pasti telah disepakati kedua belah pihak. Meski sudah aman, teman-teman di Banda Aceh berpesan supaya perginya pada siang hari.

Foto diatas adalah salah satu pemandangan rumah pengungsi pasca stunami yang telah dibangun kembali oleh salah satu NGO dari Perancis di Sligi, ibukota kabupaten Pidie. Desainnya bagus, bahannya pun kokoh. Bayangkan, untuk pondasinya, dipakai besi ukuran jempol tangan. Kata teman disana, besi itu sulit dicari di Aceh, hingga harus beli dari Medan. Harganya pun relatif lebih mahal. Tapi demi ketahanan, harga tidak menjadi persoalan. Apalagi semua rumah yang dibangun adalah bantuan. Masyarakat pengungsi tinggal terima beres.

Rumitnya, tidak semua bantuan rumah dari NGO internasional memiliki desan dan bahan yang sama. Masing-masing dari mereka memiliki konsep dan kemampuan yang berbeda. Masalahnya, perbedaan itu kerap menyulut keributan diantara pada pengungsi. Pengungsi juga manusia, hingga mereka memilih untuk memperoleh rumah terbaik. Sementara, tidak semua daerah yang dihantam tsunami bisa dijangkau oleh satu NGO. Hingga perbedaan itu tidak bisa dielakkan. Barangkali otoritas BRR perlu campur tangan, paling tidak menetapkan standar bangunan, mulai dari kualitas dan desain sehingga kecemburuan antar pengungsi tidak terjadi.

Bagi yang ingin lihat foto perjalanan di Aceh lebih lanjut, klik saja my album.

Aceh, September 2005
Pengelana

Sunday, August 28, 2005

Titik Rawan Korupsi dalam Pilkada

Dalam berbagai kajian mengenai korupsi pemilu,secara umum terdapat empat bentuk praktek penyimpangan yang dilakukan oleh kandidat dan partai politik. Mengingat keempat bentuk korupsi ini terjadi pada saat dan menjelang pemilu, maka kemungkinan besar hal ini juga akan terjadi pada saat pemilihan kepala daerah langsung (pilkadal) nanti. Korupsi pemilu sendiri dalam waktu-waktu tertentu sering ditukarnamakan dengan politik uang. Walaupun sebenarnya istilah politik uang memiliki dimensi yang lebih luas, karena praktek ini bisa terjadi diluar momen pemilu. Dalam terminologi hukum, praktek politik uang disebut sebagai tindak pidana suap.

Bentuk pertama pertama dari korupsi pemilu dikenal dengan istilah beli kursi (seat buying), dimana para kandidat yang ingin menjadi pejabat publik seperti DPR/D, presiden maupun kepala daerah dengan kekuatan uang dan koneksinya dapat ‘memesan’ jatah kursi nomor wahid. Praktek ilegal ini akan tumbuh subur jika penentuan kandidat pejabat publik hanya boleh dilakukan oleh partai politik, tanpa memberikan peluang bagi kandidat independen untuk turut serta sebagai rival dalam kompetisi politik. Apalagi jika mekanisme pemilu internal partai semisal konvensi juga tidak membuka kesempatan bagi masyarakat (konstituen) untuk terlibat dalam pengambilan keputusan pada saat menentukan calon yang akan mewakili partai.

Berikutnya adalah praktek beli pengaruh (influence buying) yakni sebuah tindakan ilegal yang dilakukan kandidat atau partai politik dengan ‘membeli’ tokoh-tokoh masyarakat seperti pemuka agama, pemuka adat dan tokoh informal lainnya untuk mempengaruhi pemilih dalam menentukan pilihan politik mereka. Dalam kondisi dimana pemilu dilakukan secara langsung, sebagaimana dalam pemilihan kepala daerah nanti, praktek pembelian pengaruh akan lebih efektif digunakan daripada menggunakan pendekatan beli suara..

Setidaknya ada tiga alasan yang dapat menjelaskannya. Pertama, dalam pemilu langsung, tidak ada satu carapun yang bisa digunakan untuk memastikan loyalitas pemilih kepada pihak yang membayar mengingat semakin dijaminnya asas pemilu yang langsung, umum, bebas dan rahasia. Kedua,ongkos atau biaya membeli suara dengan model pemilihan langsung jauh lebih besar dibandingkan membeli suara dalam sistem pemilu yang menggunakan perwakilan. Oleh karenanya, akan lebih murah jika para tokoh masyarakat berpengaruh yang dibeli. Ketiga secara kultural, ikatan primordial antara masyarakat dengan tokohnya, baik itu pemuka agama, pemuka adat atau tokoh informal lainnya hingga saat ini masih sangat kental sehingga pengaruh mereka bisa digunakan untuk memobilisasi suara.

Bentuk lainnya adalah praktek pembelian penyelenggara pemilu, yakni sebuah tindakan ilegal oleh kandidat atau partai politik dalam mempengaruhi proses pemilu dan hasilnya dengan menyuap para penyelenggara pemilu, mulai dari level desa, kecamatan, kelurahan dan seterusnya maupun pengawas pemilu untuk melakukan praktek-praktek curang seperti menggandakan jumlah pemilih, memasukkan surat suara ilegal, mendrop suara sah, memanipulasi perhitungan suara dan lain sebagainya. Sesungguhnya praktek ini sangat berbahaya karena dapat mempengaruhi independensi penyelenggara pemilu, sekaligus dapat menelikung aspirasi pemilih yang seharusnya dicerminkan dari pilihan-pilihan politik mereka pada saat mencoblos.

Diantara keempat bentuk korupsi pemilu, istilah yang terakhir ini paling dikenal, yakni pembelian suara. Secara sederhana, beli suara merupakan upaya ilegal dari kandidat dan partai politik untuk mempengaruhi suara pemilih dengan memberikan uang atau bentuk ‘bantuan’ lainnya. Bentuk beli suara sendiri bisa bermacam-macam, tergantung dari metoda dan jumlah uang yang dimiliki kandidat atau partai politik.

Berkaca pada pemilu legislatif dan pemilu presiden tahun lalu, banyak ditemukan praktek beli suara, mulai dari pemberian door prize, kupon bensin untuk massa kampanye, amplop tunai hingga serangan fajar dari kampung satu ke kampung lain. Praktek beli suara sendiri tidak sekedar terjadi pada saat kampanye pemilu dan pada saat pencoblosan suara, tapi bisa juga dilakukan dengan mendompleng acara yang menyedot kehadiran banyak orang, seperti acara pengajian, arisan, pertandingan olahraga, pertemuan warga di tingat RT, RW, keluarahan dan sebagainya.  

Barangkali dalam lingkup korupsi pemilu, pihak yang harus diwaspadai karena memiliki potensi besar untuk melakukan penyimpangan adalah kandidat yang berposisi sebagai incumbent politician, yakni kandidat yang pada saat sekarang menjabat sebagai pejabat publik. Bagi kandidat kepala daerah yang termasuk kategori ini, mereka sangat diuntungkan karena memiliki akses besar terhadap sumber keuangan daerah (APBD) sekaligus kewenangan untuk mengalokasikan anggaran itu bagi kepentingan pemenangan pilkadal.

Datangnya program-program populis ke kampung-kampung, seperti pembuatan jalan, pembangunan rumah ibadah, pembagian sembako gratis, pemberian secara gratis bibit kepada petani yang dilakukan secara tiba-tiba menjelang pilkadal perlu dicurigai sebagai bentuk penggunaan dana publik untuk kepentingan pemenangan pilkadal.

Selain daripada itu, incumbent politicians juga memiliki kesempatan dan kekuasaan besar untuk mempengaruhi independensi panitia penyelenggara pilkadal mengingat tata cara penyelenggaraan pilkadal hanya diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP), yang notabene merupakan representasi dari kelompok politik yang tengah berkuasa saat ini. Meskipun dalam prakteknya panitia penyelenggara pilkadal tetap dilaksanakan oleh KPUD, namun pertanggungjawaban KPUD tidak kepada KPU Pusat yang merupakan jalur hirarkies organisasinya, melainkan kepada DPRD. Dititik inilah kemungkinan adanya tekanan, intimidasi, manipulasi dan tidak terjaminnya independensi panitia penyelenggara pemilu dapat terjadi.          

Perlu diingat bahwa keempat bentuk korupsi pemilu sebagaimana sudah dijelaskan diatas merupakan bentuk korupsi pemilu yang cermati dari sisi belanja/pengeluaran. Sementara di sisi lain, korupsi pemilu dari aspek pemasukan juga dapat terjadi. Hal ini biasanya berbentuk intervensi modal oleh kelompok-kelompok kepentingan dengan membiayai aktivitas politik kandidat atau partai politik dalam pilkadal untuk memenangkan pertarungan. Disebut suap karena intervensi modal terhadap praktek politik biasanya dilakukan dengan cara dan berasal dari sumber ilegal, yakni tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan berlaku.

Memang dalam PP No 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, khususnya pasal 65 hingga 69 telah mengatur dana kampanye bagi kandidat menyangkut beberapa aspek. Antara lain mengenai batas besar sumbangan, sumber dana kampanye yang diperbolehkan, kewajiban pelaporan penggunaan dana kampanye dan larangan menerima dana kampanye dari sumber-sumber tertentu.

Namun demikian, praktek korupsi pemilu, baik dilihat dari sisi pengeluarannya maupun dari sisi pemasukannya masih dapat terjadi. Hal ini mengingat penegakan hukum atas temuan terhadap dugaan terjadinya tindak pidana pemilu, khususnya yang terkait dengan praktek korupsi pemilu tidak pernah diusut secara tuntas oleh aparat penegak hukum. Misalnya saja temuan ICW atas berbagai daftar penyumbang fiktif pada saat pemilu presiden tahun 2004 tidak ada satupun yang diselesaikan. Padahal korupsi pemilu merupakan momok tersendiri pada setiap proses pemilu, termasuk dalam pemilihan kepala daerah langsung (pilkadal), khususnya karena pengaruh negatif yang ditimbulkan terhadap kualitas pemilu itu sendiri.

(tulisan ini pernah dimuat di Koran Tempo)

SBY Vis a Vis Koruptor

Dibandingkan dengan agenda pemberantasan korupsi pemerintahan sebelumnya, kebijakan Presiden SBY dalam melawan praktek korupsi jauh lebih maju, walaupun dengan berbagai catatan. Dipilihnya Abdul Rahman Saleh sebagai Jaksa Agung RI pada awal pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu menjadi salah satu tolok ukur untuk melihat tingkat keseriusan SBY dalam memberantas korupsi.

Penunjukkan Jaksa Agung yang dinilai banyak pihak memiliki integritas yang tinggi dilanjutkan dengan keluarnya Instruksi Presiden No 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Instruksi itu tidak sekedar ditujukan kepada tubuh Kejaksaan, melainkan ke seluruh jajaran birokrasi yang berada dibawah tanggung jawab dan kewenangan presiden. Untuk menunjukkan adanya keseriusan dalam usaha penegakan hukum tindak pidana korupsi, SBY sendiri mempercepat terbitnya surat ijin pemeriksaan bagi kepala daerah dan anggota DPR yang terindikasi melakukan korupsi. Dalam catatan ICW, sudah lebih dari 26 ijin pemeriksaan telah dikeluarkannya.

Tidak cukup dengan sekedar Inpres, SBY melalui Wakil Presiden Yusuf Kalla juga telah membentuk Tim Pemburu Koruptor yang langsung dikepalai Basrif Arief, Wakil Jaksa Agung RI. Tugas utamanya adalah mengejar para pelaku korupsi yang telah kabur atau melarikan diri ke luar negeri untuk dibawa kembali ke Indonesia supaya bisa diadili. Disamping itu, Tim Pemburu Koruptor juga bertugas mencari dan mengembalikan asset hasil korupsi ke kas negara untuk meminimalisir kerugian.

Namun sederet agenda dan kebijakan pemberantasan korupsi yang telah dirumuskan SBY rupanya masih tidak menunjukkan adanya perubahan cukup signifikan. Hal itu bisa dilihat dari terbitnya Keppres No 11 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diketuai Hendarman Supandji, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAMPIDSUS). Ada dua tugas utama yang diemban tim, pertama, melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku terhadap kasus atau indikasi tindak pidana korupsi. Kedua, mencari dan menangkap pelaku yang diduga keras melakukan tindak pidana serta menelusuri asetnya untuk pengembalian keuangan secara optimal. Masa tugas tim yang terdiri dari unsur kepolisian, kejaksaan, serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) adalah dua tahun dan dapat diperpanjang. Pembentukan tim ini paling tidak merupakan realisasi dari janji Presiden untuk mencari koruptor yang kabur hingga ke luar negeri. Janji yang diucapkan saat membuka Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional 2005 di Jakarta, Rabu (13/4), dilatari kesedihan Yudhoyono melihat kasus-kasus korupsi bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang sampai saat ini belum tuntas, tapi para koruptornya masih mampu berbisnis di luar negeri. Dalam janjinya Presiden akan mencari para koruptor yang sudah divonis pengadilan tetapi kabur, serta para koruptor yang sudah lama dicari Kepolisian RI. Keluarnya Keppres ini sebenarnya bisa dilihat sebagai kekecewaan SBY atas program pemberantasan korupsi yang dinilai tidak berhasil.

Ada beberapa hal yang bisa dijadikan catatan mengapa program pemberantasan korupsi SBY mengalami kendala implementasi. Pertama, bahwa ranah kebijakan yang dibuat SBY untuk pemberantasan korupsi masih bersifat umum. Misalnya Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Inpres ini sepertinya bersifat simbolik, dan kenyataannya tidak direspons dengan baik oleh jajaran menteri dan departemen terkait, karena bersifat umum dan hanya pengulangan tugas dan fungsi yang sesungguhnya sudah ada di tiap lembaga. Kecuali dalam bidang pendidikan yang memandatkan perlunya pendidikan korupsi di sekolah. Tanpa inpres itu pun otomatis sudah menjadi kewajiban hukum dari lembaga-lembaga yang tercantum dalam inpres itu untuk menjalankan tugasnya. Dengan kata lain, inpres itu sama sekali tidak memberikan arahan dan strategi bagaimana mempercepat pemberantasan korupsi, yaitu memangkas faktor-faktor penghambat pemberantasan korupsi dan membuka jalan untuk kemudahan-kemudahan yang diperlukan. Misalnya, menginventarisasi dan meminggirkan aturan perizinan presiden atau Gubernur untuk menyeret pejabat atau anggota Dewan, yang selama ini menjadi bungker perlindungan pejabat yang kotor. Atau pembersihan aparat penegak hukum busuk, yang menjadikan penegakan hukum lumpuh.

Lebih strategis lagi kalau pemerintah berani mencabut Inpres No. 8 Tahun 2002 mengenai pengampunan bagi obligor pengemplang utang, yang senantiasa dijadikan alasan pembenar oleh Kejaksaan Agung untuk tidak menyentuh mereka. Karena tiadanya RAN, maka kelihatan agenda pemberantasan korupsi pemerintah sejauh ini tidak terencana dengan baik, tergantung pada improvisasi anggota kabinet masing-masing. Dalam hal ini yang secara menonjol bisa dilihat misalnya gebrakan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin yang melakukan pemindahan narapidana korupsi ke Nusakambangan. Kebijakan ini cukup menarik karena selama ini telah terjadi pelunakan hukum yang sistematis, jarang ada tersangka atau terdakwa yang ditahan. Akibatnya, tidak kurang dari 16 kasus BLBI yang diproses kejaksaan sejak tahun 2000, 10 orang di antaranya melarikan diri ke luar negeri, dan tanpa ada kemauan untuk menangkapnya kembali.    

Kedua, SBY terlalu menekankan pada kebijakan formal dalam mengupayakan pemberantasan korupsi, yakni dengan memproduksi keputusan, instruksi dan sebagainya yang dalam ranah kebijakan publik dikategorikan sebagai bagian dari content of law. Padahal stuctrure of law, yakni mesin yang akan menjalankan kebijakan itu juga harus diperhatikan. Akibatnya semua kebijakan yang telah dikeluarkan berhenti pada tingkat wacana karena tidak ada elaborasi atas agenda itu di tingkatan program aksi. Sampai saat ini kita belum pernah mendengar dan melihat masing-masing menteri sebagai pembantunya menterjemahkan kebijakan SBY melalui pembuatan program aksi pemberantasan korupsi dilingkungan mereka sendiri-sendiri.

Ketiga, karena agenda pemberantasan korupsi ditekankan pada aspek penegakan hukum, maka tidak bisa tidak, pembersihan di aparatur penegak hukum seharusnya menjadi agenda utama yang harus dikerjakan. Sayangnya secara substansial yang kurang mendapat perhatian adalah masalah pembersihan aparatus penegak hukum. Seperti sering diulas, semua kelembagaan antikorupsi yang penting sudah ada di sini, tetapi belum efektif karena di tangan aparat yang sama, dan karena itu menjadi tugas Presiden, DPR, dan MA untuk memperbaikinya. Sukses pemberantasan korupsi Independent Commission Against Corruption (ICAC) di Hongkong yang legendaris, juga dimulai dengan membersihkan jajaran kepolisian yang menjadi poros semua kejahatan dan lumpuhnya aturan.  

Parahnya kondisi aparat penegak hukum dapat dilihat dari kinerja mereka selama ini. Disebutkan ada 169 (21%) kasus korupsi yang dalam 100 hari pemerintahan SBY telah dan akan dilimpahkan ke pengadilan, dari sekitar 776 kasus yang hingga tahun 2004 tidur lelap di kejaksaan. Hampir semua kasus-kasus itu berlokasi di daerah, yang ditangani kejaksaan di tingkat kabupaten dan provinsi. Taksiran kerugian negara dari kasus-kasus itu ratusan juta rupiah yang bisa dikategorikan kasus-kasus petty corruption bila dilihat dari level pejabat yang terlibat atau diperbandingkan dengan kasus-kasus mega corruption seperti pembobolan BNI atau BLBI. Angka kuantitas tersebut harus diakui merupakan suatu kemajuan, dibandingkan pemerintahan sebelumnya yang rata-rata tidak mencapai angka itu. Prestasi kinerja kejaksaan sesungguhnya tidak bisa dikatakan kemajuan yang fundamental apalagi mengejutkan, karena kasus-kasus tersebut telah lama mengendap di kejaksaan. Apalagi yang ditangani kasus-kasus korupsi kecil. Sementara kasus-kasus BLBI, sejak pemerintahan Habibie hingga 2004, baru 16 orang yang dibawa ke pengadilan dari 60 perkara yang diperiksa kejaksaan, dan 12 kasus dihentikan penyidikannya. Lebih parah lagi dari 16 orang yang diadili, sembilan terdakwa kabur sebelum vonis dan tiga tersangka bebas (ICW, 2004) Pilihan pada kasus-kasus korupsi kecil di daerah tersebut meskipun penting, barangkali belum bisa menyingkirkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum yang selama ini diskriminatif, hanya efektif untuk orang kecil dan tidak berkutik bagi konglomerat, pejabat tinggi atau pemuka politik. Jangan bicara soal efek penjeraan dari tindakan represif terhadap kasus-kasus itu di tengah fenomena political corruption dalam hubungan keintiman (patronase) penguasa dan pengusaha, yang menjadi faktor penghambat terbesar pemberantasan korupsi di Tanah Air.

Kinerja kepolisian lebih tidak kentara. Sampai saat ini Kapolri Da'i Bachtiar belum sepotong kata pun menjelaskan kebijakannya dalam pemberantasan korupsi. Pak Da'i masih asyik dengan isu terorisme internasional. Tidak ada laporan jumlah perkara yang ditangani selama 100 hari. Yang berhasil dicatat hingga tahun 2004 hanya ada 29 kasus yang dituntaskan, dan sisanya 162 kasus masih pemeriksaan (ICW, 2004). Yang paling mencoreng kepolisian adalah penanganan perkara pembobolan BNI Rp1,7 triliun yang diindikasikan adanya suap dari para pelaku untuk merekayasa berkas perkara tersebut kepada tim pemeriksanya, ternyata hanya diberi sanksi ringan melanggar kode etik kepolisian bukan diproses secara pidana. Dari kasus ini saja secara kasatmata bisa dikatakan pemerintahan SBY tidak punya keinginan serius untuk membersihkan aparat penegak hukum, padahal itu yang menjadikan korupsi semakin merajalela.

Keempat, lemahnya koordinasi antar lembaga anti-korupsi membuat program pemberantasan korupsi tidak bisa dijalankan secara efektif. Pembentukan Timtas Korupsi, semacam kelompok kerja representasi kejaksaan, kepolisian, dan BPKP, yang membantu langsung Presiden dalam mengoordinasi penegakan hukum, barangkali juga dilatarbelakangi lemahnya koordinasi antarkelembagaan yang ada dan kurang fungsionalnya penegakan hukum selama enam bulan terakhir.
Pembentukan Timtas Korupsi bisa jadi merupakan langkah Presiden untuk memimpin sendiri institusi penegakan hukum. Kita tentunya masih berharap bahwa adanya kebijakan yang diproduksi untuk program pemberantasan korupsi bertujuan untuk memperkuat dan mempercepat agenda pemberantasan korupsi, bukan sebaliknya malah memunculkan masalah baru.

5:0


Kabar soal kemenangan terdakwa Akbar Tandjung dalam kasasi di MA atas kasus korupsi dana nonbujeter Bulog telah beredar luas di berbagai media massa. Walaupun masih sulit dikonfirmasi kebenarannya, berbagai sumber dan berita yang telah bergulir seakan sudah memberikan vonis bebas kepada Akbar Tandjung. Opini itu diperkuat informasi dari sumber di MA, bahwa putusan melepaskan Akbar telah diambil secara musyawarah oleh Majelis Hakim. Alasannya, seperti dikutip media massa, dalam menyalurkan dana nonbujeter Bulog sebesar Rp 40 miliar, Akbar Tandjung hanya berperan sebagai bawahan yang menjalankan perintah presiden. Selain itu,  bukti aliran dana ke partai Golkar tidak ditemukan.

Menjelang detik-detik akhir pengumuman putusan oleh Majelis Hakim pada Kamis mendatang, ruang publik tidak hanya dipenuhi dengan berita soal kemungkinan bebasnya Akbar, tapi juga oleh aksi massa yang pro maupun kontra dengan mantan Ketua Umum HMI itu. Di satu pihak, kelompok mahasiswa menuntut Akbar Tanjung dijebloskan ke penjara karena telah melakukan penyelewengan kekuasaan. Bagi mahasiswa yang melakukan demonstrasi di depan gedung MA, Akbar adalah koruptor dan layak dikategorikan sebagai politikus busuk. Di pihak lain, kelompok muda pendukung Akbar yang tergabung dalam AMPG dan massa Golkar lainnya meminta kepada MA untuk memberikan putusan yang adil. Di mata mereka, Akbar Tandjung adalah pahlawan yang akan selalu menjadi pemimpin, walaupun skenario terburuk menimpanya. Bahkan dengan semangat  heroik, mereka menyatakan siap dipimpin oleh Akbar Tandjung dari dalam penjara.

Orang yang memahami sejarah perjuangan Indonesia dengan benar, mungkin hanya bisa tersenyum geli sekaligus sedih. Bagaimana tidak, apa yang menimpa Akbar sangat kontras dengan apa yang pernah terjadi pada diri tokoh Indonesia pada masa kemerdekaan. Jika Akbar divonis bersalah oleh pengadilan karena melakukan tindak pidana korupsi, Soekarno misalnya dipenjara karena memperjuangkan prinsip kemerdekaan. Sebagaimana kita memahami, korupsi adalah tindak pidana yang berakibat buruk bagi masyarakat luas. Korupsi menghilangkan kesempatan masyarakat untuk bisa hidup lebih baik, menghancurkan pondasi ekonomi dan melahirkan kesenjangan sosial yang lebar. Sehingga orang-orang yang melakukan korupsi tidak layak untuk dihormati, apalagi diberikan tempat istimewa untuk menjadi seorang pemimpin bangsa.

Tanpa bermaksud mendahului putusan Majelis Hakim, berita soal kemenangan Akbar Tandjung telah tersebar ke publik luas. Tidak tanggung-tanggung, lima anggota Majelis Hakim dikabarkan setuju dengan pembebasan Akbar. Berita itu bisa jadi keliru, namun semua paham bahwa publik juga sudah kehilangan kepercayaan kepada aparat penegak hukum. Apapun yang dilakukan oleh aparat, baik itu benar maupun salah, sulit diletakan pada tempat yang proporsional, sehingga kebenaran media massa seringkali dianggap sebagai kebenaran itu sendiri.

Surutnya kepercayaan publik kepada lembaga penegak hukum bukan tanpa sebab. Beberapa waktu lalu keluar putusan PN Larantuka yang menghukum Pastor Frans Amanue selaku pelapor kasus korupsi yang dugaannya dilakukan oleh Bupati Flores Timur dan dikabulkannya gugatan perdata Tommy Winata kepada koran Tempo oleh Majelis Hakim PN Jakarta Selatan. Dua peristiwa itu sebenarnya telah memberikan bukti bahwa logika penegakan hukum di negeri ini jauh dari rasa keadilan. Cara berpikir hakim yang menggunakan paradigma positivis-legalistik hanya melahirkan kebenaran formal semata. Sementara kebenaran substansial, yakni terjaminnya rasa keadilan publik menjadi terabaikan. Padahal kedua kasus itu membawa implikasi yang maha hebat bagi kemajuan demokrasi. Pada kasus Pastor Frans, peradilan telah mengancam partisipasi masyarakat dalam memberantas korupsi, sedang pada kasus koran Tempo, peradilan telah mengancam kebebasan pers.

Apa yang menimpa Pastor Frans dan koran Tempo sangat mungkin terulang pada kasus Akbar Tandjung. Bebasnya Ketua Umum Golkar itu bisa jadi karena sebab dari Majelis Hakim sendiri yang sangat percaya dengan kebenaran formal. Tapi alasan itu saja siapa yang mau mempercayai. Justru faktor yang akan sangat menentukan putusan Majelis Hakim adalah adanya intimidasi dari pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan agar Akbar Tandjung dibebaskan. Intimidasi itu bisa dalam bentuknya yang lembut berupa penyuapan, tapi dapat pula terjadi intimidasi dalam bentuknya yang keras, yakni ancaman penghilangan nyawa.

Walaupun alasan-alasan diatas sulit ditemukan kebenaran formalnya, tapi kita semua mahfum, lingkungan peradilan di Indonesia telah tercemar oleh praktek mafia. Putusan peradilan mudah digadaikan dengan setumpuk rupiah. Kalangan yang mampu memberikan penawaran terbesar pada hakim pemutus dapat dipastikan menjadi pemenangnya. Apalagi jika nilai uang yang diterima mencapai angka fantastis. Tak heran banyak aparat penegak hukum di Indonesia yang pengeluarannya jauh lebih besar daripada pendapatan resminya.

Hakim juga akan kehilangan posisi objektifnya ketika yang diadili adalah politikus yang memiliki kekuasaan besar, massa pendukung loyal yang siap melakukan apapun demi tujuan kebebasan. Pembunuhan terhadap Agung Syafiuddin Kartasasmita , salah satu anggota Majelis Hakim oleh penembak tak dikenal saat menangani kasus Tommy Soeharto cukup memberikan efek traumatik bagi lahirnya putusan-putusan pengadilan yang berwibawa. Walaupun pelaku pembunuhnya divonis seumur hidup, pengadilan tidak pernah menyinggung soal kepemilikan senjata oleh Tommy Soeharto. Memang, ketika kekuatan politik, premanisme dan uang bersatu, peradilan akan selalu menjadi bulan-bulanan.

Kemenangan Akbar Tandjung berarti kekalahan menyakitkan bagi rasa keadilan,  sekaligus merupakan langkah surut ke titik nol upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Putusan MA yang demikian akan memberikan inspirasi dan membangkitkan kepercayaan diri para pejabat publik pelaku korupsi yang kini juga tengah menjalani proses hukum. Sebut saja misalnya adalah 270 anggota DPRD se Indonesia yang tengah menjalani pemeriksaan oleh Kejaksaan Tinggi  karena terlibat dalam korupsi APBD. Sebaliknya, aparat penegak hukum yang kini sedang serius menangani perkara korupsi yang melibatkan pejabat publik akan kehilangan semangat dan keyakinan bahwa mereka bisa menjalankan tugas dan fungsinya seperti yang dikehendaki masyarakat luas. Masyarakat juga akan semakin pesimis terhadap lembaga penegak hukum dan pemberantasan korupsi yang sedang gencar di kampanyekan. Jika yang diberitakan media massa itu benar adanya, kita semakin yakin bahwa memang Indonesia adalah Republik Maling Semua (RMS).

Perempuan dan Gerakan Anti-Korupsi

Menurut banyak kalangan, gerakan anti-korupsi adalah gerakan maskulin. Tak dapat dipungkiri, dari fakta di lapangan saja - walaupun belum ada survey khusus mengenai hal ini- para pegiat gerakan anti-korupsi sebagian besarnya adalah kaum laki-laki. Bisa dikatakan sangat jarang perempuan tampil sebagai penggerak utamanya. Jikapun ada, peranannya tidak terlalu signifikan, bahkan di beberapa level berada dalam posisi pendukung saja. Misalnya sebagai orang administrasi yang dalam proses pengambilan kebijakan strategis tidak pernah dilibatkan.

Sebagai bagian dari gerakan demokratisasi, kesetaraan gender harus secara sadar diterima sebagai cara pandang organisasi masyarakat sipil, apapun isu yang diperjuangkan, termasuk gerakan anti-korupsi sendiri. Mencari benang merah antara perempuan dan korupsi barangkali akan lebih gamblang jika menggunakan pendekatan korban. Dalam arti bahwa perempuan merupakan korban paling menderita dari praktek korupsi sehingga ada rasionalisasi akan pentingnya keterlibatan perempuan dalam gerakan anti-korupsi.  Meskipun dari beberapa referensi yang mencoba menjelaskan hubungan antara perempuan dan korupsi justru seringkali terjebak pada cara pandang stereotype dalam bentuknya yang lain.

Misalnya kesimpulan yang menyebutkan “women less corrupt” yang pernah dibuat papernya oleh David Dollar, Raymond Fisman dan Roberta Gatti pada 1999 dalam “Are Women Really the “Fairer” Sex? Corruption and Women in Government” sehingga disimpulkan bahwa semakin besar keterlibatan perempuan di parlemen, semakin rendah tingkat korupsinya (lihat paper David Dollar, Raymond Fisman dan Roberta Gatti dalam “Are Women Really the “Fairer” Sex? Corruption and Women in Government”, 1999). Kesimpulan itu menurut mereka didasarkan atas beberapa hasil riset mengenai perbandingan tingkah laku antara laki-laki dan perempuan.

Riset semacam itu tentu saja mudah dipatahkan karena generalisasi yang dilakukan sulit diterima secara metodologis kebenarannya. Mengacu pada beberapa pengalaman dalam dunia kejahatan korupsi, perempuan juga merupakan aktor yang potensial untuk melakukannya. Sebagai contoh adalah kasus korupsi APBD di Sumatera Barat yang telah divonis pada tingkat Pengadilan Tinggi, beberapa pelakunya adalah perempuan. Ini artinya, generalisasi teoritis atas pandangan itu masih sangat terbuka untuk diperdebatkan. Di sisi lain, kejahatan korupsi dalam perspektif kekuasaan tidak mengenal perbedaan perempuan dan laki-laki. Siapapun dia, baik laki-laki maupun perempuan, ketika memegang kekuasaan akan cenderung korup.

Namun demikian, pandangan yang menyatakan bahwa perempuan kerap memicu terjadinya praktek korupsi juga adalah bagian dari stigmatisasi. Mungkin sekali pandangan demikian muncul karena pembagian kerja dalam hubungan perkawinan, khususnya di Indonesia, masih menempatkan perempuan sebagai ibu rumah tangga belaka. Sementara laki-laki adalah pencari nafkah keluarga. Karena pembagian kerja secara ekonomis telah memposisikan laki-laki sebagai pencari uang, jika terjadi korupsi akan muncul pandangan keliru bahwa sang istri yang menstimulus suami melakukan korupsi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Cara pandang demikian tidak hanya harus ditentang, tapi perlu didekonstruksi. Sehingga yang harus dikedepankan bukanlah asumsi bahwa perempuan merupakan pemicu terjadinya korupsi, melainkan bagaimana meningkatkan peranan perempuan dalam mendorong gerakan anti-korupsi, dengan melihat bahwa perempuan berada pada struktur terbawah dari piramida korban korupsi. Perempuan sejatinya bisa menjadi inspirator gerakan antikorupsi sejak dalam lingkup kehidupan yang paling kecil, yakni keluarga.

Peran dalam menanamkan nilai di keluarga yang anti-korupsi sangat memungkinkan mengingat secara faktual kalangan perempuan berposisi sebagai rumah tangga. Mereka memiliki banyak waktu untuk berinteraksi dengan anak maupun anggota keluarga yang lain. Ide ini tidak bermaksud untuk memapankan posisi perempuan dalam kerja-kerja domestik kerumahtanggaan. Melainkan lebih kepada mensiasati kondisi real yang dihadapi.

Meski demikian, secara lebih luas peran perempuan dalam gerakan anti-korupsi perlu diakomodasi melalui beberapa cara. Pertama, organisasi anti-korupsi harus meninjau ulang kebiasaan-kebiasaan kerja organisasi yang sifatnya maskulin, baik dalam konteks perumusan program, jadwal, pelaksanaan maupun pada tingkat evaluasinya. Ini berarti gender equality perlu diletakkan sebagai bagian penting dari nilai-nilai dasar organisasi yang tercermin dalam cara berpikir dan aktivitas-aktivitas yang dilakukannya.

Seorang aktivis perempuan pernah mengeluh karena jadwal pelatihan investigasi yang dilaksanakan oleh salah satu organisasi anti-korupsi tidak memperhitungkan kebiasaan perempuan. Dia berargumentasi bahwa ibu rumah tangga memiliki alokasi waktu luang yang berbeda dibandingkan dengan perempuan yang bekerja di kantor atau laki-laki. Karena tiadanya pertimbangan soal waktu tadi, peserta pelatihan investigasi akhirnya hanya diikuti oleh kalangan laki-laki saja. Dengan demikian, sejak dari hal-hal yang kecil, keterlibatan perempuan harus sudah dipikirkan.

Kedua, adanya affirmative action bagi kalangan perempuan untuk terlibat secara lebih luas dalam agenda pemberantasan korupsi. Jika yang dikeluhkan selama ini adalah sedikitnya kalangan perempuan yang bergiat dalam gerakan anti-korupsi, barangkali masalahnya adalah belum munculnya affirmative action untuk mengakomodasi sumber daya manusia organisasi dari kelompok perempuan. Sebagaimana yang telah diperjuangkan oleh perempuan di lembaga politik, gagasan perlunya affirmative action untuk perempuan harus menjadi bagian penting dari agenda reorganisasi lembaga anti-korupsi itu sendiri. Hal ini sekaligus untuk menunjukan dukungan nyata bagi perjuangan keadilan jender dan demokratisasi.

Ketiga, Pramodya Ananta Toer pernah mengatakan “adil sejak dalam pikiran”. Seorang kawan juga pernah menyebut “tidak sedikit perempuan yang berpikir patriarkhi”. Maksudnya, masalah ketidakadilan jender bukan sekedar masalah statistik berapa perempuan dan berapa laki-laki. Melainkan lebih jauh dari itu adalah masalah konstruksi berpikir.

Karena persoalannya terletak pada kekeliruan paradigma, harus ada cara dan tindakan yang diarahkan pada tujuan terjadinya shift of paradigm. Oleh karenanya, arena penyadaran akan pentingnya keadilan jender harus diarahkan juga pada kalangan pegiat anti-korupsi. Tak dapat dielakkan bahwa minimnya peran perempuan dalam gerakan anti-korupsi juga sangat ditentukan oleh bagaimana gerakan anti-korupsi memandang peranan perempuan untuk terlibat didalamnya. Dengan adanya gerakan penyadaran yang sistematis melalui kampanye publik, bisa diharapkan perempuan makin memiliki tempat dalam gerakan anti-korupsi.

(tulisan ini merupakan hasil refleksi dari diskusi regular yang pernah dilaksanakan di sekretariat ICW dengan menghadirkan 2 narasumber, yakni Rival Gulam Ahmad, Peneliti PSHK dan Direktur Advokasi LBH APIK)

Menuntun Keberanian

Membongkar praktek korupsi di Indonesia bukanlah sesuatu yang mudah. Meski banyak orang merasakan langsung akibat buruk dari korupsi, tapi menunjuk siapa biang keladinya tak semudah membalik tangan. Banyaknya aktor korupsi yang terlibat, rumitnya modus yang dilakukan, tertutupnya informasi dari pemerintah kepada masyarakat, sistem dan aparat hukum yang telah menjadi bagian dari budaya kekuasaan yang korup cukup menyulitkan ruang gerak bagi perlawanan terhadapnya.

Orang yang mengetahui, bahkan memiliki informasi akurat terjadinya korupsi belum tentu mau melaporkannya. Sekurang-kurangnya tiga penyebabnya. Pertama, pertimbangan keamanan dirinya, baik keamanan fisik maupun ekonomi. Tak ada yang menjamin setelah ia melaporkan, dirinya tidak diintimidasi, dicelakai ataupun dipecat dari tempat kerjanya.

Kedua, ketidakpercayaan yang tinggi kepada aparat penegak hukum. Apatisme masyarakat terhadap aparat penegak hukum yang menangani kasus korupsi sudah sedemikian parah. Memberikan laporan kepada mereka sama saja memberikan amunisi untuk memeras. Ketiga, tidak adanya perlindungan hukum yang memadai bagi para pelapor kasus korupsi. Alih-alih dilindungi hukum, para pelapor justru harus berhadapan dengan hukum karena perbuatan mencemarkan nama baik seseorang.

Dalam situasi demikian, ICW mendorong berbagai kelompok masyarakat untuk memupuk keberanian dan kemampuan membongkar kasus-kasus korupsi dengan berbagai pendekatan. Pelatihan dasar anti-korupsi barangkali dapat dianggap sebagai metoda yang paling umum. Mengetuk-tularkan pengetahuan tentang korupsi, ketrampilan dalam menelusuri data, analisa terhadap masalah, membuat laporan kasus dan bagaimana melakukan advokasi biasanya efektif untuk membuat kantong-kantong perlawanan terhadap korupsi.

Bagi kelompok masyarakat yang secara mandiri telah membuat laporan korupsi, peran fasilitasi untuk kampanye dan loby di tingkat nasional menjadi bagian kerja strategis ICW. Mengingat laporan kasus korupsi sangat rentan terhadap gugatan balik, memastikan bahwa data dan dugaan yang dibuat sudah memenuhi kriteria mutlak dilakukan. Pada titik ini, komunikasi yang terbangun dalam melakukan kerjasama pembongkaran kasus korupsi telah ditransformasikan menjadi ajang untuk membangun jejaring anti-korupsi yang lebih luas.

Terbukti, pendekatan demikian mampu membangunkan kesadaran masyarakat untuk berani melaporkan kasus-kasus korupsi. Pada tahun 2004 saja, ICW menerima 415 kasus dugaan korupsi yang disampaikan oleh pribadi maupun kelompok masyarakat dari berbagai tempat. Memang tidak semua laporan itu bisa ditindaklanjuti. Beberapa saja yang menjadi prioritas untuk ditangani, dengan mempertimbangkan kemungkinan dapat dibentuknya jaringan baru anti-korupsi. Khusus untuk kasus korupsi yang terjadi di Jakarta, ICW mengambil peran untuk melakukan investigasi mandiri dan menyampaikan hasilnya kepada aparat penegak hukum. Kasus dugaan mark-up pengadaan pemancar RRI senilai Rp 40 Miliar yang kini sudah masuk tahap penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan salah satu contohnya. Demikian juga kasus mark-down penjualan tanah senilai Rp 300 Miliar di Perumnas yang kini sedang dalam penyelidikan Timtas Tipikor.

Jaringan anti-korupsi baru yang telah dilahirkan dari kerjasama pembongkaran kasus diantaranya adalah Prodem di Kendari, LPS-HAM di Palu, Bontang Corruption Watch (BCW) di Kaltim, G2W di Garut, PIAR di Kupang, Gerak, SORAK dan SAMAK di Aceh, Rahima di Cirebon dan beberapa daerah lainnya.

Akhirnya, laporan kasus korupsi tidak sekedar sebagai pekerjaan menyusun, menulis dan menyampaikannya kepada aparat penegak hukum. Lebih dari itu, bagaimana membangun jaringan antikorupsi, mendorong capacity building antar kelompok, memupuk kebersamaan sehingga tumbuh keberanian yang lebih besar untuk melawan praktek korupsi.

Jangan Pilih Politikus Busuk

Buruknya standar integritas dan kapasitas politisi yang duduk di parlemen tak dapat dilepaskan dari tiadanya model seleksi politik yang sehat, baik secara internal maupun melalui mekanisme pemilu. Secara internal, kedekatan dengan elit politik dan kemampuan finansial kandidat menjadi aspek yang menentukan. Di sisi lain melalui pemilu, cara-cara pembelian suara menjadi suatu hal yang lumrah dilakukan, dengan memanfaatkan rendahnya kesadaran politik pemilih.

Tak ayal, saat mereka menjadi pejabat publik, penyelewengan kekuasaan tak dapat dihindarkan. Uang senilai tak lebih dari Rp 50 ribu harus dibayar dengan kesengsaraan selama 5 tahun. Demikian berulang-ulang hingga pemilu tak dapat dijadikan sebagai ajang untuk memberikan sanksi bagi pejabat yang lupa terhadap janjinya pada saat kampanye.

Disaat partai politik justru menjadi kekuatan oligarkhi yang korup dan anti perubahan, tak ada jalan lain kecuali menggugah kesadaran politik pemilih untuk tidak mudah dibodohi. Pertimbangannya, lahirnya pemilih yang sadar akan memaksa perubahan pada politisi maupun partainya. Oleh karena itu, pemilih harus diubah cara berpikirnya. Dari irasional menjadi rasional, dari loyal-buta mejadi kritis dan dari emosional menjadi objektif. Dimotori oleh ICW dan beberapa LSM lain di Jakarta, Gerakan Nasional Tidak Pilih Politikus Busuk (GNTPPB) lantas menjadi pemicu sekaligus mesin penyadaran yang ampuh.

Dideklarasikan pertama kalinya pada 29 Desember 2003 di Tugu Proklamasi, daya tarik GNTPPB sanggup mendongkrak simpati dari berbagai kalangan. Di tengah guyuran hujan deras, tak kurang dari 2500 orang memadati lapangan Tugu Proklamasi. Deklarasi tersebut sekaligus menandai dimulainya perang terhadap politikus busuk yang akan kembali ke gedung parlemen.
     
Gayungpun bersambut, deklarasi serupa juga dilakukan oleh berbagai elemen GNTPPB di banyak daerah. Tercatat 200 organisasi masyarakat sipil termasuk kampus menyatakan diri bergabung dalam gerakan ini, mencakup wilayah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Lampung, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan beberapa tempat lain yang dengan inisiatif sendiri menggerakkan kampanye Tidak Pilih Politikus Busuk.

Siapa yang disebut politikus busuk adalah mereka-mereka yang selama ini melakukan korupsi, merusak lingkungan, pelanggar HAM dan pelaku kejahatan seksual. Kriteria ini membuat batas yang tegas mana yang disebut negative campaign dan mana yang termasuk black campaign. Negative campaign masuk dalam lingkup demokrasi karena berkehendak untuk menyampaikan kepada publik tentang sesuatu kebenaran yang harus diketahui, supaya kualitas demokrasi itu sendiri menjadi lebih baik. Dengan kata lain, rekam jejak politisi yang akan dipilih dalam pemilu harus diketahui seluas-luasnya oleh pemilih supaya terhindar dari praktek “membeli kucing dalam karung”.

GNTPPB dalam waktu sesaat menjadi begitu populer karena kreatif dalam merumuskan beragam metoda untuk mensosialisasikannya. Mulai dari pembuatan lagu oleh beberapa musisi kondang seperti Franky Sahilatua dan Harry Rusli (Alm.) yang menjadi mars gerakan, penyebaran stiker dan poster, diskusi publik, talk show di banyak radio hingga pembuatan koran Sosok yang berisi daftar politikus bermasalah.

Tak sedikit yang menyimpulkan bahwa gerakan ini gagal karena tidak mampu menghadang kembalinya politikus busuk. Namun harus diakui secara jujur bahwa sistem pemilu 2004 masih menyulitkan untuk bekerjanya hukuman tidak memilih politikus busuk. Yang harus dilihat, sangat sedikit –hanya dua orang- politisi yang lolos ke parlemen karena perolehan suara yang memenuhi Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). Barangkali, inilah sumbangan yang dapat diberikan oleh GNTPPB pada usianya yang baru menginjak tahun pertama.    
     

        

Masyarakat Sipil dan Pemberantasan Korupsi

Otonomisasi tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi mendorong berkembangnya prakarsa sendiri untuk mengambil keputusan mengenai kepentingan masyarakat setempat. Dengan berkembangnya prakarsa sendiri maka tercapailah apa yang dimaksud demokrasi, yaitu pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Rakyat tidak saja menentukan nasibnya sendiri, melainkan juga terutama memperbaiki nasibnya sendiri”(Mohammad Hatta, 1957)

Hipotesis yang mengatakan bahwa telah terjadi desentralisasi korupsi paska otonomi daerah kian tak terbantahkan setelah dalam beberapa waktu terakhir, kita mendengar atau membaca dari berbagai media massa terungkapnya kasus korupsi yang melibatkan secara massal anggota DPRD. Kejadian korupsi tersebut tidak hanya dimonopoli oleh satu daerah saja, melainkan sudah menyebar secara merata di berbagai pusat-pusat kekuasaan baru. Dari sisi aktor, selain DPRD, Kepala Daerah merupakan pelaku korupsi di daerah yang –dari sisi grafik- menempati urutan tertinggi (Pola, Aktor dan Modus Korupsi Paska Desentralisasi, Quarterly Report ICW Jan-Agustus 2004).

Berkaca pada fenomena diatas, kita bisa mengatakan bahwa proses demokratisasi paska tumbangnya rezim Orde Baru, yang ditandai dengan semakin terbukanya keran kebebasan, baik kekebasan bagi pers, kebebasan bagi masyarakat untuk berpendapat, kebebasan untuk mendirikan organisasi politik (partai) pada kenyataannya diliputi oleh berbagai distorsi, khususnya distorsi yang terkait dengan praktek penyelewengan kekuasaan (baca: korupsi). Implementasi otonomi daerah, yang kandungan intinya adalah proses demokratisasi ternyata tidak diimbangi atau diikuti oleh penerapan prinsip-prinsip good governance dalam praktek penyelenggaraan negara, sebagaimana menjadi tuntutan utama gerakan reformasi. Buah dari pemberian otoritas besar kepada pemerintahan daerah minus akuntabilitas adalah maraknya praktek korupsi.

Salah satu bentuk penyelewengan mandat oleh DPRD dan pemerintah daerah adalah pada kewenangan untuk merencanakan dan menyusun (fungsi budgeting) APBD yang tidak diimbangi dengan tingkat dan kapasitas kontrol atas kewenangan itu dari publik. Sudah menjadi postulat bahwa pemberian wewenang yang besar tanpa diimbangi dengan kendali yang kuat hanya akan memperpanjang usia rezim yang serakah. Distribusi kekuasaan yang timpang akan melahirkan kebijakan yang korup. Tiadanya mekanisme check and balances membuka ruang bagi pejabat negara untuk berbuat sewenang-wenang (abuse of power).

APBD merupakan pundi-pundi kekayaan negara yang mudah untuk dijadikan sapi perahan oleh DPRD dan Pemda. Pasalnya melalui APBD, alokasi manfaat anggaran dibuat dan proyek-proyek ‘pembangunan’ dirancang. Semuanya dibandrol dengan nilai rupiah yang tidak kecil. Dan otoritas untuk menyusun sekaligus mengesahkan APBD ada pada palu parlemen lokal (DPRD) dan Pemerintah Daerah.

Proses penyusunan APBD yang sebatas diserahkan kepada DPRD dan Pemda seringkali hanya melahirkan proyek-proyek mercusuar, biaya ekonomi tinggi, tapi tidak sesuai dengan kebutuhan prioritas masyarakat luas. Aspirasi dan kebutuhan masyarakat atas satu proyek pembangunan sejak dalam perencanaannya sudah harus bertarung dengan kepentingan swasta (pengusaha) yang masuk melalui lobby dan deal-deal yang sulit ditangkap fenomenanya dalam sosok yang telanjang. Bahkan tak jarang anggota DPRD sendiri yang melaksanakan proyek dari APBD itu dengan menggunakan bendera perusahaan tertentu yang dikendalikan oleh orang-orang kepercayaan (proxy).

Dalam berbagai kasus, fungsi anggaran yang dimiliki anggota DPRD sering kali diselewengkan.  Wakil rakyat di parlemen yang merupakan representasi partai politik dengan heterogenitas kepentingan –karena masing-masing mewakili kepentingan konstituen- dapat menjadi kompak karena proyek APBD. ‘Asal dibagi rata’ dan ‘asal semua dapat’ merupakan istilah sindiran yang kerap ditujukan kepada mereka. Praktek ini mentransformasikan satu lembaga politik (parlemen) yang bergerak dinamis karena kompetisi politik, menjadi lembaga yang berisi gerombolan ‘pencuri’ terorganisir. Data Kapuspenkum Kejaksaan Agung bahwa pada 2003 sebanyak 270 anggota DPRD diperiksa oleh Kejaksaan Tinggi seluruh Indonesia atas kasus penyelewengan dana APBD setidaknya memberi konfirmasi atas status gerombolan ‘pencuri’ itu.

Fungsi lain yang juga tidak luput dari penyalahgunaan adalah fungsi legislasi yang keluaran akhirnya berbentuk Peraturan Daerah (perda). Dari laporan Mendagri, untuk tahun 2001 saja, sekitar 68 perda dikategorikan bermasalah. Pasalnya sebagian besar perda yang dikeluarkan pemerintah daerah memiliki motif untuk menaikkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui retribusi yang pada implementasinya cenderung memiliki tendensi pemerasan. Padahal, keluarnya perda pendapatan tanpa disertai analisa dampak hanya akan membawa akibat negatif bagi perekonomian daerah itu sendiri dalam jangka panjang. Selain banyak perda yang isinya bertentangan dengan UU yang lebih tinggi, terbitnya aturan itu justru menghambat iklim usaha dan mendistorsi arus barang dan jasa (Faisal Basri, 2003).

Sejumlah pihak menyoroti banyaknya distorsi yang muncul paska pemberlakuan otonomi daerah karena sejumlah hal, yakni:
Pertama,   program otonomi daerah  hanya terfokus pada pelimpahan wewenang dalam pembuatan kebijakan, keuangan dan administrasi dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, tanpa disertai dengan pembagian kekuasaan kepada masyarakat.  Dengan kata lain, program otonomi daerah tidak diikuti dengan program demokratisasi yang membuka peluang keterlibatan masyarakat dalam pemerintahan di daerah. Karenanya, program desentralisasi ini hanya memberi peluang kepada elit lokal untuk mengakses sumber-sumber ekonomi dan politik daerah, yang rawan terhadap korupsi atau penyalahgunaan wewenang.

Kedua, tidak ada institusi negara yang mampu mengontrol secara efektif penyimpangan wewenang di daerah. Program otonomi daerah telah memotong struktur hirarki pemerintahan, sehingga tidak efektif lagi kontrol pemerintah pusat  ke daerah karena tidak ada lagi hubungan struktural secara langsung yang dapat memaksakan kepatuhan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat. Kepala daerah, baik bupati maupun walikota, tidak lagi ditentukan oleh pemerintah pusat, melainkan oleh mekanisme pemilihan kepala daerah oleh DPRD dan bertanggunjawab ke DPRD (Sekedar catatan, mulai tahun 2005, semua pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat, bukan oleh DPRD). Hubungan pemerintahan pusat dan daerah hanya fungsional, yaitu hanya kekuasaan untuk memberi policy guidance kepada pemerintah daerah (CSIS, TA. Legowo, 2001).
Ketiga, kontrol DPRD terhadap jalannya pemerintah (eksekutif) tidak berfungsi, melainkan disalahgunakan sehingga terjadi kolusi yang erat antara pemerintah daerah dan DPRD, sementara  kontrol dari kalangan civil society masih lemah. Praktek kolusi yang terjadi antara DPRD dan Kepala Daerah disebabkan karena tiadanya kompetisi politik antar aktor politik di daerah. Sementara itu, kuatnya aroma kolusi dalam setiap pengambilan keputusan yang melibatkan DPRD maupun Eksekutif mencerminkan kuatnya oligharki elit di daerah, sehingga sulit untuk mengharapkan berfungsinya mekanisme kontrol dari mereka.

Pemberdayaan Masyarakat Sipil  

Dalam situasi dimana masyarakat politik sudah sedemikian korup, maka mengharapkan pemberantasan korupsi datang dari pemerintah menjadi suatu hal yang mustahil -untuk tidak menyebut sia-sia-. Tiadanya kemauan politik sekaligus aksi politik dari pemerintah untuk bersikap tegas terhadap praktek korupsi menyebabkan pemberantasan korupsi tidak bisa diharapkan datang dari atas. Hanya ada segelintir daerah saja yang berhasil menciptakan sistem pemerintahan yang bersih oleh karena adanya kemauan yang kuat dari pimpinannya (Kepala Daerah). Misalnya di Kabupaten Solok, Sumatera Barat dan Kabupaten Jembarana di Bali. Untuk Kabupaten Solok sendiri, beberapa waktu lalu Gamawan Fauzi, Bupati Solok memperoleh Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA) karena sikap nyatanya dalam pemberantasan korupsi di lingkungan pemerintahan kabupaten Solok.

Barangkali, Sumatera Barat merupakan contoh daerah dimana tiga hal yang berkaitan dengan korupsi dan pemberantasannya tumbuh disana. Tiga hal itu adalah, pertama, korupsi DPRD pertama kali terbongkar di Sumbar. Kedua, gerakan anti-korupsi yang berbasiskan masyarakat –untuk pertama kalinya- di Sumbar telah menunjukkan beberapa keberhasilan. Ketiga, adanya kemauan kuat dari pemimpin daerah sebagaimana dilakoni oleh Bupati Solok untuk menciptakan pemerintahan yang bersih juga muncul pertama kali di Sumbar.

Dengan melihat kondisi diatas, bagi kita yang berangkat dari gerakan masyarakat sipil, konsep pemberantasan korupsi di Indonesia harus diarahkan kepada munculnya gerakan rakyat. Apa yang dilakukan oleh Forum Perduli Sumatera Barat (FPSB) bisa kita jadikan rujukan sekaligus keyakinan bahwa gerakan sosial melawan korupsi di Indonesia memiliki prospek keberhasilan yang cukup tinggi.

Oleh karenanya, inisiatif dan desakan untuk menciptakan pemerintahan yang bersih harus lahir dari masyarakat sipil sendiri. Beberapa agenda yang lebih konkret –sesuai dengan problem mendasar yang terjadi di banyak daerah-  perlu diinventarisir secara seksama untuk merumuskan rencana aksi yang lebih strategis. Beberapa hal yang mungkin bisa dilakukan dalam konteks lokal adalah:

Pertama, menuntaskan proses otonomi daerah yang sekarang ini berhenti hanya sampai tingkat otonomi pemerintah daerah saja. Maksudnya, otonomi daerah harus menyentuh pada persoalan mendasarnya, yakni adanya otonomi masyarakat. Dengan otonomi masyarakat, apa yang disebut oleh Bung Hatta sebagai demokrasi, yakni pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat benar-benar dapat diwujudkan.
Kedua, kontrol masyarakat dapat berjalan efektif jika aksesibilitas terhadap informasi dari institusi publik dengan mudah bisa diperoleh. Maraknya korupsi dalam bentuk korupsi APBD, pelaksanaan proyek fiktif, penggunaan SPJ fiktif dan sebagainya merupakan buah dari tertutupnya akses informasi bagi masyarakat yang tengah mengawasi jalannya pemerintahan daerah. La Ode Ida, salah satu anggota DPD terpilih dari Propinsi Sulawesi Tenggara yang sekaligus Direktur Eksekutif FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran) dalam sebuah diskusi di televisi mengatakan bahwa pengawasan anggaran adalah soal yang mudah. Mudah jika masyarakat diberikan jaminan untuk dapat memperoleh, mengakses setiap informasi yang terkait dengan penyelenggaraan anggaran pemerintah daerah. Kebebasan informasi itu perlu dibingkai dalam sebuah aturan main, sehingga hak masyarakat untuk tahu apa yang telah dikerjakan oleh pemerintahnya mendapatkan jaminan konstitusional. Dalam konteks lokal, adanya perda transaransi merupakan implementasi dari semangat untuk mewujudkan good governance.

Ketiga, partisipasi masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan adalah suatu prasyarat utama yang tidak bisa diingkari dalam memperbaiki posisi tawar. Partisipasi itu bukan sekedar keterlibatan wakil-wakil masyarakat yang dalam prakteknya mudah sekali dimanipulasi sebagaimana ditunjukkan dalam penyusunan anggaran, namun keterlibatan dalam pengertian yang lebih jauh, yakni keterlibatan dalam pendapat dan dalam aksi (tindakan), sekaligus keterlibatan dalam menentukan setiap kebijakan yang akan diambil.

Keempat, secara internal, lembaga demokrasi seperti parlemen atau partai politik perlu membenahi diri. Dalam konteks parlemen, penerapan kode etik -melalui pengaktifan Dewan Kehormatan misalnya- yang mengikat dan memberikan rambu-rambu atas perilaku dan tindakan mereka perlu diterapkan secara tegas sehingga mekanisme etik dilingkungan internal parlemen benar-benar berfungsi. Kode etik plus pemberian sanksi  yang tegas atas setiap perilaku yang menyimpang ditubuh parlemen akan memberikan legitimasi baru dari masyarakat, setelah sebelumnya citra parlemen terpuruk karena hempasan gelombang korupsi.    

Sebenarnya, masih banyak agenda lain yang perlu dijadikan prioritas gerakan rakyat dalam hubungannya dengan pemberantasan korupsi dalam konteks otonomi daerah. Yang terpenting, agenda gerakan masyarakat sipil harus selalu mengarah kepada semakin kuatnya posisi tawar masyarakat terhadap pemerintahan. Semua itu akan berujung pada terwujudnya keseimbangan kekuasaan demi terwujudnya kontrol rakyat atas jalannya kekuasaan.