Sunday, August 28, 2005

SBY Vis a Vis Koruptor

Dibandingkan dengan agenda pemberantasan korupsi pemerintahan sebelumnya, kebijakan Presiden SBY dalam melawan praktek korupsi jauh lebih maju, walaupun dengan berbagai catatan. Dipilihnya Abdul Rahman Saleh sebagai Jaksa Agung RI pada awal pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu menjadi salah satu tolok ukur untuk melihat tingkat keseriusan SBY dalam memberantas korupsi.

Penunjukkan Jaksa Agung yang dinilai banyak pihak memiliki integritas yang tinggi dilanjutkan dengan keluarnya Instruksi Presiden No 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Instruksi itu tidak sekedar ditujukan kepada tubuh Kejaksaan, melainkan ke seluruh jajaran birokrasi yang berada dibawah tanggung jawab dan kewenangan presiden. Untuk menunjukkan adanya keseriusan dalam usaha penegakan hukum tindak pidana korupsi, SBY sendiri mempercepat terbitnya surat ijin pemeriksaan bagi kepala daerah dan anggota DPR yang terindikasi melakukan korupsi. Dalam catatan ICW, sudah lebih dari 26 ijin pemeriksaan telah dikeluarkannya.

Tidak cukup dengan sekedar Inpres, SBY melalui Wakil Presiden Yusuf Kalla juga telah membentuk Tim Pemburu Koruptor yang langsung dikepalai Basrif Arief, Wakil Jaksa Agung RI. Tugas utamanya adalah mengejar para pelaku korupsi yang telah kabur atau melarikan diri ke luar negeri untuk dibawa kembali ke Indonesia supaya bisa diadili. Disamping itu, Tim Pemburu Koruptor juga bertugas mencari dan mengembalikan asset hasil korupsi ke kas negara untuk meminimalisir kerugian.

Namun sederet agenda dan kebijakan pemberantasan korupsi yang telah dirumuskan SBY rupanya masih tidak menunjukkan adanya perubahan cukup signifikan. Hal itu bisa dilihat dari terbitnya Keppres No 11 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diketuai Hendarman Supandji, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAMPIDSUS). Ada dua tugas utama yang diemban tim, pertama, melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku terhadap kasus atau indikasi tindak pidana korupsi. Kedua, mencari dan menangkap pelaku yang diduga keras melakukan tindak pidana serta menelusuri asetnya untuk pengembalian keuangan secara optimal. Masa tugas tim yang terdiri dari unsur kepolisian, kejaksaan, serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) adalah dua tahun dan dapat diperpanjang. Pembentukan tim ini paling tidak merupakan realisasi dari janji Presiden untuk mencari koruptor yang kabur hingga ke luar negeri. Janji yang diucapkan saat membuka Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional 2005 di Jakarta, Rabu (13/4), dilatari kesedihan Yudhoyono melihat kasus-kasus korupsi bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang sampai saat ini belum tuntas, tapi para koruptornya masih mampu berbisnis di luar negeri. Dalam janjinya Presiden akan mencari para koruptor yang sudah divonis pengadilan tetapi kabur, serta para koruptor yang sudah lama dicari Kepolisian RI. Keluarnya Keppres ini sebenarnya bisa dilihat sebagai kekecewaan SBY atas program pemberantasan korupsi yang dinilai tidak berhasil.

Ada beberapa hal yang bisa dijadikan catatan mengapa program pemberantasan korupsi SBY mengalami kendala implementasi. Pertama, bahwa ranah kebijakan yang dibuat SBY untuk pemberantasan korupsi masih bersifat umum. Misalnya Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Inpres ini sepertinya bersifat simbolik, dan kenyataannya tidak direspons dengan baik oleh jajaran menteri dan departemen terkait, karena bersifat umum dan hanya pengulangan tugas dan fungsi yang sesungguhnya sudah ada di tiap lembaga. Kecuali dalam bidang pendidikan yang memandatkan perlunya pendidikan korupsi di sekolah. Tanpa inpres itu pun otomatis sudah menjadi kewajiban hukum dari lembaga-lembaga yang tercantum dalam inpres itu untuk menjalankan tugasnya. Dengan kata lain, inpres itu sama sekali tidak memberikan arahan dan strategi bagaimana mempercepat pemberantasan korupsi, yaitu memangkas faktor-faktor penghambat pemberantasan korupsi dan membuka jalan untuk kemudahan-kemudahan yang diperlukan. Misalnya, menginventarisasi dan meminggirkan aturan perizinan presiden atau Gubernur untuk menyeret pejabat atau anggota Dewan, yang selama ini menjadi bungker perlindungan pejabat yang kotor. Atau pembersihan aparat penegak hukum busuk, yang menjadikan penegakan hukum lumpuh.

Lebih strategis lagi kalau pemerintah berani mencabut Inpres No. 8 Tahun 2002 mengenai pengampunan bagi obligor pengemplang utang, yang senantiasa dijadikan alasan pembenar oleh Kejaksaan Agung untuk tidak menyentuh mereka. Karena tiadanya RAN, maka kelihatan agenda pemberantasan korupsi pemerintah sejauh ini tidak terencana dengan baik, tergantung pada improvisasi anggota kabinet masing-masing. Dalam hal ini yang secara menonjol bisa dilihat misalnya gebrakan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin yang melakukan pemindahan narapidana korupsi ke Nusakambangan. Kebijakan ini cukup menarik karena selama ini telah terjadi pelunakan hukum yang sistematis, jarang ada tersangka atau terdakwa yang ditahan. Akibatnya, tidak kurang dari 16 kasus BLBI yang diproses kejaksaan sejak tahun 2000, 10 orang di antaranya melarikan diri ke luar negeri, dan tanpa ada kemauan untuk menangkapnya kembali.    

Kedua, SBY terlalu menekankan pada kebijakan formal dalam mengupayakan pemberantasan korupsi, yakni dengan memproduksi keputusan, instruksi dan sebagainya yang dalam ranah kebijakan publik dikategorikan sebagai bagian dari content of law. Padahal stuctrure of law, yakni mesin yang akan menjalankan kebijakan itu juga harus diperhatikan. Akibatnya semua kebijakan yang telah dikeluarkan berhenti pada tingkat wacana karena tidak ada elaborasi atas agenda itu di tingkatan program aksi. Sampai saat ini kita belum pernah mendengar dan melihat masing-masing menteri sebagai pembantunya menterjemahkan kebijakan SBY melalui pembuatan program aksi pemberantasan korupsi dilingkungan mereka sendiri-sendiri.

Ketiga, karena agenda pemberantasan korupsi ditekankan pada aspek penegakan hukum, maka tidak bisa tidak, pembersihan di aparatur penegak hukum seharusnya menjadi agenda utama yang harus dikerjakan. Sayangnya secara substansial yang kurang mendapat perhatian adalah masalah pembersihan aparatus penegak hukum. Seperti sering diulas, semua kelembagaan antikorupsi yang penting sudah ada di sini, tetapi belum efektif karena di tangan aparat yang sama, dan karena itu menjadi tugas Presiden, DPR, dan MA untuk memperbaikinya. Sukses pemberantasan korupsi Independent Commission Against Corruption (ICAC) di Hongkong yang legendaris, juga dimulai dengan membersihkan jajaran kepolisian yang menjadi poros semua kejahatan dan lumpuhnya aturan.  

Parahnya kondisi aparat penegak hukum dapat dilihat dari kinerja mereka selama ini. Disebutkan ada 169 (21%) kasus korupsi yang dalam 100 hari pemerintahan SBY telah dan akan dilimpahkan ke pengadilan, dari sekitar 776 kasus yang hingga tahun 2004 tidur lelap di kejaksaan. Hampir semua kasus-kasus itu berlokasi di daerah, yang ditangani kejaksaan di tingkat kabupaten dan provinsi. Taksiran kerugian negara dari kasus-kasus itu ratusan juta rupiah yang bisa dikategorikan kasus-kasus petty corruption bila dilihat dari level pejabat yang terlibat atau diperbandingkan dengan kasus-kasus mega corruption seperti pembobolan BNI atau BLBI. Angka kuantitas tersebut harus diakui merupakan suatu kemajuan, dibandingkan pemerintahan sebelumnya yang rata-rata tidak mencapai angka itu. Prestasi kinerja kejaksaan sesungguhnya tidak bisa dikatakan kemajuan yang fundamental apalagi mengejutkan, karena kasus-kasus tersebut telah lama mengendap di kejaksaan. Apalagi yang ditangani kasus-kasus korupsi kecil. Sementara kasus-kasus BLBI, sejak pemerintahan Habibie hingga 2004, baru 16 orang yang dibawa ke pengadilan dari 60 perkara yang diperiksa kejaksaan, dan 12 kasus dihentikan penyidikannya. Lebih parah lagi dari 16 orang yang diadili, sembilan terdakwa kabur sebelum vonis dan tiga tersangka bebas (ICW, 2004) Pilihan pada kasus-kasus korupsi kecil di daerah tersebut meskipun penting, barangkali belum bisa menyingkirkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum yang selama ini diskriminatif, hanya efektif untuk orang kecil dan tidak berkutik bagi konglomerat, pejabat tinggi atau pemuka politik. Jangan bicara soal efek penjeraan dari tindakan represif terhadap kasus-kasus itu di tengah fenomena political corruption dalam hubungan keintiman (patronase) penguasa dan pengusaha, yang menjadi faktor penghambat terbesar pemberantasan korupsi di Tanah Air.

Kinerja kepolisian lebih tidak kentara. Sampai saat ini Kapolri Da'i Bachtiar belum sepotong kata pun menjelaskan kebijakannya dalam pemberantasan korupsi. Pak Da'i masih asyik dengan isu terorisme internasional. Tidak ada laporan jumlah perkara yang ditangani selama 100 hari. Yang berhasil dicatat hingga tahun 2004 hanya ada 29 kasus yang dituntaskan, dan sisanya 162 kasus masih pemeriksaan (ICW, 2004). Yang paling mencoreng kepolisian adalah penanganan perkara pembobolan BNI Rp1,7 triliun yang diindikasikan adanya suap dari para pelaku untuk merekayasa berkas perkara tersebut kepada tim pemeriksanya, ternyata hanya diberi sanksi ringan melanggar kode etik kepolisian bukan diproses secara pidana. Dari kasus ini saja secara kasatmata bisa dikatakan pemerintahan SBY tidak punya keinginan serius untuk membersihkan aparat penegak hukum, padahal itu yang menjadikan korupsi semakin merajalela.

Keempat, lemahnya koordinasi antar lembaga anti-korupsi membuat program pemberantasan korupsi tidak bisa dijalankan secara efektif. Pembentukan Timtas Korupsi, semacam kelompok kerja representasi kejaksaan, kepolisian, dan BPKP, yang membantu langsung Presiden dalam mengoordinasi penegakan hukum, barangkali juga dilatarbelakangi lemahnya koordinasi antarkelembagaan yang ada dan kurang fungsionalnya penegakan hukum selama enam bulan terakhir.
Pembentukan Timtas Korupsi bisa jadi merupakan langkah Presiden untuk memimpin sendiri institusi penegakan hukum. Kita tentunya masih berharap bahwa adanya kebijakan yang diproduksi untuk program pemberantasan korupsi bertujuan untuk memperkuat dan mempercepat agenda pemberantasan korupsi, bukan sebaliknya malah memunculkan masalah baru.

5 comments:

Anonymous said...

Very nice site! »

Anonymous said...

That's a great story. Waiting for more. » »

Anonymous said...

Super post, tienen que marcarlo en Digg

[url=http://www.hope4dwn.com/]Dougles[/url]

Anonymous said...

,

SuperSonic

Anonymous said...

ЎUf, me gustу! Tan clara y positiva.

Truden