Salah satu butir kekecewaan publik atas pengesahan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya pada pasal 56 hingga pasal 119 yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah secara langsung adalah tidak diakomodirnya calon atau kandidat independen untuk turut ambil bagian sebagai peserta pemilu. Meskipun dalam pasal 59 ayat 3 UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan, partai politik atau gabungan parpol wajib membuka kesempatan seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat dan selanjutnya memproses bakal calon melalui mekanisme yang demokratis dan transparan.
Namun hal itu tidak menjamin tampilnya kandidat independen yang akan dicalonkan partai politik mengingat mekanisme pencalonan sangat ditentukan oleh partai politik itu sendiri. Akan banyak kendala yang dihadapi, salah satunya adalah persoalan klasik, yakni pertentangan prioritas antara kader partai untuk menjadi calon dengan calon lain dari kalangan luar partai politik. Selain daripada itu, dari sisi budaya politik, partai-partai di Indonesia belum mampu mengembangkan mekanisme rekrutmen politik yang demokratis, transparan dan akuntabel dalam penentuan calon pejabat publik sehingga kecil peluangnya bagi calon independen untuk dapat berkompetisi secara sehat.
Kendati partai politik diwajibkan untuk membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan, menyerahkan kewenangan untuk menjaring calon independen kepada partai politik atau gabungan partai politik bukanlah jalan keluar yang demokratis. Bahkan hal tersebut bisa dikatakan sebagai salah satu bentuk pengabaian terhadap hak-hak politik setiap warga negara. Masalah yang lebih prinsipil sebenarnya adalah tiadanya pengakuan secara yuridis dalam UU Pemerintah Daerah bagi calon individu atau independen sebagai peserta pemilu untuk menjadi calon kepala daerah. Hal ini bertentangan dengan praktek pemilu yang demokratis di negara manapun karena secara substantif, locus demokrasi bukan terletak pada kelompok atau partai politik, melainkan pada individu-individu. Dalam konteks itulah seharusnya negara menjamin kesempatan yang sama dan setara bagi siapapun untuk turut serta dalam setiap kompetisi politik.
Distingsi yang kian tegas antara kalangan non-partai yang ingin berpolitik praktis dengan elit politik yang bernaung dalam partai politik sebenarnya mencerminkan adanya defisit kepercayaan yang demikian besar dari masyarakat luas terhadap partai politik sekaligus elit politiknya. Maraknya korupsi yang melibatkan anggota DPRD, money politics dalam pilkada, penyusunan daftar calon legislatif yang penuh dengan aroma suap, gagalnya partai politik dalam mengakomodir aspirasi rakyat, kecenderungan elitisme di tubuh partai politik merupakan beberapa faktor penting yang menyebabkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap elit politik dan partai kian merosot. Oleh karena itu, tuntutan bagi kandidat non-partai untuk menjadi bagian dari kompetisi politik dalam pilkada mendatang merupakan sinyal kian memudarnya pesona partai politik dan elitnya.
Disisi lain, kapasitas politik warga yang semakin baik, kesadaran politik warga yang kian meningkat, masih banyaknya individu-individu bersih yang berada di luar lingkaran partai politik dan semangat untuk merubah keadaan politik agar menjadi lebih baik membuat desakan untuk terlibat aktif dalam dunia politik praktis kian kuat. Hanya saja ketika hasrat berpolitik itu harus disalurkan melalui partai politik, banyak rintangan yang dihadapi terutama menyangkut sistem, kultur dan perilaku korup di tubuh partai politik yang saat ini masih eksis.
Partai Lokal, Akomodasi Politik Lokal
Keengganan partai politik berkuasa di DPR untuk membuka arena politik bagi kandidat independen dalam kontes pemilihan kepala daerah dapat dibaca sebagai bentuk ketakutan partai politik dan elitnya terhadap kemungkinan pudarnya dominasi dan cengkraman pengaruh mereka di daerah. Dari bacaan terhadap hasil pemilu legislatif dan pemilihan anggota DPD beberapa waktu lalu, dapat dikatakan bahwa daya tarik partai politik memang kian menurun.
Masyarakat pemilih lebih memperhitungkan kualitas kandidat, tingkat kedekatan pemilih dengan kandidat dan pengetahuan akan track record kandidat sebagai dasar untuk menentukan pilihannya, dibandingkan dengan misalnya dari partai politik mana kandidat itu berasal. Ini artinya, di level masyarakat pemilih telah terjadi pergeseran orientasi dan relasi, dari keterikatan terhadap partai politik menjadi keterikatan kepada kandidat. Begitupun dengan hasil pemilihan anggota DPD yang menunjukkan unggulnya calon non-partai di beberapa daerah. Sebagaimana kita ketahui, walaupun anggota DPD memang dikhususkan untuk kandidat non-partai (individu), namun banyak diantara dari mereka diback-up oleh partai politik. Fenomena ini merupakan ukuran objektif bahwa calon independen dalam pemilihan kepala daerah nantinya dapat menjadi saingan berat bagi calon dari partai politik. Oleh karena itulah partai politik nampaknya sangat berkeberatan dengan adanya calon independen dalam pemilihan kepala daerah.
Sebenarnya dalam sistem politik yang mengarah pada demokrasi langsung, wacana desentralisasi lembaga demokrasi yang bernama partai politik merupakan keniscayaan dan sangat relevan untuk diwujudkan. Hal ini melihat pada pengalaman masa lalu dimana praktek sentralisme partai politik justru menghambat proses demokratisasi dan dinamika politik lokal. Tidak hanya demikian, sentralisme partai politik juga turut menghambat proses perubahan di sektor ekonomi, politik dan sosial sebagaimana telah menjadi tuntutan masyarakat luas. Bahkan kecenderungannya, akibat dari pengelolaan partai politik yang terpusat, telah terjadi pembusukan yang begitu parah terhadap lembaga demokrasi. Hal itu dikarenakan partai politik selama ini tidak bekerja untuk kepentingan konstituen atau rakyat, namun bekerja atas keinginan elit politik yang menguasai partai. Pendek kata, institusi demokrasi selama ini telah disandera oleh elit politik untuk kepentingan mereka sendiri.
Oleh karena itu, sebagai bagian dari reformasi sistem politik, desentralisasi partai politik menjadi sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar. Hal pertama yang sangat mungkin dilakukan adalah dengan melakukan revisi terhadap UU No 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, khususnya pasal 2 ayat (3) huruf (b) yang memberikan keharusan bagi partai politik untuk memiliki pengurus sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah provinsi, 50% (lima puluh persen) dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi bersangkutan, dan 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota yang bersangkutan. Pasal tersebut telah membuat aspirasi politik di tingkat lokal tidak dapat diartikulasikan secara bebas mengingat hanya partai-partai berskala besar (nasional) yang boleh didirikan. Revisi terhadap UU Partai Politik dimaksudkan untuk memberikan kesempatan bagi tumbuhnya partai-partai lokal.
Keberadaan partai lokal sekaligus akan menjawab kebuntuan yang diciptakan oleh partai politik berkuasa di DPR RI yang telah menutup peluang bagi tampilnya kandidat independen dalam pemilihan kepala daerah. Dengan adanya partai lokal, kandidat independen yang selama ini alergi terhadap partai politik lama di masa mendatang akan menemukan wadah baru untuk mengekspresikan hak politik mereka. Keberadaan partai politik lokal pada akhirnya akan mendorong tuntutan dan tujuan desentralisasi yang lebih substantif, yakni demokratisasi praktek kekuasaan itu sendiri.
1 comment:
Wonderful and informative web site. I used information from that site its great. » » »
Post a Comment