Sunday, August 28, 2005

Perempuan dan Gerakan Anti-Korupsi

Menurut banyak kalangan, gerakan anti-korupsi adalah gerakan maskulin. Tak dapat dipungkiri, dari fakta di lapangan saja - walaupun belum ada survey khusus mengenai hal ini- para pegiat gerakan anti-korupsi sebagian besarnya adalah kaum laki-laki. Bisa dikatakan sangat jarang perempuan tampil sebagai penggerak utamanya. Jikapun ada, peranannya tidak terlalu signifikan, bahkan di beberapa level berada dalam posisi pendukung saja. Misalnya sebagai orang administrasi yang dalam proses pengambilan kebijakan strategis tidak pernah dilibatkan.

Sebagai bagian dari gerakan demokratisasi, kesetaraan gender harus secara sadar diterima sebagai cara pandang organisasi masyarakat sipil, apapun isu yang diperjuangkan, termasuk gerakan anti-korupsi sendiri. Mencari benang merah antara perempuan dan korupsi barangkali akan lebih gamblang jika menggunakan pendekatan korban. Dalam arti bahwa perempuan merupakan korban paling menderita dari praktek korupsi sehingga ada rasionalisasi akan pentingnya keterlibatan perempuan dalam gerakan anti-korupsi.  Meskipun dari beberapa referensi yang mencoba menjelaskan hubungan antara perempuan dan korupsi justru seringkali terjebak pada cara pandang stereotype dalam bentuknya yang lain.

Misalnya kesimpulan yang menyebutkan “women less corrupt” yang pernah dibuat papernya oleh David Dollar, Raymond Fisman dan Roberta Gatti pada 1999 dalam “Are Women Really the “Fairer” Sex? Corruption and Women in Government” sehingga disimpulkan bahwa semakin besar keterlibatan perempuan di parlemen, semakin rendah tingkat korupsinya (lihat paper David Dollar, Raymond Fisman dan Roberta Gatti dalam “Are Women Really the “Fairer” Sex? Corruption and Women in Government”, 1999). Kesimpulan itu menurut mereka didasarkan atas beberapa hasil riset mengenai perbandingan tingkah laku antara laki-laki dan perempuan.

Riset semacam itu tentu saja mudah dipatahkan karena generalisasi yang dilakukan sulit diterima secara metodologis kebenarannya. Mengacu pada beberapa pengalaman dalam dunia kejahatan korupsi, perempuan juga merupakan aktor yang potensial untuk melakukannya. Sebagai contoh adalah kasus korupsi APBD di Sumatera Barat yang telah divonis pada tingkat Pengadilan Tinggi, beberapa pelakunya adalah perempuan. Ini artinya, generalisasi teoritis atas pandangan itu masih sangat terbuka untuk diperdebatkan. Di sisi lain, kejahatan korupsi dalam perspektif kekuasaan tidak mengenal perbedaan perempuan dan laki-laki. Siapapun dia, baik laki-laki maupun perempuan, ketika memegang kekuasaan akan cenderung korup.

Namun demikian, pandangan yang menyatakan bahwa perempuan kerap memicu terjadinya praktek korupsi juga adalah bagian dari stigmatisasi. Mungkin sekali pandangan demikian muncul karena pembagian kerja dalam hubungan perkawinan, khususnya di Indonesia, masih menempatkan perempuan sebagai ibu rumah tangga belaka. Sementara laki-laki adalah pencari nafkah keluarga. Karena pembagian kerja secara ekonomis telah memposisikan laki-laki sebagai pencari uang, jika terjadi korupsi akan muncul pandangan keliru bahwa sang istri yang menstimulus suami melakukan korupsi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Cara pandang demikian tidak hanya harus ditentang, tapi perlu didekonstruksi. Sehingga yang harus dikedepankan bukanlah asumsi bahwa perempuan merupakan pemicu terjadinya korupsi, melainkan bagaimana meningkatkan peranan perempuan dalam mendorong gerakan anti-korupsi, dengan melihat bahwa perempuan berada pada struktur terbawah dari piramida korban korupsi. Perempuan sejatinya bisa menjadi inspirator gerakan antikorupsi sejak dalam lingkup kehidupan yang paling kecil, yakni keluarga.

Peran dalam menanamkan nilai di keluarga yang anti-korupsi sangat memungkinkan mengingat secara faktual kalangan perempuan berposisi sebagai rumah tangga. Mereka memiliki banyak waktu untuk berinteraksi dengan anak maupun anggota keluarga yang lain. Ide ini tidak bermaksud untuk memapankan posisi perempuan dalam kerja-kerja domestik kerumahtanggaan. Melainkan lebih kepada mensiasati kondisi real yang dihadapi.

Meski demikian, secara lebih luas peran perempuan dalam gerakan anti-korupsi perlu diakomodasi melalui beberapa cara. Pertama, organisasi anti-korupsi harus meninjau ulang kebiasaan-kebiasaan kerja organisasi yang sifatnya maskulin, baik dalam konteks perumusan program, jadwal, pelaksanaan maupun pada tingkat evaluasinya. Ini berarti gender equality perlu diletakkan sebagai bagian penting dari nilai-nilai dasar organisasi yang tercermin dalam cara berpikir dan aktivitas-aktivitas yang dilakukannya.

Seorang aktivis perempuan pernah mengeluh karena jadwal pelatihan investigasi yang dilaksanakan oleh salah satu organisasi anti-korupsi tidak memperhitungkan kebiasaan perempuan. Dia berargumentasi bahwa ibu rumah tangga memiliki alokasi waktu luang yang berbeda dibandingkan dengan perempuan yang bekerja di kantor atau laki-laki. Karena tiadanya pertimbangan soal waktu tadi, peserta pelatihan investigasi akhirnya hanya diikuti oleh kalangan laki-laki saja. Dengan demikian, sejak dari hal-hal yang kecil, keterlibatan perempuan harus sudah dipikirkan.

Kedua, adanya affirmative action bagi kalangan perempuan untuk terlibat secara lebih luas dalam agenda pemberantasan korupsi. Jika yang dikeluhkan selama ini adalah sedikitnya kalangan perempuan yang bergiat dalam gerakan anti-korupsi, barangkali masalahnya adalah belum munculnya affirmative action untuk mengakomodasi sumber daya manusia organisasi dari kelompok perempuan. Sebagaimana yang telah diperjuangkan oleh perempuan di lembaga politik, gagasan perlunya affirmative action untuk perempuan harus menjadi bagian penting dari agenda reorganisasi lembaga anti-korupsi itu sendiri. Hal ini sekaligus untuk menunjukan dukungan nyata bagi perjuangan keadilan jender dan demokratisasi.

Ketiga, Pramodya Ananta Toer pernah mengatakan “adil sejak dalam pikiran”. Seorang kawan juga pernah menyebut “tidak sedikit perempuan yang berpikir patriarkhi”. Maksudnya, masalah ketidakadilan jender bukan sekedar masalah statistik berapa perempuan dan berapa laki-laki. Melainkan lebih jauh dari itu adalah masalah konstruksi berpikir.

Karena persoalannya terletak pada kekeliruan paradigma, harus ada cara dan tindakan yang diarahkan pada tujuan terjadinya shift of paradigm. Oleh karenanya, arena penyadaran akan pentingnya keadilan jender harus diarahkan juga pada kalangan pegiat anti-korupsi. Tak dapat dielakkan bahwa minimnya peran perempuan dalam gerakan anti-korupsi juga sangat ditentukan oleh bagaimana gerakan anti-korupsi memandang peranan perempuan untuk terlibat didalamnya. Dengan adanya gerakan penyadaran yang sistematis melalui kampanye publik, bisa diharapkan perempuan makin memiliki tempat dalam gerakan anti-korupsi.

(tulisan ini merupakan hasil refleksi dari diskusi regular yang pernah dilaksanakan di sekretariat ICW dengan menghadirkan 2 narasumber, yakni Rival Gulam Ahmad, Peneliti PSHK dan Direktur Advokasi LBH APIK)

3 comments:

Anonymous said...

Best regards from NY! http://www.platinum-engagement-ring-0.info/Diamond-viper-c330-c-97.html Georgia soccer tournaments Chrysler dodge van Star trek starship models Code practice comsumer debit card http://www.barcode-scanner-4.info pills loss pro weight Diet pills thyroid medication guanteed weight loss pills botox south florida renault nl crouse hinds circuit breakers casio stereo tvs and car Cheap sofa on line Search engine placement grande-anse asian pic community Christian debt management san jose Driveway safety net manhattan male rhinoplasty doctor patent lawyers in florida

@usephasans said...

tulisan yang bagus. izin mengutip dengan menyertakan nama penulis dan link.

salam

usep

@usephasans said...

tulisan yang bagus. izin mengutip. sepertinya untuk kebutuhan menulis opini berperspektif jujurisme (baca: ideologi anti-korupsi).

saya melihat ada keterkaitan antara slogan feminisme "the personal is political" dengan isu anti-korupsi yang menuntut transparansi dan akuntabilitas.