Sunday, August 28, 2005

5:0


Kabar soal kemenangan terdakwa Akbar Tandjung dalam kasasi di MA atas kasus korupsi dana nonbujeter Bulog telah beredar luas di berbagai media massa. Walaupun masih sulit dikonfirmasi kebenarannya, berbagai sumber dan berita yang telah bergulir seakan sudah memberikan vonis bebas kepada Akbar Tandjung. Opini itu diperkuat informasi dari sumber di MA, bahwa putusan melepaskan Akbar telah diambil secara musyawarah oleh Majelis Hakim. Alasannya, seperti dikutip media massa, dalam menyalurkan dana nonbujeter Bulog sebesar Rp 40 miliar, Akbar Tandjung hanya berperan sebagai bawahan yang menjalankan perintah presiden. Selain itu,  bukti aliran dana ke partai Golkar tidak ditemukan.

Menjelang detik-detik akhir pengumuman putusan oleh Majelis Hakim pada Kamis mendatang, ruang publik tidak hanya dipenuhi dengan berita soal kemungkinan bebasnya Akbar, tapi juga oleh aksi massa yang pro maupun kontra dengan mantan Ketua Umum HMI itu. Di satu pihak, kelompok mahasiswa menuntut Akbar Tanjung dijebloskan ke penjara karena telah melakukan penyelewengan kekuasaan. Bagi mahasiswa yang melakukan demonstrasi di depan gedung MA, Akbar adalah koruptor dan layak dikategorikan sebagai politikus busuk. Di pihak lain, kelompok muda pendukung Akbar yang tergabung dalam AMPG dan massa Golkar lainnya meminta kepada MA untuk memberikan putusan yang adil. Di mata mereka, Akbar Tandjung adalah pahlawan yang akan selalu menjadi pemimpin, walaupun skenario terburuk menimpanya. Bahkan dengan semangat  heroik, mereka menyatakan siap dipimpin oleh Akbar Tandjung dari dalam penjara.

Orang yang memahami sejarah perjuangan Indonesia dengan benar, mungkin hanya bisa tersenyum geli sekaligus sedih. Bagaimana tidak, apa yang menimpa Akbar sangat kontras dengan apa yang pernah terjadi pada diri tokoh Indonesia pada masa kemerdekaan. Jika Akbar divonis bersalah oleh pengadilan karena melakukan tindak pidana korupsi, Soekarno misalnya dipenjara karena memperjuangkan prinsip kemerdekaan. Sebagaimana kita memahami, korupsi adalah tindak pidana yang berakibat buruk bagi masyarakat luas. Korupsi menghilangkan kesempatan masyarakat untuk bisa hidup lebih baik, menghancurkan pondasi ekonomi dan melahirkan kesenjangan sosial yang lebar. Sehingga orang-orang yang melakukan korupsi tidak layak untuk dihormati, apalagi diberikan tempat istimewa untuk menjadi seorang pemimpin bangsa.

Tanpa bermaksud mendahului putusan Majelis Hakim, berita soal kemenangan Akbar Tandjung telah tersebar ke publik luas. Tidak tanggung-tanggung, lima anggota Majelis Hakim dikabarkan setuju dengan pembebasan Akbar. Berita itu bisa jadi keliru, namun semua paham bahwa publik juga sudah kehilangan kepercayaan kepada aparat penegak hukum. Apapun yang dilakukan oleh aparat, baik itu benar maupun salah, sulit diletakan pada tempat yang proporsional, sehingga kebenaran media massa seringkali dianggap sebagai kebenaran itu sendiri.

Surutnya kepercayaan publik kepada lembaga penegak hukum bukan tanpa sebab. Beberapa waktu lalu keluar putusan PN Larantuka yang menghukum Pastor Frans Amanue selaku pelapor kasus korupsi yang dugaannya dilakukan oleh Bupati Flores Timur dan dikabulkannya gugatan perdata Tommy Winata kepada koran Tempo oleh Majelis Hakim PN Jakarta Selatan. Dua peristiwa itu sebenarnya telah memberikan bukti bahwa logika penegakan hukum di negeri ini jauh dari rasa keadilan. Cara berpikir hakim yang menggunakan paradigma positivis-legalistik hanya melahirkan kebenaran formal semata. Sementara kebenaran substansial, yakni terjaminnya rasa keadilan publik menjadi terabaikan. Padahal kedua kasus itu membawa implikasi yang maha hebat bagi kemajuan demokrasi. Pada kasus Pastor Frans, peradilan telah mengancam partisipasi masyarakat dalam memberantas korupsi, sedang pada kasus koran Tempo, peradilan telah mengancam kebebasan pers.

Apa yang menimpa Pastor Frans dan koran Tempo sangat mungkin terulang pada kasus Akbar Tandjung. Bebasnya Ketua Umum Golkar itu bisa jadi karena sebab dari Majelis Hakim sendiri yang sangat percaya dengan kebenaran formal. Tapi alasan itu saja siapa yang mau mempercayai. Justru faktor yang akan sangat menentukan putusan Majelis Hakim adalah adanya intimidasi dari pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan agar Akbar Tandjung dibebaskan. Intimidasi itu bisa dalam bentuknya yang lembut berupa penyuapan, tapi dapat pula terjadi intimidasi dalam bentuknya yang keras, yakni ancaman penghilangan nyawa.

Walaupun alasan-alasan diatas sulit ditemukan kebenaran formalnya, tapi kita semua mahfum, lingkungan peradilan di Indonesia telah tercemar oleh praktek mafia. Putusan peradilan mudah digadaikan dengan setumpuk rupiah. Kalangan yang mampu memberikan penawaran terbesar pada hakim pemutus dapat dipastikan menjadi pemenangnya. Apalagi jika nilai uang yang diterima mencapai angka fantastis. Tak heran banyak aparat penegak hukum di Indonesia yang pengeluarannya jauh lebih besar daripada pendapatan resminya.

Hakim juga akan kehilangan posisi objektifnya ketika yang diadili adalah politikus yang memiliki kekuasaan besar, massa pendukung loyal yang siap melakukan apapun demi tujuan kebebasan. Pembunuhan terhadap Agung Syafiuddin Kartasasmita , salah satu anggota Majelis Hakim oleh penembak tak dikenal saat menangani kasus Tommy Soeharto cukup memberikan efek traumatik bagi lahirnya putusan-putusan pengadilan yang berwibawa. Walaupun pelaku pembunuhnya divonis seumur hidup, pengadilan tidak pernah menyinggung soal kepemilikan senjata oleh Tommy Soeharto. Memang, ketika kekuatan politik, premanisme dan uang bersatu, peradilan akan selalu menjadi bulan-bulanan.

Kemenangan Akbar Tandjung berarti kekalahan menyakitkan bagi rasa keadilan,  sekaligus merupakan langkah surut ke titik nol upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Putusan MA yang demikian akan memberikan inspirasi dan membangkitkan kepercayaan diri para pejabat publik pelaku korupsi yang kini juga tengah menjalani proses hukum. Sebut saja misalnya adalah 270 anggota DPRD se Indonesia yang tengah menjalani pemeriksaan oleh Kejaksaan Tinggi  karena terlibat dalam korupsi APBD. Sebaliknya, aparat penegak hukum yang kini sedang serius menangani perkara korupsi yang melibatkan pejabat publik akan kehilangan semangat dan keyakinan bahwa mereka bisa menjalankan tugas dan fungsinya seperti yang dikehendaki masyarakat luas. Masyarakat juga akan semakin pesimis terhadap lembaga penegak hukum dan pemberantasan korupsi yang sedang gencar di kampanyekan. Jika yang diberitakan media massa itu benar adanya, kita semakin yakin bahwa memang Indonesia adalah Republik Maling Semua (RMS).

1 comment:

Anonymous said...

This is very interesting site...
» »