blogger ini dibuat untuk mencatat, menulis, merekam dan menyampaikannya kepada siapapun mengenai apa-apa yang ada dalam pikiran, benak dan aktivitas, baik sebagai pribadi maupun sebagai pekerja sosial
Saturday, August 27, 2005
Mimpi Buruk Keadilan
Berturut-turut tiga peristiwa hukum telah mencoreng wajah peradilan kita. Nurdin Halid dinyatakan bebas dari dakwaan korupsi oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Adiguna Sutowo hanya divonis 7 tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena membunuh. Menyuap, pengacara Puteh dan Wakil Ketua Panitera Pengadilan Tinggi DKI Jakarta ditangkap KPK. Kabar terakhir, Tommy Soeharto resmi mendapatkan ‘discount’ hukuman dari 15 tahun penjara menjadi 10 tahun oleh Mahkamah Agung. Peristiwa tersebut tak ayal memicu kritik keras dari kalangan masyarakat pemantau peradilan. Mafia peradilan masih kuat bercokol !!!
Namun masih ada beberapanya yang memberikan tanggapan dingin. Menurut mereka, tidak seluruhnya kesalahan atas vonis hakim itu harus dialamatkan kepada para pemegang palu keadilan. Tapi juga perlu dilihat sebarapa kuat bukti-bukti hukum yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagai dasar lahirnya vonis.
Hakim dalam sosoknya yang paling ideal adalah pemberi rasa keadilan yang paripurna. Ia bisa menyatakan terdakwa bebas atau dihukum melalui ketukan palunya. Dengan intuisinya sebagai pemberi keadilan, hakim dapat menangkap sinyal-sinyal keadilan yang lemah sekalipun. Tapi melalui kekuasaannya, fakta hukum juga bisa disulap menjadi kekeliruan dan kepalsuan bisa dirubah menjadi kebenaran. Oleh karena itu posisi seorang hakim setiap saat akan selalu berhadapan dengan godaan penyuapan. Hanya itu semua terpulang kepada hakim, mau membuka pintu bagi pembeli keadilan atau menutup serapat-rapatnya demi diri dan keadilan itu sendiri.
Jika hakim telah berani membuka pintu bagi para pembeli keadilan, pada detik itu pula keadilan telah menjadi barang dagangan. Tidak seperti alat putar video, tape recorder, pakaian atau buku di supermal yang telah diberi harga pasti, mendagangkan keadilan selalu dilakukan sembunyi-sembunyi, di pasar gelap dengan mekanisme lelang. Siapa yang berani membayar dengan harga tertinggi, bisa dipastikan dialah pemenangnya. Bagi orang-orang berkantong cekak, keadilan tidak pernah mungkin bisa diraihnya dan harus selalu bersiap-siap untuk menerima kekalahan.
Dalam pasar gelap keadilan, panitera dan pengacara adalah perantara. Mereka menjadi penghubung antara pembeli keadilan dengan penjualnya. Tertangkapnya salah satu pengacara Abdullah Puteh dan Wakil Ketua Panitera PT DKI Jakarta oleh KPK telah memberikan penegasan bahwa transaksi keadilan bukanlah penampakan atau berada di dunia lain. Tapi ia adalah reality show.
Jaksa dan polisi menjadi pihak lain yang memberikan kemudahan bagi berlangsungnya transaksi itu. Melalui tuntutan yang kabur, bukti-bukti yang sumir dan saksi-saksi yang meringankan, dagelan di pengadilan bisa disetting menjadi lebih sempurna, seolah-olah benar adanya. Setelah ketukan palu hakim, semua bisa bernapas lega. Pengacara tersenyum, hakim girang karena pundit-pundinya bertambah, sang pembeli keadilan ‘menangis’, bersujud syukur kemudian mengepalkan tangan dan berteriak “ternyata masih ada keadilan!!!”. Selesai? Belum!. Skenario masih berlanjut karena sang jaksa harus berpura-pura mengajukan keberatan atas putusan itu. Diajukanlah kasasi. Sama seperti di pengadilan sebelumnya, pada majelis kasasi skenario itu kembali dimainkan. Demikian terus menerus, seperti ritual kematian.
Yang harus diyakini, membersihkan aparat penegak hukum dari praktek mafia peradilan bukanlah sesuatu yang mustahil. Hanya dibutuhkan keberanian dan keseriusan untuk menggunakan beberapa formula yang mungkin akan membentur tembok aturan legalistik-formal. Tapi tak mengapa, menurut salah satu murid Satjipto Rahardjo dalam sebuah diskusi di Pontianak, peraturan itu selalu memiliki penyakit cacat bawaan.Yakni ketidaksempurnaannya karena pembuat peraturan adalah orang-orang yang berkuasa. Ibarat membuat pagar yang akan memagari dirinya sendiri. Setidaknya ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk menghentikan praktek perdagangan keadilan.
Berhubung praktek mafia peradilan identik dengan transaksi jual-beli narkotik atau senjata illegal. Maka cara yang efektif untuk memberantasnya adalah dengan menggunakan metoda penjebakan, penyadapan dan penangkapan langsung pada saat transaksi dilakukan untuk menangkap basah para pelaku. Artinya para pemberantas mafia peradilan seperti KPK misalnya harus secara aktif menyebarkan ranjau-ranjau penjebakan, penyadapan dan menanam orang-orang di seluruh lembaga peradilan yang dapat dijadikan informan kunci untuk memberitahukan dimana akan dan sedang terjadi transaksi.
Akhir dari mafia peradilan itu adalah uang, KPK juga memiliki peranan sentral dalam mendorong tertibnya aparatur penegak hukum, khususnya para hakim. Laporan kekayaaan hakim yang telah diserahkan kepada KPK dapat dijadikan sebagai petunjuk awal untuk mengidentifikasi sekaligus melakukan penelusuran atas kebenaran dari laporan itu. Untuk menyembunyikan uang dari hasil penjualan putusan, bisa dengan ditabung atau didepositokan, menempatkannya dalam surat berharga, membeli kemewahan seperti rumah, mobil, perhiasan atau menginvestasikannya dalam sebuah kegiatan usaha. Oleh karena itu, kerjasama dengan pihak lain seperti PPATK menjadi amat penting. Sebagai catatan, diantara para pejabat publik yang wajib menyerahkan laporan kekayaan ke KPK, hanya hakim yang sampai sekarang tidak banyak merespon. Hal ini bisa dijadikan alasan untuk mengembangkan kecurigaan-kecurigaan yang diarahkan pada banyaknya sumber-sumber kekayaan illegal.
Masyarakat juga dapat berperan aktif dalam mendorong terciptanya lembaga peradilan yang bersih dari mafia peradilan. Biasanya pola dan aktor yang berlaku di dunia mafia peradilan melibatkan orang dan kelompok yang sama sebagaimana halnya sebuah sidikasi kejahatan. Sindikasi mafia peradilan tidak spontan terbentuk, tapi terorganisir dan sistematis. Metoda interpretative investigation, yakni memetakan wilayah kejadian, aktor yang bermain dan hasil-hasil putusan pengadilan akan memberikan gambaran sekaligus informasi yang kuat mengenai praktek mafia peradilan yang terjadi. Pola yang terorganisir itu misalnya jika hakimnya si A, maka paniteranya si B, jaksanya si C dan pengacaranya si D. Dari hubungan A-B-C-D itu, putusannya akan dapat diprediksi bersifat konstan, yakni A, A, A dan A. Informasi yang diperoleh dari pemetaan ini sangat berguna bagi KPK misalnya untuk melakukan kegiatan pemantauan, penjebakan ataupun penyadapan.
Secara tidak langsung, masyarakat juga dapat mengontrol lembaga peradilan dengan melakukan pengujian independen terhadap hasil putusan majelis hakim dalam suatu perkara. Istilah populernya adalah eksaminasi publik. Metoda eksaminasi publik memang tidak akan dapat menemukan bukti-bukti bahwa telah terjadi traksaksi jual-beli perkara. Namun setiap tindak kejahatan itu selalu meninggalkan bekas. Bekas-bekas itulah yang seringkali hinggap di dalam putusan. Dengan melakukan eksaminasi publik, setiap putusan hakim dapat dinilai kembali apakah sudah memenuhi tahap-tahap prosedur dan substansi hukum yang benar atau tidak. MA atau Komisi Judicial yang telah terbentuk beberapa waktu lalu dapat menjadikan hasil eksaminasi publik sebagai acuan untuk menilai dan sekaligus memberikan tindakan tegas bagi para hakim yang menyimpang dari aturan main.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
Diperlukan sebuah tindakan radikal untuk memebrsihkan dan menggembosi mafia peradilan di negeri ini. Demikan Denny Indrayana di Tempo Interactive, dan saya sangat setuju!
Enjoyed a lot! Inline hockey skate reviews Reaction to alcohol and zoloft plastic surgery eyelids Occasion peugeot 306 http://www.online-xanax-1.info/Order-xanax.html Isuzu rodeo transmission fluid Salice cabinet hinge Side effects for taking zoloft Hepa filter windtunnel Photo of viagra
Post a Comment