Saturday, August 27, 2005

Modus Korupsi Anggota Dewan

Term ‘korupsi berjamaah’ dalam beberapa waktu terakhir menjadi kian populer setelah kasus-kasus korupsi yang melibatkan anggota dewan diungkap satu demi satu. Namun demikian, untuk beberapa tempat seperti di Padang-Sumatera Barat, istilah itu oleh sebagian masyarakatnya dianggap tidak tepat karena kata berjamaah memiliki arti positif dan bernuansa religi, sementara korupsi selalu berkaitan dengan tindakan nista. Penolakan itu sendiri dapat diartikan sebagai sikap kritis masyarakat untuk tidak mencampur-adukan antara tindakan yang benar/positif dengan praktek tidak terpuji (korupsi).

Banyaknya kasus korupsi DPRD yang dilaporkan dan dibongkar sesungguhnya merupakan sebuah bukti bahwa masyarakat sudah geram dengan praktek penyalahgunaan kekuasaan. Betapa tidak, anggota dewan yang seharusnya menjalankan fungsi kontrol atas eksekutif untuk mencegah penyelewengan justru bertindak sebaliknya. Praktek korupsi, kolusi, pemborosan, kesewenang-wenangan hingga tindakan tidak etis yang melanggar nilai-nilai umum dipertontonkan secara telanjang dan berulang-ulang.

Namun demikian, upaya untuk menggiring ke proses hukum kasus-kasus korupsi yang melibatkan anggota dewan ternyata cukup mendapatkan ‘perlawanan’. Secara umum, bentuk perlawanan itu ada lima macam. Pertama, bentuk intimidasi fisik dan ancaman kekerasan terhadap kelompok masyarakat yang mengungkapkan kasus korupsi melalui orang-orang bayaran. Kedua, cara persuasi dengan memberikan uang tutup mulut supaya kasus tidak diteruskan. Ketiga, mobilisasi massa pendukung dan mengeksploitasi sentimen kesukuan, agama atau kelompok untuk menghambat proses hukum yang sedang berjalan. Keempat, melalui upaya yuridis dengan melaporkan tindakan pembongkaran korupsi tersebut sebagai tindakan pencemaran nama baik. Kelima, pembentukan counter opini yang menyesatkan melalui kelompok intelektual, akademisi maupun pernyataan resmi yang dikeluarkan lembaga.

Asosiasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Seluruh Indonesia (Adeksi), dalam Musyawarah Nasional II baru-baru ini telah mengeluarkan rekomendasi menyangkut maraknya kasus korupsi yang melibatkan anggota dewan. Dalam rekomendasinya, Adeksi beranggapan bahwa apa yang dilakukan oleh anggota dewan dalam menetapkan anggaran tidak serta merta bisa dikategorikan sebagai bentuk korupsi. Adeksi menyebutkan bahwa penyebab utama terjadinya korupsi yang menyebar dan mendudukan anggota dewan sebagai tersangka adalah karena adanya kerancuan dari sistem hukum kita sendiri, yakni faktor tumpang-tindihnya produk perundang-undangan yang ada sehingga melahirkan kesalahan tafsir dalam menetapkan anggaran. Kesalahan tafsir itulah yang oleh masyarakat dianggap sebagai praktek korupsi.

Tumpang tindihnya peraturan antara UU Otonomi Daerah (kini UU Pemda) dengan PP 110 tahun 2000 (kini PP 24 tahun 2004) tentang Kedudukan Keuangan DPRD yang saling bertolak belakang -khususnya kewenangan mengelola anggaran dewan- mungkin memberikan andil terhadap terjadinya ‘kekeliruan’ tafsir atas pelaksanaan peraturan tersebut. Namun alasan itu tidak cukup relevan mengingat dari sisi modus, mekanisme penyusunan dan penetapan anggaran DPRD tersirat unsur kesengajaan untuk mengabaikan rambu-rambu yang telah ditetapkan.

Modus Korupsi DPRD, Upaya Mengaburkan Definisi

Secara umum data Indonesia Corruption Watch (ICW) dari Januari hingga Desember 2004 mengenai kasus korupsi yang melibatkan anggota dewan menunjukkan beberapa hal. Pertama, dari sisi jumlah kasus, perbuatan korupsi yang melibatkan anggota DPRD merupakan jumlah terbanyak, yakni 102 kasus dari total 239 kasus korupsi yang muncul pada sebagian besar wilayah di Indonesia. Data diatas sekaligus hendak menunjukan bahwa aktor korupsi yang menempati urutan terbesar adalah anggota dewan. Data ini pararel dengan hasil survey Transparansi Internasional Indonesia (TII) tahun 2004 yang menempatkan partai politik sebagai lembaga yang dianggap paling korup. Dengan demikian, terdapat korelasi yang masuk akal antara kondisi partai politik yang buruk dengan perilaku anggota dewan yang korup.

Kedua, secara umum terdapat empat modus korupsi DPRD yang dapat kita temui di hampir semua kasus. Modus pertama adalah dengan menggelembungkan batas alokasi penerimaan anggota dewan atau yang lebih akrab disebut mark-up. Dikatakan sebagai praktek mark-up karena PP 110/2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD sebenarnya telah membatasi secara rinci penerimaan bagi anggota dewan yang bisa ditoleransi sesuai dengan tingkat Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Modus kedua adalah menggandakan (redundant) item penerimaan anggota dewan melalui berbagai strategi. Strategi yang paling kerap muncul adalah dengan memasukkan item anggaran yang berbeda-beda untuk satu fungsi. Misalnya terdapat pos asuransi untuk kesehatan, tetapi di pos lain muncul item tunjangan kesehatan. Padahal kedua pos penerimaan tersebut adalah untuk satu fungsi, yakni anggaran bagi kesehatan anggota dewan. Strategi lain adalah dengan menitipkan pos penerimaan itu pada anggaran eksekutif (Pemda). Biasanya item anggaran itu sering disebut sebagai bantuan untuk instansi vertikal seperti yang terjadi dalam kasus dana kaveling di Jawa Barat.

Modus ketiga dengan cara mengada-adakan pos penerimaan anggaran yang sebenarnya tidak diatur dalam PP 110/2000. Kasus yang paling banyak mencuat dan digugat oleh berbagai elemen masyarakat adalah alokasi anggaran untuk pos dana purnabakti. Di Jawa Barat dana purnabakti lebih popular dengan istilah uang kadeudeuh. Selain dana purnabakti, fasilitas rumah dinas yang seharusnya hanya diberikan kepada Ketua dan Wakil Ketua DPRD juga ternyata digelontorkan untuk seluruh anggota dewan.

Modus keempat adalah korupsi dalam pelaksanaan program kegiatan dewan. Dari aspek tindakan, korupsi jenis ini adalah korupsi yang paling telanjang dan nyata. Hal ini sebagaimana telah dilakukan oleh anggota DPRD Kota Padang yang telah memalsukan tiket pesawat perjalanan dinas (SPJ fiktif) hingga mencapai Rp 10,4 Miliar.

Diantara keempat modus korupsi tersebut, modus keempat bisa dianggap yang paling konvensional dan umum terjadi di berbagai instansi pemerintah. Dalam pengertian bahwa tindakan korupsi dengan cara memanipulasi dokumen pertanggungjawaban penggunaan APBD hingga seolah-olah sebuah program telah dilaksanakan merupakan perbuatan yang nyata-nyata melanggar hukum, merugikan keuangan negara dan terdapat upaya untuk memperkaya diri sendiri. Sementara itu, modus korupsi anggota dewan yang pertama hingga ketiga merupakan produk kesepakatan dua pihak (eksekutif dan legislatif) dengan memanfaatkan dua hal, yakni kewenangan yang dimiliki untuk membuat peraturan dan celah perundang-undangan yang tumpang tindih.

Korupsi model ini dianggap seolah-olah bukan merupakan tindakan korupsi karena telah dinaungi dalam sebuah peraturan daerah (Perda) yang legal. Padahal dari sisi materi peraturan, banyak terdapat penyimpangan (corrupt), baik terhadap peraturan yang lebih tinggi maupun dari aspek normatif lainnya seperti rasa keadilan, kepantasan umum atau kelaziman. Oleh karena dipayungi dalam bentuk peraturan, korupsi jenis ini sering disebut sebagai korupsi yang dilegalkan atau legalisasi korupsi. Mengingat legalisasi penyimpangan didasari atas kesepakatan dua pihak pengelola daerah, korupsi yang telah menyeret beratus-ratus anggota dewan itu sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari keterlibatan dan tanggung jawab pihak eksekutif (baca: kepala daerah).

Kini kita semakin yakin bahwa korupsi massal itu bukan hanya cerita, namun memang benar-benar ada. Putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Barat (Sumbar) telah menguatkan putusan Pengadilan Negeri Padang yang memutuskan bersalah atas 43 anggota DPRD Propinsi Sumbar. Bahkan Pengadilan Tinggi Sumbar memutuskan bahwa dakwaan primer atas tuduhan korupsi 43 angota DPRD Prop. Sumbar terbukti. Putusan tersebut tentunya akan semakin menguatkan keyakinan gerakan antikorupsi di seluruh pelosok nusantara untuk tetap konsisten dan maju. Harapannya, putusan Pengadilan Tinggi Sumbar juga dapat mengingatkan anggota DPRD periode 2004-2009 untuk lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan. Semoga….