Discourse atau perdebatan mengenai tema Good Governance (GG) kian intensif dan meluas seiring dengan meningkatnya desakan masyarakat akan adanya perubahan atas praktek penyelenggaraan negara (baca: pemerintah) di seluruh levelnya. Tidak hanya dilevel pemerintah saja, di sektor swastapun (masyarakat bisnis) tuntutan untuk melakukan perubahan juga berhembus kencang. Maka lahirlah konsep Good Corporate Governance (GCG). Dalam prakteknya, pakta anti-suap yang dikumandangkan oleh KADIN (Kamar Dagang dan Industri) merupakan salah satu bentuk dari penerapan konsep GCG.
Ditilik dari istilahnya, tentu saja GG ataupun GCG bukanlah term (istilah) yang orisinil muncul dari khasanah perbendaharaan bahasa Indonesia. Oleh karenanya, dari sisi gagasan, GG merupakan konsep yang lahir dari dunia luar (baca: Barat) yang terlebih dulu mengalami proses evolusi dalam kaitannya dengan relasi antara negara, sektor swasta dan masyarakat sipil. World Bank, IMF dan lembaga donor internasional lainnya adalah nama-nama yang telah mempromosikan dan mempopulerkan istilah tersebut.
Tentu saja setiap konsep yang diajukan/ditawarkan oleh siapapun memiliki tujuan substantif masing-masing. GG dan GCG dalam perspektif lembaga donor merupakan resep mujarab untuk membingkai kehidupan ekonomi, politik dan sosial secara lebih bertanggungjawab dan demokratis setelah pada tahun 1997, Asia, khususnya Asia Tenggara dilanda krisis ekonomi maha hebat. Krisis ekonomi pada tahun itu tidak sekedar membawa dampak buruk pada sektor ekonomi an sich, namun juga berimplikasi luas pada sektor lainnya seperti bidang sosial, pendidikan, politik dan keamanan. Angka kemiskinan melonjak drastis, tingkat pengangguran membengkak, jumlah anak putus sekolah melambung, kerawanan sosial terjadi diberbagai tempat, demonstrasi massa dalam jumlah sangat besar muncul dimana-mana, krisis politik yang berujung pada lengsernya pemerintah berkuasa terjadi.
Dari aspek governance, terjadinya krisis ekonomi berkaitan erat dengan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang terjadi di beragam level, dilakukan oleh banyak aktor/pemain dan menyebar ke berbagai pusat-pusat penguasaan sumber daya publik. Oleh karenanya, aturan yang lemah dan penegakan hukum yang mandul, tiadanya trasparansi, hilangnya akuntabilitas dan partisispasi dalam pengambilan keputusan publik, juga buruknya corporate governance menjadi target utama untuk segera dibenahi.
Dengan kata lain, GG ataupun GCG merupakan sebuah definisi yang hadir untuk membenahi tata kelola pemerintahan ke arah yang lebih baik, meliputi penerapan aspek transparansi, akuntabilitas, keadilan, kejujuran dan demokratis untuk menciptakan sebuah lingkungan yang lebih sejahtera secara ekonomi, sosial dan politik.
Otonomi Daerah Minus Good Governance
Dalam rekaman kasus korupsi di ICW dari bulan Januari-Agustus 2004, tercatat 60 kasus korupsi terkait dengan penyalahgunaan APBD yang dilakukan oleh anggota dewan (DPRD). Sementara pada bulan yang sama, tercatat 13 kasus korupsi yang dilakukan kepala daerah di berbagai daerah, dalam berbagai proyek APBD telah dilaporkan kelompok masyarakat kepada ICW. Catatan lainnya, dari 66 kasus korupsi dari laporan masyarakat yang masuk ke ICW pada bulan yang sama, 35 kasus diantaranya terjadi di tingkat Kabupaten/Kota.
Gambaran diatas hendak menyampaikan sebuah pesan, sekaligus alarm bahwa otonomi daerah telah membawa pengaruh negatif bagi perilaku dan sistem penyelenggaraan pemerintahan. Premis yang menyebutkan bahwa korupsi terjadi ketika kekuasaan diberikan wewenang untuk melakukan monopoli sumber daya publik –biasanya bernilai ekonomis-, tanpa disertai dengan mekanisme pertanggungjawaban kepada publik sekali lagi mendapatkan pembuktiannya. Dalam konteks otonomi daerah, pihak yang diberikan kewenangan –yang cenderung monopolistic- adalah eksekutif (kepala daerah) dan legislative (DPRD).
Perkembangan di daerah yang telah keluar dari koridornya, oleh sejumlah ahli dipandang karena program otonomi daerah sebagaimana diatur di dalam UU No.22 tahun 1999 dan UU 25 tahun 1999, semata-mata hanya melimpahkan wewenang dalam pembuatan kebijakan, administrasi dan anggaran ke daerah. Tetapi tidak diikuti oleh program demokratisasi untuk membuka peluang partisipasi masyarakat dalam pemerintahan di daerah.
Dalam sebuah kajiannya tentang otonomi daerah, T.A Legowo, peneliti dari dari CSIS (2001) menyoroti bahwa desentralisasi wewenang pemerintahan itu pada dasarnya hanya membuka akses bagi elit atau politisi lokal kepada sumber-sumber daerah, yang sangat rawan untuk terjadinya penyimpangan atau korupsi.
Dominasi elit lokal baik di level eksekutif maupun legislatif dalam proses pembuatan kebijakan daerah menjadi lebih kuat mengingat tidak efektifnya kontrol pemerintah pusat atas pemerintah daerah. Hal itu mengingat tidak terdapat lagi hubungan strutural yang secara langsung dapat memaksakan kepatuhan pemerintah daerah ke pemerintah pusat.
Bupati dan walikota tidak lagi dipilih dan bertanggungjawab kepada pemerintah pusat, tetapi kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai representasi rakyat. Kolusi telah membuat mekanisme kontrol oleh DPRD kepada Pemerintah Daerah tidak berfungsi, sementara kontrol dari masyarakat masih lemah. Akibatnya wabah korupsi, kolusi dan nepotisme menemukan tempat barunya untuk berkembang biak.
Pemberdayaan Masyarakat Sipil
Tuntutan agar prinsip-prinsip GG benar-benar diterapkan dalam setiap praktek penyelenggaran kekuasaan perlu diletakkan dalam kerangka sistem. Artinya penerapan prinsip-prinsip GG haruslah menjadi jaminan yang diatur dalam sebuah mekanisme hukum (peraturan). Ia tidak hanya diletakkan pada makalah-makalah, artikel, berita di koran, statement pejabat publik, kumandang kata-kata di radio, poster-poster di tembok jalanan, tapi diakui dan dipaksakan secara sah melalui sebuah peraturan. Dengan demikian, bingkai dari penerapan GG adalah ukum positif (rule of law) yang mana akan memberikan kejelasan bagi masyarakat luas untuk dapat menagihnya jika terjadi pengingkaran dalam penerapannya.
Di tengah masyarakat politik yang korup dan institusi demokrasi (partai politik) yang tidak sehat, tentunya mengharapkan inisiatif itu muncul dari politisi atau elit tidaklah menguntungkan. Oleh karenanya, inisiatif dan desakan itu harus lahir dari masyarakat sipil sendiri. Beberapa agenda penerapan prinsip GG yang lebih konkret –sesuai dengan problem mendasar yang terjadi di banyak daerah- perlu diinventarisir.
Pertama, terkait dengan mekanisme pergantian pejabat publik (DPRD) dimana masyarakat bisa dan diakui oleh sebuah peraturan untuk menuntut adanya pergantian pejabat publik jika dinilai pejabat publik yang telah duduk di parlemen itu telah keluar dari amanah atau agenda yang diinginkan. Di Thailand, setiap anggota parlemen bisa diganti jika ada mosi tidak percaya dari masyarakat melalui model jumlah minimal yang menuntut pergantian (kuota). Langkah ini sangat terkait dengan mekanisme akuntabilitas pejabat publik kepada masyarakat luas.
Kedua, kontrol masyarakat dapat berjalan efektif jika aksesibilitas terhadap informasi dari institusi pemerintah dengan mudah bisa diperoleh. Maraknya korupsi dalam bentuk korupsi APBD, pelaksanaan proyek fiktif, penggunaan SPJ fiktif dan sebagainya merupakan buah dari tertutupnya akses informasi bagi masyarakat yang tengah mengawasi jalannya pemerintahan daerah. La Ode Ida, salah satu anggota DPD terpilih dan Direktur Eksekutif FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran) dalam sebuah diskusi di televisi swasta mengatakan bahwa pengawasan anggaran adalah soal yang mudah. Mudah jika masyarakat diberikan jaminan untuk dapat memperoleh, mengakses setiap informasi yang terkait dengan penyelenggaraan anggaran pemerintah daerah.
Ketiga, partisipasi masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan adalah suatu prasyarat utama yang tidak bisa diingkari. Partisipasi itu bukan sekedar keterlibatan wakil-wakil masyarakat yang dalam prakteknya mudah sekali dimanipulasi sebagaimana ditunjukkan dalam penyusunan anggaran daerah di banyak tempat, namun keterlibatan dalam pengertian yang lebih jauh, yakni keterlibatan dalam pendapat dan dalam aksi (tindakan) yang diakui secara sah oleh sebuah regulasi. Tanpa adanya regulasi, konsep partisipasi publik dalam setiap proses pengambilan keputusan ibarat pepesan kosong.
Keempat, secara internal, lembaga demokrasi seperti parlemen atau partai politik perlu membenahi diri. Dalam konteks parlemen, penerapan kode etik -melalui pengaktifan Dewan Kehormatan misalnya- yang mengikat dan memberikan rambu-rambu atas perilaku dan tindakan mereka perlu diterapkan secara tegas sehingga mekanisme etik dilingkungan internal parlemen benar-benar berfungsi. Kode etik plus pemberian sanksi yang tegas atas setiap perilaku yang menyimpang ditubuh parlemen akan memberikan legitimasi baru dari masyarakat, setelah sebelumnya citra parlemen terpuruk karena hempasan gelombang korupsi.
Demikian halnya dengan partai politik, tidak bisa lagi mengandalkan pada kekuatan penyumbang terbesar untuk dapat bertahan. Partai politik perlu merespon perubahan dan tuntutan dari masyarakat yang kian mengharapkan adanya transparansi, pembersihan orang-orang (politikus) busuk dari tubuh partai politik yang selama ini telah membuat partai politik kehilangan artinya sebagai lembaga demokrasi.
Jika partai politik abai dan tidak peka terhadap tuntutan perubahan, maka yang terjadi adalah penyaluran aspirasi politik melalui jalur non-partai sebagaimana dicerminkan pada tuntutan pemilihan kepala daerah secara langsung yang harus mengakomodir kandidat independen dari jalur non-partai. Setidaknya ada dua sisi perubahan yang secepatnya perlu diterapkan dalam tubuh partai politik, pertama adalah memperbaiki mekanisme transparansi dan akuntabilitas dana politiknya dan yang kedua adalah pembenahan mekanisme rekrutmen internal yang harus memberikan peluang yang sama bagi setiap kader atau setiap orang untuk dapat bekiprah dalam jabatan-jabatan publik.
1 comment:
Mas Adnan
Saya pembaca baru di blog anda, terus terang saya salut dan bangga dengan keberadaan Mas Adnan.
saya pikir cukup dulu awal pertemuan ini, karena saya tergila2 dengan tulisan Mas Adnan
salam kenal
Post a Comment