Ironis. Khairiansyah, auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menjadi tokoh sentral atas terbongkarnya dugaan skandal suap Mulyana W Kusuma saat ini menghadapi masalah pelik. Peranan vitalnya dalam memberikan informasi bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berujung pada penangkapan Mulyana berbuah pahit.
Anwar Nasution, Ketua BPK yang sekaligus merupakan atasannya tidak menganggap tindakannya sebagai sesuatu yang luar biasa, melainkan kampungan.
Ketua BPK meradang karena tindakan yang dilakukan Khairiansyah tanpa dikoordinasikan terlebih dulu dengannya selaku pemilik otoritas. Atas tindakannya itu, Khairiansyah terancam pemecatan. Selain menghadapi ketidakpastian masa depan, Khairiansyah juga harus menghadapi rencana gugatan hukum Mulyana W Kusuma dengan tuntutan pencemaran nama baik dan pembunuhan karakter.
Sesungguhnya cerita tentang Khairiansyah adalah drama klasik yang juga pernah diperankan oleh Endin Wahyudin, Romo Frans Amanue, Hidayat Monoarfa, Hidayatullah, Sainah, Leonita dan sederet nama lainnya dengan cerita penutup masing-masing, yang sebagian besarnya tragis. Endin Wahyudin berujung di jeruji penjara, Romo Frans Amanue lebih beruntung karena berkas putusan pengadilan yang menghukumnya atas pencemaran nama baik musnah terbakar saat kantor Pengadilan Negeri Larantuka dibakar massa.
Sementara itu, Hidayat Monoarfa harus menghadapi masa-masa koma karena pemukulan orang tak dikenal saat akan menjadi saksi korupsi DPRD di Sulawesi Tengah. Hidayatullah, salah seorang pelapor dugaan korupsi Kepala Daerah di Kabupaten Muna dan Propinsi Sulawesi Tenggara harus menerima kenyataan rumahnya dibom oleh orang tak dikenal.
Tragisnya, cerita diatas terjadi pada saat rezim korup Orde Baru sudah tumbang. Rentang peristiwa antara satu kasus yang dihadapi saksi pelapor dengan kasus lainnya justru terjadi pada periode Orde Reformasi, dimana harapan dan cita-cita pemberantasan korupsi itu diletakan. Lantas, apa sebenarnya yang membedakan antara Orde Baru yang sudah lama dengan Orde Baru yang reformis? Seharusnya ada batas dan garis yang tegas diantara keduanya. Penumbangan sebuah rezim seharusnya pararel dengan penumbangan struktur, budaya dan cara berpikir yang kolot, otoriter dan korup.
Saatnya Melawan Rezim Teror
Satu hal pasti yang diharapkan dari rezim teror adalah ketakutan dan kematian atas kejujuran dan hati nurani para saksi pelapor. Oleh karena itu, mereka akan selalu menyebarkan rasa ketakutan melalui berbagai cara. Baik melalui tuntutan hukum, kekerasan fisik, teror psikis maupun teror yang tak kalah gawatnya, dengan uang. Saksi pelapor yang bungkam merupakan keinginan rezim teror. Sebaliknya, saksi pelapor yang mau bicara adalah petaka bagi mereka. Karena saksi pelapor yang bicara sama artinya dengan terbongkarnya setengah kebenaran dari adanya peristiwa, skandal atau kasus.
Untuk menghadapi teror semacam itu, barangkali kita harus belajar dari Sainah. Ia adalah saksi utama kasus Tommy Soeharto yang atas keberanian dan kejujurannya, anak mantan orang nomor satu di Indonesia itu harus terbang ke Nusakambangan untuk menjalani hukuman pidana karena kepemilikan senjata api tanpa ijin. Padahal dalam persidangan, Tommy Soeharto sempat menyebar ancaman.
Sainah bukanlah siapa-siapa. Ia hanyalah pembantu rumah tangga yang sehari-hari bekerja untuk Hetty, pemilik Apartemen Cemara tempat dimana Tommy sering singgah. Barangkali Sainah secara material tidak memiliki kekayaan yang berlimpah. Namun ia adalah sedikit orang yang memiliki kekayaan yang sesungguhnya, yakni kejujuran dan keberanian. Tanpa dibekali oleh pengetahuan yang cukup atas hukum dan perlindungan yang pasti dari negara, Sainah dengan lugas mengungkap semua apa yang dilihat dan diketahuinya di pengadilan.
Sesungguhnya, masih banyak Sainah-Sainah yang lain. Akan tetapi terlalu sedikit orang yang seberani dirinya. Kita tentu tidak menyalahkan mereka. Para saksi dan pelapor tetap memiliki hak untuk hidup aman dan nyaman. Setiap orang tidak akan mau melewati hidup sehari-hari dengan ketidakpastian, ancaman dan intimidasi karena melaporkan atau menjadi saksi atas sebuah perkara pidana. Sungguh sebuah periode yang mengherankan dimana orang yang ingin berbuat jujur dan mau mengungkapkan peristiwa kejahatan harus menghadapi saat-saat tersulit dalam hidup mereka.
Sudah saatnya kasus Khairiansyah dan berbagai ragam peristiwa yang menimpa saksi pelapor –dalam kasus apapun- harus secara tegas kita katakan cukup. Tidak mungkin tidak untuk membongkar sebuah skandal kejahatan, kita membutuhkan payung hukum bagi mereka yang menjadi saksi, pelapor maupun korban. Kita harus sadar dan yakin bahwa setiap informasi dan keterangan dari orang yang menyaksikan, melihat dan mengetahui secara langsung sebuah peristiwa kejahatan sangatlah dibutuhkan untuk mengungkapkan peristiwa sebenarnya.
Akan tetapi, kita juga harus menjamin bahwa apa yang disampaikan saksi pelapor tidak akan berimplikasi buruk atas masa depan dan nasib mereka. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban dari negara untuk memberikan perlindungan hukum atas mereka melalui UU Perlindungan Saksi Pelapor. Lahirnya UU perlindungan Saksi Pelapor merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi agar kejahatan yang sistematis, terorganisir, melibatkan orang kuat yang selama ini menjadi hambatan bagi perubahan di berbagai sektor dapat dibongkar.
Presiden SBY selaku pemegang mandat rakyat Indonesia perlu segera merespon peristiwa Khairiansyah dan yang lainnya dalam persepektif melindungi dan menjamin peran serta masyarakat dalam mengungkap dan melaporkan sebuah tindak kejahatan. Mengeluarkan Amanat Presiden (ampres) untuk RUU Perlindungan Saksi Pelapor merupakan salah satu agenda strategis sebagai wujud komitmen Pemerintah dalam menegakkan hukum. Karena keberadaan Ampres itu akan dianggap oleh DPR sebagai kebutuhan mendesak dari Pemerintah untuk diprioritaskan pembahasannya.
Demikian halnya dengan DPR RI, mengagendakan pembahasan RUU Perlindungan Saksi Pelapor sebagai prioritas utama mutlak dilakukan. Tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa draft sebuah UU membutuhkan waktu lama untuk disusun. Hal ini mengingat bahwa draft akademik RUU Perlindungan Saksi Pelapor telah diselesaikan sejak tahun 2002. Hanya saja dari tahun ke tahun, hingga saat ini RUU itu tidak disahkan oleh DPR karena terbentur persoalan tiadanya komitmen politik.
Jika memang Pemerintah SBY dan DPR memiliki komitmen politik yang kuat untuk melindungi dan menjamin peran serta warga masyarakat dalam memberantas kejahatan, tidak ada lagi cara lain kecuali dengan memberikan perlindungan hukum atas mereka yang menjadi saksi dan pelapor. Percayalah, lahirnya UU Perlindungan Saksi Pelapor akan mempercepat dan memudahkan pembongkaran sebuah skandal.
No comments:
Post a Comment