Sunday, August 28, 2005

Menuntun Keberanian

Membongkar praktek korupsi di Indonesia bukanlah sesuatu yang mudah. Meski banyak orang merasakan langsung akibat buruk dari korupsi, tapi menunjuk siapa biang keladinya tak semudah membalik tangan. Banyaknya aktor korupsi yang terlibat, rumitnya modus yang dilakukan, tertutupnya informasi dari pemerintah kepada masyarakat, sistem dan aparat hukum yang telah menjadi bagian dari budaya kekuasaan yang korup cukup menyulitkan ruang gerak bagi perlawanan terhadapnya.

Orang yang mengetahui, bahkan memiliki informasi akurat terjadinya korupsi belum tentu mau melaporkannya. Sekurang-kurangnya tiga penyebabnya. Pertama, pertimbangan keamanan dirinya, baik keamanan fisik maupun ekonomi. Tak ada yang menjamin setelah ia melaporkan, dirinya tidak diintimidasi, dicelakai ataupun dipecat dari tempat kerjanya.

Kedua, ketidakpercayaan yang tinggi kepada aparat penegak hukum. Apatisme masyarakat terhadap aparat penegak hukum yang menangani kasus korupsi sudah sedemikian parah. Memberikan laporan kepada mereka sama saja memberikan amunisi untuk memeras. Ketiga, tidak adanya perlindungan hukum yang memadai bagi para pelapor kasus korupsi. Alih-alih dilindungi hukum, para pelapor justru harus berhadapan dengan hukum karena perbuatan mencemarkan nama baik seseorang.

Dalam situasi demikian, ICW mendorong berbagai kelompok masyarakat untuk memupuk keberanian dan kemampuan membongkar kasus-kasus korupsi dengan berbagai pendekatan. Pelatihan dasar anti-korupsi barangkali dapat dianggap sebagai metoda yang paling umum. Mengetuk-tularkan pengetahuan tentang korupsi, ketrampilan dalam menelusuri data, analisa terhadap masalah, membuat laporan kasus dan bagaimana melakukan advokasi biasanya efektif untuk membuat kantong-kantong perlawanan terhadap korupsi.

Bagi kelompok masyarakat yang secara mandiri telah membuat laporan korupsi, peran fasilitasi untuk kampanye dan loby di tingkat nasional menjadi bagian kerja strategis ICW. Mengingat laporan kasus korupsi sangat rentan terhadap gugatan balik, memastikan bahwa data dan dugaan yang dibuat sudah memenuhi kriteria mutlak dilakukan. Pada titik ini, komunikasi yang terbangun dalam melakukan kerjasama pembongkaran kasus korupsi telah ditransformasikan menjadi ajang untuk membangun jejaring anti-korupsi yang lebih luas.

Terbukti, pendekatan demikian mampu membangunkan kesadaran masyarakat untuk berani melaporkan kasus-kasus korupsi. Pada tahun 2004 saja, ICW menerima 415 kasus dugaan korupsi yang disampaikan oleh pribadi maupun kelompok masyarakat dari berbagai tempat. Memang tidak semua laporan itu bisa ditindaklanjuti. Beberapa saja yang menjadi prioritas untuk ditangani, dengan mempertimbangkan kemungkinan dapat dibentuknya jaringan baru anti-korupsi. Khusus untuk kasus korupsi yang terjadi di Jakarta, ICW mengambil peran untuk melakukan investigasi mandiri dan menyampaikan hasilnya kepada aparat penegak hukum. Kasus dugaan mark-up pengadaan pemancar RRI senilai Rp 40 Miliar yang kini sudah masuk tahap penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan salah satu contohnya. Demikian juga kasus mark-down penjualan tanah senilai Rp 300 Miliar di Perumnas yang kini sedang dalam penyelidikan Timtas Tipikor.

Jaringan anti-korupsi baru yang telah dilahirkan dari kerjasama pembongkaran kasus diantaranya adalah Prodem di Kendari, LPS-HAM di Palu, Bontang Corruption Watch (BCW) di Kaltim, G2W di Garut, PIAR di Kupang, Gerak, SORAK dan SAMAK di Aceh, Rahima di Cirebon dan beberapa daerah lainnya.

Akhirnya, laporan kasus korupsi tidak sekedar sebagai pekerjaan menyusun, menulis dan menyampaikannya kepada aparat penegak hukum. Lebih dari itu, bagaimana membangun jaringan antikorupsi, mendorong capacity building antar kelompok, memupuk kebersamaan sehingga tumbuh keberanian yang lebih besar untuk melawan praktek korupsi.